Anda di halaman 1dari 22

PORTOFOLIO

Kasus 4

Topik: Pertusis
Tanggal (kasus): Presenter:
12 April 2017 dr. Nadiya Ananda
Tangal presentasi: Narasumber:
19 Mei 2017 dr. Mutya Dyah Arumsari, Sp.A
Pembimbing:
dr. Hj. Neneng Tresna Imawati
dr. Agus Suprapto
Tempat presentasi: Ruang diskusi RS. TK.IV Dr. Bratanata Jambi
Obyektif presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Pasien datang dibawa ke RS DR. BRATANATA dengan dikeluhkan batuk disertai sesak
sejak 2 minggu yang lalu SMRS
Tujuan:
Mengetahui dan memahami patofisiologi pertusis
Mengetahui dan memahami pencegahan pertusis
Mengetahui dan memahami diagnosis pertusis
Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pertusis
Bahan bahasan: Tinjauan Riset Kasus Audit
pustaka
Cara membahas: Diskusi Presentasi dan Email Pos
diskusi
Data pasien: Nama: An.S No registrasi: 28 01 XX
Nama RS: RS TK.IV Dr. Bratanata Usia: 6 bulan Terdaftar sejak: 2017
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Pasien datang dibawa ke RS DR. BRATANATA dengan dikeluhkan batuk disertai sesak

1
sejak 2 minggu yang lalu SMRS. Sesak dirasakan memberat 2 hari ini, sesak terlihat
dari cara anak bernapas yang semakin berat. Sesak tidak disertai bunyi ngik. Sesak tidak
dipengaruhi debu maupun udara. Sebelum sesak pasien dikeluhkan batuk, batuk dikatakan
sudah sejak 2 minggu, batuk dikatakan tiba-tiba, dan jika sudah batuk, lama untuk
berhentinya. Saat batuk pasien juga dikatakan terlihat gelisah. Batuknya pun terdengar
sangat keras (melengking). Batuk dirasakan semakin memberat dalam seminggu terakhir ini.
Batuk terdengar seperti menggonggong, dan batuk lebih sering dirasakan pada malam hari,
dahak (+) kadang-kadang keluar pada saat batuk yang keras dan panjang, dahak yang keluar
warna putih, darah (-). Pasien juga dikeluhkan pilek dan demam, yang dirasakan sejak 1 hari
yang lalu SMRS, demam turun dengan pemberian obat kemuadian demam lagi. BAB dan
BAK normal.
2. Riwayat Pengobatan: (-)
3. Riwayat kesehatan/ Penyakit: sebelumnya pasien tidak pernah menderita penyakit seperti
ini
4. Riwayat keluarga/ masyarakat:
- Riwayat keluarga mengalami hal yang sama dan batuk batuk lama disangkal.
5. Riwayat persalinan
Pasien lahir ditolong oleh bidan dengan persalinan normal dengan berat 2800 gr, sehat.
6. Riwayat Imunisasi
BCG : +
DPT I/II/III : -/-/-
Polio I/II/II : +/-/-
Hepatitis I/II/III : +/-/-
Daftar Pustaka:
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory Tract in


Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

2
4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective
therapy 8 (2): 16373.

5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23


Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology


of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection.
Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-
1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-
pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.


Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2.
h: 564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30
Januari 2012 dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.

3
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

Hasil pembelajaran:
1. Patofisiologi pertusis
2. Pencegahan pertusis
3. Diagnosis pertusis
4. Penatalaksanaan pertusis

Subyektif
Pasien datang dibawa ke RS DR. BRATANATA dengan dikeluhkan batuk disertai
sesak sejak 2 minggu yang lalu SMRS. Sesak dirasakan memberat 2 hari ini,
sesak terlihat dari cara anak bernapas yang semakin berat. Sesak tidak disertai bunyi
ngik. Sesak tidak dipengaruhi debu maupun udara. Sebelum sesak pasien
dikeluhkan batuk, batuk dikatakan sudah sejak 2 minggu, batuk dikatakan tiba-tiba,
dan jika sudah batuk, lama untuk berhentinya. Saat batuk pasien juga dikatakan
terlihat gelisah. Batuknya pun terdengar sangat keras (melengking). Batuk dirasakan
semakin memberat dalam seminggu terakhir ini. Batuk terdengar seperti
menggonggong, dan batuk lebih sering dirasakan pada malam hari, dahak (+) kadang-
kadang keluar pada saat batuk yang keras dan panjang, dahak yang keluar warna
putih, darah (-). Pasien juga dikeluhkan pilek dan demam, yang dirasakan sejak 1 hari
yang lalu SMRS, demam turun dengan pemberian obat kemuadian demam lagi. BAB
dan BAK normal.

Obyektif
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Nadi : 100x/menit

4
RR : 46 x/menit
Suhu : 380C (aksila)
Berat badan : 7 kg
Tinggi Badan : 62 cm

Kepala : normocephal
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, reflek cahaya langsung (+/+)
Telinga: Normotia, sekret (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-),
Bibir : Sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba pembesaran KGB,
peningkatan vena jugularis (-).
Thoraks
Paru
- Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan simetris, retraksi interkostal (+)
- Palpasi : Fremitus raba seimbang (D=S), pelebaran ICS (-/-)
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-)

Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan PSL dextra pd ICS III
- Batas jantung kiri MCL sinistra pd ICS V
- Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
- Inspeksi : cembung, kulit normal, scar (-)

5
- Palpasi : Turgor normal, massa (-), organomegali (-)
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.

Ektremitas : oedem manus (-/-), oedem inferior (-/-), akral dingin (-/-)

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium (13 April 2017)
Pemeriksaaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 8,6 11-16 g/dL
Hematokrit 26,0 40-54 %
Leukosit 24,9 4-11 ribu/ul
Trombosit 1,030 150-450 ribu/ul
Eritrosit 2,4 4.5-6 juta/ul
MCV 69,6 80-100 Fl
MCH 24,4 26.0-34.0 Pg
MCHC 35 32.0-36.0 g/dl
RDW-CV 18,4 11-16 %
Golongan darah A
Rh (+)

DIFFERENTIAL
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3,5 0.5-5 %
Limfosit 23 20-40 %
Monosit 10 2-8 %
Netrofil 72 50-70 %

b. Pemeriksaan laboratorium (14 April 2017)


Pemeriksaaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,8 11-16 g/dL
Hematokrit 41,4 40-54 %
Leukosit 20,6 4-11 ribu/ul
Trombosit 615 150-450 ribu/ul
Eritrosit 4,60 4.5-6 juta/ul
MCV 81,2 80-100 Fl

6
MCH 27,7 26.0-34.0 Pg
MCHC 34,1 32.0-36.0 g/dl
RDW-CV 18,2 11-16 %
MPV 7,9 7,2- 11,1 fL

DIFFERENTIAL
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3,5 0.5-5 %
Limfosit 20,8 20-40 %
Monosit 9,1 2-8 %
Netrofil 72,4 50-70 %

c. Pemeriksaan hasil Rongten


Thorak PA:
Sinus dan diafragma normal
Cor : bentuk ukuran normal
Pulmo : tampak infiltrate pada kedua paru, corakan bronkovaskular ramai,
hilus dan mediastinum normal
Pleura : normal

Kesan : Bronchopneumonia

Diagnosa Kerja

Pertusis

Terapi
Medikamentosa

Terapi sesuai dr.Mutya, Sp.A

- O2 1-2 lpm
- IFVD D5 NS 8 tpm
- Inj. Ceftriaxon 1 x 350 mg
- Inj. Gentamisin 1 x 35 mg

7
- Inj. Dexametason 2 x 2 mg

PO: Comtro (chlaritromicin) 2x cth

Mercotin (Noscapine) 3 x 2 tetes

Puyer 3 x 1

Alco (Psoudoephedrin HCL) 3 X 0,4 tetes

Pamol (Paracetamol) 4 x 0,8 tetes

Nebulizer Ventolin 1 cc, Nacl 0,9

Prognosis

Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad bonam
Ad sanationam : Ad bonam

8
Assessment
Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak
berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau
batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang
dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada
60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama
masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari
penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan
juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang
dari 5 tahun1,2,3,5,6.

Epidemiologi
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6.

Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.

Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis

9
dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun,

umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena

lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan


Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada
60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen
adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun 6.
Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.
Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis
dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun,
umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena
lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan
(Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki
menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan
tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%7.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi
sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh
karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak
didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat
infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas,
dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah
diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan
pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih
tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1.

10
Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anakanak kecil yang ditandai dengan
batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang batuk rejan.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan
tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.
Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan
kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou1. Ada enam spesies dari
Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii,
dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling
umum ditemukan pada manusia 8.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi
pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin
klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang
mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan
serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah
spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca
penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama
FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin
(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase
diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala
pernafasan dan mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas
histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan

11
manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang
percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.

Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya
timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi
dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh
karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella
pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
dikenal dengan whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi1,9.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia

12
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan
lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung
toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu
7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:

1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,
ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-
15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk

13
bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh
bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.
Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat
sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi
dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.
Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran
pernafasan.

Diagnosis
1. Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis


pertusislainnya,faktorresiko,riwayatkeluarga,riwayatpenyakitdahulu,dan
riwayatimunisasi.

2. Pemeriksaanfisik

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.

3. Pemeriksaanlaboratorium

Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI


dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk
diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.

14
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%
pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.

4. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,


atelektasis atau emfisema.

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia


bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan
limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.
Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya
mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi
B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis
B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab1.

Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati


keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat,
dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk
menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada

15
puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada
riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72
jam1,11.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus,


pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh
personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian
makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.
Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut
lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi,
atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak
atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan
sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons1,11.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-


faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat
diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada
bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau
medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :

1. Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat


karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi.
Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat
(maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.
Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat
juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan
dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24
jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis

16
40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan
organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,
Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi
pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul
daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-
satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.

2. Salbutamol

Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada
trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian
kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu
paroksismal.

3. Kortikosteroid

Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis.
Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada
manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi
pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

Pencegahan

1. Imunisasi aktif :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang


seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan
toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat

17
prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2
minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin
diimunisasi1,11,13,14.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai
sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis
monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara
orang dewasa yang terpapar13,14.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum
seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering
terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada
saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam1,11,14.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat
kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome
(SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi
untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis
berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3
jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam
2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul
anafilaksis1,11,13,14.

2. Kontak dengan penderita :

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru


lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.

18
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi
B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala
penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah
kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7
hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi
epidemi1,11,12.

Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak
B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi1,10.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.

Prognosis

19
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.
Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di
USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat
berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang
rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan
pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.

20
Follow Up

Tanggal S O A P
13/04/2017 Batuk (+) Kesadaran: compos mentit Pertusis O2 1-2 lpm
berkurang, RR : 40 x/m IVFD D5 NS 8 tpm
sesak T : 38oC Inj. Ceftriaxon 1x 350 mg
berkurang Thoraks : Inj. Gentamicin 1 x 35 mg
Inspeksi : Retraksi intercostals Inj. Dexametason 2 x 2 mg
Palpasi : dbn PO:
Perkusi : sonor +/+ Comtro (chlaritromicin) 2 x
Auskultasi : Rhonki +/+ cth
Mercotin (Noscapine) 3 x 2 tetes
Alco (Psoudoephedrin HCL) 3 x
0,4 tetes
Pamol (Paracetamol) 4 x 0,8 tetes
Puyer 3 x1
14/04/2017 Batuk(+) Kesadaran: compos mentit Pertusis Terapi teruskan
berkurang, RR : 30 x/m
sesak (-) T : 37,6oC
Thoraks :
Inspeksi : Retraksi intercostals minimal
Palpasi : dbn
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : Rhonki +/+

15/04/2017 Batuk (+) Kesadaran: composmentis Pertusis Pasien Pulang kontrol tgl
TTV: dalam batas normal 20/4/17

21
22

Anda mungkin juga menyukai