Anda di halaman 1dari 4

A.

Sejarah Hukum Laut Nasional


Dapat dilihat dalam Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951, yakni:
Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia menurut cara yang
kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai suatu garis
dasar (base-line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik ujung terluar dari
pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan straight base-lines from point to point
ini mendapat pengakuan dalam hukum intenasional denga keputusan Mahkamah
Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tanggal 18 Desember
1951. Cara penentuan base-line yang ditetapkan dalam Royal Norwegian Degree
dari tanggal 12 Juli ini dibenarkan oleh Mahkamah yang menyatakan that the
base-lines fixed by the said degree were not contrary to international law.
Yang penting dalam Anglo Norwegian Fisheries Case ini adalah bahwa suatu
cara penarikan garis pangkal yang lain dari pada cara yang klasik (yaitu menurut
garis air rendah) telah mendapat pengakuan dari Mahkamah Internasional.
Dengan demikian kita memperbaiki Undang-undang yang dahulu hanya
mengutamakan kesamaan hukum antara Indonesia sebagai oversees gebiedsdeel
dengan Negeri Belanda dalam lingkungan Het Koninkrijk der Nederlanden, dari
pada kepentingan integritet territorial dari pada Indonesia sebagai suatu negara
kepulauan dan kepentingan rakyat (dilihat dari sudut ekonomi yaitu lautan sebagai
sumber kekayaan alam). Untuk menjamin kelancaran Negeri yang sangat penting
untuk menyangkal tuduhan-tuduhan negara-negara lain bahwa kita menghalang-
halangi pelayaran bebas, perlu adanya jaminan bahwa : ..lalu lintas yang damai
di lautan pedalaman bagi kapal asing dijamin selama tidak membahayakan
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
B. Sejarah Hukum Laut Internasional

Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli hukum,
juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek
negara-negara maritim utama. Abad ke-20, dua negara maritim besar, Amerika
Serikat dan Inggris, secara tegas menjadi pendukung utama batas 3 mil

Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut internasional terjadi


setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua yaitu:
a. Evaluasi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen (continental
shelf)
Pengakuan umum atas prinsip landas kontinen memperlihatkan
kulminasi tendensi yang dimulai dari tahun 1945-1951, melalui deklarasi
sepihak, sejumlah negara maritim menyatakan klaim yurisdiksi eksklusif,
pengawasan atau hak-hak berdaulat.
Jika awal timbulnya klaim-klaim terhadap landas kontinen yang
diajukan alasan pembenarannya menyangkut hubungan geografis dan
keamanan. Tujuan sesungguhnya adalah untuk mencadangkan antara lain
sumber minyak dan mineral-mineral yang mungkin terdapat di dasar laut
kawasan landas kontinen tersebut bagi kepentingannya sendiri. Pengumuman
Presiden Amerika Serikat pada September 1945 hanya menyatakan hak-hak
yurisdiksi dan pengawasan atas sumber-sumber daya alam di bawah tanah
dasar laut dan dasar laut landas kontinen, yang jelas mempertahankan
seutuhnya sifat dari perairan landas kontinen sebagai laut bebas serta hak
pelayaran bebas, akan tetapi dalam deklarasi-deklarasi berikutnya dari negara-
negara lain, klaim-klaim tertuju pada kedaulatan pemilikaan atas dasar laut dan
tanah dibawahnya, juga perairan landas kontinen
1. Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara Anglo
Norwegian Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal
tertentu penarikan garis dasar pada jarak tertentu dari garis pantai negara
pesisir terkait, dari mana garis dasar lebar jalur maritim di ukur, sebagai
pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur maritim.
Mengenai penetapan batas jalur maritim dengan menunjuk pada
metode garis pangkal (Baseline metode), akibat dari keputusan
International Court of Justice tahun 1951 dalam Anglo-Norwegian
Fisheries Case. Dalam keputusan tersebut Mahkamah mengatakan bahwa
Dekrit Norwegia bulan Juli 1935 yang menetapkan batas suatu zona
penangkapan ikan ekslusif sepanjang hampir 1000 mil dari garis pantai
Laut Utara pada keluasan tertentu, yang berlaku sebagai jalur maritim
dengan lebar empat mil (lebar yang dipakai oleh Pemerintah Norwegia)
yang membentang dari garis pangkal lurus ditarik melalui 48 titik.
Mulai dengan sidang pertamanya pada tahun 1949, rezim laut lepas
dan rezim jalur maritim telah menarik perhatian dengan topik-topik yang
berkaitan dengan kodifikasi yang dipandang perlu dan memungkinkan
oleh Komisi. Pengkajian atas dua masalah itu berkembang hingga delapan
kali sidang, 1949-1956. Pada saat belangsungnya sidang ke 4 tahun 1952,
Komisi menyatakan pilihan istilah laut teritorial untuk mengganti istilah
jalur maritim.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan
konfrensi pada tahun 1956, dan sesuai dengan rekomendasi-rekomendasi
Komisi, melalui resolusi tanggal 27 Februari 1957. Konferensi tersebut
terdiri dari :
Pertama diselenggarakan di Jenewa mulai dari tanggal 24 Februari
1958 sampai dengan 27 April 1958, dan tugas yang diselesaikannya
dimuat dalam empat buah konvensi, yaitu Konvensi mengenai Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan, Konvensi mengenai Laut Lepas,
Konvensi mengenai Perikanan dan Konservasi sumber-sumber Daya
Hayati di Laut Lepas, dan Konvensi mengenai Landas Kontinen.
Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa yang kedua di Jenewa mulai
dari tanggal 16 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960 meskipun
Konferensi menyetujui suatu resolusi yang menegaskan perlunya
bantuan teknik bagi penangkapan ikan.
Kelanjutan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama
mengenai Perdagangan dan Pembangunan (First United Nations
Conference on Trade and Development), Majelis Umum memutuskan,
pada tanggal 10 Februari 1965, untuk menyelenggarakan konferensi
internasional yang berwenang penuh untuk memikirkan pokok persoalan
mengenai perdagangan transit bagi negara-negara tidak berpantai, dan
untuk mewujudkan hasilnya dan suatu konvensi dan instrumen-instrumen
hukum lainnya yang dianggap sesuai oleh konferensi tersebut. Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan Transit bagi Negara-
negara Tidak Berpantai (United Nations Conference on the Transit Trade
of Land-Locked Countries) diadakan di New York mulai tanggal 7 Juni
1965 sampai dengan 8 Juli 1965, dengan keikutsertaan dari wakil-wakil 58
negara, dan mengeluarkan Konvensi mengenai Perdagangan Transit bagi
Negara-negara Tidak Berpantai (Convention on the Transit Trade of Land
Locked States).
Di luar fakta bahwa keempat konvensi 1958 dan konvensi 1965 telah
menetapkan secara kolektif suatu rezim yang mengatur pemanfaatan, dan
hak-hak yang berkaitan dengan laut lepas dan laut territorial, instrument-
instrumen ini juga sesungguhnya telah membuka jalan bagi dan
menetapkan landasan fundamental bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengenai Hukum Laut yang komprehensif yang telah
ditandatangani Montego Bay - Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.
Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1960 sampai
dengan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 negenai hukum laut
adalah :
Lebar laut territorial secara tepat
Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi
selat-selat yang merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang
seluruhnya merupakan perairan laut territorial
Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan
kepulauan
Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk
kepentingan-kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan

DAFTAR PUSTAKA

Wirjono Prodjodikoro. 1976. Hukum Laut di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.

http://muhammadmusnur.blogspot.com/2012/04/pengertian-hukum-laut-nasional-
dan.html (diakses pada 4 Maret 2015)

Anda mungkin juga menyukai