Anda di halaman 1dari 3

Emil Salim : Sistem Ekonomi Pancasila

By jakarta45 Leave a Comment


Categories: Artikel, Dokumen Bersejarah, Jiwa Semangat Nilai-nilai 45 and Opini
Tags: Economics, Leadership, Nation & Character Building, Nationalism, politics,
Statemanship

Sistem Ekonomi Pancasila

oleh Emil Salim [Kompas, 30 Juni 1966]

Di dalam usaha-usaha membina sistem eonomi yang khas bagi Indonesia, kiranya, sebaiknya
kita berpegang pada pokok-pokok fikiran sebagaimana tercantum dalam Pancasila,
khususnya dokumen Lahirnya Pancasila dan UUD 45, khususnya pasal-pasal 23, 27, 33
dan 34.

Dari Pancasila adalah sila Keadilan Sosial yang paling relevan untuk ekonomi. Sila ini
mengandung dua makna, yakni sebagai prinsip pembagian pendapatan yang adil dan prinsip
demokrasi ekonomi.

Ditempatkan dalam persepketif sejarah maka hasrat ingin mengejar pembagian pendapatan
yang adil mudah difahami. Pembagian pendapatan di masa penjajahan adalah sangat tidak
adil. Kurang daripada 3% dari jumlah penduduk [yang terutama adalah bangsa asing]
menerima lebih dari 25% dari pendapatan nasional Indonesia. Karenanya, maka pola
pembagian pendapatan serupa ini perlu dirombak secara drastis.

Akan tetapi yang dikejar bukan saja masyarakat yang adil dalam pembagian pendapatannya
tapi juga masyarakat yang makmur. Ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan dari pendapatan
nasional harus juga meningkat.

Di masa penjajahan, pertumbuhan eonomi berlangsung berdasarkan free fight competition


liberalism. Dalam pertarungan kompetisi ekonomi serupa ini, bangsa Indonesia tertinggal
oleh karena tidak memiliki alat-alat produksi yang compatible. Maka sistem ekonomi liberal
serupa ini menambahkan ketidakadilan dalam pembagian pendapatan, karena yang ekonomi
kuat, semakin kuat, sedangkan yang lemah ketinggalan.

Guna menghindari pengalaman pahit serupa inilah, sila Keadilan Sosial menekankan
perlunya: demokrasi ekonomi. Hakekatnya adalah suatu medezeggenschap di dalam unit
ekonomi [pabrik, perusahaan, ekonomi negara dan lain-lain].

Prinsip demokrasi ekonomi ini terjelma dalam UUD 45 pasal 23, 27, 33 dan 34. Di dalam
pasal 23 yang menonjol adalah hak budget DPR-GR. Ini berarti bahwa pemerintah boleh
menginginkan rupa-rupa hal, rencana dan proyek, akan tetapi pada instansi terakhir adalah
rakyat sendiri yang memutuskan apakah rencana atau proyek bakal dilaksanakan, oleh karena
hak-budget, hal menetapkan sumber penerimaan negara [pajak] dan macam-macam serta
harga mata uang berada di tangan DPR-GR.

Inilah prinsip medezeggenschap atau demokrasi ekonomi dalam sistem ekonomi pancails
kita. Dan untuk mencek kemudian apakah pemerintah tidak menyimpang dari kehendak
DPR-GR, maka DPR-GR dapat menggunakan pemeriksaan melalui Badan Pemeriksaan
Keuangan.

Tentu semuanya ini di dalam iklim kehidupan kenegaraan di mana rechtszekerheid terjamin.
Oleh karena itu, pasal 27 mewajibkan semua kita [baik penguasa tertinggi maupun warga
negara biasa] menjunjung Hukum.

Di dalam sistem ekonomi yang menjamin demokasi-ekonomi maka tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak [pasal 27]. Hak atas pekerjaan tidaklah
melulu privilege suatu kliek atau golongan tertentu. Semua berhak memperoleh equal
opportunity.

Akan tetapi manakala ia jatuh terlantar menjadi fakir miskin, maka naluri kemanusiaan kita,
sesuai jiwa Pancasila, menugaskan kepada negara untuk memelihara mereka yang terlantar
itu [pasal 34].

Prinsip demokrasi ekonomi juga menjelma dalam pasal 33 Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas azas kekeluaragaan. Di sini [dalam pengjelasan tentang UUD]
menonjol tekanan pada masyarakat: Produksi dikerjakan di bawah pimpinan atau
pemilikan anggota-nggota masyarakat.

Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang.


Masyarakat tidak sama dengan negara. Sehingga jelaslah bahwa sistem ekonomi
Pancasila tidak saja menolak free fight liberalism akan tetapi juga etatisme [ekonomi
komando], di mana negara beserta aparatur ekonomi negara berdomisili penuh dan
mematikan inisiatif masyarakat.

Tetapi ini tidak berarti bahwa negara lalu berpangku-tangan. Pasal 33 juga menekankan
bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai negara. Sedangkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi dikuasai negara untuk digunakan bagi kemakmuran rakyat.

Jadi negara menguasai sektor-sektor yang strategis. Maka dapatlah sistem ekonomi pancasila
ini diumpamakan seperti lalu-lintas di Jakarta. Masing-masing anggota masyarakat bebas
berjalan di jalan-jalan. Akan tetapi dalam kebebasan itu terkandung pertanggungjawaban
untuk mengutamakan kepentingan umum.

Kita tak bisa sesuka hati tancap gas dan membahayakan lalu-lintas. Karena itu maka
peraturan lalu-lintas harus dipatuhi. Untuk mengatur kelancaran lalu lintas, polisi lalu lintas
menguasai tempat-tempat strategis, seperti simpang empat, lima dan sebagainya. Polisi lalu
lintas tidak menguasai semua jalan, paling-paling sewaktu ia mencek dan mengontrol. Jalan
yang kita pijak, hawa yang kita hirup, sungguh pun kita jalani, adalah bukan milik individu,
tetapi milik negara.

Maka begitulah secara sederhana sistem ekonomi Pancasila. Ia tidak ketat seperti sistem
ekonomi etatisme ala Uni Sovyet, tidak pula liberal ala Amerika Serikat. Ia adalah kebebasan
dengan tanggungjawab, keteraturan tanpa mematikan inisiatif rakyat, mengejar masyarakat
yang adil dan makmur atas landasan demokrasi ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai