Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang

Dalam dunia hukum, pertanyaan yang seringkali muncul adalah mengapa

hukum tak kunjung tegak? Apa gerangan yang harus didakwa sebagai biang

penyebabnya? Mengapa di negeri jiran itu hukum dapat tegak, sedangkan di negeri

sendiri tidak demikian halnya. Tak pelak lagi, karena tegaknya hukum itu merupakan

sesuatu yang sine qua non bagi kelestarian kehidupan yang tertib dan yang karena itu

juga membahagiakan, maka upaya harus dilakukan untuk menemukan solusi. Tak

pelak pula, langkah yang secara keilmuan terbilang strategis dan yang secara politis

terbilang taktis harus segera diambil?

Mengambil langkah penyelesaian penegakan hukum, suatu kerja pendahuluan

mestilah dikerjakan. Pertama-tama, upaya yang harus didahulukan adalah upaya

untuk mengidentifikasi objek yang hendak diposisikan sebagai sasaran studi dan

penggarapan, ialah hukum nasional yang harus bisa ditegakkan dan tegak kembali

itu. Kalaupun orang tak hendak mendefinisikan hukum nasional itu tak sebatas

hukum undang-undang bentukan badan legislatif semata tetaplah akan diketahui

nanti bahwa wilayah konseptual yang tercakup dalam pengertian dan permasalahan

hukum nasional ini tak hanya akan meliputi sahihnya teks-teks perundang-undangan

saja, akan tetapi juga akan masuk ke wilayah konteks-konteksnya.

Sungguh benar apa yang dikemukakan Lawrence Friedman (dalam bukunya

The Legal System: A Social Science Perspective, 1975) bahwa untuk kepentingan

1
analisis teoretik, demi kedayagunaannya yang praktikal, hukum nasional itu, sebagai

suatu sistem institusional, mestilah dikenali dalam tiga gatranya. Disebutkan dan

dibentangkan secara agak terurai, ketiga gatra itu ialah substansi perundang-

undangan, struktur organisasi pengadaan beserta penegakannya, dan yang ketiga ialah

kultur yang akan ikut menjadi determinan bermakna-tidaknya hukum dalam

kehidupan nasional dari hari ke hari. Merupakan suatu kekeliruan apabila upaya

mengefektifkan bekerjanya hukum atau yang diistilahi menegakkan hukum dalam

perbincangan kali ini orang yang hanya berkonsentrasi pada kerja memperbaiki atau

mengamandemen hukum perundangundangannya saja tanpa membenahi struktur

organisasi yang ada pada sistem hukum nasional. Demikian juga permasalahannya,

apabila dalam kerja-kerja penegakan hukum orang hanya berkonsentrasi pada intensi

kekuatan struktural dan mengabaikan interpretasi kultural para insan pencari

keadilan, vise versa.

Diartikan secara luas, dengan demikian upaya penegakan hukum tidak lagi

harus dibataskan hanya pada kerja-kerja polisionil yang di dalam bahasa Inggris

disebut legal enforcement melainkan kerja mereformasi sistem hukum. Kerja

reformasi hukum ini pun sudah semestinya tak cuma dibataskan pada memperbaharui

hukum undang-undang semata yang di dalam bahasa Inggris disebut legal reform,

melainkan law reform. Adapun yang tercakup dalam pengertian law reform ini, yang

juga akan mencakup apa yang disebut judicial reform, ialah seluruh proses yang

dijalani untuk menelaah seluruh aspek sistem perundang-undangan yang ada, dalam

rangka upaya mengefektifkan perubahan di dalam sistem hukum yang ada demi

2
tertingkatkannya efisiensi sistem dalam fungsinya memberikan layanan kepada

khalayak ramai yang tengah mencari keadilan.

Dalam era reformasi yang terjadi saat ini, dalam rangka supremasi hukum,

lembaga yang paling banyak disorot adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri

negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan

harus independent serta impartial (tidak memihak). Peradilan yang bebas pada

hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-

adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh

ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan asas lebih ditujukan kepada proses

pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif. Dengan kata lain,

independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan asas con tante justitie

berkaitan dengan nilai-nilai prosedure.

Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan

sebagai cara untuk melakukan penegakan hukum.1 Hal senada dikemukakan oeh

Luhut MP. Pangaribuan yang menyebutkan bahwa istilah peradilan dalam persfektif

penegakan hukum mengacu pada berjalannya satu mekanisme tertentu dalam satu

sistem (yang baku). Berjalannya mekanisme ini digerakkan oleh aparatur penegak

hukum (Formal : Polisi, Jaksa, Advokad dan Hakim) dalam sistem yang diatur

dalam hukum acara. Adanya kecenderungan harmonisasi aparatur dan sistem yang

belum pernah disempurnakan membuat adanya peluang (loop holes) untuk intervensi

kekuasaan.2 Secara sosiologis ternyata proses hukum tidak hanya berlangsung di


1
Ediwarman, Kuliah Hukum Sistem Peradilan, Program S3 Pasca Sarjana USU
Medan.
2
Luhut M.P. Pangaribuan, hal 1 (http://www.hukumonline.html), lihat juga
https://www.library. ohiou.edu/indopubs/1997/07/02/0008.html, diakses 2 Mei

3
atas rel peraturan dan institusi hukum formal, melainkan cukup intensif digerakkan,

dibolehkan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor meta juridis, seperti kekuasaan politik,

ekonomi dan kebudayaan.3

Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan

khususnya yang dicita-citakan pada masa yang akan datang. Sistem Peradilan itu

sendiri meliputi:

1. Struktur

2. Substansi

3. Kultural

Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

lain.

Dalam melakukan pengamatan terhadap berlakunya hukum secara lengkap,

Sacipto Rahardjo menyebutkan adanya berbagai unsur yang harus terlibat yaitu :4

1. Peraturan Sendiri.

2. Warga negara sebagai sasaran peraturan.

3. Aktivitas birokrasi pelaksana.

4. Kerangka sosial politik ekonomi budaya yang ada yang turut menentukan

bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang

menjadi bagiannya.

Unsur-unsur yang dikemukakan di atas selanjutnya harus dilihat hubungannya satu

sama lain dalam suatu proses interaksi yang dinamis.


2016.
3
Satjipto Rahardjo, Kompas 30 Mei 1997.
4
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum Di Indonesia (Bandung: Penerbit
Alumni, 1983), hal 13-14.

4
Dengan menggunakan alat analisa tersebut maka selanjutnya akan ditemukan

berbagai macam kekhasan berlakunya hukum yaitu Hukum yang Tidur 5, Hukum

yang dikesampingkan6, Hukum yang lumpuh7. Kondisi hukum sebagaimana

diuraikan oleh Satjipto Rahardjo di atas saat ini paling banyak terjadi dalam

kehidupan penegakan hukum di Indonesia.

I.2. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas serta memberi arah yang tepat dalam pembahasan ini dan

berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi permasalahan

pada sistem peradilan yang diharapkan terjadi di Indonesia dan jalan keluar yang

harus dilakukan untuk mewujudkan sistem peradilan tersebut.

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem peradilan Indonesia

saat ini, sistem peradilan yang diharapkan, dan jalan keluar yang harus dilakukan

terhadap sistem peradilan tersebut.

I.4. Metode Penelitian

5
Satjipto Rahardjo menyebutkan hukum yang tidur adalah suatu peraturan
hukum yang lambat laun, berkat proses interaksi di antara unsur-unsur yang
disebutkan di atas, tidak dijalankan lagi dan menjalani masa tidurnya. Ibid.
6
Hukum Yang dikesampingkan adalah bila suatu peraturan hukum itu oleh
masyarakat dirasa tidak memadai lagi dan masyarakat lalu mencari jalannya
sendiri untuk mengatur masalah yang kini dihadapinya. Ibid.
7
Hukum yang lumpuh adalah terdapatnya kecenderungan masyarakat untuk
menafsirkan suatu peraturan hukum itu demikian longgarnya, sehingga praktis
setiap saat peraturan itu selalu dilanggar. Ibid.

5
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini disesuaikan dengan

permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang

menganalisa hukum yang tertulis.

2. Data dan Sumber Data

Dalam menyusun penulisan ini, data dan sumber data yang digunakan adalah

bahan hukum sekunder dan tersier.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti RUU, hasil-hasil penelitian atau

pendapat pakar hukum.

Bahan tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus

(hukum), ensiklopedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum

normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research).

Penulis menggunakan suatu penelitian kepustakaan/library research. Dalam

hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan atau

disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka yang disebut dengan data sekunder, berupa

6
perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, sejumlah buku-buku, artikel-

artikel baik dari surat kabar, majalah maupun media elektronik yang semua itu

dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat

teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan ini termasuk ke dalam

tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan

kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang dibahas.

Analisa data dilakukan dengan:

a. Mengumpulkan bahan bahan hukum yang relevan dengan permasalahan

yang diteliti.

b. Memilih kaidah kaidah hukum/ doktrin yang sesuai dengan penelitian.

c. Mensistematisasikan kaidah kaidah hukum, azas atau pasal atau doktrin

yang ada.

d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kualitatif.

I.5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan

penulisan ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta

mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari penulisan ini.

7
Keseluruhan penulisan ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis besar isi

babbab diuraikan sebagi berikut:

BAB PERTAMA: PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB KEDUA: PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang sistem peradilan yang diharapkan terjadi di

Indonesia dan jalan keluar yang harus dilakukan untuk mewujudkan sistem

peradilan tersebut.

BAB KETIGA: KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari

permasalahan yang dikemukakan serta saransaran atas jawaban permasalahan

tersebut.

8
BAB II

PEMBAHASAN

Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Lili Rasjidi

menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu menarik dan

tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum atau stelsel

hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-pemikiran baru

sekalipun di luar disiplin hukum selalu dapat membawa pengaruh kepada sistem

hukum.8

Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu:9

Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah,

namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap

bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang

berkesinambungan aspek sistem yang berada di sini kemarin ( atau bahkan pada

abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem

hukum kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi

semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Struktur sistem hukum terdiri

dari unsur berikut ini : jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis

perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta mengapa), dan cara naik banding dari

8
Dikutip dalam Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam
Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, 1996), hlm.
149.
9
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum
Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, (Jakarta: Penerbit PT.
Tatanusa, 2001), hlm. 7 9.

9
satu pengadilan ke pengadilan lain. Jelasnya struktur adalah semacam sayatan sistem

hukum semacam foto diam yang menghentikan gerak.

Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yaitu aturan, norma, dan pola

prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk

yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu keputusan yang

mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada

hukum hukum yang hidup (Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum

(law books).

Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap

manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta

harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan

kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau

disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya

seperti ikan yang mati terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang

di lautnya.

Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti struktur hukum seperti

mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya

hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan

mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.

Berkaitan dengan hal di atas, apabila teori Lawrence M Friedman di atas

dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia saat ini maka dalam struktur terdapat

empat lingkungan peradilan yaitu, yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer,

10
tata usaha negara. Peradilan Niaga termasuk ke dalam lingkungan peradilan umum.

Masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai tingkatan yang berpuncak

pada Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara. Setiap pengadilan memiliki

yurisdiksinya sendiri-sendiri baik secara absolut maupun relatif. Hubungan antara

polisi, jaksa, hakim, pengacara, terdakwa dan lain-lain menunjukkan suatu struktur

sistem hukum.

Friedman menyebutkan, bahwa struktur adalah .... is a kind of cross section of

the legal system - a kind of dtill photograph, which freezes the action.10 Struktur

berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya,

hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur

yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang

bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah memenuhi rasa keadilan, tidak

diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan perundang-

undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya

untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat

terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.11

Berdasarkan komponen Friedman di atas, Achmad Ali berpendapat bahwa

kondisi Sistem Hukum Nasional Indonesia, sangat menyedihkan dan mengalami

keterpurukkan yang luar biasa. Keterpurukan tersebut tidak akan berhasil diperbaiki

10
Lawrence M. Friedman, American Law (New York: W.W Norton & Co, 1984), hlm.
5.
11
Artikel Utama, Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 3.

11
apabila sosok-sosok the dirty broom (sapu kotor) masih menduduki jabatan di

berbagai institusi hukum.12

Penciptaan berbagai peraturan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru

timbul kondisi hiperregulated tersebut membuat masyarakat lebih apatis.

Sementara itu institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice

semata tanpa memperdulikan substansial justice sehingga segala sesuatu dilihat dari

dua hal yang jukstaposisional saja yaitu benar salah, hitam putih, menang kalah,

halal haram dan sebagainya. Sementara itu arus reformasi yang tidak terkendali

(kebablasan) telah menciptakan masyarakat yang berperilaku/berbudaya membabi

buta (blind society). Kondisi keterpurukan ke tiga komponen sistem hukum tersebut

telah menjadikan hukum tidak berfungsi sama sekali dan apa yang disebut sistem

hukum nasional Indonesia menjadi sulit diterima.

Secara lengkap Achmad Ali menyebutkan :

Semakin rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum dan

penegakan hukum, disebabkan warga secara kasat mata menyaksikan dan

mengetahui sendiri betapa sandiwara hukum dan lebih khusus lagi

sandiwara peradilan masih terus berlangsung. Kita masih tetap pantas untuk

mengalunkan syair lagu aku masih tetap seperti yang dulu. Sosok-sosok

penegak hukum yang kini masih bergentayangan masihlah sosok-sosok lama

dengan paradigma lama, tetapi dengan kemasan baru. Konkretnya sosok-

sosok sapu kotor di lingkungan penegakan hukum masih eksis dan semakin

12
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya)
(Jakarta: Penerbit Ghalia, 2001), hlm. 10 11.

12
hari semakin memperkokoh posisinya. Serentetan kasus-kasus hukum dan

peradilan yang muncul di media massa. Seperti berita kasus suap menyuap

kelas kakap masih berlangsung ditubuh Mahkamah Agung , berita perintah

penundaan penuntutan tiga konglomerat dan lain-lain sebagai akibat tidak

profesionalnya aparat penegak hukum teramat mengecewakan rakyat banyak.

Kesemuanya makin menurunkan citra penegakan hukum.

Dan jalan keluar dari segala keterpurukan itu adalah secara klasik berupa

pembenahan instiusi dan aparatur hukum. Pembenahan itu harus dilakukan secara

drastis, tanpa harus mengganggu berjalannya sistem formal hukum yang sedang

berjalan.

Dalam hukum formal, acara sidang dalam tradisi common law sangat

Menekankan pada kelisanan (orality). Pengadilan Common Law lebih suka ucapan

dari dokumen tertulis. Sedangkan dalam Civil Law, sistem yang dipergunakan adalah

sistem selidik (inquisitoriasl system). Dari sejarahnya Civil Law tidak menggunakan

dewan juri, dan keberadaan penasehat hukum di ruang sidang pengadilan tidak

sedominan penasehat hukum negara common law.

Peradilan merupakan suatu macam penegakan hukum, karena aktivitasnya tidak

terlepas dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum itu.

Terdapat perbedaan antara peradilan dan pengadilan. Peradilan menunjuk kepada

proses mengadili, sedangkan pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses

tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah

13
kepolisian, kejaksaan dan advokat. Hasil akhir dari proses peradiln tersebut berupa

putusan pengadilan.

Bagi ilmu hukum, bagian penting dalam proses mengadili terjadi saat hakim

memeriksa dan mengadili suatu perkara. Pada dasarnya yang dilakukan oleh hakim

adalah memeriksa kenyataan yang terjadi, serta menghukuminya dengan peraturan

yang berlaku. Pada waktu itu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang

berlaku untuk satu kasus. Pada waktu itulah penegakan hukum mencapai puncaknya.

Hans Kelsen menyebutkan bahwa proses penegakan hukum yang dijalankan oleh

hakim demikian disebut sebagai Konkretisierung.

Dalam persfektif sosiologi, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multi

fungsi dan merupakan tempat untuk record keeping, site of administrative

processing , ceremonial changes of status, settlement negotiation, mediations

and arbitartion dan warfare.

Sacipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga peradilan adalah

tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak berkembang

menjadi konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun,

fungsi itu hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4 (empat) prasyarat:13

1. Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh

keadilan seperti mereka kehendaki;

13
Sacipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung: Penerbit Alumni,
1986), hlm. 107.

14
2. Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang

mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-

nilai utama lainnya;

3. Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia;

Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh

perlindungan hukum.

Bagaimana dengan substansi hukumnya di Indonesia? Dalam perkembangan

sejarah berfungsinya hukum di Indonesia, Mochtar Kusumatmadja pernah

mengadopsi pemikiran Roscoe Pound, salah seorang pendukung Sociological

Jurisprudence. Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja ini dikenal dengan Mazhab

UNPAD. Dalam konsep ini hukum dijadikan sebagai sarana untuk melakukan

pembaruan dalam masyarakat.14 Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk tujuan yang

praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial dan

ekonomi. Model pemikiran Roscoe Pound ini lebih dirasakan oleh negara-negara

berkembang dari pada negara maju karena mekanisme hukum di negara-negara

berkembang belum semapan di negara-negara maju. Hukum harus dapat lebih

14
Berbeda dengan konsep Roscoe Pound yang menyatakan hukum adalah
sebagai alat, Mochtar Kusumaatmadja tidak mengartikannya sebagai alat tetapi
sebagai sarana. Menurutnya pengertian sarana lebih luas dibandingkan dengan
alat. Alasannya adalah : (1) di Indonesia peranan perundang-undangan dalam
proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya dibandingkan dengan di
Amerika Serikat, yang menempatkan yruisprudensi (khususnya putusan Supreme
Court) pada tempat yang lebih penting. (2) konsep hukum sebagai alat akan
mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dari penerapan legalisme
sebagaimana pernah diterapkan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia
ada sikap yang menunjukan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan
konsep seperti itu, (3) apabila hukum di sisni termasuk juga hukum internasional,
maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan
jauh sebelum konsep itu diterima resmi sebagai landasan kebijakan hukum
nasional.

15
berperan dalam melakukan control terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,

sehingga hukum dapat mengarahkan kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik yang

diinginkan.

Pokok-pokok pikiran yang melandasai konsep hukum sebagai sarana untuk

pembaruan masyarakat adalah :

1) Bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan

memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan

2) Bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan

manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan oleh pembangunan

dan pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum

yang tertulis ( baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum

yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan dengan hukum yang hidup

dalam masyarakat.

Meskipun konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana

dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja merupakan konsep pembangunan hukum

yang palinG tepat dan relevan sampai saat ini. Namun masalahnya terletak pada

seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidang-

bidang hukum yang dianggap netral itu) telah diantisipasi dampaknya bagi

masyarakat secara keseluruhan.

Darji Darmodihardjo mengemukakan ada tiga catatan yang dapat diberikan

berkaitan dengan hal di atas:15

15
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem
Hukum Indonesia (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 180
181.

16
Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem,

yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk

itu pengembangan satu bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan

berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan

perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan

masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebut sebagai bidang

yang netral.

Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial

seringkali menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Sebagai contoh,

pembentukan Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, sesungguhnya dapat dilihat dalam konteks ini. Produk hukum tersebut dapat

dikatakan sebagai wujud social engineering untuk mengarahkan masyarakat

Indonesia dari kebiasaan tidak disiplin berlalu lintas menjadi disiplin. Kendati

demikian kondisi ideal seperti diharapkan oleh Undang-undang tersebut rupanya

terlalu jauh dari kenyataan sosial yang ada. Masyarakat merasa belum siap untuk

mengikuti instrumen hukum itu. Akibatnya, stabilitas sosial (bahkan politik)

terganggu. Sebagai pemecahannya, diberikan beberapa konsesi kepada masyarakat

dengan menerapkan isi undang-undang itu secara bertahap, yang sebelumnya tidak

pernah dibayangkan akan terjadi.

Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan

peraturan hukum tertulis karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami

keterbatasan. Konsep ini memerlukan peranan aparat penegak hukum yang

17
profesional, untuk memberi jiwa pada kalimat-kalimat yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan itu. Aparat hukum, khususnya hakim, harus mampu menggali

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam

Pasal 27 UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, dan kemudian menggunakan nilai-nilai yang baik itu dalam rangka

menerjemahkan ketentuan hukum yang berlaku.

A. Lawrence Friedman (seperti dikutip oleh Robert Seidman), mengajukan

usulan untuk menghadapi terjadinya perubahan sosial, dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut:

a. Bagaimana hukum menetapkan, memantau atau sebaiknya mengatur fakta

atau langkah perubahan sosial.

b. Apakah sistem hukum dan kelembagaan hukum dapat membantu atau

menghambat masyarakat yang maju ke arah modernisasi .

c. Apakah hukum membantu pertumbuhan ekonomi.

d. Bagaimanakah hukum mempelopori atau menggelapkan jalan menuju

kebijaksanaan atau stabilitas politik.

e. Bagaimanakah sebuah masyarakat bisa meningkatkan sistem keadilannya.

Kesemua pertanyaan itu dimaksudkan untuk menjelaskan konsep suatu sistem

hukum yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu :

- Aturan-aturan hukum substantif;

- Lembaga-lembaga hukum (pengadilan dll);

- Kontribusi keberdayaan hukum (nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap hukum).

18
L. Friedman mengatakan perlu dicari suatu sistem hukum yang paling baik untuk

membantu pembangunan, untuk menghadapi perubahan sosial yang sedang berjalan

saat ini.16

Dalam penegakan hukum, sesuai kerangka Friedman, hukum harus diartikan

sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan

budaya hukum (culture of law). Penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui

perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas

hukum. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum

masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.

Dalam suatu negara, institusi yang memiliki kekuasaan untuk membentuk

undang-undang merupakan pihak akhir yang menentukan apa yang menjadi kebijakan

pemberlakuan suatu undang-undang. Hanya saja dalam menetapkan kebijakan

pemberlakuan, institusi yang membentuk undang-undang kerap dipengaruhi oleh

berbagai faktor, baik faktor yang berasal dari dalam (faktor internal), maupun faktor

yang berasal dari luar (faktor eksternal).17

Unsur-unsur hukum yang menjadi sasaran pembangunan adalah substansi

hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga unsur tersebut sejalan dengan

pendapat Friedman yang menyebutkan adanya tiga unsur hukum yaitu substance,

16
B. Robert Seidman, Law and Development, Wisconsin: University Wisconsin
Madison.
17
Hikmahanto Juwana, Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Bidang
Perekonomian, Majalah Hukum Nasional No.1 Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2007, hlm. 64-65.

19
structure, dan culture. Ketiga unsur tersebut harus dibangun secara bersamaan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Akhirnya penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan

dan kepastian hukum. Karena tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin

terciptanya keadilan (justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan

hukum (equality before the law).

Penegakan hukum sebagai suatu sistem harus dilakukan dalam proporsi yang

baik dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan

hukum yang bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender.

Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Sesungguhnya

keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami hak-hak

warga negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.

Bagi suatu negara seperti Indonesia yang sedang mengalami masa

pembangunan dan perubahan sosial, adalah diseyogyakan sekali apabila pengkajian

terhadap hukum itu selalu dikaitkan pada pertanyaan-pertanyaan standar, seperti:

1. Apakah identitas dan fungsi hukum ini sesuai dengan struktur masyarakat

yang dilayaninya ?

2. Apakah peranan hukum ini di dalam masyarakat ?

3. Fungsi positif dan negatif mana yang ada pada hukum sekarang ini ?

Dalam rangka membangun sistem peradilan di Indonesia maka terkait di

dalamnya pembangunan substansi hukumnya. Apabila sistem peradilan dimaksudkan

sebagai penegakan hukum maka hal ini juga akan berhubungan dengan fungsi hukum

20
sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Dalam hal ini hukum harus menjalani suatu

proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-

beda. Secara garis besar aktivitas itu berupa pembuatan hukum dan penegakan

hukum.

Sacipto Rahardjo18 menyebutkan pembuatan hukum merupakan awal dari

bergulirnya proses pengaturan tersebut. Ia merupakan momentum yang memisahkan

keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Ia merupakan

pemisah antara dunia sosial dengan dunia kenyataan hukum , oleh karena sejak

saat itu kejadian dalam masyarakatpun mulai ditundukan pada tatanan hukum.

Tunduk pada tatanan hukum berarti tunduk pada penilaian hukum, ukuran hukum dan

akibat-akibat hukum.

Hukum harus dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan

akar relijiusnya, sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu

cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak

sesuai dengan nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang

muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut

sanksi), dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar

menganggap aturan hukum itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya.

Ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan institusinya yang kemudian

diekspresikan dalam bentuk pengadilan massa sebagaimana yang banyak terjadi

akhir-akhir ini, merupakan salah satu bentuk pembangkangan sipil (civil

18
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1991),
hlm. 176.

21
disobedience) untuk menuntut perubahan hukum. Sudjono Dirdjosisworo

menyebutkan bahwa di berbagai negara, pembangkangan sipil terbukti mampu

menjadi instrumen bagi perubahan hukum atau paling tidak dapat meningkatkan

percepatan bagi perubahan hukum.19

Pada akhirnya, independence of the judiciary. Semua akan berpulang pada

pranata kekuasaan kehakiman itu. Bila independence of the judiciary bisa dielaborasi

dan diimplementasikan dalam sistem dan praktek maka kemungkinan adanya peluang

muncul peradilan yang sesaat dapat dihindari secara terus menerus.

19
Sudjono Dirdjosisworo, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa (Bandung:
Penerbit Alumni 1985), hlm. 74.

22
BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Sistem peradilan yang diharapkan yang akan berlaku di masa datang adalah

suatu sistem yang mampu menempatkan hukum kembali ke akar moralitasnya, akar

religiusnya dan akar kulturalnya. Sebab hanya dengan cara itu masyarakat merasakan

bahwa hukum itu sesuai dengan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

III.2. Saran

1. Perlu pembenahan terhadap seluruh sistem peradilan di Indonesia yang

mencakup struktur, substansi dan cultur hukumnya. Faktor yang sangat

penting dalam pembenahan itu adalah sumber daya manusia sebagai salah

satu faktor yang sangat esensial untuk melakukan perubahan secara total.

2. Agar peradilan yang fair, impartial dan obyektif dapat segera direalisasikan

maka perlu adanyas status dan peranan profesi advokad yang otonom dalam

sistem hukum. Menjadikan profesi menjadi bagian birokrasi secara

independen akan membuka lebar pada penyimpangan dalam peradilan.

23

Anda mungkin juga menyukai