PENDAHULUAN
Anak sehat orang tua pun bahagia.Ungkapan ini ialah harapan seluruh orang tua di negara
ini. Indonesia yang mencita- citakan sebagai negara kesejahteraan (welfare state) menjadikan
kesehatan bagian dari program utama pembangunan negara ini, dikarenakan dalam UUD 1945
Pasal 28 H ayat (1) mengatur bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan, serta Pasal 34 ayat (3) mengatur bahwa Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Tolak ukur
kemajuan sebuah negara bilamana Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi dapat dipenuhi negara
secara utuh kepada setiap warga negara.
Menjadi persoalan kemudian pada medio Juli 2016 dalam dunia kesehatan Indonesia
ditemukan pembuatan dan penyebaran vaksin palsu yang dilakukan pasangan suami isteri di
Bekasi. Tidak tanggung- tanggung pembuatan dan penyebaran vaksin palsu tersebut, sudah
berlangsung lama. Hasil penelusuran Tempo 15 Juli 2016 mengumumkan ada beberapa rumah
sakit di Bekasi di antaranya Rumah Sakit Sayang Bunda, Rumah Sakit Kartika Husada, Sentral
Medika, Rumah Sakit Harapan Bunda, Rumah Sakit Permata, serta Rumah Sakit Elisabeth
(Koran Tempo 15 Juli 2016). Dari beberapa rumah sakit tersebut maka telah banyak juga anak-
anak bangsa ini menjadi korban dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, serta
Kementerian Kesehatan dan BPOM yang telah lalai mengawasi vaksin palsu tersebut. Terkait
kasus vaksin palsu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Menteri Nila F.Moeloek
dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR telah menyiapkan sanksi apabila terbukti
terlibat maka dapat diberikan sanksi administrasi hingga pencabutan ijin operasi (Koran Tempo
15 Juli 2016).
B. KASUS
1. Kronologis
Tidak hanya itu, dia juga menjelaskan kronologi cara peredarannya. Menurut dia, ini
berawal dari kecurigaan adanya kelangkaan vaksin tertentu di pasar yang tidak termasuk
dalam program pemerintah. Ditemukanlah vaksin dengan harga murah.
"Kronoligis ditemukan vaksin palsu karena adanya kekurangan vaksin," ujarnya dalam
rapat dengar pendapat (RDP) di komisi IX DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta,
Kamis (14/7).
Lantas, Bareskrim Mabes Polri menangani perkara tersebut dengan ditemukan 3 botol
bekas dari tiga rumah sakit. Yakni, RS Hermina di Bekasi, RS Betesda di Jogja, dan RS
Harapan Bunda di Jakarta Timur. Dua rumah sakit awal tersebut didistribusikan melalui
Sugiyanti sebagai pengumpul botol bekas.
Empat produsen itu diantaranya, Nuriani, Syafrizal, Iin Sulastri, Rita Agustina, Hidayat,
dan Agus Priyanto. Kemudian vaksin didistribusikan kepada Ryan pemilik Apotik Cahaya
Medika.
Ada pula Farid melalui Apotik Ibnu Sina. Lalu Mirza, Pius, Sutarman melalui Apotik
Ciledug dan Rawa Bening Jati Negara.
Selain itu, distributor lain ialah Thamrin melalui toko obat CV Azka Medical. "Kami
dapatkan ini dari Bareskrim," sebut Nila.
Lebih lanjut Nila menambahkan, vaksin dasar sejatinya diperoleh dari pemerintah.
Kendati demikian, Faskes milik pemerintah maupun milik swasta bisa melakukan
pengadawan sendiri dengan membeli dari distributor resmi.
"Tapi ada vaksin yang berasal dari sumber tidak resmi, bisa asli atau palsu," pungkas
wanita kelahiran Jakarta itu.
(http://www.jawapos.com/read/2016/07/14/39273/begini-kronologis-peredaran-vaksin-
palsu, diakses tanggal 27 Maret 2017)
2. Tuntutan Masyarakat
C. ANALISA
1. Pembuatan vaksin palsu
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan jelas mengatur terkait penyediaan
farmasi, dimana vaksin masuk dalam kategori tersebut. Sebagaimana Pasal 98 (2)
mengatur bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan menyimpan, mengolah, mempromosikan ,dan mengedarkan obat dan bahan
yang berkhasiat obat , ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina,mengatur,
mengendalikan, dan mengawasi, pengadaan, promosi dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Tindakan tersebut telah melanggar hukum sebagaimana Pasal 197 UU Kesehatan
mengatur setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
Pasal 106 ayat (1) dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak
Rp.1.500.000.000.00.
4. Regulasi
Salah satu penyebab munculnya peredaran vaksin palsu di faskes karena regulasi
tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Pasal 98 UU Kesehatan, misalnya, mewajibkan
Pemerintah membina, mengatur, mengendalikan dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi dan pengedaran farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
standar mutu pelayanan farmasi. Ketentuan itu mengamanatkan pemerintah untuk
mengaturnya lebih teknis dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini
pemerintah belum menerbitkan PP sesuai amanat UU Kesehatan tersebut, katanya dalam
jumpa pers di Jakarta, Senin (18/07).
Mengingat pemerintah belum menerbitkan PP terbaru tentang sediaan farmasi dan
alat kesehatan, peraturan yang masih digunakan yaitu PP Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan yang terbit 1998. Pasal 65 PP ini mengamanatkan Menteri Kesehatan
mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan di bidang
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Berdasarkan Permenkes No. 1144 Tahun 2010, Kementerian Kesehatan membawahi
subdirektorat penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang terdiri dari seksi
perencanaan penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan dan seksi pemantauan
ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Seksi perencanaan bertugas
menyiapkan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan bidang penyediaan obat publik
dan perbekalan kesehatan. Seksi pemantauan bertugas menyiapkan bahan bimbingan
teknis, pengendalian, pemantauan dan evaluasi.
Peran Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) penting dalam mencegah peredaran dan
penggunaan vaksin palsu. BPRS bertugas membuat pedoman pengawasan RS untuk
digunakan BPRS provinsi. Kemudian, menganalisis hasil pengawasan dan memberikan
rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk digunakan sebagai bahan
pembinaan.
Bahkan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) PP No. 51 Tahun 2009 menegaskan setiap
fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang
apoteker sebagai penanggung jawab. PP tersebut juga mewajibkan setiap RS memiliki
instalasi farmasi.
Standar pelayanan kefarmasian di RS meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai itu meliputi pemilihan;
perencanaan kebutuhan; pengadaan; penerimaan; penyimpanan; pendistribusian;
pemusnahan dan penarikan; pengendalian; dan administrasi.
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Permenkes No. 58 Tahun 2014
dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
Secara umum berbagai regulasi yang berkaitan dengan kefarmasian itu selama ini
belum dilaksanakan dengan baik sehingga membuka celah masuknya vaksin palsu di
faskes. Ia berharap semua pemangku kepentingan seperti pemerintah, RS dan dokter
saling bekerjasama untuk segera menuntaskan persoalan vaksin palsu.