Anda di halaman 1dari 6

Peraturan :

1. Kerjakan secara kelompok, gunakan literatur apapun yang


terkait dengan pengerjaan kasus dan cantumkan literatur
tersebut di akhir lembar pengerjaan.
2. Makalah diketik secara rapi aturan pengetikan sesuai dengan
pedoman KTI.
3. Buat power point untuk dipresentasikan

Kasus 1.

Kasat Narkoba Polresta Palembang Kompol Hendro mengatakan pasien di Apotek

Kusuma Nata, Jl Merdeka Palembang yang diserahkan ke Satnarkoba Polresta

Palembang kondisinya memprihatinkan. Itu dapat dilihat selama pemeriksaan terlihat

jelas para pasien masih ketergantungan psikotropika. Berdasarkan pemilahannya,

mereka adalah korban psikotropika yang harus disembuhkan, penderita suatu penyakit

yang disarankan dokter melalui resep untuk mengonsumsi dua jenis psikotropika itu,

misal karena insomnia dan depresi, dan juga karena efek kecelakaan sehingga terkena

sarafnya dan harus tergantung obat tersebut. Dengan resep dokter, mereka datang ke

apotek untuk menebusnya. Calmlet kerap diberikan dokter sebagai obat penenang,

sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih giat. Mengingat adanya

resep itu, maka tidak termasuk penyalahgunaan. Dia mengacu pada UU No 5 tahun

1997 tentang psikotropika, bahwa ketentuan pidana adalah penyalahgunaan.

Sementara, para pasien itu hanya sebagai orang yang mau nebus obat berdasarkan

resep dokter.
"Unsur pembuktiannya tidak cukup untuk pidana. Sebaliknya kami lepas, namun tetap

dalam pembinaan sebelumnya," ungkapnya. Hal lain yang perlu dilakukan, yaitu agar

para pasien wajib lapor di instutsi penerima wajib lapor di bawah Dinkes dan Dinas

Sosial. Harapannya, dengan wajib lapor maka pasien itu dapat diawasi petugas yang

ditunjuk. Terutama dilihat dari rekam medisnya. Di institusi itu juga ditunjuk dokter yang

akan memeriksa dan memastikan resep anjuran dalam rangka penyembuhan.

Kasus 2.

Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (DKKS) Palembang akan


melakukan pembenahan terhadap organisasi profesi, termasuk izin praktik
apoteker, rumah sakit negeri dan swasta, praktik bidan, dokter, dan izin
praktik asisten apoteker.

''Sosialisasi Keputusan Menkes No 679/2003 yang dilakukan Persatuan Ahli


Farmasi Indonesia itu perlu ditindaklanjuti,'' kata Kepala DKKS dr Choirul,
Kamis 16/4, seusai pelantikan Pengurus PAFI Cabang Palembang di Aula
RSUD Bari di Palembang.

Dia mengatakan, penertiban tersebut dimaksudkan untuk mencegah


terjadinya pelayanan resep yang dilakukan asisten apoteker yang
kemungkinan menimbulkan kasus hukum di tempat kerja. ''PAFI harus
memberikan perlindungan kepada anggotanya.''

Belum Ada

Dia mengakui, meski PP no 51 tahun 2009 sudah diluncurkan, sampai saat


ini belum ada asisten apoteker yang melakukan registrasi dan pengajuan izin
kerja.

Kami akan meninjau perizinan toko obat, tetapi bukan berarti akan menutup
karena hanya menertibkan jam kerja.

''Hal itu akan ditertibkan sehingga pelayanan kepada masyarakat tetap


optimal.''
Ketua PAFI Jateng Soeripto mengemukakan, saat ini dia sedang melakukan
konsolidasi organisasi, termasuk mengusulkan agar upah asisten apoteker
yang masih belum sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR).

''Masih ada upah yang di bawah standar UMR, terutama mereka yang
bekerja di toko-toko obat. Upah mereka rata-rata tidak melebihi standar yang
ditentukan sesuai UMR.''

Kaus 3.

Obat Palsu di Indonesia

Perkembangan kasus obat palsu di Indonesia dari tahun ke tahun tidak


menunjukkan kenaikan atau penurunan yang signifikan dari segi kuantitas.
Namun jika dilihat dari penyebarannya, menunjukkan adanya peningkatan.
Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi masyarakat, baik dari segi finansial
maupun kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan antisipasi dari pemerintah
untuk mengontrol agar tidak terjadi pemalsuan obat dan pemerintah juga
diharapkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dalam
pemilihan obat, sehingga kesehatan masyarakat lebih terjamin. Untuk
mencegah peredaran obat palsu apa yang harus dilakukan oleh kalangan
industri dan pemerintah? Anda sebagai TTK apa yang harus dilakukan untuk
membantu mengurangi peredaran obat palsu di indonesia ?

Kasus 4
Apotek X cukup rame dan omzet cukup besar. Dokter menulis resep dengan kode, dan resep
tersebut hanya bisa ditebus di apotek X yang ditunjuk dokter. PSA menjual psikotropika dan
pada saat membuat laporan bekerja sama dengan dokter untuk membuatkan resep. Apotek X
juga membuat Krim malam, krim pagi buatan apotek sendiri, tidak diketahui formulanya.

Kasus 5
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari
apotek ke RS. Masa sesama sejawat tidak saling percaya
untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan.
Yang penting ada SP nya aja (kesepakatan di Palembang
pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang
penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU
Narkotik tahun 70an memang tidak diperbolehkan,
namun UU Narkotik sekarang boleh yaitu UU Narkotika
No. 35/2009

Kasus 6

Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang
yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit
anak tersebut kejang yang tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke
rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek untuk minta tolong pengobatan
darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker S harus
mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan
keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke
rumah sakit terdekat.

Kasus 7

RESEP RACIK
Apotek C adalah apotek yang cukup ramai, termasuk omzet dari penjulan resep. Resep yang
masuk selain obat generic, banyak pula obat-obat paten dan racikan. Apotek C menerima sebuah
resep racikan dari seorang dokter kulit, sebagai berikut:
R/ Acid salisil 0.5
Resorcin 0.5
Miconazole cr 5
Garamycin oint 5
m.f.la. ungt.da in pot tube I
S 2 dd u e

Keterangan:
1. Acid salisil tersedia dalam bentuk serbuk ( HNA+PPn = Rp 300,- per gram) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 195
2. Resorcin tersedia dalam bentuk serbuk (HNA+PPn = Rp1500,- per gram) jadi biaya yg
harus dibayarkan Rp 975
3. Miconazole cr tersedia dalam bentuk tube 10 g (HNA+ PPn= Rp 4500,- per tube ) jadi
biaya yg harus dibayarkan Rp 2.925
4. Garamycin oint tersedia dalam bentuk tube 10g ( HNA +PPn= Rp 90.000,- per tube) jadi
biaya yg harus dibayarkan Rp 58.500
5. Pot salep 10 g (HNA+PPn= Rp 200,- per pot)
6. Jadi, total yang harus dibayarkan seharusnya adalah
a. = Rp 195 + Rp 975 + Rp 2.925 + Rp 58.500 + Rp 260 + Rp 200 + Rp 2500
b. = Rp 65.555
Index resep racikan adalah 1,3 dengan tuslah 1 R/ racikan adalah Rp 2500,-

Harga yang dibayar oleh pasien adalah dengan perhitungan sebagai berikut:
a. Acid salisil = Rp 195,- (dinaikkan)
b. Resorcin = Rp 975,- (dinaikkan)
c. Miconazole cr = Rp 5.850,- (dinaikkan)
d. Garamycin oint = Rp 117.000,- (dinaikkan)
Pot = Rp 260,- (dinaikkan)
e. Plastik = Rp 200,-
f. Tuslah = Rp 2.500,- +
Total Rp 126.980,- 127.000 (semua harga didongkrak)

KASUS 8
Untuk meningkatkan penjualan, seorang Apoteker yang menjadi Manajer Marketing divisi OTC
pada suatu pabrik farmasi merencanakan untuk melakukan promosi aktif kepada outlet apotek.
Apotek yang dapat menjual produk A dengan target tertentu akan mendapatkan reward berupa
bonus/marketing fee/diskon yang cukup besar. Adapun ketentuan yang ditetapkan adalah sebagai
berikut:
1. Perhitungan pencapaian target berdasarkan jumlah pembelian produk A ke PBF yang telah
ditentukan, dibuktikan dengan foto kopi faktur pembelian.
2. Outlet bersedia mendisplay produk A pada tempat yang strategis.
3. Petugas outlet bersedia menggunakan atribut berupa kaos produk A dan selalu aktif
menawarkan produk kepada konsumen.
4. Outlet tidak menyediakan produk competitor.
5. Menjamin ketersediaan produk A pada outlet selama 6 bulan berturut-turut.

KASUS 9
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. X, Kab. Muba Sumsel memproduksi OT mengandung
BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT dan mengandung BKO tersebut didesain
seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).

Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan positif
mengandung BKO.

Kasus 10
Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep misal Amox adalah obat yang tidak termasuk
OWA, tetapi banyak pasien minta amox tanpa resep dokter. Apotek A tetap melayani. Sehingga
untuk mengantisipasi jika diperiksa oleh Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka apoteker di
apotek tersebut membuat copi resep sendiri resep putih untuk melegalkan transaksi.

KASUS 11
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang diantar
oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang
tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di
apotek untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada
dan apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan
pertimbangan keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit
terdekat.

KASUS 12
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta dalam resep tidak dapat dilayani.
Setelah di cek ternyata IFRS mempunyai obat Y yang kandungannya sama dari pabrik lain.
Harga obat pengganti memang lebih mahal, tetapi dengan pertimbangan agar pasien segera dapat
dilayani, tidak ada pasien yang membeli obat di luar RS dan efisiensi perputaran stok di
IFRS, Apoteker segera memberikan obat Y tersebut. Setelah menerima obatnya, pasien yang
bersangkutan minta dibuatkan kopi resep, namun Apoteker keberatan karena resep sudah ditebus
semua. Namun karena pasien terus mendesak akhirnya Apoteker membuatkan kopi resep dan
menuliskan obat Y, sesuai obat yang diterima pasien pada kopi resep tersebut.

Anda mungkin juga menyukai