Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Abad 21 merupakan abad di mana umat manusia mengalami evolusi


dan kemajuan yang cukup signifikan di berbagai aspek. Dalam
beberapa hal yang dahulunya belum dapat teratasi, kini telah dapat
ditangani dengan berbagai alat modern yang mutakhir. Namun, sejalan
dengan hal tersebut, ada beberapa dampak yang ditimbulkan. Salah
satunya dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, khususnya hutan.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999


tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Pemanfaatan dan pengelolaan sektor kehutanan adalah salah satu


bagian yang essensial dalam pengelolaan lingkuan hidup dimana telah
menjadi sorotan bukan hanya nasional, akan tetapi telah menjadi
wacana global. Hal ini dapat dilihat dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Bumi yang diselenggarakan oleh PBB di Rio Jeneiro pada tanggal 3
sampai 14 Juni 1992 yang juga merupakan peringatan 20 tahun
Konferensi Stockholm tahun 1972. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio
Jeneiro menghasilkan suatu konsesus tentang beberapa bidang penting
khususnya prinsip-prinsip kehutanan yang tertuang dalam dokumen dan
perjanjian: Non-Legally Binding Authorotative Statement of Principle for
a Global Condesus on Management, Conservation and Sustainable
Development of all Types of Forest dan Bab 11 dari Agenda 21
Combating Deforestion. Kemudian dalam pertemuan ketiga dari
Komisi Pembangunan Berkelanjutan (CSD-COmmision of Sustainable
Development) disepakati untuk membentuk Intergovermental Panel on
Forest (IPF) untuk melanjutkan dialog dalam kebijakan kehutanan skala
global. Prinsip-prinsip tentang Kehutanan tersebut kemudian dijabarkan
dalam UU Kehutanan Indonesia, yaitu UU No.4 Tahun 1999.

1
Salah satu masalah yang menjadi dilema dari periode ke periode yang
menyangkut hutan di Indonesia ialah pembalakan liar (illegal logging).
Stephan Devenish, ketua Misi Forest law Enforecment Governance and
Trade dari Uni Eropa mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab
utama kerusakan hutan di Indonesia. Nampaknya, illegal logging
merupakan masalah krusial yang sangat sulit untuk diatasi bahkan
diminimalisir oleh negara kita.

Dengan semakin maraknya praktek pembalakan liar, kawasan hutan di


Indonesia telah memasuki fase kritis. Seluruh jenis hutan di Indonesia
mengalami pembalakan liar sekitar 7,2 hektar hutan per menitnya, atau
3,8 juta hektar per tahun.

Tentunya, ini akan mengancam keanekaragaman hayati bahkan dapat


menurunkan level kekayaan biodiversitas di Indonesia serta secara
langsung dapat mengganggu keseimbangan alam yang telah tercipta.
Menurut estimasi pemerintah, praktek illegal logging per tahunnya telah
membuat negara mengalami defisit sebesar Rp 30 triliun atau Rp 2,5
triliun per bulannya. Tentunya, angka ini sangatlah fantastis, ditambah
lagi kerugian ini empat kali dari APBN yang telah dianggarkan
pemerintah untuk sektor kehutanan.

2. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan judul makalah ini yaitu tentang ilegal logging,
maka untuk memperjelas ruang likup pembahasan, penulis memiliki
batasan masalah antara lain:
a. Pengertian pembalakan liar atau illegal logging
b. Faktor-faktor penyebab illegal logging
c. Dampak dari illegal logging
d. Solusi untuk mengatasi illegal logging
e. Upaya Pemerintah terkait illegal logging
f. Kearifan lokal masyarakat dalam melestarikan hutan

2
BAB II

ISI

A. PENGERTIAN ILLEGAL LOGGING

Illegal logging atau dengan terjemahan sederhana pembalakan liar


pada dasarnya merupakan istilah yang tidak pernah disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan manapun. Biasanya istilah ini mengacu
untuk serangkaian perbuatan pidana yang ada dalam Pasal 50 UU
Kehutanan, mulai dari penebangan ilegal, penguasaan, transportasi,
hingga penjualan terhadap kayu tersebut. Penebangan liar misalnya
diatur dalam huruf e Pasal 50: menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang; Huruf h Pasal 50: mengangkut, menguasai,
atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan
surat keterangan sahnya hasil hutan; huruf f Pasal 50: menerima,
membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
(Supriatna, 2008).

Masalah ini (illegal logging) menyebar luas mempengaruhi negara-


negara yang memproduksi, ekspor, dan impor kayu dan produk kayu itu
sendiri. 12 aktifitas yang dikategorikan sebagai illegal logging adalah :

Penebangan spesies kayu yang dilindungi.

Pengulangan izin penebangan.Menebang pohon sehingga mereka


mendapat kayu secara legal.

Membuat persetujuan dengan pengusaha lokal untuk membeli kayu


gelondongan dari daerah yang dilindungi.

3
Melakukan pembalakan liar di kawasan yang dilindung

Penebangan di luar batas yang telah disepakati

Penebangan di daerah yang dilarang seperti lereng yang curam, tebing,


dan daerah resapan air.

Menebang pohon besar dari hutan publik.

Menebang kayu lebih dari yang telah ditentukan.

Melaporkan jumlah kayu yang ditebang di hutan uuntuk menutupi


jumlah yang sebenarnya diambil dari daerah luar batas yang ditentukan.

Pembalakan tanpa izin, dan

Memperoleh konsesi penebangan dengan cara suap.

B. FAKTOR PENYEBAB ILLEGAL LOGGING

Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal: pertama,


tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan
persediaannya. Dalam kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan
kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya
permintaan kebutuhan kayu.

Kedua, tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah


No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan
dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-
II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman
Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua
peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan
mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun dengan jangka
waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan
produksi yangditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan
pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap
melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas

4
usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan
menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.

Ketiga, lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku


tindak pidana illegal logging. Selama ini, praktekillegal logging dikaitkan
dengan lemahnya penegakan hukum, di mana penegak hukum hanya
berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu.
Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan
di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku. Disinyalir adanya pejabat pemerintah
yang korup yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi
praktek illegal logging.

Keempat, tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan


pemerintah daerah. Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah
wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, -sejak kebijakan otonomi
daerah diberlakukan- pemerintah daerah harus mengupayakan
pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini
menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk mengeksplorasi
berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang tersedia di
daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan

C. DAMPAK ILLEGAL LOGGING


1. DAMPAK TERHADAP KELESTARIAN HUTAN
Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak
tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta
hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang
tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan
kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu
dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan
pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun,
luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari
total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan
hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi
yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan
bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.

5
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di
Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian
besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar.
Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan
angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat
penebangan liar (Antara, 2004).
2. DAMPAK TERHADAP EKONOMI

Pembalakan liar tentu saja menyebabkan kerugian negara. Apabila


penebangan hutan seharusnya berizin menjadi tak berizin maka bisa
dipastikan jumlah pohon yang ditebang tidak terkontrol, yang
seharusnya maksimal sekian hektar menjadi lebih dari luas maksimal
hutan yang boleh ditebang. Hal ini menyebabkan daya serap air tanah
menjadi berkurang. Jika demikian tentu ada dampak jangka panjang
diantara bencana tanah longsor, habitat yang berkurang bagi hewan
hutan dan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia berkurang. Tentu biaya
untuk menanggulangi masalah ini akan besar dan ini merugikan
keuangan negara.

Pajak dan Retribusi Untuk Penenbangan Hutan

Tentu saja pajak dan retribusi pembalakan liar akan masuk kantong
para makelar pembalakan liar tidak masuk ke kas negara . Tentu saja hal
ini merugikan keuangan negara. Disebutkan bahwa kerugian negara
ditaksir Rp 180,2 triliyun akibat kegiatan pembalakan liar di Provinsi
Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur. Sungguh kerugian
yang besar sekali. Di Kalimantan Tengah kerugian negara akibat
pembalakan liar adalah yang terbesar yaitu Rp 158,5 triliyun (Anomin,
2012).

D. SOLUSI UNTUK MENGATASI ILLEGAL LOGGING

Penanggulangan illegal logging tetap harus diupayakan hingga


kegiatan illegal logging berhenti sama sekali sebelum habisnya sumber
daya hutan dimana terdapat suatu kawasan hutan tetapi tidak terdapat
pohon-pohon di dalamnya. Penanggulangan illegal logging dapat

6
dilakukan melalui kombinasi dari upaya-upaya pencegahan (preventif),
penanggulangan (represif) dan upaya monitoring (deteksi).

1. Deteksi terhadap adanya kegiatan penebangan liar

Ground checking dan patroli

Inspeksi di tempat-tempat yang diduga terjadi penebangan liar

Deteksi di sepanjang jalur-jalur pengangkutan

2. Tindak prefentif untuk mencegah terjadinya illegal logging

Pengembangan program pemberdayaan masyarakat

Melakukan seleksi yang lebih ketat dalam pengangkatan


pejabat (fit and proper test)

Evaluasi dan review peraturan dan perundang-undangan

3. Tindakan supresi (represif)

Tindakan represif merupakan tindakan penegakan hukum mulai dari


penyelidikan, penyidikan sampai ke pengadilan. Untuk itu harus ada
kesamaan persepsi antara masing-masing unsur penegak hukum yaitu
penyidik (Polri dan PNS), jaksa penuntut dan hakim. Karena besarnya
permasalahan ilegal logging, tindakan represif harus mampu
menimbulkan efek jera sehinga pemberian sanksi hukum harus tepat
(Anomin, 2012).

E. UPAYA PEMERINTAH TERKAIT ILLEGAL LOGGING

Sampai saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang


memberikan definisi resmi terhadap Illegal logging di Indonesia. Padahal
pengertian ini sangat penting untuk memberikan batasan terhadap
tindakan-tindakan apa yang termasuk kedalam lingkup Illegal logging.
Disini merupakan salah titik masuk yang menyebabkan operasi
pemberantasan Illegal logging cenderung tidak efektif.

7
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan undang-
undang terkait yang mengatur mengenai Illegal Logging yaitu UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan
Tumbuhan, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan, PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa
Buru, PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, dan PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

F. UPAYA PENCEGAHAN PENEBANGAN LIAR

Beberapa Rekomendasi pencegahan illegal logging :

a. Perlu adanya kejelasan tentang pengertian dan ruang lingkup dari


illegal logging. Inpres No. 5 Tahun 2001 tidak membuat pengertian
walaupun judulnya sendiri menggunakan illegal logging. Hal ini
dapat dibuat melalui amandemen UU No. 41/1999, atau Peraturan
Pemerintah sebagai tindaklanjut UU tersebut atau untuk sementara
melalui Keputusan Presiden.

b. Penyebarluasan dampak dari penebangan liar kepada berbagai


aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan dan hakim) tentang
berbagai peraturan yang ada dan berkaitan dengan illegal logging
serta informasi mengenai dampak negatif serta kerugian negara
dan masyarakat yang ditimbulkan (ingat beberapa putusan hakim
di PN Tangerang yang memberikan sanksi hukum mati terhadap
pelaku narkoba).

c. Dibangunnya Kordinasi antar kelembagaan pemerintah, aparat


penegak hukum, pemerintah daerah dan masyarakat, termasuk
LSM. Program Wanalaga yang dikembangkan oleh pihak kepolisian
terkesan dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi
tersebut.

8
d. Adanya pedoman penegakan hukum terhadap penegakan hukum.
Pedoman ini hendaklah dilakukan melalui suatu kajian yang
mendalam dan melibatkan berbagai pihak serta berdasarkan kasus-
kasus yang ada selama ini. Pedoman ini perlu kemudian didorong
untuk dijadikan sebagai pegangan wajib bagi seluruh aparat
penegak hukum (Salim, H.S.,2003).

F. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM MELESTARIKAN


HUTAN

Salah satu kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan yang
membuat penulis terkesan adalah adat yang dimiliki oleh masyarakat di
Desa Ciomas, Ciamis, Jawa Barat. Desa Ciomas yang secara geografis
berada di Kaki gunung Sawal (1764 mdpl) ini memiliki satu adat budaya
yang begitu sistematis dan terprogram yang berkaitan dengan
pelestarian hutan.

Masyarakat di Desa ini memiliki satu kearifan lokal warisan nenek


moyang mereka mengenai pelestarian lingkungan yang sampai saat ini
masih dengan teguh mereka jaga. Salah satunya adalah dengan masih
menetapkannya Leuweung Larangan (hutan larangan) di kawasan
Gunung Sawal sebagai tempat yang harus betul-betul dijaga
kelestariannya.

Inilah tahap-tahap dalam adat Masyarakat Ciomas dalam hal


menjaga lingkungan hutan agar tetap lestari:

1. Kabarataan

Kabarataan adalah sebuah adat yang mengedepankan pada


analisis yang mendalam terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang
terdapat dalam tata wilayah mereka. Dalam adat Kabarataan ini meliputi
menghitung berbagai kerusakan hutan, menetapkan waktu pemulihan
kerusakan tersebut (Tata Wayah) dan juga rancangan kerja tentang apa-
apa saja yang harus dilakukan untuk memulihkan kerusakan (Tata
Lampah). Tidak hanya itu, dalam adat Kabarataan ini juga diadakan

9
upacara penanaman pohon panayogian atau penanda yang disebut
dengan nama Ki Pasang, mengingat pohon yang di tanam adalah dua
jenis pohon yang sama dan berdampingan. Dalam prosesi adat
menanam pohon panayogian biasanya dilakukan pada akhir menjelang
rangkaian adat Kabarataan berakhir.

2. Kadewaan

Untuk tahapan berikutnya setelah prosesi adat Kabarataan


berakhir maka dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya yakni
melaksanakan adat Kadewaan. Kadewaan sendiri pada prinsipnya
adalah awal dimulainya proses pemulihan hutan dan lingkungan
termasuk mata air, sungai, dan aneka tumbuhan di sekitar wilayah
tersebut yang pada saat adat Kabarataan dianggap sudah waktunya
dipulihkan dari kerusakan-kerusakan. Dalam Kadewaan ini, masyarakat
diwajibkan untuk menanam pohon di tempat-tempat yang dianggap
telah rusak. Dan seperti pada adat Kabarataan, pohon-pohon yang
ditanam di sini pun harus berasal dari jenis pohon yang ada di wilayah
tersebut.

2. Karatuan
Untuk tahapan terakhir dari rangkaian adat ini adalah
pelaksanaan adat karatuan. Adat Karatuan adalah sebuah proses
berkesinambungan antara terus memulihkan lingkungan dan juga
menjaga keberlangsungan pemulihan itu sendiri hingga tercapai sebuah
tata lingkungan yang benar-benar subur, bersahabat dan tentu saja bisa
diambil manfaatnya oleh penduduk setempat

10
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Urgensi perlindungan hutan dalam perundang-undangan pidana


terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging), adalah
perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan itu sendiri. Baik fungsi
ekologi, ekonomi maupun sosial-budaya yang dampaknya tidak hanya
dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan
serta masyarakat secara nasional, tetapi juga masyarakat dalam konteks
regional dan internasional.

Proses untuk menegakan hukum serta pelaksanaan sanksi


merupakan bagian akhir dari penegakan hukum. Yang perlu ada terlebih
dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan dan pelaksanaan
peraturan. Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian
pelarangan dan saran serta upaya meyakinkan seseorang dengan
bijaksana agar beralih dari suasana pelanggaran ke tahap pemenuhan
ketentuan peraturan.

B. SARAN
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak
bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di
bumi.Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan
lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-
masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar
manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak
cucu kita kelak.

11

Anda mungkin juga menyukai