Anda di halaman 1dari 2

FEBI NURHANIFAH

Kisah Berdirinya Keraton Yogyakarta (1682 J)


Ketika itu di tanah Jawa berdiri kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bergelar Kanjeng
Sinuwun Paku Buwono II (1726-1792). Salah seorang adiknya Pangeran Mangkubumi terkenal
perkasa, cerdas, sakti dan gagah berani. Sejak kecil Pangeran Mangkubumi telah menampakkan
sikap tidak senang kepada Kompeni Belanda dan tidak rela rakyatnya dijajah. Itulah sebabnya
Pangeran Mangkubumi keluar dari istana dan bergabung dengan rakyat untuk berperang melawan
Kompeni.

Di samping pasukannya, Pangeran Mangkubumi mempunyai seorang pengawal yang


memiliki kesaktian melebihi kemampuan semua anggota pasukannya, yaitu Kyai Kentol. Karena
kesetiaan dan kesaktiannya, Kyai Kentol diangkat menjadi pengawal pribadi Pangeran
Mangkubumi dengan diberi gelar Kyai Tambang Yuda.

Pada suatu saat Pangeran Mangkubumi berkata kepada Kyai Tambang Yuda: Kyai, ternyata
Kyai mempunyai kesaktian melebihi seluruh anggota pasukanku, maka Kyai kutugaskan mencari
wahyu keraton!

Hamba bersedia Kanjeng Pangeran! jawab Kyai Tambang Yuda.

Kalau Kyai bersedia, sekarang berangkatlah! perintah Pangeran Mangkubumi

Berangkatlah Kiyai Tambang Yuda untuk mencari wahyu keraton. Dia sama sekali tidak
tahu bagaimana bentuk wajah keraton itu. Pengabdiannya yang tulus dalam menunaikan tugas yang
dipikulnya, mendorongnya untuk segeda dapat melaksanakan tugas tersebut. Kiyai Tambang Yuda
berjalan ke arah hutan dan bersemedi, memohon pada Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan wahyu
keraton.

Setelah beberapa lama bersemedi, tiba-tiba muncullah seorang tua di hadapan Kiyai
Tambang Yuda dan membangunkannya dari semedi. Kepada Kiyai Tambang Yuda, orang itu
berkata: Hai Kiyai Tambang Yuda, hentikanlah semedimu karena Yang Maha Kuasa telah
mengabulkan permohonanmu!

Siapakah Kiyai ini? tanya Kiyai Tambang Yuda.

Namaku Kiyai Moyek. Melalui aku maka Yang Maha Kuasa telah mengabulkan apa yang
kamu minta. Sebenarnya aku adalah utusan Yang Maha Kuasa untuk menemuimu dan mengabulkan
permintaanmu. Aku tahu namanu dan bahkan sebenarnya aku pun telah mengetahui maksudmu,
tetapi coba sebutkanlah apa yang Kiyai minta!

Hamba mengemban tugas dari Kanjeng Pangeran Mangkubumi untuk mencari wahyu keraton!

untuk mendapatkan wahyu keraton ikutilah petunjuk dariku. Lihatlah tonggak kayu yang besar itu.
Dari tonggak itu buatlah sebuah gendang, sedangkan untuk membuat jangetnya sembelihlah aku
dan pergunakanlah kulitku untuk janget gendang tersebut. Setelah gendang tersebut selesai,
jadikanlah sebagai pusaka keraton. Untuk mendirikan sebuah keraton, maka hutan tempat kita
bertemu inilah tempat yang paling baik! tegas Kiyai Moyek.

Tujuan saya adalah mendapatkan wahyu keraton, bukan untuk menyembelih orang! sanggah
Kiyai Tambang Yuda.

Hanya dengan jalan itu, Kiyai dapat memperoleh wahyu keraton. Kalau Kiyai menolak saran itu,
maka akan gagallah usaha Kiyai dalam mencari wahyu keraton karena wahyu tersebut ada dalam
diriku! jawab Kiyai Moyek.

Baiklah hamba akan melaksanakan semua perintah dari Kiyai! jawab Kiyai Tambang Yuda.
Kiyai Moyek yang muncul tiba-tiba di hadapan Kiyai Tambang Yuda yang sedang bersemedi
itu sesungguhnyalah merupakan perwujudan dari wahyu keraton itu sendiri. Hadir dalam bentuknya
sebagai manusia untuk membangunkan semedi Kiyai Tambang Yuda dan memberi petunjuk cara
untuk mendapatkan wahyu keraton yang ternyata berupa sebuah gendang pusaka. Konon janget
gendang itu dibuat dari kulit Kiyai Moyek.

Meskipun dengan perasaan sangat berat, Kiyai Tambang Yuda melaksanakan petunjuk Kiyai
Moyek. Dia mulai menyembelih Kiyai Moyek dan mengambil kulitnya. Kemudian membuat
gendang dari tonggak kayu besar seperti yang ditunjukkan oleh Kiyai Moyek. Setelah gendang
selesai dibuat, kemudian diberi nama gendang Kiyai Moyek, sesuai dengan nama orang yang
memberi petunjuk.

Setelah itu Kiyai Tambang Yuda kembali ke tempat pasukan Pangeran Mangkubumi
berkemah, kemudian menghadap Pangeran dan berkata: Inilah wahyu keraton yang Kanjeng
Pangeran harapkan, gendang ini namanya Kiyai Moyek sesuai dengan petunjuk yang hamba terima.
Gendang ini hendaknya dipakai sebagai benda pusaka keraton. Sedangkan untuk mendirikan sebuah
istana, tempat yang sesuai adalah di hutan yang letaknya di sebelah barat laut dari tempat kita
sekarang ini, tempat pertemuan hamba dengan Kiyai Moyek!

Sejak itu persiapan untuk membuat istana yang semula akan didirikan di Wonokromo tidak
jadi diteruskan, kemudian dimulailah pembangunan istana di tempat yang telah ditunjukkan oleh
Kiyai Tambang Yuda. Di tempat itu berdirilah istana atau keraton yang megah dan indah yang
kemudian diberi nama Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Di keraton yang baru itu Kanjeng Pangeran
Mangkubumi bertahta sebagai raja dan bergelar Sultan Hamengku Buwono I, tahun 1755-1792.

Keraton Yogyakarta mulai dibangun awal 1756, pada Kamis Pon. Tanda waktu
pembuatannya tertulis dalam bentuk candra sengkala memet berupa dua ekor naga yang berlilitan
pada ekornya, dapat dibaca sebagai Dwi Naga Rasa Tunggal atau tahun 1682 Jawa. Sengkala
memet tersebut ditempatkan pada pintu gerbang kemagangan dan di Kemangdhungan Selatan.

Pada permulaan pembangunannya dimulai sesuai dengan perencanaan yang menyeluruh,


meliputi wilayah keraton, daerah kelengkapannya. Tamansari, benteng dan meluas sampai luarnya,
yang merupakan kaitan filosofis, simbolis yang amat serasi, namun urutan pelaksanaannya yang
pertama kali dibuat oleh Sultan adalah bangunan Ndalem Agung atau keraton Kaswargan yang
berbentuk joglo, baru dilanjutkan beberapa bangunan lainnya.

Setelah menyerahkan gendang dan menunjukkan tempat untuk mendirikan istana Kiyai
Tambang Yuda mohon izin untuk pulang ke desanya, yaitu di daerah Sukowati. Sebagai tanda
penghargaan atas jasa-jasanya, maka Kanjeng Pangeran Mangkubumi menghadiahkan Bumi
Sukowati menjadi milik Kiyai Tambang Yuda secara turun menurun. Gendangnya sendiri kemudian
disimpan di Istana sebagai benda pusaka kerajaan. Sampai sekarang gendang tersebut hanya
dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu saja, yaitu pada waktu akan dibersihkan dan pada waktu ada
perayaan upacara sekaten atau gerebeg. Itu pun pada waktu ada gerebeg Dal, yakni gerebeg yang
jatuh pada setiap tahun Dal, sedang pada perayaaan gerebeg-gerebeg biasa gendang tersebut tidak
dikeluarkan.

Pada saat ini fungsi keraton antara lain untuk melestariakan budaya bangsa, juga berfungsi
sebagai museum yang meyimpan benda-benda yang mempunyai nilai historis.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya
Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai