Anda di halaman 1dari 12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Erosi
1. Pengertian Erosi
Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya suatu tanah atau bagian-bagian
tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Erosi
menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air (Arsyad 1989). Menurut Kartasapoetra et al.(2005), erosi disebut
juga sebagai pengikisan atau kelongsoran, dimana sesungguhnya merupakan
proses penghanyutan tanah oleh desakan atau kekuatan air dan angina, baik yang
berlangsung secara alami maupun sebagai akibat dari tindakan manusia.
Dua penyebab erosi yang utama terjadi secara alami dan aktivitas manusia.
Erosi alami terjadi karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang terjadi
untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Erosi karena faktor
alami biasanya masih memberikan media sebagai tempat tumbuh tanaman.
Sedangkan erosi yang terjadi karena kegiatan manusia, biasanya disebabkan oleh
terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat praktek bercocok tanam yang tidak
memperhatikan kaidah konservasi tanah maupun dari kegiatan pembangunan yang
bersifat merusak keadaan fisik tanah seperti pembuatan jalan di tempat dengan
kemiringan lereng besar (Asdak 2010).
Di negara tropis seperti diyang Indonesia, penyebab erosi yang paling
utama berasal dari hujan. Curah hujan dan intensitas yang tinggi, persentase
tutupan lahan dan sifat tanah merupakan penyebab erosi itu sendiri. Periode paling
rawan erosi adalah saat pengolahan tanah dan pada awal pertumbuhan tanaman.
Pada periode ini, sebagian besar permukaan tanah terbuka, menyebabkan butir-
butir hujan dapat memecah bongkah-bongkah tanah menjadi hancur dan terbawa
aliran permukaan (Rachman et al. 1990).
Erosi merupakan masalah yang besar terutama di daerah dengan curah
hujan yang tinggi seperti di Sumatera Selatan. Sebenarnya erosi masih terjadi
walaupun tanah dibawah vegetasi hutan, walau demikian jumlahnya kecil atau

3
dikatakan masih dibawah toleransi sekitar 11 ton/ha/th. Begitu lahan dibuka untuk
pertanian maka biasanya erosi akan dipercepat, selanjutnya kesuburan tanah juga
akan cepat menurun. Kesuburan tanah yang menurun disebabkan oleh terbawanya
unsur bersama tanah yang tererosi, disamping pencucian secara lateral di lahan
yang miring, seperti pada hasil penelitian selama 6 tahun oleh Castro dan
Rodriguez (1955 dan 1958) cit. Sanchez(1976).
Di Indonesia, erosi yang terjadi juga sangat besar, terutama di tanah-tanah
yang diberakan atau lahan yang baru dibuka dan tanaman utama belum menutupi
tanah. Tanah Regosol yang ditanami jagung dan dibuat teras gulud dan bangku
dapat menekan kehilangan hara sebesar 80 hingga 95%, dan menekan kehilangan
tanah dari 8 mm menjadi 1.6 dan 0.4 mm (Carson dan Utomo 1986). Sudirman et
al. (1986) melakukan penelitian dengan menanam Kedelai di tanah Kambisol
Distrik Jambi, ternyata dengan hilangnya lapisan atas tanah setebal 10,20, 40 dan
60 cm telah menurunkan produksi kedelai masing-masing sebesar 48, 65, 79 dan
88% dibandingkan dengan produksi di tanah yang tidak tererosi.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi et al. (2012), diperoleh hasil bahwa
erosi yang terjadi pada DAS Saba tergolong sangat ringan sampai sangat berat.
Erosi sangat ringan sebesar 0,16 sampai 12,32 ton/ha/th, terdapat pada unit lahan
1, 2, 27, 28, 29 (Desa Pujungan), 9, 15 (Desa Pupuan), 13 (Desa Pucaksari), 21 24
(Desa Patemon), 22 (Desa Ringdikit), 23 (Desa Pengastulan) dan 25 (Desa
Bengkel), dengan luas 3.337,616 hektar (26,19 %). Erosi ringan sebesar 37,94
ton/ha/th terdapat pada unit lahan 12 (Desa Bantiran), dengan luas 399,585 hektar
(3,14 %). Erosi sedang sebesar 76,26 sampai 165,80 t/ha/th, terdapat pada unit
lahan 4, 7, 30 (Desa Pujungan),10 (Desa Subuk), 18 (Desa Kedis), 19 (Desa
Bengkel) dan 26 (Desa Patemon), dengan luas 6.101,079 hektar (47,89 %). Erosi
berat sebesar 192,02 sampai 403,63 t/ha/th, terdapat pada unit lahan 3, 5 (Desa
Pujungan), 6 (Desa Pupuan), 14, 20 (Desa Subuk), 16 (Desa Ularan), 17 (Desa
Kedis), dengan luas 1.852,339 hektar (14,54 %). Erosi sangat berat sebesar 545,97
sampai 728,60 t/ha/th, terdapat pada unit lahan 8 (Desa Pujungan) dan 11 (Desa
Subuk), dengan luas 1.049,935 hektar (8,24 %).
2. Faktor-faktor Erosi
a. Erosivitas Hujan (R)
Erosivitas hujan merupakan kemampuan air hujan dalam menghancurkan
dan menghanyutkan partikel tanah. Di daerah beriklim basah/tropis, faktor iklim
terutama hujan merupakan penyebab yang utama. Besarnya curah hujan,
intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap
tanah, jumlah aliran permukaan serta tingkat erosi yang terjadi.
Tenaga pendorong (driving force) yang menyebabkan terkelupasnya dan
terangkatnya partkel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah dikenal dengan
istilah Erosivitas hujan (R). Erosivitas hujan sebagian terjadi karena aliran air di
atas permukaan tanah. Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi
adalah sumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan yang keduanya
mempengaruhi besarnya energi kinetik air hujan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa erosivitas hujan sangat berkaitan dengan energi kinetik, yaitu
parameter yang berasosiasi dengan laju curah hujan atau volume hujan (Asdak
1995). Penentuan nilai erosivitas hujan bulanan diperoleh melalui persamaan
berikut:
IR = 2,21 P1,36
Keterangan:
IR : faktor erosivitas hujan (KJ/ha/tahun)
P : curah hujan bulanan (cm)
(Hardjowigeno dan Sukmana 1995).
b. Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah merupakan kepekaan tanah terhadap proses erosi yang
terjadi. Erodibilitas tanah ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang
meliputi tekstur, struktur, kandungan bahan organik, dan susunan kimia tanah.
Selain dari keempat faktor itu, masih ada faktor lain yang berpengaruh terhadap
erodibilitas tanah, yaitu faktor kedalaman tanah, topografi, kemiringan lereng,
serta aktivitas manusia. Nilai erodibiltas tinggi berarti tanah peka atau mudah
mengalami erosi, dan sebaliknya jika erodibilitas rendah berarti tanah sukar untuk
tererosi (Syarief 1989). Besar nilai K ditentukan oleh tekstur tanah, struktur tanah,
permeabilitas tanah dan bahan organik tanah.
Erodibilitas tanah (K) adalah kepekaan tanah terhadap erosi. Erodibilitas
tanah dapat diduga dengan menggunakan nomograf (Gambar 1) (Wischmeier et
al. 1971). Sifat-sifat tanah yang menentukan besarnya nilai K berdasarkan
nomograf tersebut adalah: (1) persen kandungan debu dan pasir halus, (2) persen
kandungan pasir, (3) persen kandungan bahan organik, (4) struktur tanah, dan (5)
permeabilitas tanah. Untuk itu diperlukan angka hasil penetapan sifat-sifat tanah
seperti tekstur dengan 4 fraksi (pasir kasar, pasir halus, debu, dan liat) dan
bahan organik tanah, sedangkan struktur dan permeabilitas ditetapkan berdasarkan
hasil pengamatan di laboratorium.

Gambar 1. Nomograf untuk menentukan besarnya faktor K (Wischmeier


et al. 1971)

Erodibilitas tanah dikatakan tinggi apabila tanah itu peka terhadap erosi,
dan erodibilitas tanah dikatakan rendah apabila daya tahan tanah kuat sehingga
tahan terhadap erosi (Kartasapoetra 2005).Berbagai tipe tanah mempunyai
kepekaan terhadap erosi yang berbeda, tergantung fungsi interaksi antara sifat-
sifat fisik tanah yang ada pada suatu lahan. Sifat-sifat fisik yang mempengaruhi
erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi infiltrasi, permeabilitas, dan
kapasitas menahan air (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur
tanah terhadap dispersi dan penghancuran agregat tanah oleh tumbukan butir-butir
hujan dan aliran permukaan (Arsyad 2010).
Perhitungan nilai K adalah sebagai berikut:
100K = 1,292 (2,1) M1,14 (10-4) (12 a) + 3,25(b 2) + 2,5(c 3)

Dimana:
K : erodibilitas tanah
M : (% debu +% pasir sangat halus) (100 - % klei), bila data tekstur
yang tersedia hanya fraksi pasir, debu dan klei, maka % pasir
sangat halus dianggap 1/3 dari pasir
a : % bahan organik
b : nilai/kode struktur tanah (Tabel 1)
c : nilai permeabilitas (tabel 2. )
Tabel 1. Kode Struktur Tanah untuk Menghitung Nilai K
Kelas Struktur Tanah () Kode
Gnanuler sangat halus (<1 mm) 1
Granuler halus (1 - 2 mm) 2
Granuler sedang sampai kasar (2 10 mm) 3
Berbentuk blok, blocky, plat, massif 4
Sumber : Suripin 2002
Untuk menghitung Permeabilitas tanah, menggunakan rumus:
Kp = Q x L/T x H x A (cm/jam)
Keterangan:
Kp = Permeabilitas tanah
Q = banyaknya air yang mengalir (ml)
L = tebal contoh tanah (cm)
T = waktu pengukuran (jam)
H = tinggi permukaan air dari permukaan tanah bagian atas (cm)
A = luas permukaan sampel tanah (cm2)
Tabel 2. Kode Permeabilitas untuk Menghitung Nilai K
Kelas permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode
Sangat lambat <0.5 1
Lambat 0.5 2.0 2
Lambat-sedang 2.0 6.3 3
Sedang 6.3 12.7 4
Sedang-cepat 12.7 25.4 5
Cepat >25.4 6
Sumber : Suripin 2002
Tabel 3. Nilai M untuk Beberapa Tekstur Tanah
Kelas tekstur tanah Nilai M
Klei berat 210
Klei sedang 750
Klei pasiran 1213
Klei ringan 1685
Geluh lempungan 2160
Pasir lempung liatan 2830
Geluh lempungan 2830
Pasir 3035
Pasir geluhan 1245
Geluh berlempung 3770
Geluh pasiran 4005
Geluh 1390
Geluh liatan 6330
Liat 8245
Campuran merata 4000
Sumber : Suripin 2002
Tabel 4. Klasifikasi Nilai Erodibilitas Tanah (K)
Kelas Nilai K Pengharkatan
1 0-0.1 Sangat rendah
2 0.11-0.2 Rendah
3 0.21-0.32 Sedang
4 0.33-0.40 Agak tinggi
5 0.41-0.55 Tinggi
6 0.56-0.64 Sangat tinggi
Sumber : Arsyad 1989
c. Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)
Topografi memiliki peran dalam menentukan kecepatan aliran permukaan
yang membawa partikel tanah saat terjadinya erosi atau kerusakan tanah. Faktor
indeks topografi L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang lereng dan
kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Panjang lereng mengacu kepada aliran
permukaan, yaitu (Asdak 2002).
Panjang lereng dibatasi sebagai jarak dari titik puncak lahan menuju titik
lain dengan lereng menurun sampai luasan daerah pengendapan terjadi, atau aliran
permukaan memasuki saluran dengan batas yang jelas (Foth 1991).
Faktor LS, kombinasi antara panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
merupakan nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan
kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari dari plot lahan (Suripin 2002).
Kemiringan lereng dapat dinyatakan dalam derajat (o) atau persen (%).
Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap limpasan, sehingga semakin
curam lereng, semakin besar pula kecepatan limpasan yang terjadi (Munir 2003).
Tabel 5. Nilai Faktor Lereng (LS)
Pendapat Rumus
Wischmeier (1973) LS = 1/2 (0.00138 S2 +n0.00965 S + 0.0138)
Arsyad (1989) LS =
Wischmeier dan Smith (1978)
LS = { } [ ]
Sumber : Asdak 1995
Keterangan: : panjang lereng (m)
S : kemiringan lereng (%)
d. Pengelolaan Tanaman/Vegetasi (C)
Faktor C menyatakan nisbah antara besarnya erosi (Nisbah Erosi atau NE)
yang terjadi dari suatu areal dengan tanaman penutup dan pengelolaan tertentu
terhadap besarnya erosi dari tanah terbuka tanpa tanaman dan diolah.Pengaruh
vegetasi penutup lahan terhadap erosi adalah melindungi permukaan tanah dari
tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan aliran, menahan partikel-partikel
tanah pada tempatnya, dan mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam
menyerap air (Asdak 1995).
Menurut Darmawijaya (1992), vegetasi dapat digunakan sebagai petunjuk
terhadap kemampuan tanah atau sifat-sifat tanah tertentu. Perbedaan vegetasi
merupakan indikator perbedaan jenis tanah. Sementara menurut Reyes (2007),
vegetasi dan penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh keadaan tanah dan
ketersediaan air. Lain halnya dengan Hardjowigeno dan Soleh (1995), berpen-
dapat bahwa vegetasai dapat mempengaruhi besarnya erosi. Pengaruh vegetasi
terhadap erosi antara lain : (1) menghalangi hujan agar tidak langsung jatuh ke
permukaan tanah atau dengan kata lain mengurangi kekuatan dalam
menghancurkan tanah, (2) menghambat aliran permukaan dan memperbanyak
infiltrasi, (3) penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan
air) melalui vegetasi.
e. Tindakan Pengelolaan Tanah (P)
Merupakan rasio tanah yang hilang bila usaha pengeloaan tanah dilakukan
(teras, tanaman dalam kontur, dsb) dengan tanpa usaha konservasi. Tanpa adanya
konservasi, nilai P = 1. Bila dibuat semacam teras, maka nilai P dianggap sama
dengan nilai P untuk strip cropping (Hardjowigeno 2007).Menurut Asdak (2010),
faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat
perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang
diolah tanpa tindakan konservasi.
Faktor tindakan pengelolaan tanah (P) adalah jumlah erosi yang terjadi
pada lahan yang telah dilakukan tindakan pengelolaan tanah dibandingkan dengan
erosi yang terjadi pada lahan tanpa tanaman tanpa tindakan pengelolaan tanah.
Nilai P untuk beberapa tindakan pengelolaan khusus ditunjukkan pada tabel 6
berikut.
Tabel 6. Nilai Faktor P untuk Berbagai Tindakan Pengelolaan tanah
Tindakan khusus pengelolaan tanah Nilai P
1)
Teras bangku :
- Konstruksi baik 0,04
- Konstruksi sedang 0,15
- Konstruksi kurang baik 0,35
- Teras tradisional 0,40
Strip tanaman rumput Bahia 0,40
Pengelolaan tanaman menurut garis kontur :
- Kemiringan 0 8 % 0,50
- Kemiringan 9 20 % 0,75
- Kemiringan > 20% 0,90
Tanpa tindakan pengelolaan tanah/konservasi 1,00
1)
Catatan: konstruksi teras bangku dinilai dari kerataan dasar teras dan keadaan
talud teras.
(Arsyad 2010).
B. Permodelan Prediksi Erosi dengan Metode USLE

Suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah
telah dilaporkan oleh Wischemeir dan Smith (1965, 1978), dan dinamai dengan
Universal Soil Loss Equation (USLE). Model ini memungkinkan para perencana
menduga laju rata-rata erosi di suatu bidang tanah pada berbagai kecuraman
lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap usaha pertanaman dan tindakan
pengelolaan tanah yang mungkin dilakukan atau sedang diusahakan (Arsyad
2010).
Menurut As-syakur (2008), metode USLE merupakan metode yang umum
digunakan untuk memprediksi laju erosi. Selain sederhana, metode ini juga sangat
baik diterapkan di daerah-daerah yang faktor utama penyebab erosinya adalah
hujan dan aliran permukaan. Wischmeier (1976) cit. Risse et al. (1993)
mengatakan bahwa metode USLE didesain untuk digunakan memprediksi
kehilangan tanah yang dihasilkan oleh erosi dan diendapkan pada segmen lereng
bukan pada hulu DAS, selain itu juga didesain untuk memprediksi rata-rat jumlah
erosi dalam waktu yang panjang.
Tujuan utama dari model erosi adalah untuk melakukan prediksi erosi dari
sebidang tanah, yaitu memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang
dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu (Arsyad 1989).
Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan laju erosi yang
masih dapat ditoleransikan sudah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan
kebijakan penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar
tidak terjadi kerusakan tanah dan dapat dipergunakan secara produktif dan lestari.
Persamaan dari USLE tersebut adalah:
A = R. K. LS. C. P
dimana:
A : besar erosi (ton/ha/thn)
R : faktor erosivitas hujan
K : faktor erodibilitas tanah
LS : faktor topografi yaitu panjang (L) dan kemiringan lereng (S)
C : faktor pengelolaan tanaman
P : faktor tindakan konservasi tanah

C. Soil Loss Tolerance (T)

Mengetahui besar erosi yang terjadi penting dalam usaha pertanian,


sebelum erosi yang terjadi mengganggu produktivitas pertanian. Apabila laju
pembentukan tanah berada di bawah laju erosi maka keadaan dapat dikatakan
mengkhawatirkan sehingga perlu melakukan tindakan pencegahan sehingga
keadaan tidak bertambah fatal. Menurut Kartasapoetra et al. (2005), terjadinya
pengendapan sangat tergantung dari adanya erosi, sehingga demi kestabilan
lingkungan secara umum berlangsungnya erosi harus dibatasi sampai erosi
maksimal yang masih bisa dibiarkan (soil loss tolerance). Dengan adanya
pencegahan maupun tindakan perbaikan, produktivitas tanah masih bisa
dipertahankan dan pengendapan-pengendapan masih bisa dikendalikan sehingga
tidak menimbulkan hal-hal negatif.
Soil Loss Tolerance (toleransi tanah yang hilang) atau nilai T, merupakan
erosi tanah rata-rata maksimum yang diijinkan sehingga produktivitas tanah tidak
berkurang. Soil loss tolerance sangat diperlukan sebagai petunjuk rencana
konservasi tanah. Soil loss tolerance digunakan untuk mengestimasi jumlah tanah
yang hilang dan mengevaluasi seberapa besar erosi yang terjadi sehingga
dilakukan suatu cara untuk penerapan agar tingkat erosi dapat dikurangi (Kirkby
dan Morgan 1980).

D. Tingkat Bahaya Erosi

Menurut Arsyad (2010), evaluasi bahaya erosi atau disebut tingkat bahaya
erosi ditentukan berdasar perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan
erosi tanah yang dapat ditoleransi. Menurut Hardjowigeno dan Soleh (1995), yang
dimaksud dengan tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah
maksimum, dibandingkan dengan tebal solum tanah pada setiap satuan lahan bila
teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan.
Lebih jauh dijelaskan menurut (Hardjowigeno dan Sukmana 1995 cit. Winarno et
al. 2008) agar suatu lahan tetap dapat berproduktivitas secara lestari, maka jumlah
maksimum tanah yang hilang dari lahan tersebut harus lebih kecil atau sama
dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembnetukan tanah.
E. Penggunaan Lahan dan Erupsi Merapi 2010

Desa Sidorejo terletak di Kecamatan Kemalang Klaten dan berada pada


sisi tenggara dari Gunung Merapi. Pada saat terjadi erupsi, wilayah Sidorejo juga
mengalami kerusakan karena sebelah utara yang berada di dekat TNGM terbakar
terkena awan panas. Topografi yang bergelombang dan kondisi yang berada di
lereng Gunung merapi menjadikan wilayahnya banyak dibudidayakan untuk
tanaman sengon. Pasca erupsi Gunung Merapi 2010, di lokasi yang terkena
luncuran awan panas tumbuh subur tanaman Acacia decurrens atau Wartel atau
Akasiah menurut penyebutan warga setempat.
A. decurrens bukan asli tanaman Indonesia. Tanaman ini berasal dari
Greater Blue Mountains Area, New South Wales Australia, merupakan tumbuhan
berbentuk pohon atau perdu dengan tinggi pohon berkisar antara 215 m.
Dikatakan jenis ini tergolong sebagai pohon tumbuh cepat bahkan setelah
kebakaran (Moore et al. 2002). A. decurrens hidup di dataran tinggi >1000 m dpl
dan berkembang biak sangat cepat, biasanya biji tersimpan lama di dalam tanah
(Anonim 2008). Jenis invasif A. decurrens mampu berkompetisi dan
menggantikan jenis asli di habitat alami tetapi mempunyai sifat baik yaitu dapat
mengikat nitrogen dan sebagai sumber pakan ternak serta sebagai bahan kayu
bakar (Bakeo 2003).
A. decurrens telah berkembang pesat di Gunung Merbabu hingga pada
ketinggian 3000 m dpl, terutama di desa Cuntel dengan seluruh kawasan hutan
ditumbuhi A.decurrens dan semak-semak. Penelitian ini dilakukan di dua tempat,
di Selo dan desa Cuntel dengan menggunakan metode quadrad. Plot didirikan di
beberapa ketinggian dari 1600 hingga 2400 m dpl. Hasil dari inventarisasi 7 plot
(masing-masing 0,25 ha) tercatat hanya 20 spesies pohon kayu dan populasinya
dikuasai oleh A. decurrens. Karakter invasif dari A.decurrens ditunjukkan oleh
berbunga sepanjang tahun dan diameter kecil sudah mulai berbunga dan benih
tahan terhadap kebakaran hutan. Populasi dari A. decurrens yang berlimpah
menyebabkan spesies alami cepat menurun (Purwaningsih 2010).
Kayu sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) merupakan kayu yang
bernilai ekonomis tinggi karena merupakan kayu yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai penggunaan, baik sebagai kayu pertukangan maupun sebagai kayu
penghara. Sengon P. falcataria (L) Nielsen. syn. Albizia falcataria (L) Fosberg
dan Albizia falcata Baclur termasuk ke dalam famili Mimosaceae (pete-petean).
Sengon mempunyai nama daerah bermacam-macam, antara lain Albizia,
Jeungjing (Jawa Barat). Di luar Jawa sengon dikenal dengan nama tedehu pute
(Sulawesi), di Maluku dikenal dengan nama rawe, selawoku merah, seka, sika,
sika bot, sikahm, atau tawasela. Di Irian Jaya terkenal dengan nama bae, bai,
wahagon, wai atau wiie (Martawijaya et al. 1989).Berdasarkan habitusnya,
Sengon (P. falcataria) mempunyai tinggi pohon sampai 40 meter dengan panjang
batang bebas cabang 10-30 meter. Diameter rata-rata batang pohon sampai 80 cm
dengan kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak mengelupas dan
tidak berbanir.
Sengon dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur dan agak gersang, tanah
kering, becek atau agak asin. Tanaman muda tahan terhadap kekurangan zat asam
sampai 31,5 hari. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada
dataran rendah hingga ke pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl
(Martawijaya et al. 1989).

Anda mungkin juga menyukai