Kasus 4
Topik: Pertusis
Tanggal (kasus): Presenter:
12 April 2017 dr. Nadiya Ananda
Tangal presentasi: Narasumber:
19 Mei 2017 dr. Mutya Dyah Arumsari, Sp.A
Pembimbing:
dr. Hj. Neneng Tresna Imawati
dr. Agus Suprapto
Tempat presentasi: Ruang diskusi RS. TK.IV Dr. Bratanata Jambi
Obyektif presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Pasien datang dibawa ke RS DR. BRATANATA dengan dikeluhkan batuk disertai sesak
sejak 2 minggu yang lalu SMRS
Tujuan:
Mengetahui dan memahami patofisiologi pertusis
Mengetahui dan memahami pencegahan pertusis
Mengetahui dan memahami diagnosis pertusis
Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pertusis
Bahan bahasan: Tinjauan Riset Kasus Audit
pustaka
Cara membahas: Diskusi Presentasi dan Email Pos
diskusi
Data pasien: Nama: An.S No registrasi: 28 01 XX
Nama RS: RS TK.IV Dr. Bratanata Usia: 6 bulan Terdaftar sejak: 2017
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Pasien datang dibawa ke RS DR. BRATANATA dengan dikeluhkan batuk disertai sesak
1
sejak 2 minggu yang lalu SMRS. Sesak dirasakan memberat 2 hari ini, sesak terlihat
dari cara anak bernapas yang semakin berat. Sesak tidak disertai bunyi ngik. Sesak tidak
dipengaruhi debu maupun udara. Sebelum sesak pasien dikeluhkan batuk, batuk dikatakan
sudah sejak 2 minggu, batuk dikatakan tiba-tiba, dan jika sudah batuk, lama untuk
berhentinya. Saat batuk pasien juga dikatakan terlihat gelisah. Batuknya pun terdengar
sangat keras (melengking). Batuk dirasakan semakin memberat dalam seminggu terakhir ini.
Batuk terdengar seperti menggonggong, dan batuk lebih sering dirasakan pada malam hari,
dahak (+) kadang-kadang keluar pada saat batuk yang keras dan panjang, dahak yang keluar
warna putih, darah (-). Pasien juga dikeluhkan pilek dan demam, yang dirasakan sejak 1 hari
yang lalu SMRS, demam turun dengan pemberian obat kemuadian demam lagi. BAB dan
BAK normal.
2. Riwayat Pengobatan: (-)
3. Riwayat kesehatan/ Penyakit: sebelumnya pasien tidak pernah menderita penyakit seperti
ini
4. Riwayat keluarga/ masyarakat:
- Riwayat keluarga mengalami hal yang sama dan batuk batuk lama disangkal.
5. Riwayat persalinan
Pasien lahir ditolong oleh bidan dengan persalinan normal dengan berat 2800 gr, sehat.
6. Riwayat Imunisasi
BCG : +
DPT I/II/III : -/-/-
Polio I/II/II : +/-/-
Hepatitis I/II/III : +/-/-
Daftar Pustaka:
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
2
4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective
therapy 8 (2): 16373.
7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-
1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.
8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-
pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2.
h: 564-566.
12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30
Januari 2012 dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.
14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
3
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm
Hasil pembelajaran:
1. Patofisiologi pertusis
2. Pencegahan pertusis
3. Diagnosis pertusis
4. Penatalaksanaan pertusis
Subyektif
Pasien datang dibawa ke RS DR. BRATANATA dengan dikeluhkan batuk disertai
sesak sejak 2 minggu yang lalu SMRS. Sesak dirasakan memberat 2 hari ini,
sesak terlihat dari cara anak bernapas yang semakin berat. Sesak tidak disertai bunyi
ngik. Sesak tidak dipengaruhi debu maupun udara. Sebelum sesak pasien
dikeluhkan batuk, batuk dikatakan sudah sejak 2 minggu, batuk dikatakan tiba-tiba,
dan jika sudah batuk, lama untuk berhentinya. Saat batuk pasien juga dikatakan
terlihat gelisah. Batuknya pun terdengar sangat keras (melengking). Batuk dirasakan
semakin memberat dalam seminggu terakhir ini. Batuk terdengar seperti
menggonggong, dan batuk lebih sering dirasakan pada malam hari, dahak (+) kadang-
kadang keluar pada saat batuk yang keras dan panjang, dahak yang keluar warna
putih, darah (-). Pasien juga dikeluhkan pilek dan demam, yang dirasakan sejak 1 hari
yang lalu SMRS, demam turun dengan pemberian obat kemuadian demam lagi. BAB
dan BAK normal.
Obyektif
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Nadi : 100x/menit
4
RR : 46 x/menit
Suhu : 380C (aksila)
Berat badan : 7 kg
Tinggi Badan : 62 cm
Kepala : normocephal
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, reflek cahaya langsung (+/+)
Telinga: Normotia, sekret (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-),
Bibir : Sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba pembesaran KGB,
peningkatan vena jugularis (-).
Thoraks
Paru
- Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan simetris, retraksi interkostal (+)
- Palpasi : Fremitus raba seimbang (D=S), pelebaran ICS (-/-)
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan PSL dextra pd ICS III
- Batas jantung kiri MCL sinistra pd ICS V
- Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
- Inspeksi : cembung, kulit normal, scar (-)
5
- Palpasi : Turgor normal, massa (-), organomegali (-)
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.
Ektremitas : oedem manus (-/-), oedem inferior (-/-), akral dingin (-/-)
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium (13 April 2017)
Pemeriksaaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 8,6 11-16 g/dL
Hematokrit 26,0 40-54 %
Leukosit 24,9 4-11 ribu/ul
Trombosit 1,030 150-450 ribu/ul
Eritrosit 2,4 4.5-6 juta/ul
MCV 69,6 80-100 Fl
MCH 24,4 26.0-34.0 Pg
MCHC 35 32.0-36.0 g/dl
RDW-CV 18,4 11-16 %
Golongan darah A
Rh (+)
DIFFERENTIAL
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3,5 0.5-5 %
Limfosit 23 20-40 %
Monosit 10 2-8 %
Netrofil 72 50-70 %
6
MCH 27,7 26.0-34.0 Pg
MCHC 34,1 32.0-36.0 g/dl
RDW-CV 18,2 11-16 %
MPV 7,9 7,2- 11,1 fL
DIFFERENTIAL
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3,5 0.5-5 %
Limfosit 20,8 20-40 %
Monosit 9,1 2-8 %
Netrofil 72,4 50-70 %
Kesan : Bronchopneumonia
Diagnosa Kerja
Pertusis
Terapi
Medikamentosa
- O2 1-2 lpm
- IFVD D5 NS 8 tpm
- Inj. Ceftriaxon 1 x 350 mg
- Inj. Gentamisin 1 x 35 mg
7
- Inj. Dexametason 2 x 2 mg
Puyer 3 x 1
Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad bonam
Ad sanationam : Ad bonam
8
Assessment
Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak
berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau
batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang
dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada
60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama
masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari
penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan
juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang
dari 5 tahun1,2,3,5,6.
Epidemiologi
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6.
Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.
Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis
9
dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun,
umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena
10
Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anakanak kecil yang ditandai dengan
batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang batuk rejan.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan
tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.
Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan
kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou1. Ada enam spesies dari
Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii,
dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling
umum ditemukan pada manusia 8.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi
pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin
klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang
mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan
serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah
spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca
penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama
FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin
(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase
diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala
pernafasan dan mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas
histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan
11
manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang
percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.
Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya
timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi
dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh
karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella
pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
dikenal dengan whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi1,9.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
12
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan
lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung
toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.
Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu
7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,
ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-
15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk
13
bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh
bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.
Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat
sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi
dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.
Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran
pernafasan.
Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaanfisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaanlaboratorium
14
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%
pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.
4. Pemeriksaan penunjang
Penatalaksanaan
15
puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada
riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72
jam1,11.
1. Agen Antimikroba
16
40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan
organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,
Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi
pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul
daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-
satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada
trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian
kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu
paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis.
Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada
manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi
pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.
Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
17
prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2
minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin
diimunisasi1,11,13,14.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai
sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis
monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara
orang dewasa yang terpapar13,14.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum
seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering
terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada
saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam1,11,14.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat
kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome
(SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi
untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis
berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3
jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam
2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul
anafilaksis1,11,13,14.
18
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi
B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala
penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah
kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7
hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi
epidemi1,11,12.
Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak
B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi1,10.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.
Prognosis
19
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.
Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di
USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat
berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang
rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan
pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.
20
Follow Up
Tanggal S O A P
13/04/2017 Batuk (+) Kesadaran: compos mentit Pertusis O2 1-2 lpm
berkurang, RR : 40 x/m IVFD D5 NS 8 tpm
sesak T : 38oC Inj. Ceftriaxon 1x 350 mg
berkurang Thoraks : Inj. Gentamicin 1 x 35 mg
Inspeksi : Retraksi intercostals Inj. Dexametason 2 x 2 mg
Palpasi : dbn PO:
Perkusi : sonor +/+ Comtro (chlaritromicin) 2 x
Auskultasi : Rhonki +/+ cth
Mercotin (Noscapine) 3 x 2 tetes
Alco (Psoudoephedrin HCL) 3 x
0,4 tetes
Pamol (Paracetamol) 4 x 0,8 tetes
Puyer 3 x1
14/04/2017 Batuk(+) Kesadaran: compos mentit Pertusis Terapi teruskan
berkurang, RR : 30 x/m
sesak (-) T : 37,6oC
Thoraks :
Inspeksi : Retraksi intercostals minimal
Palpasi : dbn
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : Rhonki +/+
15/04/2017 Batuk (+) Kesadaran: composmentis Pertusis Pasien Pulang kontrol tgl
TTV: dalam batas normal 20/4/17
21
22