Fajri Imaduddin
NIM : 083144200
Kelas : K.4
Di samping itu, masih ada beberapa hal lainnya mengenai bai alistishna
yang perlu diketahui:
Agar lebih mudah membedakan antara bai salam dan bai al-istishna,
berikut ini tabel yang membandingkan dua hal tersebut:
Pokok+ba Pokok+ba
gi hasil gi hasil
KEUNTUNGA
N
3) Wadiah
Wadiah adalah penitipan yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan
menitipkan suatu benda untuk dijaga secara layak dan apabila ada
kerusakan pada benda titipan penerima titipan tidak wajib menggantinya
apabila bukan disebabkan kelalaian penerima titipan. Mengenai landasan
ayat, skema, dan ketentuan lainnya sudah dibahas di penghimpunan dana.
4) Hawalah
Hawalah (anjak piutang) adalah pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Selanjutnya Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 12/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Hawalah menyatakan sebagai berikut:
Pertama: Ketentuan umum dalam Hawalah:
a) Rukun hawalah adalah muhil, yaitu orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang; muhal atau muhtal, yaitu orang yang berpiutang kepada
muhil; muhal alaih, yaitu orang yang berutang kepada muhil dan
wajib membayar hutang kepada muhtal; muhal bih, yaitu utang muhil
kepada muhtal; dan sighah (ijab qabul).
b) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak;
c) Akad dituangkan secara tertulis, melalui koresporensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi moder
d) Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal
dan muhal alaih
e) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akadd
secara tega
f) Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat
hanyalah muhtal dan muhal alaih; dan hak penagihan muhal berpindah
kepada muhal alaih.
Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah. Untuk memudahkan dalam memahami hawalah, berikut
skemanya:
Utang dipindahkan dari muhil kepada muhal alaih sehingga muhal alaih-lah
yang membayar utang kepada muhal, sedangkan muhil lepas dari beban
utang sementara itu, berikut syarat sah hawalah:
a) Muhil
Muhil harus aqil dan baligh. Hawalah anak mumayyiz tidak sah
kecuali atas izin walinya.
Ada kerelaan muhil. Jika muhil dipaksa, hawalah tidak sah.
b) Muhal
Muhal harus akil dan baligh. Hawalah anak mumayyiz tidak sah
kecuali atas izin walinya.
Ada kerelaan muhal. Jika muhal dipaksa, hawalah tidak sah.
c) Muhal alaih
Adanya kesamaan kedua utang; baik jenis, jumlah, maupun jatuh
tempo.
Kepastian kesanggupan muhal alaih. Jika peng-hawalah-an itu
kepada pegawai yang gajinya belum tentu dibayar, hawalah tidak sah
karena sumber pembayarannya belum pasti. Jadi, peng-hawalah-an
itu kepada pegawai yang gajinya tentu dibayar.
Piutang yang dialihkan itu sudah pasti. Jika utang itu dalam bentuk
jual beli yang masih dalam masa khiyar, hawalah tidak sah karena
jual belinya belum pasti.
5) Rahn
Rahn atau gadai ialah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Selanjutnya Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/IV/2002 tentang Rahn menjelaskan sebagaimana berikut:
Pertama: Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Kedua: ketentuan Umum
a) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi.
b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya,
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar pengganti biaya perawatan dan pemeliharaan.
c) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga murtahin, sedangkan
biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e) Penjualan marhun
Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang secara syariah
Hasil penjualan digunakan untuk melunasi hutang, biaya
pememliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya
penjualan
Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dengan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Sehubungan dengan itu ada hal-hal yang terkait rahn dapat dijelaskan
sebagaimana berikut:
1) Syarat rahin (orang yang berakad rahn) adalah cakap bertindak hukum
(baligh dan berakal).
2) Syarat marhun (barang)
Dapat diperjualbelikan
Jelas
Bermanfaat
Milik rahin
Bisa diserahkan
Tidak bersatu dengan harta lain
Dikuasai oleh rahin, dan
Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
3) Syarat marhun bih (utang) adalah
Marhun bin adalah berupa utang yang wajib diberikan kepada
orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun
berbentuk benda, dan
Marhun bih dapat dibayarkan (diserahkan) kepada rahin (yang
menggadaikan).
4) Mengenai pemanfaatan barang oleh murtahin, ulama hanafiyah
berpendapat bahwa murtahin tidak berhak memanfaatkannya sebab ia
hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya,
sekalipun diizinkan oleh rahin. Jika diisyaratkan ketika akad untuk
memanfaatkan barang, hukumnya haram sebab termasuk riba. Ulama
safiiyah dan malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan barang
jika diizinkan oleh rahin atau diisyaratkan ketika akad dan barang
tersebut merupakan barang yang dapat diperjualbelikan serta
ditentukan waktunya secara jelas. Adapun murtahin diperbolehkan
memanfaatkan barang sekedarnya (tidak boleh lama), itupun atas
tanggungan rahin.Adapun barang selain hewan tidak boleh
dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
Fungsi penggadaian dalam islam adalah semata-mata untuk
memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam
bentuk marhun sebagai jaminan dan bukan untuk kepentingan
komersial dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya
tanpa menghiraukan kemampuan oarang lain.
Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad
adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak
atau lebih yang berkeinginan untuk mengikatkan diri dalam
muamalah.
6) Wakalah
Wakalah (perwakilan) ialah penyerahan , pendelegasian, atau pemberian
mandat.Jasa ini timbul dari hasil pengurusan sesuatu yang dibutuhkan
anggota BMT. Dengan kata lain anggota mewakili BMT untuk
menyelesaikan suatu urusan. Misalnya pengurusan SIM bagi anggota
BMT, Anggota tersebut mewakili BMT untuk mengurus SIM.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Wakalah menyatakan sebagai berikut :
Pertama ketentuan tentang Wakalah :
a) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)
b) Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan
secara sepihak.
Kedua, Rukun dan Syarat Wakalah :
a) Syarat syarat muwakkil (yang mewakilkan)
(1) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang
diwakilkan.
(2) Orang mukallaf dan anak mumayyiz dalam batas batas gtertentu,
yaitu dalam hal hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan
untuk menerima hibah, sedekah dan lainnya.
b) Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
(1) Cakap hokum
(2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya
(3) Wakil adalah orang yang diberi amanat
c) Hal-hal yang diwakilkan
(1) Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakil
(2) Tidak bertentangan dengan syariah Islam
(3) Dapat diwakilkan menurut Islam
Ketiga
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadiperselisihan diantara para pihak, maka penyelesaikan dilakukan
melalui Badan Abitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
7) Kafalah
Kafalah ialah jaminan yang diberikanoleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-MUI-IV/2000 tentang
kafalah menyatakan sebagai berikut.
Pertama : Ketentuan Umum Kafalah :
a) Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak(akad)
b) Dalam akad kafalah,penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang
tidak memberatkan.
c) kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan
secara sepihak.
Apabila dalam satu bulan tidak ada satu realisasi pembiayaan, tidak
perlu melapor
B. SISTEM DISTRIBUSI BAGI HASIL BMT
1 Landasan Syariah Distribusi Bagi Hasil
Qs. Al-maidah (5)wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-
janji
Janji disini adalah janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
2 Prinsip Distribusi Hasil Usaha
Fatwa Dewan Syariah Nasioanal Nomor 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang
prinsip distribusi hasil usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah secara
menyetakan.
a. Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (net
revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam
pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabahnya)
b. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil
usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (net revenue sharing)
Pada bagi hasil dengan prinsip net revenue sharing, yang dibagikan
adalah pendapatan (revenue). Pemilik dana menanggung kerugian jika
usaha dilikuidasi dan jumlah aktiva lebih kecil dari kewajiban.
Sementara itu, bagi hasil dengan prinsip profit sharing, yang dibagikan
adalah keuntungan (profit).Jika kerugian disebabkan bukan kareana
kelalaian pengelola usaha, ditanggung pemilik dan bukan merupakan
bagi rugi (loss sharing), yaitu kerugian dibebankan kepada pengelola
usaha.
A1+A2+A3+...A31