Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut The American Collage of Gastroenterology, ulkus peptikum
berasal dari kata ulcer yang berarti luka berl dan kata peptic yang mengacu
pada masalah yang disebabkan oleh asam lambung (Schafer, 2008). Secara
anatomis, ulkus peptikum merupakan defek mukosa/ submukosa yang berbatas
tegas dan dapat menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa
sehingga dapat menyebabkan perforasi. Secara klinis, ulkus adalah hilangnya
epitel dengan diameter 5mm yang dapat diamati secara endoskopi atau radiologi
(Tarigan & Akil, 2009).
Dua jenis ulkus peptikum yang paling sering ditemukan adalah ulkus
gaster dan ulkus duodenum. Nama dari ulkus mengacu pada lokasi anatomis
atau lingkungan di mana ulkus terbentuk. Ulkus gaster di temukan di gaster,
dan ulkus duodenum ditemukan pada beberapa sentimeter pertama usus
halus, tepat di bawah lambung. Pada saat bersamaan seseorang bisa terkena
ulkus gaster dan ulkus duodenum (Prince, 2002; Del, 2005).
2.2 Anatomi, Histologi dan Fisiologi
Lambung merupakan organ yang berbentuk seperti huruf J yang membentuk
curvatura major dan curvatura minor, terletak di regio hipocondrium sinistra dari
permukaan abdomen. Lambung terdiri atas 5 bagian yaitu; Cardia yang
berhubungan langsung dengan esofagus; Fundus yang menjadi atap yang
merupakan perluasan dari cardia; Corpus atau badan lambung; Antrum; dan
Pylorus yang merupakan tempat terdapatnya sfingter pylorus yang memisahkan
lambung dari duodenum (Kasehav, 2004).
Struktur dari dinding lambung secara umum mirip dengan organ intestinal,
dengan tambahan lapisan otot oblique yang membantu secara mekanik dalam
fungsi mengocok dan membantu lambung untuk mengembang. Dinding lambung
dari luar ke dalam tersusun atas: Lapisan Serosa; Lapisan otot longitudinal;
Lapisan otot circular; Lapisan otot oblique; Lapisan submukosa; Muskularis
mukosa; Mukosa yang terdiri dari lamina propria dan epitel columna lambung
dengan kantung lambung (gastric pits) dan kelenjarnya (Kasehav, 2004).

3
4

Gambar 2.1 Regio lambung tampak depan (Burnicardi, 2004)

Gambar 2.2 Struktur dinding lambung (Burnicardi, 2004)

Arteri coeliacus menyuplai darah arteri ke lambung dan darah vena mengalir
ke vena portal hepatis. Lambung mendapat persarafan parasimaptis melalui
nervus vagus (Nervus X) dan simpatis dari nervus Splanicus. Sebagian besar
mukosa lambung dibentuk oleh lipatan-lipatan yang dikenal sebagai rugae.
Lapisan mukus membantu melindungi lambung terhadap trauma mekanik, HCl
dan enzim proteolitik (Kasehav, 2004).
5

Secara Histologi, lambung dilapisi oleh epitel selapis silindris yang


menghasilkan mucus yang tebal serta mengandung bikarbonat untuk mencegah
terjadinya autodigestive dari asam lambung. Mukosa lambung membentuk
cekungan ke arah dalam yaitu Faveola gastric/ gastric pits (sumur lambung) yang
memperluas area penghasil enzim dan zat lainnya (Junqueira, 2007).
Gaster memiliki Kelenjar Tubuloalveolar yang terdiri beberapa sel yang
antaralain (Junqueira, 2007):
Sel Mukus (Sel leher/neck cell) menghasilkan mucus yang bersifat asam
Sel Parietal (Sel HCl) menghasilkan HCl dan faktor intrinsik vit. B12
Sel Zimogen (Chief Cell) menghasilkan pepsinogen yang akan diubah
menjadi pepsin di lumen lambung
Sel Arginafin (enteroendokrin) menghasilkan hormon pengatur yaitu
sekretin, gastrin dan kolesistokinin

Gambar 2.3 Gambaran skematis sel pada kelenjar


Tubuloalveolar (Guyton & Hall. 2006)

Hidroclorida (HCl) dan Pepsinogen merupakan


produk dari sekresi gaster yang mampu
menginduksi kerusakan pada mukosa.Sekresi asam pada
gaster terjadi dalam dua keadaan yakni pada
keadaan basal dan pada keadaan terstimulasi.Pada
keadaan basal, produksi asam dipengaruhi oleh
irama sirkadian impuls kolinergik melalui nervus vagus
dan impuls histaminergik yang berasal dari sumber gaster itu sendiri. Pada
keadaan ini, asam lambung mencapai level puncak pada malam hari dan menurun
hingga level terendah pada pagi hari (Del, 2005).
Produksi asam lambung yang terstimulasi melalui tiga fase antara lain fase
sefalik, fase gastrik dan fase intestinal. Bentuk, aroma dan rasa makanan
merupakan komponen dari fase sefalik yang mampu mempengaruhi sekresi gaster
6

melalui stimulasi nervus vagus. Fase gastrik teraktivasi ketika makanan mencapai
lambung, dimana komponen nutrient menstimulasi Sel Arginafin untuk
mensekresikan gastrin yang mampu menstimulasi aktivasi dari sel parietal. Fase
intestinal diinisiasi ketika makanan mencapai duodenum. Fase penghasilan asam
ini dapat dihambat oleh hormone somatostatin yang dihasilkan oleh sel endokrin
pada mukosa gaster. Somatostatin dapat menghambat secara langsung
(menghambat kerja sel parietal) dan secara tidak langsung (menurunkan produksi
histamin dan pelepasan hormone gastrin dari sel argifinin) (Guyton & Hall. 2006).

Gambar 2.4 Fase Sekresi Gaster


dan Regulasinya (Guyton & Hall.
2006)

Terdapat empat aspek motilitas lambung (Sherwood, 2012):


1. Pengisian Lambung (gastic filling).
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai sekitar 1 liter ketika makan.
Hal ini terjadi karena terdapat dua faktor, yaitu:
a. Plastisitas otot polos yang mengacu pada kemampuan otot polos
mempertahankan ketegangan konstan. Dengan demikian, pada saat serat-
serat otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-serat
tersebut akan melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung saat ia terisi. Di dalam lambung terdapat
lipatan-lipatan yang dikenal sebagai rugae. Selama makan, lipatan-lipatan
tersebut mengecil dan mendatar saat lambung sedikit demi sedikit
7

melemas karena terisi. Relaksasi refleks lambung sewaktu menerima


makanan ini disebut relaksasi reseptif. Relaksasi ini meningkatan
kemampuan lambung untuk menambah volume sehingga makanan bisa
disimpan. Apabila kapasitas lebih dari 1 liter makanan yang masuk,
lambung akan teregang dan individu tersebut akan merasa tidak nyaman
(Sherwood, 2012).
2. Penyimpanan Lambung
Sebagian sel otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang otonom
dan berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di
lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan
potensial gelombang lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang lambung
menuju sfingter pilorus dengan kecepatan tiga kali per menit. Pola
depolarisasi spontan ritmik tersebut yaitu irama listrik dasar atau BER
(basic electical rhythm) lambung, berlangsung secara terus-menerus dan
mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler
lambung.Bergantung pada tingkat eksitabilitas otot polos, BER dapat
dibawa ke ambang oleh aliran arus dan mengalami potensial aksi yang
kemudian memulai kontraksi otot yang dikenal sebagai gelombang
peristaltik. Gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan korpus
lalu ke antrum dan sfingter pilorus. Karena lapisan otot di fundus dan
korpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut melemah
sedangkan di antrum memiliki gelombang yang lebih kuat karena lapisan
otot di antrum lebih tebal. Oleh karena itu, makanan yang masuk ke
lambung dari esofagus tersimpan relatif tenang tanpa mengalami
pencampuran. Makanan secara bertahap disalurkan dari korpus ke antrum,
tempat berlangsungnya pencampuran makanan (Sherwood, 2012).
3. Pencampuran Lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan
bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap
gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke depan ke arah sfingter
pilorus. Kontraksi tonik sfingter pilorus dalam keadaan normal menjaga
sfingter hampir, tetapi tidak seluruhnya, tertutup rapat. Lubang yang tersedia
cukup besar untuk air dan cairan lain lewat, tetapi terlalu kecil untuk kimus
yang kental lewat, kecuali apabila kimus terdorong oleh kontraksi peristaltik
8

yang kuat. Walaupun demikian, dari 30 ml kimus yang dapat ditampung


oleh antrum, hanya beberapa mililiter isi antrum yang terdorong ke
duodenum setiap gerakan peristaltik. Sebelum lebih banyak kimus dapat
diperas keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sfingter pilorus dan
menyebabkan sfingter tersebut berkontraksi lebih kuat sehingga aliran
kimus ke duodenum terhambat. Bagian terbesar kimus antrum yang
terdorong ke depan, tetapi tidak dapt didorong ke dalam duodenum dengan
tiba-tiba berhenti pada sfingter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam
antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada saat
gelombang peristaltik baru datang. Gerakan maju mundur tersebut disebut
retropulsi, menyebabkan kimus tercampur merata di antrum (Sherwood,
2012).
4. Pengosongan Lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung,
juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung.
Pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung (jumlah kimus dalam
lambung dan derajat keenceran dari kimus dan faktor dudenum (lemak,
asam, hipertonisitas, dan peregangan). Semakin tinggi eksitabilitas, semakin
sering BER menghasilkan potensial aksi, semakin besar aktivitas di antrum,
dan semakin cepat pengosongan lambung (Sherwood, 2012).
2.3 Epidemiologi
Insidens dan prevalensi dari ulkus peptikum telah menurun pada tahun
terakhir yang sebagian besar dikarenakan ditemukannya pengobatan eradikasi
bakteri H. pylori. Meskipun terjadi kemajuan dalam pengobatannya ulkus ini,
komplikasi tetap menjadi masalah. Ini dapat dikarenakan oleh peningkatan
pengunaan ASA dan NSAIDs dan seiring dengan peningkatan usia. Penemuan
dari berbagai studi menemukan insiden tiap tahun dari perdarahan ulkus sekitar
19,4 - 57,0 kasus per 100,000 individu dan perforasi sekitar 3,8 - 14 kasus per
100,000 individu. Komplikasi ini juga sering dihubungkan dengan peningkatan
terjadinya ulkus rekuren dan mortalitas (Tarigan & Akil, 2009).
Penyebaran penggunaan ASA dan NSAIDs kemungkinan memberikan
konstribusi terhadap komplikasi ulkus peptikum. Beberapa studi telah melaporkan
9

peningkatan risiko perdarahan kembali ketika terjadi infeksi H. pylori dengan


penggunaan ASA/NSAIDs secara bersamaan (Tarigan & Akil, 2009).
Di United States, ulkus peptikum terjadi pada sekitar 4,5 juta orang. Secara
keseluruhan, insiden dari ulkus duodenum menurun dalam 3-4 dekade terakhir.
Meskipun tingkat dari ulkus lambung sederhana menurun, insiden dari komplikasi
ulkus lambung dan rawat inap tetap stabil, karena penggunaan aspirin dan
peningkatan usia. Tingkat rawat inap dari ulkus lambung sekitar 30 pasien per
100,000 kasus (Tarigan & Akil, 2009).

Prevalensi terjadinya ulkus peptikum hampir sama pada laki-laki dan


perempuan. Prevalensinya sekitar 11-14% pada pria dan 8-11% pada wanita.
Kecenderungan usia untuk terjadinya ulkus menurun pada pria yang lebih muda,
terutama untuk ulkus duodenum dan meningkat pada wanita yang lebih tua
(Tarigan & Akil, 2009).

Secara klinis ulkus duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus lambung.
Pada beberapa negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak ulkus lambung
daripada ulkus duodeni (Tarigan & Akil, 2009).
2.4 Etiologi
Umumnya yang berperan besar pada terjadinya ulkus adalah H. Pylori yang
merupakan organisme penghasil urease dan berkoloni pada mukosa antral dari
lambung yang merupakan penyebab tersering ulkus duodenum dan ulkus
lambung. H. Pylori paling banyak terjadi pada orang dengan sosialekonomi
rendah dan bertambah seiring dengan usia. Penyebab lain dari ulkus peptikum
adalah penggunaan NSAIDs, kurang dari 1% akibat gastrinoma (Zollinger-Ellison
syndrome), luka bakar berat, dan faktor genetik. Selain itu, faktor resiko
terjadinya ulkus yakni herediter (berhubungaan dengan peningkatan jumlah sel
parietal), merokok, hipercalcemia, mastositosis, alkohol, dan stress (Townsend et
al., 2004).
2.5 Patofisiologi
1. Faktor Asam Lambung No Acid No Ulcer
Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/
zimogen mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin
10

dimana HCl dan pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH <
4. Bahan iritan akan menimbulkan defek barier mukosa dan terjadi difusi
balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam
lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler,
kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan ulkus lambung
(Kasehav, 2004;Tarigan & Akil, 2009).
Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi
oleh sel G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan
histamin dilepaskan oleh sel entero-chromaffin-like (ECL), yang semuanya
menstimulasi reseptor pada sel parietal yang merupakan penghasil asam
(Kasehav, 2004;Tarigan & Akil, 2009).
2. Balance Theory 1974
Ulkus terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor
agresif/ asam dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah,
PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensif menurun (Tarigan &
Akil, 2009).
3. Infeksi Helicobater Pylori (HP)
Helicobater pylori pada gambar 2.5 merupakan bakteri gram negatif
berbentuk basil. Bakteri ini pertama kali dapat dikultur tahun 1982 di Perth
Australia. Bakteri ini mampu menghasilkan urease yang menyebabkan
bakteri ini mampu bertahan dalam pH asam gaster. Urease dihasilkan 6%
dari total protein bakteri. Bakteri ini juga menghasilkan VacA (Vacuolating
Cytotoxin) yang menyebabkan apoptosis pada sel eukariotik dengan cara
pembentukan vakuola sitoplasma multipel berukuran besar (Prescott, 2002;
Ryan, 2004).
11

Gambar 2.5 Helicobacter pylori pada mukosa gaster menggunakan mikroskop


electron (Prescott, 2002)

Helicobater pylori terkolonisasi pada sel gaster yang memproduksi


mucus untuk bertahan dari asam lambung. Kemudian, bakteri ini melekat
pada glikoprotein yang terdapat di permukaan dari sel epitel dengan
menggunakan fimbriae. Selanjutnya bakteri akan berpindah ke lapisan
mukosa. Pada keadaan tersebut, urease yang dihasilkan bakteri memecah
urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang melindungi kuman
tersebut terhadap asam lambung. Ketika bakteri melakukan aktivitas pada
lapisan mukosa gaster, mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi dengan
adanya infiltrasi dari sel-sel mononuclear pada lapisan lamina propria.
Infeksi HP juga menyebabkan terjadinya hipersekresi dari asam lambung
dan terjadinya inflamasi, reaksi ini akan terus meningkat hingga mampu
memicu terjadinya inflamasi hebat dengan munculnya netrofil, limfosit serta
terbentuknya mikroabses. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan oleh efek
dari urease dan VacA. Selain itu, adanya bakteri ini pada mukosa mampu
menstimulasi NAP (Neutrophil Activating Protein). Proses inflamasi yang
terus menerus ini mengakibatkan terjadinya kematian pada sel epitel dan
memicu terjadinya ulkus (Prescott, 2002; Ryan, 2004).
4. Obat Anti Inflamasi Non- Steroid (OAINS)
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat
(ASA) merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dalam
12

berbagai keperluan. Pemakaian OAINS/ASA secara kronik dan reguler


dapat menyebabkan terjadinya resiko perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat
dibanding yang tidak menggunakannya (Townsend, 2004; Tarigan & Akil,
2009).
Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal
penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/ iritasi langsung pada
mukosa yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga
terjadi kerusakan epitel dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama
adalah efek OAINS/ASA yang menghambat kerja dari enzim
siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi
prostaglandin/prostasiklin. Seperti diketahui, prostaglandin endogen sangat
berperan dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah
mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur
fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung (Townsend,
2004; Tarigan & Akil, 2009).
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada
penggunaan OAINS/ ASA melalui 4 tahap, yaitu : menurunnya sekresi
mukus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel
mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan mikrovaskular
yang diperberat oleh kerja sama platelet dan mekanisme koagulasi
(Townsend, 2004; Tarigan & Akil, 2009).
5. Faktor pathogenesis yang tidak berhubungan dengan OAINS dan
Helicobater pylori pada Ulkus Peptikum
Kebiasaan merokok memiliki keterlibatan dalam pathogenesis ulkus
peptikum. Pada perokok insidensi ulkus peptikum terjadi lebih sering
dibandingkan pada orang yang bukan perokok, Beberapa hipotesis
menyebutkan rokok mampu menurunkan produksi bikarbonat pada
duodenum proksimal, peningkatan risiko infeksi Helicobater pylori dan
menginduksi pembentukan radikal bebas yang berbahaya terhadap mukosa
(Del, 2008; Schafer, 2008).
Faktor psikologis tidak memiliki hubungan bermakna terhadap insiden
ulkus. Faktor psikologis ini lebih dikaitkan dengan insiden Dyspepsia Non
Ulcer. Pola diet memiliki keterkaitan dengan terjadinya ulkus peptikum.Dari
13

penelitian didapatkan bahwa konsumsi alcohol dan kafein memiliki


hubungan bermakna dengan insidensi ulkus peptikum (Del, 2008; Schafer,
2008).
2.6 Penegakan Diagnosa
2.6.1 Gejala Klinis
Nyeri abdomen adalah gejala umum yang ditemukan pada pasien dengan
gangguan pencernaan. Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya
mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala
pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa
terbakar, rasa penuh dan cepat merasa kenyang. Nyeri epigatrium pada ulkus
peptikum dirasakan seperti terbakar atau seperti digerogoti (Price, 2002; Tarigan
& Akil, 2009).
Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa
sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan
(nyeri muncul kembali nyeri muncul 90 menit 3 jam setelah makan) dan minum
obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang dirasakan seperti
rasa terbakar, rasa tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisir (Schafer,
2008; Tarigan & Akil, 2009).
Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan (dipicu oleh makanan),
rasa sakit di rasakan sebelah kiri, mual, anoreksia, nafsu makan berkurang, dan
penurunan berat badan. Nyeri yang terus menerus, menjalar hingga punggung
tidak berkurang dengan makanan atau antasida mengindikasikan adanya penetrasi
ke pancreas. Nyeri yang muncul tiba-tiba pada semua regio abdomen
menunjukkan adanya perforasi. Pada gejala nyeri yang disertai dengan muntah
makanan yang belum tercerna mengindikasikan adanya obstruksi lambung. BAB
yang berwarna hitam menunjukkan adanya perdarahan pada gaster (Del, 2005;
Tarigan & Akil, 2009).
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Tidak banyak tanda fisik yang dapat ditemukan selain kemungkinan adanya
nyeri palpasi epigastrium, kecuali bila telah terjadi komplikasi dari ulkus.
Takikardi menunjukkan adanya dehidrasi sekunder akibat muntah atau kehilangan
darah aktif melalui saluran cerna. Nyeri tekan yang ditemukan pada semua regio
14

abdomen menunjukkan adanya perforasi lambung (Schafer, 2008; Tarigan & Akil,
2009).
2.6.3 Diagnosa dan Diagnosa Banding
Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan: 1) anamnesis (dispepsia/
rasa sakit pada ulu hati); 2) pemeriksaan penunjang (radiologi dengan barium
meal kontras/ colon in loop dan endoskopi); dan 3) hasil biopsi untuk pemeriksaan
kuman H. Pylori (Pierce, 2002; Tarigan & Akil, 2009).
Radiografi dengan barium paling umum digunakan untuk menegakkan
ulkus peptikum. Tingkat sensitivitas mencapai 90%. Gambaran radiologi pada
ulkus peptikum dapat dilihat pada Gambar 2.6. Endoskopi lebih sensitif dan
spesifik dalam menilai adanya gangguan gastrointestinal. Selain itu, endoskopi
memungkinkan untuk melihat visualisasi langsung dari mukosa gaster dan
duodenum, serta mampu mengambil sampel jaringan untuk mengesampingkan
kemungkinan keganasan. Pemeriksaan endoskopi mampu mengidentifikasi lesi
berukuran kecil yang tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi.
Gambaran endoskopi ulkus peptikumdapat dilihat pada Gambar 2.7 (Del,2005;
Schafer, 2008).

Gambar 2.6 Gambaran Radiologi Barium pada Ulkus Peptikum (Harrison's, 2008)
15

Gambar 2.7
Gambaran
Ulkus
Dueodenum dan Ulkus
Gaster pada Ulkus
Menggunakan Endoskopi (Harrison's, 2008)

Untuk mendeteksi penyebab dari ulkus peptikum dapat menggunakan


beberapa modalitas. Deteksi infeksi Helicobater pylori dapat memanfaatkan tes
deteksi antibodi pada serum dan rapid urease test pada biopsi antral. Urea breath
test umumnya digunakan untuk mengetahui eradikasi dari H. Pylori jika perlu
(Del,2005; Schafer, 2008).
2.7 Terapi
Tujuan terapi pada ulkus peptikum adalah untuk menghilangkan keluhan/
gejala, menyembuhkan/ memperbaiki kesembuhan ulkus, mencegah kekambuhan/
rekurensi ulkus, dan mencegah komplikasi. Walaupun ulkus lambung dan ulkus
duodenum sedikit berbeda dalam patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama
yang terdiri dari: Non-medikamentosa, medikamentosa, dan tindakan operasi
(Pierce, 2002; Burnicardi, 2004; Tarigan & Akil, 2009).
2.7.1 Non Farmakologi
Penderita ulkus peptikum harus mulai memperhatikan pola dan asupan
makanan. Pola makan dengan jumlah besar harus mulai dihindari karena mampu
membebani lambung. Menghindari makan malam 3-4 jam sebelum tidur karena
dapat memicu pelepasan gastrin dan HCl yang lebih banyak. Pola makan yang
diajurkan adalah pola makan dengan jumlah kecil namun dengan intensitas yang
ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja gaster dan
menurunkan sekresi asam lambung yang mampu menimbulkan sensasi nyeri.
Pasien diminta untuk mengurangi konsumsi alkohol, kafein, kopi, makanan yang
16

pedas atau asam, soda dan bir yang memiliki keterikatan dengan kejadian ulkus
peptikum (Tarigan & Akil, 2009).
Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi
dapat memperlambat pemyembuhan ulkus, menghambat sekresi bikarbonat
pankreas, menambah refluks dudenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus
sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus serta meningkatkan angka kematian
karena efek peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan dan penyakit
jantung koroner (Tarigan & Akil, 2009).
2.7.2 Farmakologi
Ada beberapa obat-obatan yang menjadi modalitas dalam pengobatan ulkus
peptikum antaralain:
1. Penetralisir Asam (Antasida)
Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan HCl
menghasilkan garam dan air. Ia juga memiliki sifat protektif terhadap
mukosa dengan menstimulasi produksi prostaglandin. Antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Pada saat ini
antasida sudah jarang digunakan, Efek samping penggunaan antasida bervariasi
sesuai dengan bentuk dan sediaan dari antasida. Preparat yang mengandung
magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan
hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan
konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek
samping. Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc (Tarigan & Akil, 2009;
Laurence, 2011).
2. Antagonis Reseptor H2
Obat-obat ARH2 adalah cimetidine, ranitidine, famotidine (paling poten),
dan nizatidine. Mekanisme kerjanya memblokir efek histamin pada sel parietal
sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam
lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel. Antagonis H2 sangat efektif
menginhibisi sekresi asam pada malam hari, sekitar 90%, yang mana
sekresinya sangat bergantung terhadap histamin. Namun pengaruhnya menurun
menjadi sekitar 60-80% pada siang hari karena sekresi asam di siang hari
utamanya dipengaruhi oleh gastrin dan asetilkolin akibat adanya makanan yang
masuk (Del,2005; Tarigan & Akil, 2009).
17

Antagonis reseptor H2 diserap di lumen intestinal kecuali nizatidine.


Selanjutnya akan mengalami metabolisme first pass di hati. Antagonis H2
dieliminasi melalui metabolisme hati, filtrasi glomerulus, dan sekresi tubular.
Obat ini dapat melewati plasenta dan juga dapat disekresikan ke dalam ASI.
Oleh karena itu, sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil dan menyusui
bila tidak mendesak. (Del,2005; Tarigan & Akil, 2009).
Dosis terapeutik :
Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari
Ranitidin : 300 mg malam hari
Nizatidine : 1x300 mg malam hari
Famotidin : 1x40 mg malam hari
Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari
3. Proton Pump Inhibitor (PPI)
Obat yang termasuk dalam golongan PPI adalah Omeprazol, Lanzoprazol,
pantoprazol, Rabeprazol, Esomesoprazol. Mekanisme kerja PPI adalah
memblokir kerja enzim K+ H+ ATPase yang akan memecah K+ H+ ATP
menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari
kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran
asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien
ulkus, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan pH>4 serta
meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen (Tarigan & Akil, 2009).
Dosis Terapetik :
Rabeprazole 2x 20 mg/ hari
Omeprazole 2x 20 mg/ hari
Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari
Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari
Pantoprazole 2x 40 mg/ hari
4. Agen Protektif Mukosa
a. Sukralfat
Suatu kompleks garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti dengan
aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja dalam lambung,
sukralfat dan air akan membentuk pasta kental yang melindungi ulkus
atau erosi hingga 6 jam. Sukrosa sulfat yang bermuatan sangat negatif akan
18

berikatan dengan dasar ulkus/ erosi yang bermuatan positif. Terbentuk


barrier fisik sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut. Barier ini akan
memberi kesempatan sel dibawahnya untuk mensekresikan Prostaglandin
dan HCO3 untuk perbaikan mukosa. Sehingga efek dari sukralfat yakni
membantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan mukus,
meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal. Obat ini hampir tak
dapat diserap tubuh dan dikeluarkan bersama feses. Dosis anjuran 4x1 gr
sehari (Tarigan & Akil, 2009; Laurence, 2011).
b. Analog Prostaglandin
Mukosa saluran cerna mensintesi sejumlah prostaglandin terutama PGE
dan PGF. Misoprostol adalah senyawa metil yang analog dengan PGE1.
Misoprostol memiliki fungsi ganda, sebagai penghambat sekresi asam
sekaligus pelindung mukosa. Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam
lambung menambah sekresi mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran
darah mukosa serta pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan
sekresi asam lambung kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya
digunakan sebagai penangkal terjadinya ulkus lambung pada pasien yang
menggunakan OAINS. Dosis anjuran 4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan
malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi
otot uterus sehingga tidak dianjuran pada orang hamil dan yang
menginginkan kehamilan. Namun setelah melahirkan, obat ini dapat
diberikan karena mampu menghentikan perdarahan post-partum. (Tarigan &
Akil, 2009; Laurence, 2011).
c. Koloid Bismuth
Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal
bersama protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap pengaruh
asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG,
bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS
neuro toksik (Tarigan & Akil, 2009).
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta
adanya efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga
kemungkinan relaps berkurang. Dosis anjuran 2x2 tablet sehari dengan efek
samping berupa tinja berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan
dengan perdarahan (Tarigan & Akil, 2009).
19

d. Regimen Terapi Helicobacter Pylori


Terapi Triple. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama
digunakan adalah: bismuth, metronidazole, tetrasiklin. Regimen triple terapi
(PPI 2x1, Amoxicillin 2x1000, klaritromisin 2x500, metronidazole 3x500,
tetrasiklin 4x500) dan yang banyak digunakan saat ini:
1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin
2x500
2. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila alergi
penisilin)
3. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000
4. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap
klaritromisin dan penisilin
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari
rabeprazole. Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk
kesembuhan ulkus, bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi.
Keberhasilan eradikasi sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi
20-30% (Tarigan & Akil, 2009).
Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya efek
samping dan compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan
pasca eradikasi biasanya suatu rekurensi denfan infeksi kuman lain.
Tujuan eradikasi HP adalah mengurangi keluhan/gejala, penyembuhan
ulkus, mencegah kekambuhan. Eradikasi selain dapat mencegah
kekambuhan ulkus, juga dapat mencegah perdarahan dan keganasan
(Tarigan & Akil, 2009).
Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka dianjurkan
memberikan regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth
subsalisilat 4x2 tab, MNZ 4x250, Tetrasiklin 4x500, bila bismuth tidak
tersedia diganti dengan triple terapi. Bila belum berhasil, dianjurkan kultur
dan tes sensitivitas (Tarigan & Akil, 2009).
2.7.3 Operasi
Tindakan operasi dilakukan pada keadaan:
1. Elektif (gagal pengobatan/ ulkus refrakter)
2. Darurat (komplikasi: perdarahan, perforasi, stenosis pilorik)
3. Ulkus lambung dengan keganasan
20

Terdapat tiga tindakan operasi yang dilakukan pada ulkus lambung, yaitu:
highly selective vagotomy (HSV), vagotomi dan drainage, vagotomi dan
gastrectomi distal.
2.8 Komplikasi
1. Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya (Tarigan & Akil, 2009):
- Perdarahan: hematemesis/ melena dengan tanda syok apabila
perdarahan masif dan perdarahan tersembunyi
- Anemia: Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan darahn
berlebihan dan anemia kronik
- Perforasi: nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
- Penetrasi tukak yang mengenai pankreas: timbul nyeri tiba-tiba yang
terasa tembus kebelakang
- Stenosis Psilorik/ Gastric Outlet Obstruction : keluhan pasien akibat
komplikasi ini berupa cepat kenyang, mual, muntah berisi makanan tak
tercerna, perut terasa kembung, sakit perut setelah makan/ post prandial,
berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat peradangan daerah
peri pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi permanen akibat
fibrosis dari suatu tukak akan menyebabkan mekanisme pergerakan
antro duodenal terganggu.
2. Komplikasi Operasi (Tarigan & Akil, 2009):
- Komplikasi primer akibat perubahan anatomi gaster paska operasi
- Semakin radikal tindakan operasi maka semakin kurang kekambuhan
tukak, tapi semakin meningkatkan komplikasi paska operasi.
2.9 Prognosis
Prognosis dari ulkus peptikum tergantung dari perjalanan penyakit dan
komplikasi yang terjadi. Kebanyakan pasien berhasil diobati dengan eradikasi
infeksi H pylori, menghindari NSAID, dan penggunaan terapi anti sekresi yang
tepat. Eradikasi infeksi H pylori menurunkan tingkat kekambuhan ulkus dari 60-
90% menjadi sekitar 10-20% (Anand, 2011).

Anda mungkin juga menyukai