Anda di halaman 1dari 12

1.

Inflamasi

a. Definisi

Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari


sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan
akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi
pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada
dasarnya merupakan sebuah mekanisme pertahanan terhadap
infeksi dan perbaikan jaringan tetapi terjadinya inflamasi secara
terus-menerus (kronis) juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan
dan bertanggung jawab pada mekanisme beberapa penyakit (Abbas
dkk., 2010).

Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam


pembuluh darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan
perpindahan cairan serta protein plasma di dalam jaringan. Proses
tersebut merupakan langkah pertama untuk menghancurkan benda
asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang
rusak. Tubuh mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat
benda asing dan mikroorganisme yang masuk tubuh atau jaringan
yang rusak tersebut. (Judarwanto, 2012).

b. Mekanisme Inflamasi

Inflamasi dibagi dalam 3 fase, yaitu inflamasi akut (respon


awal terhadap cidera jaringan), respon imun (pengaktifan sejumlah
sel yang mampu menimbulkan kekebalan untuk merespon
organisme asing), dan inflamasi kronis (Katzung, 2004). Proses
inflamasi akut dan inflamasi kronis ini melibatkan sel leukosit
polimorfonuklear sedangkan sel leukosit mononuklear lebih
berperan pada proses inflamasi imunologis 7 (Sedwick &
Willoughby, 1994). Secara umum, dalam proses inflamasi ada tiga
hal penting yang terjadi yaitu :

a. Peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing,


mikroorganisme atau jaringan yang rusak.
b. Peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh
pengerutan sel endotel yang memungkinkan pergerakan
molekul yang lebih besar seperti antibodi.
c. Fagosit bergerak keluar pembuluh darah menuju menuju ke
tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang
rusak. Leukosit terutama fagosit PMN (polymorphonuclear
neutrophilic) dan monosit dikerahkan dari sirkulasi ke tempat
benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak.
(Hamor,1989)

Terjadinya respon inflamasi ditandai oleh adanya dilatasi pada


pembuluh darah serta pengeluaran leukosit dan cairan pada
daerah inflamasi. Respon tersebut dapat dilihat dengan
munculnya gejala-gejala seperti kemerahan (erythema) yang
terjadi akibat dilatasi pembuluh darah, pembengkakan (edema)
karena masuknya cairan ke dalam jaringan lunak serta
pengerasan jaringan akibat pengumpulan cairan dan sel-sel
(Ward, 1993).

Mekanisme terjadinya inflamasi secara umum dapat dilihat


pada Gambar 1 . Adanya rangsang iritan atau cidera jaringan
akan memicu pelepasan mediator-mediator inflamasi. Senyawa
ini dapat mengakibatkan vasokontriksi singkat pada arteriola
yang diikuti oleh dilatasi pembuluh darah, venula dan pembuluh
limfa serta dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler pada
membran sel. Peningkatan permeabilitas vaskuler yang lokal
dipengaruhi oleh komplemen melalui jalur klasik (kompleks
antigen-antibodi), jalur lectin (mannose binding lectin) ataupun
jalur alternatif. 8 Peningkatan permeabilitas vaskuler lokal terjadi
atas pengaruh anafilatoksin (C3a, C4a, C5a). Aktivasi komplemen
C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang
merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel
mast dan basofil untuk melepaskan histamin. Histamin yang
dilepas sel mast atas pengaruh komplemen, meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos, memberikan
jalan untuk migrasi sel-sel leukosit serta keluarnya plasma yang
mengandung banyak antibodi, opsonin dan komplemen ke
jaringan perifer tempat terjadinya inflamasi (Abbas dkk., 2010).

Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Inflamasi (Anonim, 2012)


Sel-sel ini akan melapisi lumen pembuluh darah selanjutnya akan
menyusup keluar pembuluh darah melalui sel-sel endotel (Ward,
1993). Aktivasi komplemen C3a, C5a dan C5-6-7 dapat menarik dan
mengerahkan selsel fagosit baik mononuklear dan polimorfonuklear.
C5a merupakan kemoaktraktan untuk neutrofil yang juga
merupakan anafilatoksin. Makrofag yang diaktifkan melepaskan
berbagai mediator yang ikut berperan dalam reaksi inflamasi.
Beberapa jam setelah perubahan vaskuler, neutrofil menempel
pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga
jaringan, memakan patogen dan melepaskan mediator yang
berperan dalam respon inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan
akan melepaskan sitokin diantaranya IL-1 (interleukin-1), IL-6 dan
TNF- (tumor necrosis factor-) yang menginduksi perubahan lokal
dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut menginduksi koagulasi. IL-1
akan menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel
sedangkan TNF- akan meningkatkan ekspresi selektin-E yang
kemudian menginduksi peningkatan eksresi intracellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-
1). Neutrofil, monosit, dan limfosit mengenali molekul adhesi
tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah selanjutnya
bergerak menuju ke jaringan. IL-1 dan TNF- juga berperan dalam
memacu makrofag dan sel endotel untuk memproduksi kemokin
yang berperan pada influks neutrofil melalui peningkatan ekspresi
molekul adhesi. IFN- (interferon-) dan TNF- akan mengaktifkan
makrofag dan neutrofil yang dapat meningkatkan fagositosis dan
pelepasan enzim ke rongga jaringan (Abbas dkk., 2010). Gambar 2.
Mekanisme Terjadinya Inflamasi (Anonim, 2012) Mediator-mediator
inflamasi dalam keadaan normal akan didegradasi setelah
dilepaskan dan diproduksi secara serempak jika ada picuan. Selama
proses inflamasi berlangsung, diproduksi sinyal untuk
menghentikan reaksi inflamasi. Mekanisme ini meliputi perubahan
produksi mediator proinflamasi menjadi mediator antiinflamasi 10
antara lain antiinflamasi lipoxin, antiinflamasi sitokin, transforming
growth factor- (TGF-) dan perubahan kolinergik yang
menghambat produksi TNF pada makrofag. Sistem tersebut
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya inflamasi yang berlebihan
yang dapat memicu kerusakan jaringan. Hal yang sama juga dapat
terjadi ketika infeksi jaringan yang terjadi terlalu besar dan respon
inflamasi akut yang terjadi tidak mampu mengatasinya. Proses
inflamasi tersebut akan tetap berlangsung terus-menerus dan dapat
memicu terjadinya inflamasi kronis.

MEKANISME NYERI

a. Defenisi
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya
bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut
disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem
sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila
telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan
bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk
mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan
meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang
mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri
inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan
respon inflamasi
Sensitisasi Perifer Cidera atau inflamasi jaringan akan
menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir
nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen
intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+ , pH menurun, sel
inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor.
Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor
(nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan
nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan
berikutnya (nociceptor sensitizers)
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E . 2 akan
mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan
ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di
nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan
muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu
substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi
perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan
berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera
atau inflamasi
Sensitisasi Sentral Sama halnya dengan sistem nosiseptor
perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami
sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab
terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik
dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity
dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron
(transcription dependent)
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas
sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon
perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik
setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris
yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan
jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.
Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan
cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri .

Gambar 2. Mekanisme Nyeri


DEMAM
a. Definisi Demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila


diukur pada rektal >38C (100,4F), diukur pada oral >37,8C, dan
bila diukur melalui aksila >37,2C (99F). (Schmitt, 1984).
Sedangkan menurut NAPN (National Association of Pediatrics Nurse)
disebut demam bila bayi berumur kurang dari 3 bulan suhu rektal
melebihi 38 C. Pada anak umur lebih dari 3 bulan suhu aksila dan
oral lebih dari 38,3 C. Demam mengacu pada peningkatan suhu
tubuh yang berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen
yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya
terhadap toksin bakteri, peradangan, dan ransangan pirogenik lain.
Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas
yang dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh
secara keseluruhan, tetapi bila telah Mekanisme Demam Sebagai
respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag,
dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal
sebagai pirogen endogen IL-1(interleukin 1), TNF (Tumor Necrosis
Factor ), IL-6 (interleukin 6), dan INF (interferon) yang bekerja
pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan
termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang
baru dan bukan di suhu normal. Sebagai contoh, pirogen endogen
meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 C, hipotalamus merasa
bahwa suhu normal prademam sebesar 37 C terlalu dingin, dan
organ ini memicu mekanismemekanisme respon dingin untuk
meningkatkan suhu tubuh (Ganong, 2002). melampaui batas kritis
tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin
pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui. (Sherwood,
2001).

Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa


peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat
sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai
rangsang. Ransangan endogen seperti eksotoksin dan endotoksin
menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan
yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNF, selain IL-6 dan IFN.
Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem saraf pusat tingkat
OVLT (Organum Vasculosum Laminae Terminalis) yang dikelilingi
oleh bagian medial dan lateral nukleus preoptik, hipotalamus
anterior, dan septum palusolum. Sebagai respon terhadap sitokin
tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama
prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2
(cyclooxygenase 2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh
terutama demam (Nelwan dalam Sudoyo, 2006). Mekanisme
demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui
sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1
(machrophage inflammatory protein-1) ini tidak dapat dihambat
oleh antipiretik (Nelwan dalam Sudoyo, 2006). Menggigil
ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,
sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan
cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut
mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam
sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang
disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme
termoregulasi (Sherwood, 2001).
Gambar 3. Mekanisme Demam

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., & Pillai S., 2010, Celullar and
Molecular Immunology, 6th Ed., W.B Saunders Company,
Philadelphia.

Anonim, 2012, Exactly, What is Inflammation?


http://www.inflammationreliefguide.com/health-and-
wellness/what-isinflammation/, 27 Mei 2013.

Ganong, W.F., 2002 , Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.


Diterjemahkan oleh Djauhari Widjajakusumah. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Hamor G.H., 1989, Nonsteroidal anti-inflammatory drugs,


dalam Foye W.O., (Ed.), Principles of Medicinal
Chemistry, 3rd Ed., 503530, Lea & Febiger,
Philadelphia.

Judarwanto, W., 2012, Imunologi Dasar : Radang dan Respon


Inflamasi,
allergyclinic.wordpress.com/2012/02/03/imunologi-
dasar-radang-danrespon-inflamasi/ , 31 Mei 2013.

Katzung, B.G. (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3


Edisi 8. Penerjemah dan editor: Bagian Farmakologi FK
UNAIR. Penerbit Salemba Medika, Surabaya. Hlm 37-41.

Nelwan, R.H.H., 2006. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam:


Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata M.,
dan Setiati, S., Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Keempat. Jilid Ketiga. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 1697-1699.
Sedgwick, A.D. dan Willoughby, D.A. 1994, Animal Models for
Testing Drugs on Inflammatory and Hipersensitivity
Reactions, dalam Dale, M.M. dan Foreman, J.C.,
Textbook of Immunopharmacology, 3rd edition,
Blackwell Scientific Publication, Oxford

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke


Sistem. Edisi 2. Jakarta;EGC

Ward, Kathryn B. 1993. Reconceptualizing Word System


Theory to Include Women. In P. England (ed) Theory on
Gender/ Feminism on Theory. Aldine de Guyter. New
York.

Anda mungkin juga menyukai