Anda di halaman 1dari 2

KONSEP TENTANG KEMATANGAN SEKOLAH PADA ANAK USIA DINI

Dalam beberapa minggu terakhir saya sering mendengar keluhan dari para orang tua yang
konsultasi tentang sulitnya mencari Sekolah Dasar bagi anaknya yang telah lulus
(sebenarnya kata ini tidak tepat, karena TK bukan sekolah) dari TK atau sejenisnya. Sekolah
disini yang dimaksud adalah sekolah sekolah favorit atau sekolah yang fullday. Ketika saya
tanya mengapa tidak memilih sekolah negeri, mereka menjawab macam macam, ada yang
menjawab kegiatan kurang, jam sekolah tidak sampai sore sehingga nanti tidak ada yang
menjaga anak anak karena semua bekerja, karena malu dengan saudara saudara karena
anak mereka semua di SD favorit dan sebagainya

Intinya mereka menginginkan sekolah yang one stop knowledge/skill


sekaligus tempat penitipan, dan mereka hanya tinggal bayar. Anak pintar mulai berhitung
sampai ngaji sehingga orang tua bisa santai nyari uang (dan kita menyebut diri kita orang
tua yang baik??)

Di sisi lain para orang tua mencemaskan kemampuan anak mereka dalam mengikuti proses
seleksi masuk SD tersebut. Mereka menjelaskan anaknya harus menjalani tes menulis,
menghitung, mengaji, dan psikotes whediaan tenan! Hal ini menjawab maraknya les les
tambahan bagi anak seusia playgroup dan TK.

Dulu saya ketika saya masih aktif di PAUD saya sempat bertanya mengapa syarat masuk SD
begitu berlebihan, bukankah belajar membaca, menulis, berhitung itu tugas anak di SD?
Pihak sekolah menjawab bahwa itu cara yang efektif menyeleksi calon siswa didiknya,
karena membludaknya peminat yang menginginkan sekolah d SD tersebut alasan masuk
akal yang tidak pas, pikir saya. Kenapa tidak pas karena selain itu bukan tugas tahap
perkembangan anak seusia preschool, sekolah tidak memikirkan dampak dari aturannya
tersebut. Masyarakat awam akan merespon aturan tersebut dengan perilaku yang sangat
berdampak negatif bagi anak. Jam belajar atau les tambahan yang memberatkan, PR yang
berlebihan, dan yang jelas jam bermain yang nyaris hilang..ck..ck..ck. Dan banyak yang
beralasan ini semua demi sang buah hati (bukannya demi gengsi neh?)

Dari kacamata psikologi satu satunya syarat masuk sekolah dasar adalah kematangan
sekolah anak. Dapat diartikan kesiapan fisik dan mental anak sesuai tahapan
perkembangannya. Sehingga anak tidak akan matang karbitan alias dengan paksaan.
Beberapa aspek kematangan sekolah antara lain :
Kematangan Motorik
Aspek ini terbagi menjadi motorik kasar (melompat, berlari, bermain) dan halus
(menggunting, aktivitas terhadap alat tulis atau menulis sederhana)
Kemandirian
Kemampuan mengendalikan fungsi fungsi tubuh (buang ari besar/kecil, makan, memakai
sepatu..)
Konsentrasi dan Tanggungjawab
Bagaimana menyelesaikan tugas (sekolah/rumah)
Sosialisasi
Menjalin hubungan/komunikasi dengan orang lain dan teman sebaya, termasuk memahami
norma social sederhana
Jadi anak TK tidak boleh diajari membaca, menulis, berhitung..?
Sebenarnya permasalahannya bukan di aktivitasnya, namun bagaimana sikap anak dalam
melakukan itu. Selama anak senang, enjoy atau bahkan semangat dalam aktivitas aktivitas
tersebut saya pikir tidak ada masalah. Paling kita tinggal menyesuaikan dengan daya tahan
dan jadwal anak untuk bersosialisasi..
Bagaimana membuat anak belajar senang?
Jawabannya adalah apa yang disenangi anak? Bermain! Yup betul. Buatlah semua proses
tersebut dengan bermain atau aktivitas yang disenangi.
Sebagai contoh aktivitas belajar berhitung bisa dilakukan ketika anak bermain di dapur..
mintalah anak untuk mengambilkan sesuatu dengan jumlah yang di tentukan. adek.. mama
minta tolong diambilkan bawang merah tiga biji.. lalu pandulah anak dengan menghitung
bersama.. Nah jadilah anda guru matematika sekaligus guru memasak.. asik kan?
Dalam kasus berhitung sebenarnya anak memahami angka sebagai hapalan bukan konsep
jumlah sehingga kita juga harus mengajarkan dengan bahasa yang sesuai dan mudah
dipahami.
Selanjutnya tinggal kita terapkan pada materi materi yang lain. Dan kita bisa melakukannya
di rumah, di jalan, pasar, ketika bertamu atau apapun aktivitas bersama anak.

Jadi ketika menghadapi tuntutan lingkungan yang selalu berubah, bukan anak yang kita rubah
namun cara kita dalam mendidik yang perlu dimodifikasi. Karena sekolah hanyalah sarana
bukan pendidik utama. Kalo bukan kita siapa lagi?

Anda mungkin juga menyukai