Kasus 1.
mereka adalah korban psikotropika yang harus disembuhkan, penderita suatu penyakit
yang disarankan dokter melalui resep untuk mengonsumsi dua jenis psikotropika itu,
misal karena insomnia dan depresi, dan juga karena efek kecelakaan sehingga terkena
sarafnya dan harus tergantung obat tersebut. Dengan resep dokter, mereka datang ke
apotek untuk menebusnya. Calmlet kerap diberikan dokter sebagai obat penenang,
sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih giat. Mengingat adanya
resep itu, maka tidak termasuk penyalahgunaan. Dia mengacu pada UU No 5 tahun
Sementara, para pasien itu hanya sebagai orang yang mau nebus obat berdasarkan
resep dokter.
"Unsur pembuktiannya tidak cukup untuk pidana. Sebaliknya kami lepas, namun tetap
dalam pembinaan sebelumnya," ungkapnya. Hal lain yang perlu dilakukan, yaitu agar
para pasien wajib lapor di instutsi penerima wajib lapor di bawah Dinkes dan Dinas
Sosial. Harapannya, dengan wajib lapor maka pasien itu dapat diawasi petugas yang
ditunjuk. Terutama dilihat dari rekam medisnya. Di institusi itu juga ditunjuk dokter yang
Kasus 2.
Belum Ada
Kami akan meninjau perizinan toko obat, tetapi bukan berarti akan menutup
karena hanya menertibkan jam kerja.
''Masih ada upah yang di bawah standar UMR, terutama mereka yang
bekerja di toko-toko obat. Upah mereka rata-rata tidak melebihi standar yang
ditentukan sesuai UMR.''
Kaus 3.
Kasus 4
Apotek X cukup rame dan omzet cukup besar. Dokter menulis resep dengan kode, dan resep
tersebut hanya bisa ditebus di apotek X yang ditunjuk dokter. PSA menjual psikotropika dan
pada saat membuat laporan bekerja sama dengan dokter untuk membuatkan resep. Apotek X
juga membuat Krim malam, krim pagi buatan apotek sendiri, tidak diketahui formulanya.
Kasus 5
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari
apotek ke RS. Masa sesama sejawat tidak saling percaya
untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan.
Yang penting ada SP nya aja (kesepakatan di Palembang
pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang
penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU
Narkotik tahun 70an memang tidak diperbolehkan,
namun UU Narkotik sekarang boleh yaitu UU Narkotika
No. 35/2009
Kasus 6
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang
yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit
anak tersebut kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke
rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan
darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker S harus
mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan
keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke
rumah sakit terdekat.
Kasus 7
RESEP RACIK
Apotek C adalah apotek yang cukup ramai, termasuk omzet dari penjulan resep. Resep yang
masuk selain obat generic, banyak pula obat-obat paten dan racikan. Apotek C menerima sebuah
resep racikan dari seorang dokter kulit, sebagai berikut:
R/ Acid salisil 0.5
Resorcin 0.5
Miconazole cr 5
Garamycin oint 5
m.f.la. ungt.da in pot tube I
S 2 dd u e
Keterangan:
1. Acid salisil tersedia dalam bentuk serbuk ( HNA+PPn = Rp 300,- per gram) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 195
2. Resorcin tersedia dalam bentuk serbuk (HNA+PPn = Rp1500,- per gram) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 975
3. Miconazole cr tersedia dalam bentuk tube 10 g (HNA+ PPn= Rp 4500,- per tube ) jadi
biaya yg harus dibayarkan Rp 2.925
4. Garamycin oint tersedia dalam bentuk tube 10g ( HNA +PPn= Rp 90.000,- per tube) jadi
biaya yg harus dibayarkan Rp 58.500
5. Pot salep 10 g (HNA+PPn= Rp 200,- per pot)
6. Jadi, total yang harus dibayarkan seharusnya adalah
a. = Rp 195 + Rp 975 + Rp 2.925 + Rp 58.500 + Rp 260 + Rp 200 + Rp 2500
b. = Rp 65.555
Index resep racikan adalah 1,3 dengan tuslah 1 R/ racikan adalah Rp 2500,-
Harga yang dibayar oleh pasien adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
a. Acid salisil = Rp 195,- (dinaikkan)
b. Resorcin = Rp 975,- (dinaikkan)
c. Miconazole cr = Rp 5.850,- (dinaikkan)
d. Garamycin oint = Rp 117.000,- (dinaikkan)
Pot = Rp 260,- (dinaikkan)
e. Plastik = Rp 200,-
f. Tuslah = Rp 2.500,- +
Total Rp 126.980,- 127.000 (semua harga didongkrak)
KASUS 8
Untuk meningkatkan penjualan, seorang Apoteker yang menjadi Manajer Marketing divisi OTC
pada suatu pabrik farmasi merencanakan untuk melakukan promosi aktif kepada outlet apotek.
Apotek yang dapat menjual produk A dengan target tertentu akan mendapatkan reward berupa
bonus/marketing fee/diskon yang cukup besar. Adapun ketentuan yang ditetapkan adalah sebagai
berikut:
1. Perhitungan pencapaian target berdasarkan jumlah pembelian produk A ke PBF yang telah
ditentukan, dibuktikan dengan foto kopi faktur pembelian.
2. Outlet bersedia mendisplay produk A pada tempat yang strategis.
3. Petugas outlet bersedia menggunakan atribut berupa kaos produk A dan selalu aktif
menawarkan produk kepada konsumen.
4. Outlet tidak menyediakan produk competitor.
5. Menjamin ketersediaan produk A pada outlet selama 6 bulan berturut-turut.
KASUS 9
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. X, Kab. Muba Sumsel memproduksi OT mengandung
BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT dan mengandung BKO tersebut didesain
seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).
Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan positif
mengandung BKO.
Kasus 10
Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep misal Amox adalah obat yang tidak termasuk
OWA, tetapi banyak pasien minta amox tanpa resep dokter. Apotek A tetap melayani. Sehingga
untuk mengantisipasi jika diperiksa oleh Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka apoteker di
apotek tersebut membuat copi resep sendiri resep putih untuk melegalkan transaksi.
KASUS 11
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang diantar
oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang
tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di
apotek untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada
dan apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan
pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit
terdekat.
KASUS 12
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta dalam resep tidak dapat dilayani.
Setelah di cek ternyata IFRS mempunyai obat Y yang kandungannya sama dari pabrik lain.
Harga obat pengganti memang lebih mahal, tetapi dengan pertimbangan agar pasien segera dapat
dilayani, tidak ada pasien yang membeli obat di luar RS dan efisiensi perputaran stok di
IFRS, Apoteker segera memberikan obat Y tersebut. Setelah menerima obatnya, pasien yang
bersangkutan minta dibuatkan kopi resep, namun Apoteker keberatan karena resep sudah ditebus
semua. Namun karena pasien terus mendesak akhirnya Apoteker membuatkan kopi resep dan
menuliskan obat Y, sesuai obat yang diterima pasien pada kopi resep tersebut.