Anda di halaman 1dari 60

PERCOBAAN I

PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT TERHADAP ABSORBSI OBAT

I. PENDAHULUAN
A. Tujuan percobaan
Mengenal, mempraktekkan cara pemberian obat secara intra
peritoneal dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap
kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolok
ukurnya.

B. Tinjauan pustaka
Injeksi merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau
suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih
dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek
jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Pada
praktikum ini menggunakan rute pemberian obat secara intra
peritonial, dimana obat disuntik dengan posisi jarum suntik sepuluh
derajat dari abdomen berlawanan arah dengan kepala (arah jarum ke
bagian perut).
Adapun keuntungan dan kerugian dari pemberian obat secara intra
peritonial ini antara lain:
1. Keuntungan
a. Dapat di gunakan untuk suspensi.
b. Aksi obat lebih cepat di bandingkan peroral.
c. Stabilitas obat lebih terjaga.
d. Penggunaan tidak memerlukan keahlian khusus, contohnya
injeksi insulin.
2. Kerugian
a. Hanya dapat di gunakan untuk obat yang tidak menimbulkan
iritasi.
b. Terjadi komplikasi local (iritasi dan nyeri pada tempat injeksi).
c. Adanya resiko terjadi kerusakan jaringan
d. Volume obat yang di berikan relative lebih kecil di banding
intramuscular.
Absorbsi didefinisikan sebagai masuknya obat dari tempat
pemberiannya ke dalam plasma, kecuali pemberian I.V dan inhalasi

1
hampir semua obat harus masuk ke dalam plasma sebelum mencapai
tempat kerjanya dan oleh karena itu obat harus mengalami absorbsi
terlebih dahulu. Terdapat beberapa cara pemberian obat yaitu peroral,
perectal, sublingual, inhalasi, topikal, dan parenteral.
Absorbsi dari sebagian besar obat yakni secara difusi pasif , maka
sebagian barier absorbsi adalah membran epitel saluran cerna seperti
halnya di tubuh kita merupakan lipid bilayer, dengan demikian agar dapat
melintasi membran sel tersebut molekul obat harus memiliki kelarutan
lemak setelah terlebih dahulu larut dalam air. ( Farmakologi dan Terapi
edisi 5 2007 ).
Pemberian obat secara intravena adalah cara yang paling cepat dan
paling pasti. Suatu suntikan intravena akan memberikan kadar obat yang
sangat tinggi yang pertama-tama akan mencapai paru-paru dan sirkulasi
sistemik. Pemberian obat secara subkutan hanya biasa dilakukan untuk
obat-obat yang tidak menimbulkan iritasi terhadap jaringan karena akan
menyebabkan rasa sakit hebat dan pengelupasan kulit. Pemberian obat
secara intramuskular yaitu melalui otot. Sedangkan intraperitoneal yaitu
penyuntikan melalui rongga perut. Rongga peritoneum mempunyai
permukaan absorbsi yang sangat luas sehingga obat dapat masuk ke
sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak digunakan di laboratorium
tetapi jarang digunakan di klinik karena adanya bahaya infeksi.
Pemberian obat yang dilakukan dengan baik maupun tidak, dapat
berpengaruh pada onset of action dan duration of action pada hewan
percobaan. Dalam hal ini, onset of action yaitu cepat atau lambatnya obat
mulai bekerja sedangkan duration of action yaitu lamanya obat bekerja.
Onset of action lebih cepat di banding duration of action. Determinan dari
kecepatan absorbsi adalah total luas permukaan dimana terjadi
penyerapan, menyebabkan kontriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi
obat tertahan atau diperlama. Durasi of action lebih lama karena terdapat
lapisan lemak yang banyak.

2
Absorbsi obat di intra peritonial tergantung dari aliran darah,
permeabilitas kapiler darah, kepadatan jaringan di daerah penyuntikkan,
laju pelepasan zat aktif, mekanisme absorbsi difusi pasif, filtrasi dan
pinositosis, adanya vasodilator dan vasokontriktor.

II. CARA PERCOBAAN


A. Alat dan bahan yang digunakan
1. Alat
a. Timbangan
b. Kapas Alkohol
c. Dispo 1ml
d. Kandang atau tempat untuk tikus
2. Bahan
a. Luminal Na Injeksi
b. Tikus putih Jantan

B. Cara kerja
1. Tikus putih ditimbang dan di perhitungkan volume sediaan
Luminal Na injeksi yang akan di berikan.
2. Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian hingga posisi
abdomen lebih tinggi dari kepala.
3. Pegang bagian tengkuk tikus dipegang dengan tangan kiri, yang di
jepit di antara jari telunjuk dan ibu jari.
4. Luminal Na diberikan pada hewan uji, dengan cara pemberian oral,
subkutan, intravena dan intraperitonial.
5. Tikus putih diletakkan kembali , lalu diamati perubahan reaksi
yang timbul dari obat tersebut.
6. Perubahan - perubahan yang terjadi diamati dengan cermat, yang
mencakup waktu onset dan durasi of actionnya di catat.

C. Perhitungan dosis untuk hewan uji


1. Bobot tikus putih I = 176,11g
konversikan dosis dari manusia ke tikus
mc 70 kg tikus 176,11g = 0,018
Dosis Luminal Na 35mg/kgBB
Untuk mc : 0,01
8 X 35 mg X 70 kg = 44,1 mg/kgBB
Untuk Tikus : 44,1mg X 176,11 g = 38,83 mg
200 g
Dikonversikan kesediaan yang ada
38,83 mg X 2 ml = 0,77 ml ~ 0,8 ml

3
100
2. Bobot tikus putih II : 176,8 g
Konversikan dosis dari manusia ke tikus
mc 70 kg tikus 176,11g = 0,018
Dosis Luminal Na 35mg/kgBB
Untuk mc : 0,018 X 35 mg X 70 kg = 44,1 mg/kgBB
Untuk Tikus : 44,1mg X 176,8 g = 38,98 mg
200 g
Dikonversikan kesediaan yang ada
38,98 mg X 2 ml = 0,77 ml ~ 0,8 ml
100 mg

III. HASIL PENGAMATAN


A. Tabel pengamatan pemberian obat secara subkutan
NO. WAKTU KETERANGAN
1. 15.57 Obat disuntikkan
2. 16.12 Tenang
3. 16.21 Berbaring
4. 16.29 Mengantuk dan tertidur
5. 16.49 Bangun atau kembali aktif
6. Onset 1 jam 12 menit
7. Durasi 20 Menit

B. Data perbandingan
BERAT
RUTE
NO. ONSET DURASI BADAN
PEMBERIAN
TIKUS
1 Intravena 2 menit 15 menit 200 g
1 jam
9 1 jam
2 Oral 200 g
49 menit
menit
4 menit 58 menit
3 Intraperitoneal 200 g
55 detik 8 detik
4 Subkutan 1 jam 20 menit 200 g

4
12 menit

IV. PEMBAHASAN
Absorbsi merupakan pengambilan obat dari permukaan tubuh atau
dari tempat tertentu pada organ ke dalam aliran darah dimana
dipengaruhi oleh cara pemberian obat dan bentuk sediaan. Pada percobaan
kali ini dilakukan empat cara penyuntikan yaitu peroral, subkutan,
intravena dan peritoneal. Kecepatan absorbsinya pun berbeda pada
masing-masing cara pemberian.
Cara pemberian dapat mempengaruhi absorbsi obat yang juga
berpengaruh pada onset dan durasi. Berdasarkan literatur, urutan onset dan
durasi dari yang paling lama melalui beberapa cara pemberian obat yakni :
onset : oral > subkutan > intraperitoneal > intravena
durasi : intravena > subkutan > intraperitonel > oral
Hal ini disebabkan karena :
1. Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup
panjang dan banyak factor penghambat maka konsentrasi obat yang
terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.
2. Intraperitonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah
sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular
dan subkutan karena obat di metabolisme serempak sehingga
durasinya agak cepat.
3. Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi
lebih lama dibanding intramuskular.
Pada percobaan ini digunakan tikus putih sebagai hewan uji karena
disamping harganya yang ekonomis dapat dilihat juga dari jumlah obat
luminal natrium yang diberikan pada volume pemberiannya. Sebelumnya
tikus putih harus mengalami perlakuan yakni dipuasakan yang bertujuan
agar setiap tikus putih memiliki aktivitas enzim yang sama selain itu tidak
menghalangi bahan obat diserap dalam tubuh. Pada percobaan ini
digunakan empat tikus putih.
Pada percobaan ini digunakan luminal Na yang sifatnya larut
dalam lemak. Pemberian dosisnya disesuaikan dengan BB tikus putih
tersebut. Setelah disuntikkan tikus putih akan tertidur dan akan bangun
kembali karena saat keadaan plasma meningkat obat dilepaskan jadi tikus

5
putih tersebut tertidur, tetapi saat keadaan plasma menurun obat tertimbun
dalam lemak sehingga tikus bangun, begitu seterusnya.
Berdasarkan hasil pengamatan urutan onset dan durasi dari yang
terlama yakni :
Onset : subkutan > oral > intavena > intraperitonal
durasi : oral > intraperitoneal > subktan > intravena
Dalam percobaan ini, terjadi penyimpangan dimana hasilnya tidak
sesuai dengan literatur. Faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut
yakni faktor teknis yang meliputi ketepatan pada tempat penyuntikan dan
banyaknya volume pemberian luminal Na pada hewan uji.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa cara pemberian obat yang berbeda beda dapat mempengaruhi
kecepatan absorbsi obat sehingga berpengaruh pada onset dan durasi.
Dari hasil pengamatan yang di dapat, onset yang terlama yakni
subkutan dan durasi yang terlama yakni melalui pemberian secara oral.
Hal ini disebabkan karena terjadi kesalahan pada daerah penyuntikan,
dimana daerah penyuntikan yang seharusnya masuk melaui daerah
subkutan ternyata pada praktikum ini, kami menyuntikkan pada daerah
intravena sehingga efeknya lebih cepat jika di bandingkan dengan onset
dan durasi yang lama dari subkutan.
Obat ideal adalah obat dengan onset cepat dan durasi panjang, jadi
seharusnya cara pemberian obat yang memberikan onset dan durasi yang
paling baik adalah secara intravena.

6
PERCOBAAN II
ANALGETIK

I. PENDAHULUAN
A. Tujuan
Mengenal, mempraktekkan dan membandingkan daya analgetik
asetosal dan parasetamol menggunakan metode Witkin.

B. Tinjauan pustaka
1. Analgetika
a. Pengertian
Analgetika adalah zat zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
b. Patofisiologi nyeri
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak
nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan.
Kualitas nyeri
Nyeri menurut tempat kerjanya dibagi atas:
1) Nyeri somatik: dibagi lagi menjadi nyeri permukaan dan
nyeri dalam.
2) Nyeri dalaman (viseral)
Reseptor Nyeri (Nociceptor)
Terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh terkecuali di SSP.
Mediator Nyeri (ZatNyeri)
Adalah rangsangan yang memicu pelepasan zat-zat tertentu
antara lain: histamin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin,
asetilcolin, H+.

c. Pengolongan
1. Analgetik Narkotik
Pengertian
Analgetik narkotika adalah obat yang menghilangkan rasa
nyeri dengan daya penghalang nyeri yang kuat sekali,
biasanya dapat mengurangi kesadaran dan memberikan rasa
nyaman bagi penggunanya.
Penggolongan
a) Agonis opiate
Morfin, Codein, Heroin, Nikomorfin

7
Zat- zat sintesis:
1) Metadon dan derivatnya (dekstromoramida,
propoksifen, benztramida)
2) Petidin dan derivatnya (fentanil, sufentanil),
3) Tramadol
b) Antagonis opiate
Nolakson, Nalorfin, Pentazosin dan Buprenorfin
(Temgesic). Obat-obat ini digunakan sebagai analgetikum
dengan cara menduduki salah satu reseptor nyeri, sehingga
dapat mengurangi rasa nyeri yang terjadi.
c) Campuran
Nalorfin, Nalbufin (nubain)
Zat- zat ini dengan kerja campuran menduduki
reseptor opiodi dan hanya sedikit yang dapat mengaktifasi
daya kerjanya.
Mekanisme Kerja
Bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor
nyeri di SSP, sehingga perasaan nyeri dapat diblokir.
1) Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan
obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak
dan spinal cord.
2) Rangsangan reseptor menimbulkan efek euphoria dan
perasaan mengantuk.
Efek samping
1) Supresi SSP (sedasi, menekan pernapasan, batuk,
miosis, hipotermia dan perubahan suasana jiwa. Pada
dosis tinggi dapat menurunkan aktivitas mental dan
motoris.
2) Saluran napas: broncho kontriksi, pernafasan lebih
dangkal dan frekuensi menurun.
3) Sistem sirkulasi: vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi
hipotensi dan bradycardia
4) Saluran cerna: motilitas berkurang (obstipasi), sekresi
pankreas, usus dan empedu berkurang.
5) Saluran urogenital: retensiurin, motilitas uterus
berkurang ( waktu persalianan dapat diperpanjang)

8
6) Histamin-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena
menstimulasi pelepasan histamin
7) Kebiasaan dan ketergantungan: resiko adiksi terutama
pada penggunaan lama.
8) Kehamilan dan laktasi
2. Analgetik Non Narkotik
Pengertian
Analgetika perifer (non-narkotik), terdiri dari obat-obat
yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
Mekanisme kerja
Analgetika non narkotika / Analgetika perifer bekerja dengan
cara :
a) Tidak mempengaruhi SSP
b) Tidak menurunkan kesadaran
c) Tidak mengakibatkan ketagihan

Efek samping
Yang paling umum dari golongan obat ini adalah
gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati
dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping
biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu
lama dan dosis besar.
Penggolongan
1) Salisilat: Asetosal
Contoh Obat : Aspirin yang mengandung asetosal
Mekanisme Kerja: mempunyai kemampuan
menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya
menghambat enzim siklo oksigenase secara
irreversible. Pada dosis yang tepat, obat ini akan
menurunkan pembentukan prostaglandin maupun
tromboksan A2.
Efek Samping :
Pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah
gangguan lambung ( intoleransi ).
Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang
cocok (minum aspirin bersama makanan yang diikuti
oleh segelas air atau antasid).

9
Kontra Indikasi :
Anak di bawah usia 12 tahun dan anak yang
sedang menyusui (syndrome raye : karena berhubungan
dengan syndrome raye, maka sediaan yang
mengandung Asetosal tidak diberikan pada anak di
bawah 12 tahun).
2) Derifat aminofenol :Acetaminophen (Parasetamol)
Contoh Obat :
Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari
fenasetin.
Mekanisme Kerja :
Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah
pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-
inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri
ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia,
nyeri pasca persalinan dan keadaan lain.
Efek samping :
Kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati.
Pada dosis besar dapat menimbulkan kerusakan hati.
Kontra Indikasi :
Pasien dengan penyakit hati dan ginjal.
3. Metode Witkin
Prinsip percobaan
Rasa nyeri yang disebabkan pemberian inductor nyeri
akan menyebabkan timbulnya writhing (geliat) yang dapat
diamati sebagai torsi pada satu sisi, menarik kaki kebelakang,
penarikan kembali abdomen, kejang tetanik dengan
membengkokan kepala dan kaki ke belakang. Efek analgetik
dari obat akan mengurangi atau menghilangkan respon
tersebut.

II. CARA PERCOBAAN


A. Alat dan bahan
1. Alat
a. Beker glass
b. Spuit 1 cc
c. Jarum oral
d. Stopwatch

10
2. Bahan
a. Suspensi asetosal 1% sebagai control positif atau pembanding
b. Aquadest sebagai control negative atau pembanding
c. Suspensi parasetamol 1% sebagai analgetik
d. Asam asetat 1%
3. Hewan uji
Mencit (satu jenis kelamin), umur 40-60 hari dengan berat 20g-
30g.
B. Cara kerja
1. Mencit 9 ekor dibagi 3 kelompok
2. Mencit kelompok 1 (kontrol negatif), diberi larutan CMC, melalui
oral dengan volume yang sama dengan larutan pembawa obat
pada kelompok mencit perlakuan.
3. Mencit kelompok 2, diberi suspensi PCT dengan dosis 52 mg/kg
BB melalui oral.
4. Mencit kelomok 3, diberi suspensi Asetosal dengan dosis 52
mg/kg BB melalui oral.
5. Setelah 20 menit di induksi larutan Asam Asetat 1% secara intra
peritonial. Amati dan catat geliat mencit setiap 5 menit.
6. Amati reaksi geliat yang terjadi pada mencit.
7. Catat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5
menit selama 60 menit.
8. Hitung persen daya analgetik.
C. Perhitungan dosis untuk hewan uji
1. Pemberian Asam Asetat 1% 300 mL/kgBB
a. Mencit I dengan BB = 18,20 gram
18,20 gram 300 mL

1000 kgBB
5,46 mg
Asam asetat yang diberikan 1% maka
5,46 mg
100 mL
1000 mg
0,5 mL yang diinduksikan pada mencit I

b. Mencit II dengan BB = 15,08 gram


15,08 gram
x 300 mL/kgBB
1000
4,524 mg

11
Asam Asetat yang diberikan 1% maka
4,524 mg
x 100 mL
1000 mg
= 0,4 mL yang akan diinduksikan pada mencit II
c. Mencit III dengan BB = 20,35 gram
20,35 gram
x 300 mL /kgBB=6,105 mg
1000
Asam Asetat yang diberikan 1% maka
6,105 mg
x 100 mL = 0,6 mL asam asetat yang akan
1000 mg
diinduksikan pada mencit III

2. Parasetamol (52mg/kgBB)
Mencit II dengan BB = 15,08 gram
= 0,01508 kg
PCT yang akan diberikan 0,1% (tidak dibuat 1% karena volume
Suspensi PCT yang diberikan 0,07 mL yang sulit dalam
pengambilan).
Jadi dosis PCT untuk mencit
= 52 mg/kgBB x o,01508 kg
= 0,78416 mg
Larutan stok PCT 0,1% jadi
0,78416 mg
= x 100 ml
100mg
= 0,7 mL suspensi PCT yang diberikan pada mencit II

3. Pemberian Asetosal (52mg/kgBB)


Pada mencit dengan BB = 20,35 gram
= 0,2035 kg
Dosis asetosal untuk mencit yaitu
= 52 mg/kgBB x 0,2035 kg
= 1,0582 mg
Larutan stok asetosal 0,1% jadi
1,0582 mg
= x 100 mL
100 mg
= 1 ml suspensi Asetosal yang diberikan pada mencit III.

12
III. HASIL PERCOBAAN
A. Pengamatan
1. Catat waktu mulai timbulnya efek geliat yang terjadi pada mencit.
2. Efek yang diamati pada mencit antara lain :
a) Menarik kaki kebelakang
b) Penarikan abdomen
c) Kejang tetani atau kekakuan otot
B. Data pengamatan
1. Hasil pengamatan
Waktu Larutan Suspensi Suspensi
(menit) CMC Paracetamol asetosal
5 - 2 10
10 5 7 13
15 20 4 10
20 23 17 8
25 29 3 7
30 20 5 6
35 6 4 4
40 5 2 2
45 4 1 2
50 4 1 1
55 3 - -
60 2 - -
Jumlah 121 46 63
2. Perhitungan Daya Analgetik
Dihitung dengan rumus
% daya analgetik = 100-(P/K x 100)
a. % daya analgetik PCT = 100 (46/121 x 100 )
= 62%
b. % daya analgetik asetosal = 100 (63/121 x 100)
= 48%

IV. PEMBAHASAN
Praktikum ini dimaksudkan untuk menguji daya analgetik dari
parasetamol dan asetosal, dimana kedua obat ini merupakan obat golongan
analgetik yang memiliki mekanisme kerja menghambat kerja enzim siklo
oksigenase sehingga menghambat pelepas mediator nyeri seperti

13
prostaglandin, bradikinin, dan sebagainya. Pengujian daya analgetik
dilakukan dengan menggunakan metode Witkin. Mula-mula mencit kedua
dan ketiga diberi obat analgetik. Mencit kedua diberi suspense parasetamol
1% dan mencit ketiga diberi suspensi asetosal. Lalu, setelah 20 menit
diinduksikan larutan penginduksi nyeri berupa asam asetat 1%. Larutan
asam asetat diberikan setelah 20 menit karena diketahui bahwa obat yang
telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk
meredakan rasa nyeri. Respon yang diberikan antara lain berupa gerakan
menggeliat (perut kejang dan kaki ditarik ke belakang). Respon ini paling
banyak ditunjukkan oleh mencit yang diberi control negative berupa
larutan CMC, sedangkan mencit yang diberian algetik tidak banyak
menunjukkan respon tersebut. Daya analgetik dapat diperoleh dengan
rumus :
% daya analgetik = 100 (P/K x 100)
Dimana P : jumlah kumulatif geliat tikus yang diberi obat analgetik
K : jumlah kumulatif geliat tikus yang diberi aquadest (control
negatif)
Pada pembuatan larutan penginduksi nyeri asam asetat 1% tidak
menggunakan BJ atau BJ dari asam asetat diabaikan karena pada
perhitungan menggunakan BJ, volume asam asetat untuk diinjeksikan
mendekati 1 yaitu 0,952 mL.
Diketahui BJ asam asetat 1,05 maka 1/1,05 = 0,92 mL.

V. KESIMPULAN
Hasil pengamatan dari percobaan ini diperoleh daya analgetik
parasetamol ialah 63% dan daya analgetik asetosal ialah 48%. Data ini
menunjukan daya analgetik dari parasetamol lebih besar dari asetosal.

14
PERCOBAAN III
ANESTETIKA LOKAL

I. PENDAHULUAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan
dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
(Wikipedia, 2007)
Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama
operasi, dimulai lebih dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884)
seorang opthalmologist di Wina, mencatat kegunaan dari kokain suatu
ester dari asam para amino benzoat (PABA), dalam menghasilkan anstesi
korneal. (Rusda, 2004)
Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu
Procaine yang disintesa oleh Einhorn pada tahun 1905. Obat ini terbukti
tidak bersifat addiksi dan jauh kurang toksik dibanding kokain. Ester-ester
lain telah dibuat termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan
Chloroprocaine, dan semuanya terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi
kadang-kadang menunjukkan sensitisasi dan reaksi alergi. (Rusda, 2004)
Penelitian untuk anastesi lokal terus berlangsung sehingga banyak
obat-obat dengan berbagai keuntungan dapat digunakan pada saat ini. Obat
obat anastesi lokal dikembangkan dari kokain yang digunakan untuk
pertama kalinya dalam kedokteran gigi dan oftalmologi pada abad ke 19.
Kini kokain sudah diganti dengan lignokain ( lidokain ), buvikain
(marccain), prilokain dan ropivakain. Prilokain terutama digunakan dalam
preparat topical.

A. Tujuan
Tujuannya adalah :

15
1. Untuk mengetahui Pengertian Anastesi Lokal
2. Untuk mengetahui Struktur Anastesi Lokal
3. Untuk mengetahui Mekanisme Kerja
4. Untuk mengetahui Efek samping obat anastesi lokal
5. Untuk mengetahui Nama Nama Obat Dalam Anastesi Lokal
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui tentang anastesi pada
praktikum farmakologi.
C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan
metode pustaka yaitu penulis menggunakan media pustaka dalam
penyusunan laporan ini.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Anastesi Lokal
Anestetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan secara local pada jaringan saraf dengan kadar cukup.
Anastetik local sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak
jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan anastetik local
memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar, sebaba anastetik
lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus sesingkat
mungkin, sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup
waktu untuk melakukan tindakan operasi, tetapi tidak demikian lama
sampai memperpanjang masa pemulihan. Zat anastetik local juga
harus larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa
mengalami perubahan.
B. Struktur Anastesi Lokal
Anastetik lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air dan
alkaloid larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin
aromatic tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai
penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor yang
terdiri dari amino tersier bersifat hidrolifik.
1. Bagian Lipofilik
Biasanya terdiri dari cincin aromatic (benzene ring) tak jenuh,
misalnya PABA (para-amino-benzoic acid). Bagian ini sangat
essensial untuk aktivitas anestesi.

16
2. Bagian Hidrofilik
Biasanya golongan amino tersier (dietil-amin)
Anastetik lokal dibagi menjadi dua golongan
1. Golongan Ester (-COOC-)
Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (novocaine),
tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).
2. Golongan Amida (-NHCO-)
Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine),
prilokain (citanest), bupivacain (marcaine), etidokain (duranest),
dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine
(chirocaine).
Anestesi lokal ideal :
1. Tidak merusak jaringan secara permanen
2. Batas keamanan lebar
3. Onset cepat
4. Durasi lambat
5. Larut air
6. Stabil dalam bentuk larutan
7. Tidak rusak karena proses penyaringan
C. Mekanisme Kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium
channel), mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion
natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan
hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin
poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja
dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal dipengaruhi oleh :
1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf.
2. pH (asidosis menghambat blockade saraf).
3. Frekuensi stimulasi saraf.
Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak
terionisasi meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf
sehingga menghasilkan mula kerja cepat.
2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat mula kerja cepat.
3. Konsentrasi obat anestetika lokal.
Lama kerja dipengaruhi oleh:

17
1. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika lokal adalah
protein.
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi.
3. Dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah
pemberian.
D. Efek samping obat anastesi lokal
Pemberian obat anestesi lokal memiliki efek samping yang potensial
sama tanpa bergantung pada cara pemberian. Seorang farmasis harus bisa
memahami efek samping samping obat anestesi lokal ketika obat ini
diberikan lewat jalur epidural atau spinal.
Efek samping obat anestesi lokal berhubungan dengan kerjanya,
khususnya kemampuannya untuk menghambat hantaran implus dalam
jaringan yang dapat tereksitasi. Obat obatan anestesi lokal akan
menyekat saluran cepat ion natrium pada semua jaringan penghantar
implus, yaitu :
1. System saraf pusat
2. System pernafasan
3. Jantung dan system kardiovaskuler
4. Imunologi
5. Depresi Otot polos
6. Otot sketlet.
E. Nama Nama Obat Dalam Anastesi Lokal
1. Prokain
a. Farmakodinamik
1) Dosis 100 800 mg : analgesic ringan efek maksimal 10 20
hilang setelah 60
2) Dihirolisis menjadi PABA ( para amino binzoic acid ) dapat
menghambat kerja sulfonamid.
b. Farmakokinetik
1) Absorpsi PABA ( para amino binzoic acid ) dan dietil amino
etanol.
2) Hidrolisisnya cepat oleh enzim plasma ( prokain esterase )
3) PABA di eksresikan dalam urin ( dalam bentuk utuh dan
terkonjugasi )
c. Indikasi
1) Anastesi infitrasi, blok saraf, epidural, kaudal dan spinal
2) Geriatric : perbaikan aktivitas seksual dan fungsi kelenjar
endokrin
d. Kontra indikasi

18
Pemberian intravena untuk penderita miastenia gravis karena
prokain menghasilkan derajat blok neuromuskuler.
e. Dosis : 15 mg/kg BB
1) Untuk infitrasi : larutan 0.25 0.5 % dosis maksimumnya
1000 mg.
2) Onset : 2- 5 menit, durasi 30 60 menit.
3) Bisa ditambah adrenalin ( 1 : 100.000 atau 1 : 200.000)
4) Dosis untuk epidural ( maksimum ) 25 ml larutan 1.5% . Untuk
kaudal 25 ml larutan 1.5%. spinal analgesia 50 200 mg.
tergantung efek yang diinginkan lamanya 1 jam.

2. Lidokain ( lignocain, xylocain, lidonest )


a. Farmakodinamik
1) Anestesi lokal kuat. Terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama
dan lebih ekstensif dari pada prokain.
2) Larutan lidokain 0.5 % adalah anastesi infiltrasi, 1 2 % ;
anastesi blok dan topical.
3) Efektif tanpa vasokontraktor, kecepatan absorpsi dan toksitas,
masa keja lebih pendek.
b. Farmakokinetik
1) Absorpsinya mudah diserap dari tempat injeksi.
2) Dapat tembus sawar darah otak.
3) Metabolisme : di hati , ekskresinya di urin.
c. Indikasi
1) Injeksi : anastesi infitrasi, blok saraf anestesi epidural, kaudal
dan mukosa.
2) Anestesi infitrat : larutan .025 % 0.50% dengan atau tanpa
adrenal.
3) Kedok gigi : larutan 1 2 % lidokain dengan adrenalin
4) Anestesi permukaan, anestesi kornea mata ( lidokain 2 % +
adrenalin )
d. Kontra indikasi
Iritabilitas jantung
e. Efek samping
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efek terhadap
SSP, misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental,
koma, dan seizures. Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan
kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau oleh henti jantung.
f. Dosis
1) Konsentrasi efektif minimal 0.25 %.

19
2) Infitrasi, mula kerja 10 menit, relaksasi otot cukup baik.
3) Kerja sekitar 1 1.5 jam tergantung konsentrasi larutan.
4) Larutan standar 1 atau 1.5% untuk blok perifer.
5) 0.25 % - 0.5 % + adrenalin 200.000 untuk infiltrasi.
6) 0.5 % untuk blok sensorik tanpa blok motorik.
7) 1 % untuk blok motorik dan sensorik.
8) 2 % untuk blok motorik pasien yang berotot (muscular).
9) 4% atau 10 % untuk topical semprot faring laring.
10) 5 % bentuk jeli untuk dioleskan di pipa trakea.
11) 5 % lidokain dicampur prilokain untuk topical kulit.
12) 5 % hiperbarik untuk analgesia intratekal.

3. Bupivakain (marcain)
Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf
dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan
0.25 0.75%. Dosis maksimal 200 mg, durasi 3 8 jam, konsentrasi
efektif minimal 0.125 %, mulai kerja lebih lambat dibanding lidokain.
Setelah suntik kaudal, epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak
dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan lahan dalam 3
8 jam. Untuk anastesi spinal 0.5% volume antara 2 4 ml iso atau
hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0.375% dan pembedahan
0.75%.

4. Kokain
Hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4 % untuk mukosa jalan
napas atas. Lama kerja 2 30 menit.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh Oliver Wendell
Holmes, yang artinya tidak ada rasa sakit. Istilah ini
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Analgesia adalah pemberian obat untuk menghilangkan
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.

20
Anestesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Anestesia lokal hilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran.
2. Anestesia umum hilang rasa sakit disertai hilang kesadaran.
Anestetik lokal atau penghilang rasa setempat adalah obat yang
pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls
saraf ke SSP dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri, gatal-gatal rasa panas atau dingin. Banyak persenyawaan
lain juga memiliki daya kerja demikian, tetapi efeknya tidak reversibel
dan menyebabkan kerusakan permanen terhadap sel-sel saraf. Kriteria
yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan sebagai
anestetikum lokal antara lain:
1. Tidak merangsang jaringan.
2. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf.
3. Toksisitas sistemik rendah.
4. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput
lendir.
5. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan
dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga
terhadap pernapasan (sterilisasi).
B. Saran
Makalah ini dibuat oleh penulis dengan tujuan agar pembaca dapat
mengerti dan memahami tentang penggunaan anastetika local.

PERCOBAAN IV
ANTELMINTIK

I. PENDAHULUAN
A. Tujuan Percobaan
1. Dapat merancang dan melakukan eksperimen sederhana untuk
menguji aktivitas antelmintik (anti cacing) suatu bahan uji secara
in vitro.
2. Dapat menjelaskan perbedaan paralisis spastic dan flasid yang
terjadi pada cacing setelah kontak dengan antelmintik (anti
cacing).

21
B. Tinjauan pustaka
Antelmintik atau obat cacing adalah obat-obat yang dapat
memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Yang tercakup
dalam istilah ini adalah semua zat yang bekerja lokal menghalau
cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemis yang membasmi
cacing maupun larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan
tubuh.
Banyak antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat
melumpuhkan cacing, jadi tidak mematikannya. Guna mencegah
jangan sampai parasit menjadi aktif lagi atau sisasisa cacing mati
dapat menimbulkan reaksi alergi, maka harus dikeluarkan secepat
mungkin (Tjay dan Rahardja, 2002:185)
Contoh zat aktif antelmintik yang lazim digunakan, diantaranya:
1. Piperazin
Efektif terhadap A.lumbricoides dan E.vermicularis.
Mekanisme kerjanya menyebabkan blokade respon otot cacing
terhadap asetilkolin _ paralisis dan cacing mudah dikeluarkan
oleh peristaltik usus. Absorpsi melalui saluran cerna, ekskresi
melalui urine. (Anonim.2010)
Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif
sekali terhadap A. lumbricoides dan E. vermicularis sebelumnya
pernah dipakai untuk penyakit pirai. Piperazin juga terdapat
sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Juga didapat
sebagai garam sitrat, kalsium edetat dan tartrat. Garam-garam ini
bersifat stabil non higroskopis, berupa kristal putih yang sangat
larut dalam air, larutannnya bersifat sedikit asam. (Anonim.A)
a. Efek antelmintik
Piperazin menyebabkan blokade respon otot cacing
terhadap asetilkolin sehinggga terjadi paralisis dan cacing
mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya
keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan

22
pencahar untuk mengeluarkan cacing itu. Cacing yang telah
terkena obat dapat menjadi normal kembali bila ditaruh
dalam larutan garam faal pada suhu 37C. (Anonim.A)
Diduga cara kerja piperazin pada otot cacing dengan
mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion
yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat,
sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls
spontan, disertai paralisis. (Anonim.A)
Pada suatu studi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang
diberi piperazin ternyata dalam urin dan lambungnya
ditemukan suatu derivat nitrosamine yakni N-
monistrosopiperazine dan arti klinis dari penemuan ini belum
diketahui. (Anonim.A)
b. Farmakokinetik
Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, baik. Sebagian
obat yang diserap mengalami metabolisme, sisanya
diekskresi melalui urin. Menurut, Rogers (1958) tidak ada
perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat dan adipat
dalam kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan
variasi yang besar pada kecepatan ekskresi antar individu.
Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dan dalam bentuk
utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung selama
24 jam. (Anonim.A)
c. Efek nonterapi dan kontraindikasi
Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis
terapi umumnya tidak menyebabkan efek samping, kecuali
kadang-kadang nausea, vomitus, diare, dan alergi. Pemberian
i.v menyebabkan penurunan tekanan darah selintas. Dosis
letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada
takar lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan faal
ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot, atau kelemahan otot,
vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang setelah
pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek

23
kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak
boleh diberikan pada penderita epilepsi dan gangguan hati
dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan
anemia berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena
piperazin menghasilkan nitrosamin, penggunaannya untuk
wanita hamil hanya kalau benar-benar perlu atau kalau tak
tersedia obat alternatif. (Anonim.A)
d. Sediaan dan posologi
Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan
sirop 500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet
250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5
g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5
g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-turut. Untuk
cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65
mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali sehari selama 7 hari.
Terapi hendaknya diulangi sesudah 1-2 minggu. (Anonim.A)

2. Pirantel Pamoat
Untuk cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang.
Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing
dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat enzim
kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian
besar bersama tinja, <15% lewat urine. (Anonim.2010)
Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris
dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris.
Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls
neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian
dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang
lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar
dari tubuh, cacing akan segera mati. Di samping itu pirantel
pamoat juga berkhasiat laksans lemah. . (Tjay dan Rhardja,
2002:193)

24
Resorpsinya dari usus ringan kira kira 50%
diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan dengan tinja dan
lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya
cukup ringan yaitu berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna
dan kadang sakit kepala. (Tjay dan Rhardja, 2002:193). Dosis
terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus 2-3 tablet dari
250 mg, anak-anak 2 tablet sesuai usia (10mg/kg). (Tjay dan
Rahardja, 2002:193). Dosis tunggal pirantel pamoat 10mg/kg Bb
(ISO, 2009 : 81).

3. Albendazole
Albendazole, suatu antelmintik oral berspektrum luas,
merupakan obat pilihan dan telah diakui di Amerika Serikat untuk
pengobatan penyakit hydatid dan cysticercosis. Obat ini juga
merupakan obat utama untuk pengobatan infeksi Pinworm,
Ascariasis, Trichuriasis, Strongyloidiasis, dan infeksi-infeksi yang
disebabkan oleh kedua spesies cacing tambang (hookworm).
Namun, Albendazole tidak dikategorikan untuk kondisi-kondisi
ini. (Katzung, 2004)
a. Kerja Antelmintik dan Efek farmakologis
Albendazole dan metabolitnya, Albendazole Sulfoxide,
diperkirakan bekerja dengan jalan menghambat sintesis
mikrotubulus dalam nematoda, dan dengan demikian
mengurangi ambilan glukosa secara irreversibel. Akibatnya,
parasit-parasit usus dilumpuhkan atau mati perlahan-lahan.
Pembersihan mereka dari saluran cerna belum dapat
menyeluruh hingga beberapa hari setelah pengobatan. Obat ini
juga memiliki efek larvicid (membunuh larva) pada penyakit
hydatid, cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang
serta efek ovocid (membunuh telur) pada ascariasis,
ancylostomiasis, dan trichuriasis. (Katzung, 2004).

25
Albendazole tidak mempunyai efek farmakologis pada
manusia. Obat ini (yang bersifat teratogenik dan embriotoksik
pada beberapa spesies hewan) tidak diketahui tingkat
keamanannya pada wanita hamil. (Katzung, 2004)
b. Penggunaan Klinis
Albendazole diberikan pada saat perut kosong untuk
penanganan parasit-parasit intraluminal. Namun untuk
penanganan terhadap parasit-parasit jaringan, obat ini harus
diberikan bersama dengan makanan berlemak. (Katzung, 2004)
Ascariasis, trichuriasis, serta infeksi-infeksi cacing tambang
dan pinworm. Untuk infeksi-infeksi pinworm, ancylostomiasis,
dan ascariasis ringan, necatoriasis, atau trichuriasis,
pengobatan untuk orang dewasa dan anak-anak di atas usia 2
tahun adalah dosis tunggal 400 mg secara oral. Untuk infeksi
pinworm, dosis harus diulang dalam dua minggu. Tindakan ini
menghasilkan tercapainya angka kesembuhan 100% dalam
infeksi pinworm dan angka kesembuhan tinggi untuk infeksi-
infeksi lain, atau pengurangan besar terhadap jumlah telur bagi
yang tidak tersembuhkan. Untuk mencapai angka kesembuhan
tinggi dalam ascariasis atau untuk mengurangi jumlah cacing
secara memuaskan untuk meringankan necatoriasis atau
trichuriasis berat, ulangi pemberian 400 mg/hari dalam 2-3
hari. (Katzung, 2004).

4. Mebendazole
Mebendazole merupakan benzimidazole sintetis yang
memiliki aktifitas antelmintik brspektrum luas dan mempunyai
tingkat kemunculan efek yang tidak diinginkan yang rendah.
(Katzung, 2004).
a. Kerja Antelmintik dan Efek-Efek Farmakologis

26
Mebendazole menghalangi sintesis-mikrotubulus
dalam nematoda, dan dengan demikian menghentikan
ambilan glukosa secara irreversible. Parasit-parasit
intestinal dilumpuhkan atau mati perlahan-lahan, dan
pembersihannya dari saluran gastrointestinal belum dapat
terpenuhi hingga beberapa hari setelah pengobatan.
Kemanjuran obat berbeda-beda, tergantung masa transit
gastrointestinal, intensitas infeksi, dikunyah/tidaknya obat,
dan kemungkinan juga dengan rantai parasit. Mebendazole
membasmi cacing tambang, ascaris, dan telur-telur
trichuris. Pada manusia, mebendazole cenderung tidak
giat. Tidak ditemukan bukti adanya teratogenesitas atau
karsinogenisitas. Sekalipun demikian, pada tikus-tikus
hamil telah dijumpai aktivitas embriotoksik dan
teratogenik pada dosis oral tunggal serendah 10 mg/kg.
(Katzung, 2004)

b. Penggunaan Klinis
Di Amerika Serikat, penggunaan mebendazole telah
diakui untuk penanganan ascariasis, trichuriasis, serta
infeksi cacing tambang dan pinworm. Kegunaan lain obat
ini masih diselidiki. Obat ini dapat dikonsumsi sebelum
dan sesudah makan; tablet harus dikunyah sebelum
ditelan. Tidak diperlukan pembersihan sebelum ataupun
sesudah pengobatan. Angka kesembuhan menurun pada
pasien pengidap hipermotilitas gastrointestinal. Untuk
penanganan trichinosis dan dracontiasis, obat harus
dikonsumsi dengan makanan berlemak untuk
meningkatkan absorbsi. (Katzung, 2004)
1) Pinworm

27
Berikan 10 mg sekaligus dan ulangi dosis dalam 2-4
minggu. Dosis yang diberikan pada anak sama dengan
orang dewasa.
2) Ascaris lumbricoides, Trichura trichiura, Cacing
tambang, dan Trichostrongylus
Satu dosis 100 mg dua kali sehari selama tiga hari
diberikan bagi orang dewasa dan anak diatas usia dua
tahun. Pengobatan dapat diulang dalam 2-3 minggu.
Angka kesembuhan untuk ascaris dan trichuriasis
adalah 90-100%. Sekalipun angka kesembuhan dari
kedua spesies cacing tambang lebih rendah (70-95%),
namun terdapat penurunan drastis pada muatan cacing
pada mereka yang tidak sembuh. Mebendazole secara
khusus bermanfaat untuk infeksi gabungan yang
ditimbulkan oleh ketiga parasit tersebut. (Katzung,
2004)

5. Thiabendazole
Thiabendazole merupakan obat alternatif untuk pengobatan
strongyloidiasis dan cutaneous larva migrans. Boleh juga
dicoba untuk trichinosis dan visceral larva migrans apabila
tidak tersedia obat yang efektif. Obat ini tidak seharusnya
digunakan untuk mengobati infeksi-infeksi pinworm, ascaris,
trichuris, atau cacing tambang, kecuali apabila tidak tersedia
obat pilihan yang lebih aman. (Katzung, 2004)
a. Kerja antelmintik dan efek-efek farmakologis
Sifat antiperadangan thiabendazole bisa jadi penting
menyangkut kemampuannya menyembuhkan gejala-gejala
dalam beberapa penyakit parasit, khususnya dracontiasis.
Obat ini juga memiliki efek-efek imunomodulasi yang

28
menunjukkan pada fungsi sel T tampaknya, thiabendazole
merupakan agen imunorestoratif yang menunjukkan
imunopotensiasi maksimum pada individu yang tersupresi
imunnya. Thiabendazole juga mempunyai kerja skabisid,
antijamur ringan, dan antipiretik. Obat ini tampaknya bebas
efek-efek karsinogenik dan mutagenik. Kerja vermisid
thiabendazole kemungkinan merupakan hasil pengaruh
terhadap agregasi mikrotubulus yang bekerja melalui
penghambatan enzim fumarate reductase. Obat ini
mempunyai efek-efek ovisid terhadap beberapa parasit.
(Katzung, 2004).
b. Penggunaan klinis
Dosis standar 25 mg/kg (maksimum 1,5 g) dua kali
sehari harus diberikan sesudah makan. Jika digunakan
formulasi tablet, maka harus dikunyah baik-baik. (Katzung,
2004)

Cacing yang digunakan, yaitu:


Cacing Tanah

Kerajaan : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Clitellata
Ordo : Haplotaxida
Famili : Lumbricoides
Jenis : Lumbricoides terrestris

29
Annelida (dalam bahasa latin, annulus = cincin) atau cacing gelang
adalah kelompok cacing dengan tubuh bersegmen. Berbeda dengan
Platyhelminthes dan Nemathelminthes, Annelida merupakan hewan
tripoblastik yang sudah memiliki rongga tubuh sejati (hewan
selomata). Namun Annelida merupakan hewan yang struktur tubuhnya
paling sederhana. (Anonim.B)

Annelida memiliki panjang tubuh sekitar 1 mm hingga 3 m.Contoh


annelida yang panjangnya 3 m adalah cacing tanah Australia. Bentuk
tubuhnya simetris bilateral dan bersegmen menyerupai cincin.
(Anonim.B).

Annelida memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya.


Antara satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut
septa. Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu
segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa.
Rongga tubuh Annelida berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan
annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot. (Anonim.B)

Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang


(longitudinal). Sistem pencernaan annelida sudah lengkap, terdiri dari
mulut, faring, esofagus (kerongkongan), usus, dan anus. Cacing ini
sudah memiliki pembuluh darah sehingga memiliki sistem peredaran
darah tertutup. Darahnya mengandung hemoglobin, sehingga berwarna
merah. Pembuluh darah yang melingkari esofagus berfungsi memompa
darah ke seluruh tubuh. (Anonim.B)

Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali. Ganglia otak
terletak di depan faring pada anterior. Ekskresi dilakukan oleh organ
ekskresi yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor. Terdapat
sepasang organ ekskresi tiap segmen tubuhnya. (Anonim.B)

30
Sebagian besar annelida hidup dengan bebas dan ada sebagian
yang parasit dengan menempel pada vertebrata, termasuk manusia.
Habitat annelida umumnya berada di dasar laut dan perairan tawar, dan
juga ada yang segaian hidup di tanah atau tempat-tempat lembap.
Annelida hidup di berbagai tempat dengan membuat liang sendiri.
(Anonim.B)

Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan


pembantukan gamet. Namun ada juga yang bereproduksi secara
fregmentasi, yang kemudian beregenerasi. Organ seksual annelida ada
yang menjadi satu dengan individu (hermafrodit) dan ada yang
terpisah pada individu lain (gonokoris). (Anonim.B)

Annelida dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Polychaeta (cacing


berambut banyak), Oligochaeta (cacing berambut sedikit), dan
Hirudinea. (Anonim.B)

II. CARA KERJA


Alat dan bahan
Alat Bahan

31
Cawan petri(diameter 20 cm) Lumbricus terrestris
Batang pengaduk kaca pirantel pamoat
Gelas piala 1 L piperazin sitrat
Pinset NaCl 0.9% b/v
Sarung tangan Air suling
Thermometer Air suhu 500C
Incubator
Pinset

Prosedur
Paragraf pasif
Di aktifkan cacing terlebih dahulu pada suhu 370C. Di siapkan larutan
uji (pirantel pamoat dan piperazin sitrat) serta control (NaCl) dengan
konsentrasi masing-masing 5%, 20% dan 0,9%. Di tuangkan larutan uji
masing-masing ke dalam tiap cawan petri dengan pola sebagai berikut:
a. Cawan petri I : Pirantel pamoat
b. Cawan petri II : piperazin sitrat
c. Cawan petri III : NaCl fisiologis (kontrol)
Di tempatkan cawan petri yang telah berisi larutan uji ke dalam
incubator pada suhu 370C. Di letakkan satu pasang Ascaris suum yang
masih aktif ke dalam masing-masing cawan, lalu di catat waktunya
Diagram alir
Di aktifkan terlebih dahulu cacing pada suhu 370C

Di siapkan larutan uji (pirantel dan piperazin sitrat) serta


control (NaCl) dengan konsentrasi masing-masing 5%,
20% dan 0,9%

Di tuangkan larutan uji masing-masing ke dalam cawan


petri dengan pola:

Cawan petri I : Pirantel pamoat


Cawan petri II : piperazin sitrat
Cawan petri III : NaCl fisiologis 32
Di tempatkan cawan petri yang telah berisi larutan uji ke
dalam incubator pada suhu 370C

Di letakkan satu pasang Ascaris suum yang masih aktif


ke dalam masing-masing cawan

Di catat waktunya
III. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, yang menjadi bahan amatan pengamat
adalah aktivitas pirantel pamoat juga piperazin sitrat sebagai obat
antelmintik yang bekerja dalam mempengaruhi sistem saraf dari cacing
yang akan diamati efeknya.
Pada awal praktikum, sebelum semua prosedur dilakukan
seharusnya cacing diaktifkan terlebih dulu pada suhu 37 oC, karena
cacing pita babi hidup didalam perut babi dengan keadaan sistem
bersuhu 37oC. Setelah cacing aktif, maka yang perlu dilakukan adalah
menyiapkan sediaan uji, yaitu berupa pirantel pamoat, piperazin sitrat
juga sediaan kontrol berupa NaCl fisiologis.
Praktikum ini tidak sempat dilaksanakan akibat keterbatasan waktu
dan juga kendala dalam mendapatkan cacing yang akan digunakan
dalam praktikum.

PERCOBAAN V
PENYEMBUHAN LUKA BAKAR

I. PENDAHULUAN
A. Tujuan percobaan
Mengenal cara pembuktian efek penyembuhan luka bakar dari
suatu obat pada hewan percobaan.

33
B. Tinjauan pustaka
Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang
dapat meluas melebihi kerusakan fisik yang terlihat pada jaringan
yang terluka secara langsung. Masalah kompleks ini mempengaruhi
semua sistem tubuh dan beberapa keadaan yang mengancam
kehidupan.
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan
tindakan khusus yang berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya,
penyebab(etiologi) dan anatomi luka bakar. Luka bakar yang
melibatkan permukaan tubuh yang besar atau yang meluas ke jaringan
yang lebih dalam, memerlukan tindakan yang lebih intensif daripada
luka bakar yang lebih kecil dan superficial. Luka bakar yang
disebabkan oleh cairan yang panas (scald burn) mempunyai perbedaan
prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama yang
disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Prognosis klien
yang mengalami suatu luka bakar berhubungan langsung dengan
lokasi dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status
kesehatan sebelumnya dan inhalasi asap dapat mempengaruhi
beratnya luka bakar dan pengaruh lain yang menyertai. Klien luka
bakar sering mengalami kejadian bersamaan yang merugikan, seperti
luka atau kematian anggota keluarga yang lain, kehilangan rumah dan
lainnya. Klien luka bakar harus dirujuk untuk mendapatkan fasilitas
perawatan yang lebih baik untuk menangani segera dan masalah
jangka panjang yang menyertai pada luka bakar tertentu.
Luka bakar adalah luka yang di sebakan oleh kontak dengan suhu
tinggi seperti api,air panas,listrik,bahan kimia dan radiasi; juga oleh
sebab kontak dengan suhu rendah,luka bakar ini bisa menyebabkan
kematian ,atau akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi
maupun estetika.
Klasifikasi Luka Bakar
1. Berat/Krisis bila :
a. Derajat 2 dengan luas lebih dari 25 %

34
b. Derajat 3 dengan luas lebih dari 10 % atau terdapat di
muka,kaki dan tangan
c. Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak luas
atau fraktur
d. Luka bakar akibat listrik
2. Sedang Bila :
a. Derajat 2 dengan luas 15-25 %
b. Derajat 3 dengan luas kurang dari 10 % kecuali muka,kaki dan
tangan.
3. Ringan Bila :
a. Derajat 2 dengan luas kurang dari 15 %
b. Derajat 3 kurang dari 2 %
Luka bakar yang dalam atau full thickness pada awalnya
dilakukan dengan menggunakan zat/obat antimikroba topikal. Obat
ini digunakan 1 2 kali setelah pembersihan, debridemen dan
inspeksi luka. Perawat perlu melakukan kajian terhadap adanya
eschar, granulasi jaringan atau adanya reepitelisasi dan adanya
tanda-tanda infeksi. Umumnya obat-obat antimikroba yang sering
digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada satu obat yang
digunakan secara umum, oleh karena itu dibeberapa pusat
pelayanan luka bakar ada yang memilih krim silfer sulfadiazine
sebagai pengobatan topikal awal untuk luka bakar.

II. CARA PERCOBAAN


A. Alat dan bahan yang digunakan
1. Alat
a. Indikator panas
b. Gunting atau alat pencukur rambut
2. Bahan
a. Bioplacenton
b. Burnasin etil klorid
c. Alkohol 70%
d. Aquadest

B. Cara kerja
1. Cukur rambut pada punggung kelinci
2. Semprotkan anestesi (etil klorid)

35
3. Siapkan dua lokasi luka bakar pada punggung kelinci lalu cukur
atau gunting rambut kelinci yang akan diinduksi dengan panas
tersebut
4. Buat luka bakar pada punggung kelinci dengan menggunakan alat
penginduksi panas (dibuat bundar seragam)
5. Ukur diameter lukanya
6. Olesi masing-masing luka bakar dengan Bioplacenton dan Lidah
buaya. Oleskan setiap hari dan diukur diameter luka bakarnya
hingga luka bakar sembuh (diameter = 0)

C. Analisis data
Presentasi penyembuhan dilakukan dengan rumus :
PX=(dl2-dx2) x 100%
Keterangan : PX = Presentasi penyembuhan hari ke-X
dl2 = diameter luka hari pertama
dx2= diameter luka hari ke-x

III. HASIL PENGAMATAN


A. Tabel pengamatan efek penyembuhan luka bakar
Tabel pengamatan kelompok IV
No Diameter Luka Bakar (cm)
Bioplasenton Lida Buaya
d1 d2 d3 d1 d2 d3
1 0,31 0,31 0,30 0,60 0,50 0,50
2 0,31 0,31 0,31 0,60 0,50 0,50
3 0,31 0,31 0,31 0,60 0,50 0,50
4 0,31 0,31 0,31 0,60 0,50 0,50
5 0,31 0,31 0,31 0,60 0,50 0,50
6 0,23 0,23 0,23 0,55 0,50 0,50
7 0,22 0,22 0,22 0,50 0,50 0,45
8 0,22 0,22 0,22 0,50 0,45 0,45
9 0,20 0,20 0,20 0,45 0,45 0,45
10 0,19 0,18 0,19 0,45 0,45 0,45
11 0,15 0,15 0,15 0,40 0,40 0,40
12 0,12 0,12 0,12 0,40 0,40 0,40
13 0,10 0,10 0,10 0,30 0,40 0,30
14 0,08 0,08 0,08 0,30 0,30 0,30
15 0,03 0,03 0,02 0,30 0,30 0,40
16 0,01 0,01 0,01 0,30 0,30 0,30
17 0 0 0 0,30 0,30 0,30
18 0 0 0 0,20 0,30 0,30
19 0 0 0 0,20 0,20 0,20

36
20 0 0 0 0,20 0,20 0,20
21 0 0 0 0,20 0,20 0,15
a. Perhitungan diameter luka pada obat bioplasenton
diameter luka = d1 + d2 + d3
3
diameter luka hari ke 1 = 0,31 + 0,31 + 0,30 = 0,31 cm
3
Diameter luka hari ke 21 = 0 + 0 + 0 = 0 cm
3
2 2
PX= (dl -dx ) x 100%
d12
PX = 0,312 02 x 100 % = 100 %
0,312
b. Perhitung diameter luka hari pada lida buaya

diameter luka = d1 + d2 + d3
3
diameter luka hari ke 1 = 0,60 + 0,50 + 0,50 = 0,53 cm
3
Diameter luka hari ke 21 = 0,20 + 0,20 + 0,15 = 0,18 cm
3

PX=(dl2-dx2) x 100%
d12
PX = 0,532 0,182 x 100 % = 88,46 %
0,532

37
B. DATA PEMBANDING
1. Tabel pengamatan kelompok III
No Diameter Luka Bakar (cm)
Bioplasenton Lida Buaya
d1 d2 d3 d1 d2 d3
1 0,30 0,30 0,30 0,60 0,60 0,50
2 0,31 0,31 0,31 0,60 0,60 0,50
3 0,31 0,31 0,31 0,60 0,60 0,50
4 0,31 0,31 0,31 0,60 0,60 0,50
5 0,31 0,31 0,31 0,60 0,60 0,50
6 0,31 0,31 0,31 0,60 0,50 0,50
7 0,22 0,22 0,22 0,60 0,50 0,50
8 0,22 0,22 0,22 0,50 0,50 0,50
9 0,20 0,20 0,20 0,50 0,50 0,50
10 0,18 0,18 0,18 0,50 0,50 0,40
11 0,15 0,15 0,15 0,50 0,40 0,40
12 0,12 0,12 0,12 0,40 0,40 0,40
13 0,10 0,10 0,10 0,40 0,40 0,40
14 0,09 0,09 0,09 0,40 0,30 0,40
15 0,02 0,02 0,02 0,40 0,30 0,40
16 0,01 0,01 0,01 0,30 0,30 0,30
17 0 0 0 0,30 0,30 0,30
18 0 0 0 0,30 0,30 0,30
19 0 0 0 0,20 0,20 0,20
20 0 0 0 0,20 0,20 0,20
21 0 0 0 0,15 0,15 0,15

a. Perhitungan diameter luka pada obat bioplasenton


diameter luka = d1 + d2 + d3
3
diameter luka hari ke 1 = 0,30 + 0,30 + 0,30 = 0,30 cm
3
diameter luka hari ke 21 = 0 + 0 + 0 = 0 cm
3
PX=(dl2-dx2) x 100%
d12
PX = 0,302 02 x 100 % = 100 %
0,302
b. Perhitungan diameter luka hari pada lidah buaya

38
diameter luka = d1 + d2 + d3
3
diameter luka hari ke 1 = 0,60 + 0,60 + 0,50 = 0,56 cm
3
Diameter luka hari ke 21 = 0,15 + 0,15 + 0,15 = 0,15 cm
3

PX= (dl2-dx2) x 100%


d12
PX = 0,562 0,152 x 100 % = 92,82 %
0,562

39
2. Tabel pengamatan kelompok I
No Diameter Luka Bakar (cm)
Bioplasenton Lida Buaya
d1 d2 d3 d1 d2 d3
1 0,47 0,45 0,53 0,74 0,64 0,65
2 0,44 0,39 0,28 0,68 0,67 0,71
3 0,44 0,38 0,38 0,65 0,63 0,58
4 0,38 0,37 0,36 0,65 0,62 0,56
5 0,38 0,34 0,33 0,63 0,61 0,56
6 0,35 0,32 0,31 0,62 0,58 0,54
7 0,32 0,27 0,26 0,60 0,57 0,53
8 0,30 0,25 0,24 0,58 0,55 0,52
9 0,28 0,24 0,23 0,55 0,54 0,50
10 0,27 0,23 0,23 0,52 0,51 0,48
11 0,25 0,23 0,21 0,50 0,48 0,46
12 0,21 0,21 0,20 0,49 0,47 0,46
13 0,16 0,16 0,16 0,46 0,44 0,45
14 0,13 0,14 0,16 0,43 0,38 0,43
15 0,12 0,12 0,15 0,41 0,35 0,41
16 0,10 0,11 0,13 0,32 0,33 0,39
17 0 0 0 0,32 0,32 0,37
18 0 0 0 0,30 0,31 0,32
19 0 0 0 0,29 0,28 0,28
20 0 0 0 0,26 0,25 0,24
21 0 0 0 0,20 0,23 0,21

a. Perhitungan diameter luka pada obat bioplasenton


diameter luka = d1 + d2 + d3
3
0,47+0,45+0,53
diameter luka hari ke 1 = = 0,48cm
3
0+0+0
Diameter luka hari ke 21 = = 0cm
3

PX=(dl2-dx2) x 100%
d12
PX =(0,472-02) x 100% = 100%
0,472

40
b. Perhitungan diameter luka hari pada lidah buaya

diameter luka = d1 + d2 + d3
3
0,74+0,64+ 0,65
diameter luka hari ke 1 = = 0,67cm
3
0,20+0,21+0,23
Diameter luka hari ke 21 = = 0,64cm
3

Px = dl2 dx2 x 100%


dl2
= 0,742 0,202 x 100%
0,742
= 92 %

IV. PEMBAHASAN
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh
dengan benda benda yang menghasilkan panas ( api secara langsung
maupun tidak langsung, bahan kimia, air, dll) atau zat- zat yang bersifat
membakar (asam kuat dan basa kuat).
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitasnya menyebabkan edema dan menimbulkan bula
yang banyak elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka menyebabkan hilang cairan ke bula
yang terbentuk pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari
keropeng luka bakar derajat tiga.
Pada praktikum ini, pengujian dilakukan dengan membuat luka bakar pada
punggung kelinci, menggunakan induktor panas, luka bakar dibuat dengan
diameter yang seragam, lalu diukur diameter luka dengan titik pengukuran.
Dibuat luka dengan tingkatan yaitu grade dua atau luka yang terjadi pada
bagian epidermis dan bagian atas epidermis. Epidermis adalah lapisan luar
kulit yang tipis dan avaskuler. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari
seluruh ketebalan kulit, sedangkan dermis terdiri atas jaringan ikat yang

41
menyokong epidermis dan menghubungkan dengan jaringan subkulit,
tebalnya bervariasi yang paling tebal sekitar 3 mm.
Luka bakar grade dua yang dibuat pada punggung kelinci bercirikan kulit
tampak kemerahan, eodem dan rasa nyeri lebih berat dari pada luka bakar
grade satu.
Sebelum dibuat luka bakar masing - masing lokasi diberi tanda
mengunakam spidol dengan warna berbeda sehingga tepat pada saat
pengolesan obat. Setelah hewan uji di induksi dengan panas lalu diukur
diameter lukanya menggunakan jangka sorong. Penggunaan jangka sorong
ini dimaksudkan agar pengukurannya lebih teliti. Setelah itu dioleskan
bioplasenton dan lidah buaya. Pengolesan obat ini dilakukan selama 3
minggu dengan aturan pengolesan 2 kali sehari.
Dari data pengamatan yang diperoleh, bioplasenton memiliki persentasi
yang lebih besar yaitu 100% dan untuk lidah buaya persentasi penyembuhan
sebesar 88,46-92,82 %.

PERCOBAAN VI
ANTI INFLAMASI

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagian besar orang memiliki pendapat tertentu mengenai normal
dan mendefinisikan penyakit atau keadaan sakit sebagai suatu
penyimpangan dari keadaan normal atau tidak adanya keadaan normal.
Akan tetapi, jika dilihat dengan lebih cermat, konsep kenormalan
terlihat kompleks dan tidak dapat didefinisikan secara singkat dan jelas.
Tubuh kita terus diancam oleh penyakit dari sumber eksternal (mis:
invasi bakteri dan virus) dan sumber internal (mis : sel yang bermutasi,
seperti sel kanker). Jika ancaman dari luar dapat menerobos baris
pertama pertahanan tubuh, mereka akan menghadapi baris

42
pertahanan kedua dalam bentuk sel fagosit dan mati karena serangan
kimiawi yang toksik. Hal ini merupakan bagian dari respon inflamasi
yang akan terjadi setiap kali terdapat kerusakan jaringan dengan sebab
apapun.
Selama hidup seseorang, jaringan maupun organ tubuh pasti pernah
cedera. Agar semua dapat berjalan dengan baik, maka terjadi perbaikan
dan pemulihan pada jaringan dan organ tersebut. Banyak faktor
lingkungan dan perorangan yang dapat memodifikasi dan
mempengaruhi proses pemulihan. Pemulihan atau penyembuhan
biasanya didahului dan diawali suatu proses peradangan.
Bila sel-sel atau jaringan-jaringan tubuh mengalami cedera atau
mati, selama pejamu masih bertahan hidup, jaringan hidup disekitarnya
membuat suatu respon mencolok yang disebut peradangan. Yang lebih
khusus, peradangan adalah reaksi vaskuler yang menimbulkan
pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah
ke jaringan-jaringan interstisial di daerah cedera atau nekrosis.

B. Maksud Percobaan
Untuk mengetahui efek antiinflamasi dari suatu sediaan obat
terhadap hewan uji mencit (Mus musculus).

C. Tujuan percobaan
Untuk mengetahui efek antiinflamasi suatu sediaan obat yang
diberikan secara oral pada hewan uji mencit (Mus musculus) denagn
menghitung volume udem telapak kaki mencit dengan alat
pletisnometer setelah pemberian karagen.

D. Prinsip percobaan
Penentuan efek antiinflamasi suatu sediaan obat yaitu caflam,
dexametason, dan Na. Diklofenak dengan zat pembanding Na. CMC 1
% dengan mengukur volume udem kaki mencit pada alat pletisnometer
selama interval waktu 10, 20, dan 30 menit setelah pemberian obat
awal.

43
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Peradangan dapat didefinisikan sebagai reaksi jaringan terhadap
cedera, yang secara khas terdiri atas respon vascular dan selular, yang
bersama-sama berusaha menghancurkan substansi yang dikenali
sebagai asing untuk tubuh. Jaringan itu kemudian dipulihkan sediakala
atau diperbaiki sedemikian rupa agar jaringan atau organ itu dapat
tetap bertahan.
Penyebab-penyebab peradangan banyak dan berfariasi, dan penting
untuk memahami bahwa peradangan dan infeksi tidak sinonim dengan
demikian infeksi (adanya mikroorganisme hidup di dalam jaringan)
hanya merupakan salah satu penyebab peradangan. Perdangan dapat
terjadi dengan mudah dalam keadaan yang benar-benar steril. Karena
banyaknya keadaan yang mengakibatkan peradangan.
Radang dapat dibagi 3 yaitu :
1. Radang akut
2. Radang sub akut
3. Radang kronik
Gambaran makroskopik peradangan akut, tanda-tanda pokok
peradangan mencakup kemerahan (Rubor), panas (kalor), nyeri
(dolor), bengkak (tumor), dan gangguan fungsi (fungsio laesa).
1. Rubor (kemerahan)
Biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Sering dengan munculnya reaksi
peradangan, arterior yang memasok darah tersebut berdilatasi
sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir kedalam
mikrosirkulasi darah lokal.
2. Kalor (panas)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi
peradangan akut. Daerah peradangan dikulit menjadi lebih hangat
dibanding dengan sekelilingnya karena lebih banyak darah (pada
suhu 370 C) dialirkan dari dalam tubuh kepermukaan daerah yang
terkena dibandingkan dengan daerah yang normal.
3. Dolor (nyeri)

44
Pada suatu nyeri peradangan tampaknya ditimbulkan dalam
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama,
pelepasan zat-zat kimia bioaktif lain dapat merangsang saraf.
Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan
peningkatan tekanan lokal yang tidak diragukan lagi dapat
menimbulkan nyeri.
4. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang
berpindah dari aliran darah kejaringan intestisial. Campuran cairan
dan sel-sel ini yang tertimbun didaerah peradangan disebit eksudat.
5. Fungsio laesa (perubahan fungsi)
Perubahn fungsi merupaka bagian yang lazim pada reaksi
peradangan. Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak,
nyeri disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi lokal
yang abnormal, seharusnya berfugsi secara abnormal.
Penyebab-penyebab peradangan meliputi agen-agen fisik, kimia,
reaksi imunologik, dan infeksi oleh organism-organisme patogenik.
Infeksi tidak sama dengan peradangan dan infeksi hanya
merupakan salah satu penyebab peradangan.
B. Penggolongan
Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
utama, yaitu :
1. Glukokortikoid (golongan steroidal) yaitu antiinflamasi steroid.
Anti inflamasi steroid memiliki efek pada konsentrasi, distribusi
dan fungsi leukosit perifer serta penghambatan aktivitas
fosfolipase. Contohnya golongan predinison.
2. NSAIDs (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs ) juga dikenal dengan
AINS (Anti Inflamasi Non Steroid). NSAIDs bekerja dengan
menhhambat enzim siklooksigenase tetapi tidak Lipoksigenase.
Secara kimiawi, obat-obat ini biasanya dibagidalam beberapa
kelompok, yaitu :
a. Salisilat : asetosal, benorilat dan diflunisal.

45
Dosis anti radangnya terletak 2-3 kali lebih tinggi daripada dosis
analgesiknya. Berhubung resiko efek sampingnya, maka jarang
digunakan pada rematik.
b. Asetat : diklofenak, indometasin, dan sulindak (Clinoril).
Indometsin termasuk obat yang terkuat efek anti radangnya, tetapi
lebih sering menyebabkan keluhan lambung dan usus.
c. Propionat : ibuprofen, ketoprofen, flubirprofen, naproksen dan
tiaprofenat.
d. Oksicam : piroxicam, tenosikam dan meloksikam.
e. Pirazolon : (oksi) fenbutazon dan azapropazon (Prolixan)
f. Lainnya : mefenaminat, nabumeton, benzidamin dan befexamac
(Parfenac). Benzidamin berkhasiat anti radang agak kuat, tetapi
kurang efektif pada gangguan rematik.

NSAIDs bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase


(COX), dan dengan melakukan hal ini, NSAIDs juga bekerja untuk
menurunkan produksi prostaglandin dan Leukotriena. Prostaglandin
COX-1 merangsang fungsi fisiologis tubuh, seperti produksi mukus
lambung yang bersifat protektif dan maturasi trombosit.
Sebaliknya, lintasan COX-2 diinduksi oleh kerusakan jaringan/
inflamasi, dan prostaglandin yang dihasilkan merupakan substansi
proinflamasi, inhibisi lintasan COX-2 akan mengurangi respon
inflamasi, mengurangi udema dan meredahkan nyeri.
Obat kortikosteroid anti-inflamasi, seperti kortisol dan prednisone
menghambat pengaktifan fosfolipase A2 dengan menyebabkan sintesis
protein inhibitor yang disebut lipokortin. Lipokortin menghambat
aktifitas fosfolipase sehingga membatasi produksi PG. Preparat steroid
juga mengganggu fungsi limfosit sehingga produksi IL menjadi lebih
sedikit. Keadaan ini mengurangi komunikasi antar limfosit dan
proliferasi limfosit. Oleh karena itu, pasien uang menggunakan
steroid dalam jangka pnjang lebih rentang terkena infeksi.

C. Mekanisme kerja NSAIDs dan koztikosteroid

46
Cara kerja NSAIDs untuk sebagian besar berdasarkan hambatan
sintesa prostaglandin,dimana kedua jenis cyclo-oxygenase diblokir.
NSAIDs hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1
(perlindungan mukosa lambung) ,menghambat dipooxygenase
(pembentukan leukotrien).

Kortikosteroid menghambat fosfolipase, sehingga pembentukan


prostaglandin maupun leukotrien dihalangi. Oleh karena itu, efeknya
terhadap gejala rema lebih baik daripada NSAIDs.

D. Efek samping antiinflamasi


Menghambat sintesa prostaglandin dan terutama terjadi pada
lambung usus, ginjal dan fungsi trombosit. Frekuensinya berbeda-
beda untuk berbagai obat dan pada umumnya efek-efek ini
meningkatkan dengan besarnya dosis dan lama penggunaannya,
kecuali efeknya terhadap trombosit.
1. Efek ulcerogen.
Mual, muntah, nyeri lambung, gastritis, tukak lambung usus dan
perdarahan samar yang disebabkan perintangan sintesa
prostacyclin dan kehilangan daya perlindungannya.
Obat yang terbanyak menimbulkan keluhan lambung usus adalah
indometasin, azapropazon dan piroxicam.
2. Gangguan fungsi ginjal.
Insufisiensi, nefritis interstisiil dan kelainan pada regulasi air dan
elektrolit. Prostaglandin memelihara volume darah yang mengalir
melalui ginjal .
3. Agregasi trombosit
4. Reaksi kulit
Ruam dam urtikaria relatif sering terjadi pada diklofenac dan
sulindac.
5. Bronchokonstriksi.
Pada penderita asma yang hipersensitif bagi NSAIDs.
6. Efek sentral.

47
Nyeri kepala, pusing, tinnitus (telinga berdengung), termangu-
mangu, sukar tidur, adakalanya depresi dan gangguan
penglihatan.

7. Lain-lain.
Gangguan fungsi hati, gangguan haid, jarang anemia aplastis.
Wanita hamil tidak boleh diberikan NSAIDs selam triwulan
terakhir berhubung menghambat his dan memperlambat
persalinan. NSAIDs masuk kedalam air susu maka sebaiknya
jangan digunakan selama laktasi, pengecualiannya adalah
ibuprofen, flurbiprofen, naproksen dan diklofenac yang pada
dosis biasa hanya sedikit timbul dalam air susu. Penderita asma
dan gangguan lambung juga tidak boleh diberikan obat-obat ini.

E. Contoh obat, efek samping dan kontra indikasinya


1. Golongan steroid
Hidrokortison, Deksametason, Prednisone.
Efek samping:
a. peningkatan tekanan darah (sehingga perlu diwaspadai pada
pasien hipertensi),
b. menghambat pertumbuhan pada anak.
c. peningkatan berat badan, osteoporosis dan glaukoma.
d. deposit lemak pada wajah (moon face).
Kontra indikasi :
a. Penderita dengan penyakit ginjal berat.
b. Wanita hamil dan menyusui.
c. Anak-anak.
d. Tukak lambung aktif selama 6 bulan terakhir atau memiliki
riwayat penyakit tukak lambung yang berulang.
e. Gagal ginjal non-dialisis berat.
f. Perdarahan gangguan saluran pencernaan, perdarahan
cerebrosvaskular atau perdarahan penyakit lainnya.

2. Golongan non-steroid
Parasetamol, Aspirin, Antalgin, AsamMefenamat, Ibuprofen.

48
Efek samping :
a. Gangguan pencernaan: sakit perut, konstipasi, diare,
dispepsia, flatulence, mual dan muntah.
b. Seluruh tubuh: edema, pain.
c. Sistem saraf pusat dan periferal: pusing, sakit kepala.
d. Hematologi: anemia.
e. Musculo-skeletal: artralgia, back pain.
f. Psikiatri: insomnia
g. Sistem pernafasan: batuk, sistem pernafasan bagian atas,
infeksi saluran pernafasan.
h. Kulit: gatal-gatal dan iritasi
i. Saluran kemih: infeksi saluran kemih
Kontra indikasi :
a. Pasien yang hipersensitif pada obat NSAID
b. Penderita dengan penyakit ginjal berat.
c. Wanita hamil dan menyusui.
d. Tukak lambung aktif selama 6 bulan terakhir atau memiliki
riwayat penyakit tukak lambung yang berulang.
e. Gagal ginjal non-dialisis berat.
f. darahan gangguan saluran pencernaan, perdarahan
cerebrosvaskular.

III. PENUTUP
Radang atau inflamasi adalah suatu respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi atau iritasi. Untuk pengobatan inflamasi ada dua golongan
besar obat yang digunakan yaitu golongan steroid dan non steroid (AINS).
Golongan obat steroid bekerja dengan menghambat sintesis enzim
fosfolipase sehingga asam arakidonat tidak terhambat. Sedangkan
golongan obat AINS bekerja dengan menghambat pembentukan
prostaglandin (PG) melalui penghambatan enzim siklooksigenase (cox).
Pada pasien yang telah mengalami bengkak/udem sebaiknya diberikan
obat golongan AINS, sedangkan pasien yang belum mengalami udem
diberi obat antiinflamasi golongan steroid untuk mencegah
pembengkakan.

49
PERCOBAAN VII
PERTUMBUHAN RAMBUT

I. PENDAHULUAN
A. Tujuan percobaan
Mahasiswa dapat mengetahui cara uji obat atau simplisia tentang
pengaruh dan efektifitas bahan uji (obat atau simplisia) terhadap
kecepatan pertumbuhan rambut pada hewan percobaan.

50
B. Tinjauan pustaka
Rambut mempunyai peran dalam proteksi terhadap lingkungan
yang merugikan, antara lain suhu dingin atau panas, dan sinar
ultraviolet. Selain itu, rambut juga berfungsi melindungi kulit terhadap
pengaruh-pengaruh buruk; misalnya alis mata melindungi mata agar
keringat tidak mengalir ke mata, sedangkan bulu hidung menyaring
udara. Rambut juga berfungsi sebagai pengatur suhu, pendorong
penguapan keringat, dan sebagai indera peraba yang sensitif.
Rambut merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan
manusia, oleh karena itu beberapa usaha di seluruh dunia telah
dilakukan untuk mendapatkan hair tonic yang efektif. Beberapa
metode untuk mengevaluasi keefektifan hair tonic ini telah dilakukan,
seperti metode marking, dyening, clipping, shaving dan weighing.
Namun demikian, beberapa metode ini memiliki kekurangan,
misalnya thallium acetate yang digunakan dalam metode marking
terbukti beracun pada hewan percobaan tikus.
Rambut mempunyai beberapa fungsi umum, yaitu :
1. Perlindungan mekanis
Rambut atau bulu badan bergua untuk menahan tumbukan.
Pemukaan rambut seluas 1 cm 2 cm dapat menahan gaya tekan
sebesar 23 gram. Rambut di sekitar lubang-lubang alami tubuh
melindungi struktur yang dikelilinginya terhadap pengaruh-
pengaruh buruk dari luar.
2. Pengaturan suhu badan
Bulu atau rambut pada hewan merupakan penyeka ( insulator )
yang baik karena berupa zat tanduk. Rambut pada badan dapat
berfungsi untuk menyimpan panas pada badan.
3. Pengeluaran keringat dan air
Rambut pada badan memiliki luas permukaan yang besar
sehingga dapat membantu pengeluara keringat dan air dari kulit.
4. Penarik jenis kelamin yang lain pada hewan, bulu dan warnanya
mempunyai daya tarik terhadap hewan jenis kelamin lain.
5. Pengutaraan emosi

51
Pada hewan, rasa takut, kemarahan dan sebagainya dinyatakan
dengan berdiriny bulu badan yang disebut pilomotion.
6. Sebagai alat perasa
Rambut memperbesar efek rangsang sentuhan terhadap kulit.
Sentuhan pada bulu mata menimbulkan reflex penutup kelopak
mata. kepekaan kulit terhadap sentuhan berbanding lurus dengan
kelebatan pertumbuhan rambut. kelebatan rambut 312/cm2 sangat
peka terhadap sentuhan.

Penumbuh rambut (hair tonic) adalah sediaan yang mengandung


bahan-bahan yang diperlukan oleh rambut, akar rambut, dan kulit kepala.
Penggunaan bahan-bahan yang berfungsi sebagai penumbuh rambut
(misalnya counter irritant) dalam konsentrasi rendah akan menyebabkan
kemerahan pada kulit dan rasa hangat sehingga meningkatkan aliran darah
pada kapiler kulit.
Lidah buaya adalah tanaman yang semua bagian dari tumbuhan ini
bermanfaat, pelepah lidah buaya dapat dikelompokan menjadi 3 bagian
yang dapat digunakan untuk pengobatan, antara lain: Daun, keseluruhan
daunnya dapat digunakan baik secara langsung atau dalam bentuk ekstrak,
kemudian eksudat, adalah getah yang keluar dari dalam saat dilakukan
pemotongan, eksudat ini berbentuk kental berwarna kuning, dan rasanya
pahit. Kemudian gel, adalah bagian yang berlendir yang diperoleh dengan
cara menyayat bagian dalam daun.

II. CARA PERCOBAAN


A. Alat dan bahan
1. Alat
a. Alat pencukur rambut
b. Jangka sorong
c. Micrometer
d. Objek glass
e. Disposable injeksi
2. Bahan
a. Hair tonic
b. Aquades
c. Lidah buaya
3. Hewan coba

52
Kelinci ( umur 2 3 bulan, BB 1- 2 kg)

B. Cara kerja
1. Cukur rambut kelinci pada bagian punggungnya hingga bersih,
buat 3 lokasi pencukuran dengan jarak minimal 3 cm.
Kotak 1 : aquadest ( kontrol negative)
Kotak 2 : hair tonic ( control positif )
Kotak 3 : lidah buaya ( pembanding )
2. Semprotkan bahan uji ( control positf, control negative, lidah
buaya) pada setiap kotak 2 kali sehari, pagi dan sore sebanyak 1
ml menggunakan spoit tanpa jarum.

3. Pengamatan
Lakukan pengamatan terhadap pertumbuhan rambut hewan uji
setiap 3 hari selama 18 hari, dengan cara mencabut dan mengukur
panjang rambut hewan uji, pencabutan rambut dilakukan secara
acak sebanyak lebih kurang 20 helai setiap bagian kemudian
dipilih yang terpanjang.
4. Analisis data
Data statistik panjang rambut kelinci :
panjang rambut harike 6 panjang rambut hari ke 3
=
3

III. HASIL PENGAMATAN


A. Tabel hasil pengamatan
BAHAN UJI
NO HARI KE-
Aquadest Hair tonic Lidah buaya
1 Hari ke 3 - 0,4 0,2
2 Hari ke 6 0,5 1,1 0,9

B. Perhitungan
1. Aquadest
panjang rambut harike 6 panjang rambut hari ke 3
3
0,50
= = 0,16
3
2. Hair tonic

53
panjang rambut harike 6 panjang rambut hari ke 3
3
1,1 0,4
= = 0,96
3
3. Lidah buaya
panjang rambut harike 6 panjang rambut hari ke 3
3

0,90,2
= = 0,83
3

C. Data perbandingan
Kelompok III
No Hari Pertumbuhan rambut
Lidah buaya Hair tonik mustika ratu Aquadest
1 Hari ke-3 0,1 cm 0 0

2 Hari ke-6 0,5 cm 0,3 cm 0,2 cm

3 Hari ke-9 0,9 cm 0.6 cm 0,4 cm


4 Hari ke-12 1,1 cm 0,9 cm 0,7 cm

Perhitungan statistik :
panjang rambut hari ke 12 panjang rambut harike 6
rumus=
6
Lidah buaya : 1,1 cm 0,5 cm = 0,36 cm
6
Hair tonik : 0,9 cm 0,3 cm = 0,1 cm
6
Aquades : 0,7 cm 0,2 cm = 0,08 cm
6
Hasil diatas merupakan rata-rata pertumbuhan rambut kelinci per hari.

Kelompok II
No Hari Pertumbuhan rambut
Lidah buaya Hair tonik Aquadest
mustika ratu

54
1 Hari ke-3 0,2 cm 0,4 0,1
2 Hari ke-6 0,9 cm 1,1 cm 0,7 cm

Perhitungan statistik :
panjang rambut hari ke 6 panjang rambut hari ke 3
rumus=
3
Lidah buaya : 0,9 cm 0,2 cm = 0,23 cm
3
Hair tonik : 1,1 cm 0,4 cm = 0,23 cm
3
Aquades : 0,7 cm 0,1cm = 0,2 cm
3

D. Analisis data
Analisis data menggunakan ANOVA ( Analisis Of Varian )
Replikas Rata-rata Efek Penyembuhan Luka Bakar
i Kontrol ( - ) Hair Tonik Lidah Buaya
1 0.16 0.96 0.83
2 0.2 0.23 0.23
3 0.08 0.1 0.36
x 0.44 1.29 1.42
0.22 0.43 0.47
N 3 3 3
x2 0.072 0.98 0.87

Sehingga :
x2 total = 1.92
x = 3.15
n total = 9 perlakuan

Keterangan :
x = Jumlah semua data hasil perlakuan

55
= x / banyak kali perlakuan
n = Banyak kali perlakuan
x2 = Tiap data perlakuan dikuadratkan dan dijumlahkan
x2 t = jumlah semua hasil dari x2
xt = jumlah semua hasil dari x
K = perlakuan
JK total = x 2 total( xt)2
3.15

=1.92-
2


= 0.82

xK


2

xA


2

JK perlakuan = xB


2

x total


2

56
0.44


2

1.29


2

= 1.42


2

3.15


2


= (0.065 + 0.55 + 0.67 ) 1.1
= 0.19

JK Galat = JK total JK perlakuan


= 0.82 0.19
= 0.63

Tabel Anova
Sumber Variasi JK dK Kr=JK/dK
Perlakuan 0.19 K-1= 3-1 = 2 0.09
Galat/Eror 0.63 nT-K=9-3=6 0.11
Total 0.82 nT-1=8 0.1

F hitung = Kr perlakuan / Kr Galat


= 0.09 / 0.11
= 0.82
Perbandingan F hitung dengan F tabel dari buku statistik :
F(2.6) = (2 = dK perlakuan dan 6 = dK galat)
F (2.6) = 5.14 dan F hitung = 0.82
Jadi F hitung < F tabel : tidak ada perbedaan signifikan sehingga tidak
perlu dilanjutkan dengan Uji SNK.

IV. PEMBAHASAN
Rambut atau di sebut bulu adalah organ seperti benang dari bahan
keratin yang tumbuh di kulit hewan dan manusia. Rambut tertanam dalam

57
suatu tabung folikel yang muncul pada epidermis kulit luar dengan ukuran
nm sampai lebih kecil dari satu 1ml. Rambut memiliki beberapa fungsi
selain perlindungan yaitu sebagai alat perasa, pengutaraan emosi, penarik
jenis kelamin yang lain pada hewan, pengeluaran keringat dan air, serta
pengaturan suhu badan.
Pada praktikum uji kecepatan pertumbuhan rambut ini digunakan
hewan uji kelinci jantan. Dasar pemilihan ini didasarkan pada factor yaitu
kelinci jantan tidak mengalami siklus hormonal seperti pada kelinci betina
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan rambut.
Pada percobaan ini dibuat 3 (tiga) lokasi pada punggung kelinci
kemudian dilakukan pencukuran hingga tidak tersisa rambut pada masing-
masing lokasi tersebut. Selanjutnya dioleskan bahan uji pada masing-
masing lokasi, dimana lokasi I diolesi dengan aquadest sebagai control
negative, lokasi II menggunakan hair tinic mustika ratu serta pada lokasi
III diolesi dengan lidah buaya. Pengolesan ini dilakukan dua kali sehari
dengan volume pemberian yaitu 0,5 ml tiap kali pengolesan. Pengamatan
dilakukan setiap tiga hari sekali kemudian diukur dan dicatat panjang
rambut yang tumbuh. Pengamatan dilakukan dengan mengambil 20 helai
rambut kelinci pada tiap bagian pada hari ke 3 dan ke 6. Hasil percobaan
yang diperoleh menunjukan bahwa pemberian hair tonic sebagai kontrol
positif, aquades sebagai kontrol negatif dan lidah buaya menunjukan
adanya perbedaan hasil di setiap perlakuan. Pada bagian yang diolesi hair
tonic menunjukan pertumbuhan rambut yang lebih panjang, diikuti oleh
lidah buaya, kemudian aquadest.
Hair tonic mempunyai efek penumbuh dan penyubur rambut yang
baik dan telah teruji khasiat tersebut. sedangkan lidah buaya juga dapat
memberikan hasil yang baik untuk pertumbuhan rambut karena memiliki
kandungan vitamin, mineral serta enzim-enzim yang juga berpengaruh
dalam mempercepat pertumbuhan rambut.
Pada bagian yang diberi aquadet sebagai control negatif memiliki
pertumbuhan yang lebih lambat karena tidak memiliki efek untuk

58
mempercepat pertumbuhan rambut atau di dalam air tidak mengandung zat
yang secara khusus berfungsi sebagai hair tonic ataupun penyubur rambut.
Adapun Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan rambut yaitu hormon, nutrisi, vaskularisi, serta suhu kulit.
Hormon yang berperan yakni androgen terutama testosteron yang
meransang pertumbuhan rambut, estrogen, tiroksin, dan kortikosteroid.
Sedangkan malnutrisi berpengaruh pada pertumbuhan rambut terutama
pada malnutrisi protein dan kalori. Pada keadaan ini rambut menjadi
kering dan kusam. Kekurangan vitamin B12, asam folat, dan zat besi juga
dapat menyebabkan kerontokan rambut. Faktor vaskularisi dimana
peredaran darah yang baik akan mengedarkan nutrisi serta oksigen ke
seluruh tubuh karena pertumbuhan rambut juga memerlukan oksigen.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Departemen Farmakologi dan FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi. FKUI;
Jakarta.

Tenda, Priska. 2012. Penuntun Praktikum Farmakologi. Farmasi; Kupang.

Mutschler, E., 1999. Dinamika Obat edisi V; Bandung. Penerbit ITB.

Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi jilid 3. Airlangga University Press :


Surabaya.

59
Hoan, T.J., dan Rahardja, K., 2007. Obat Obat Penting edisi VI ; Jakarta. PT.
Elex Media Komputindo.

Latief, A Said, dkk. 2007. Anstesi lokal. Petunjuk Praktis Anastesiologi Edisi 2.
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Kasim, Fauzi, dkk. 2009. ISO Indonesia volume 44. Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia, Jakarta.

Anastesik lokal, available at : :http://fhatanti.wordpress.com/2010/08/27/anastesi-


lokal/

60

Anda mungkin juga menyukai