Kebijakan Pengembangan Tik Di Era Konvergensi PDF
Kebijakan Pengembangan Tik Di Era Konvergensi PDF
(SWAKELOLA)
DAFTAR ISI
halaman
Daftar Isi ..... ii
Daftar Tabel. iv
Daftar Gambar .. v
Daftar Istilah vi
I. PENDAHULUAN ... 1
I.1 Latar Belakang . 1
I.2 Permasalahan .. 2
I.3 Tujuan dan Sasaran Kajian ......................... 4
I.4 Ruang Lingkup dan Keluaran Kajian 4
I.5 Metodologi 5
I.6 Rencana Kerja.. 6
II. HASIL KAJIAN .. 8
II.1 Pemetaan Kondisi Infrastruktur Eksisting 8
II.2 Dampak Perubahan Struktur Industri dan Pasar Akibat Konvergensi 10
II.2.1 Permasalahan. 10
II.2.2 Stuktur Industri dan Perizinan.. 11
II.3 Pola Penyediaan Infrastruktur dan Layanan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat ........... 15
II.3.1 Penyediaan Infrastruktur 15
II.3.2 Pemberdayaan Masyarakat.. 15
II.3.3 Tantangan ke Depan. 19
II.4 Pembiayaan.. 20
II.4.1 Biaya Modal. 20
II.4.2 Pergeseran dari Biaya Modal ke Biaya Operasional 21
II.4.3 Perkiraan Keperluan Biaya Investasi.. 24
II.4.4 Sumber Pembiayaan. 26
III. ANALISA HASIL KAJIAN .. 29
iii | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
halaman
III.1 Analisa Aspek Supply: Penyediaan Infrastruktur Di Era Konvergensi 29
III.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Penyediaan Infrastruktur 30
III.1.2 Implikasi Format Baru Struktur Industri dan Perizinan terhadap
Kompetisi di Era Konvergensi .... 34
III.1.3 Trend Global dan Permasalahan Penyediaan Infrastruktur
Nasional . 37
III.1.4 Rencana Pembangunan Infrastruktur di Era Konvergensi. 42
III.2 Analisa Aspek Demand: Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pemanfaatan
Infrastruktur dan Informasi.. 44
III.2.1 Permasalahan Dalam Pemanfaatan Informasi dan TIK. 45
III.2.2 Rencana Penciptaan Demand................................................................. 47
III.3 Analisa Aspek Pembiayaan .............. 48
III.3.1 Pembiayaan Pemerintah.. 48
III.3.2 Pembiayaan Swasta. 48
III.3.3 Pembiayaan Pembangunan Komunikasi dan Informatika
Masa Depan . 49
III.4 Rekomendasi Kebijakan ............................................... 49
III.4.1 Aspek Infrastruktur . 49
III.4.2 Aspek Pemanfaatan Informasi dan TIK 52
III.4.3 Aspek Pembiayaan . 55
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 59
IV.1 Kesimpulan ... 59
IV.2 Rekomendasi . 61
Daftar Pustaka ... 64
iv | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1.1 Arahan Substansi ............... 6
Tabel 1.2 Jadwal Pelaksanaan Kajian 7
Tabel 2.1 Ringkasan Kontribusi Ekonomi Industri Kreatif, 2002-2006 . 18
Tabel 2.2 Distribusi PDB Atas Harga Berlaku ... 25
Tabel 2.3 Asumsi Makro Jangka Menengah . 25
Tabel 2.4 Proyeksi PDB 2010-2014 26
Tabel 3.1 Perbandingan Persepsi tentang Konvergensi serta Dampaknya 34
Tabel 3.2 Persandingan Kategori dan Jenis Izin . 36
Tabel 3.3 Pelanggan Broadband di Indonesia . 38
Tabel 3.4 Peringkat Kesiapan Teknologi 2008-2009 .. 39
Tabel 3.5 Hasil Pemeringkatan e-Readiness 2008 . 39
Tabel 3.6 Peran Pemerintah dalam Mendorong Pengembangan
Infrastruktur Broadband ..... 44
Tabel 3.7 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 44
Tabel 3.8 Bentuk Intervensi Pemerintah Untuk Mendorong Pembangunan
Komunikasi dan Informatika di Era Konvergensi .. 55
v|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Kajian .. 6
Gambar 2.1 Model Pembangunan Menuju Masyarakat Informasi Indonesia .......... 10
Gambar 2.2 Penyelenggaraan Telekomunikasi . 11
Gambar 2.3 Infrastruktur NGN .. 12
Gambar 2.4 Struktur Industri Masa Depan .. 13
Gambar 2.5 Konfigurasi dan Para Pelaku NGN (Tahap Awal) 14
Gambar 2.6 Konfigurasi dan Para Pelaku NGN (Tahap Kedua) 14
Gambar 2.7 Perkembangan Ekonomi Kreatif . 17
Gambar 2.8 Jumlah Investasi Industri Telekomunikasi 26
Gambar 3.1 Tingkat Pencapaian RPJMN 2004-2009 .. 30
Gambar 3.2 Perubahan Struktur Industri dari Vertikal Menjadi Horizontal 33
Gambar 3.3 Pemetaan Jenis Penyelenggara (Operator) . 36
vi | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
DAFTAR ISTILAH
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. LATAR BELAKANG
Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005 - 2025, masyarakat informasi Indonesia diproyeksikan terwujud pada
periode jangka menengah ketiga, yaitu tahun 2015 - 2019. Penetapan sasaran ini didasarkan pada
kenyataan bahwa kemampuan untuk mendapatkan, mengolah, dan memanfaatkan informasi mutlak
dimiliki oleh suatu bangsa tidak saja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing
bangsa tersebut, tetapi juga untuk meningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan
kata lain, infrastruktur informasi1 harus dimanfaatkan secara optimal, bukan saja sebagai alat
komunikasi tetapi juga sebagai alat yang menghasilkan peluang ekonomi. Untuk mencapai sasaran
tersebut, persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah ketersediaan infrastruktur komunikasi dan
informatika yang memadai, baik jumlah akses, kapasitas, kualitas, jangkauan, maupun tarif layanan.
Berbeda dengan sektor infrastruktur lainnya, sektor pos dan telematika sangat dipengaruhi oleh
kekuatan pasar (market driven). Pola top-down sudah tidak efektif dilaksanakan di sektor yang
tingkat efisiensi investasinya sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Di sisi lain,
pemerintah sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur dan
penyediaan jasa tersebut memang membawa manfaat untuk masyarakat luas dan memberikan
kepastian berusaha bagi para penyelenggaranya. Oleh karena itu, sebagai fasilitator dan katalisator
pembangunan, pemerintah perlu menetapkan koridor untuk menjamin hal-hal tersebut yang
dituangkan ke dalam kebijakan yang berpandangan ke depan (forward looking), berakar pada
permasalahan (tidak reaktif), dan komprehensif (tidak terkotak-kotak).
Dalam upaya penyusunan kebijakan tersebut kiranya perlu untuk dibahas tiga isu/tantangan yang
secara fundamental mempengaruhi landscape industri, yaitu trend teknologi informasi dan
komunikasi (TIK), tingkat pemanfaatan dan pengembangan layanan TIK oleh masyarakat (e-literasi),
dan strategi pembiayaan yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut.
Isu pertama terkait dengan cepatnya perkembangan TIK yang terus menghasilkan teknologi yang
lebih matang, efisien, dan murah. Di satu sisi, kemajuan teknologi menawarkan berbagai pilihan dan
kemudahan bagi masyarakat dalam berkomunikasi, namun di sisi lain terkadang juga menimbulkan
berbagai permasalahan mengingat perubahan teknologi dapat menimbulkan berbagai implikasi,
seperti kemungkinan kompensasi yang harus disediakan oleh pemerintah, kepastian iklim usaha
1 Ruang lingkup infrastruktur informasi meliputi pos, telekomunikasi, informatika, dan penyiaran
2|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi
bagi para operator dan jaminan layanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan
teknologi harus diantisipasi oleh kebijakan dan regulasi yang tepat.
Isu kedua terkait dengan masih terbatasnya penggunaan TIK sebagai alat pencipta peluang
ekonomi (produktif). Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia mempunyai
kapasitas dan kemampuan pemanfaatan TIK (e-literasi) yang terbatas sehingga TIK hanya
digunakan sebagai alat komunikasi. Hal ini perlu diwaspadai sejalan dengan semakin tingginya
belanja pulsa untuk layanan komunikasi bergerak2. Tanpa disertai kemampuan e-literasi yang baik,
masyarakat akan menjadi semakin konsumtif.
Isu ketiga terkait dengan terbatasnya pembiayaan pemerintah (APBN). Hal ini menjadi lebih berat
mengingat investasi jangka panjang yang menjadi karakteristik dasar pembangunan infrastruktur
menjadi kurang menarik akibat cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Pengalaman juga membuktikan bahwa pemerintah bukanlah pihak yang tepat untuk mengelola
risiko perubahan teknologi. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi sektor yang melandasi
reposisi pemerintah melalui pemisahan fungsi operasi dari fungsi kebijakan dan regulasi.
Berkurangnya peran pemerintah dalam fungsi operasi di antaranya terlihat dari besarnya
penggunaan dana/investasi di luar pemerintah. Sebagai perbandingan, anggaran pemerintah
(APBN) pada periode tahun 2005 hingga 2007 untuk sektor pos dan telematika masing-masing
sebesar Rp 837,3 miliar, Rp 2.061,5 miliar, dan Rp 2.458,8 miliar. Adapun belanja modal tiga3
operator besar di sektor telekomunikasi saja mencapai Rp 24.218,9 miliar (2005), Rp 27.606,8 miliar
(2006), dan Rp 31.459,1 miliar (2007).
Sementara itu penggunaan APBN sektor pos dan telematika tahun 2004-2009 difokuskan kepada
empat kegiatan pokok, yaitu (1) perkuatan fungsi pengaturan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan pos dan telematika; (2) penyediaan infrastruktur dan layanan pos dan telematika di
perdesaan, perbatasan, dan wilayah non-komersial lain sebagai pelaksanaan Kewajiban Pelayanan
Universal (Public/Universal Service Obligation); (3) pelaksanaan proyek percontohan TIK khususnya
dalam rangka peningkatan e-literasi dan pengembangan e-government; dan (4) fasilitasi
pengembangan sumber daya manusia, industri, content, dan aplikasi TIK.
I.2 PERMASALAHAN
Sekitar satu dekade lalu, sektor TIK nasional, khususnya telekomunikasi, mengalami reformasi
gelombang kedua. Bila pada reformasi gelombang pertama tahun 1989 ditandai dengan
meningkatnya peran serta swasta dalam pembangunan telekomunikasi, maka pada reformasi
gelombang kedua ditandai dengan dihapuskannya bentuk monopoli dan dimulainya
penyelenggaraan berbasis kompetisi. Reformasi saat itu juga menuntut reposisi pemerintah melalui
pemisahan fungsi operasi dari fungsi pembinaan dan regulasi.
Sesuai dengan desakan kemajuan teknologi dan trend global, sektor TIK nasional kembali
mengalami reformasi yang dipicu oleh konvergensi telekomunikasi, informatika, dan penyiaran.
Konvergensi yang dimulai dari konvergensi teknologi ini pada akhirnya akan menyentuh tataran
kebijakan, regulasi, kelembagaan regulasi, dan industri/pasar. Salah satu implikasi dari konvergensi
adalah adanya perubahan bentuk industri dari yang terintegrasi secara vertikal menjadi terintegrasi
secara horizontal. Akibatnya, landscape pengaturan industri juga akan berubah seperti dalam hal
perizinan dan penggunaan sumber daya terbatas (spektrum frekuensi dan penomoran). Hal ini perlu
diantisipasi oleh kebijakan dan perangkat regulasi yang memadai untuk memastikan proses
perubahan yang halus (seamless). Walaupun terjadi perubahan industri secara fundamental,
kesediaan, kualitas, dan harga layanan kepada masyarakat tetap harus terjaga, begitu pula dengan
kelangsungan bisnis operator sebagai penyedia jasa.
Untuk mengurangi risiko atau dampak negatif akibat ketidakpastian dari perubahan, proses
perubahan tersebut perlu dipetakan. Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa perubahan
yang terjadi tetap terarah (tidak keluar koridor) dan bertahap dengan menggunakan sumber daya
secara efisien. Selain itu, pembagian tugas yang bersinergi antara pemerintah, regulator, dan
operator juga diharapkan dapat terjadi.
Sementara itu, upaya peningkatan e-literasi masyarakat masih terfokus kepada jalur pendidikan
formal. Kemampuan e-literasi memang berkaitan erat dengan tingkat pendidikan masyarakat.
Pengguna internet sebagian besar (lebih dari 90 persen) bermukim di pulau Jawa dengan tingkat
pendidikan sarjana/pasca sarjana (sekitar 50 persen) dan SMA (40 persen). Namun untuk
mempercepat peningkatan e-literasi masyarakat luas, perlu ditempuh upaya yang langsung
berkaitan dengan masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat pola penyediaan dan
pengelolaan layanan TIK pada umumnya masih berorientasi infrastruktur (supply driven), sedangkan
pola berbasis pemberdayaan masyarakat (demand driven) masih sangat terbatas.
Adapun terkait dengan pembiayaan, pembangunan infrastruktur komunikasi dan informatika saat ini
sebagian besar didanai dari investasi asing melalui operator penyelenggara. Untuk mempercepat roll
out infrastruktur termasuk di daerah non komersial, diperlukan upaya lain selain memobilisasi dana
asing, antara lain melalui optimalisasi sumber dana eksisting dan diversifikasi sumber pembiayaan.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan dana eksisting adalah peningkatan
pengelolaan APBN melalui pengalokasian secara tepat sasaran (target oritented) dan
penggunaannya secara efisien. Konsep penggunaan infrastruktur secara bersama (shared
infrastructure) dan penggeseran belanja modal (capital expenditure) menjadi belanja operasional
4|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi
Begitu pula dengan upaya diversifikasi sumber pembiayaan, saat ini masih belum berkembang
model/konsep pembiayaan yang berkesinambungan baik melalui kerja sama dengan swasta
maupun usaha kecil, menengah dan koperasi.
Adapun sasaran akhir kajian adalah agar Bappenas khususnya Direktorat Energi, Telekomunikasi
dan Informatika mendapatkan masukan bagi penyusunan kebijakan pengembangan TIK di era
konvergensi.
1. Tim Tenaga Ahli melakukan (a) pemetaan kondisi eksisting dan identifikasi permasalahan dalam
pembangunan, penyediaan, pengelolaan dan pemanfaatan infrastruktur dan layanan TIK; (b)
melakukan analisa dampak yang berpotensi timbul akibat adanya perubahan struktur industri
dan struktur pasar dari yang terintegrasi secara vertikal menjadi horizontal sebagai akibat
konvergensi; (c) melakukan analisa tentang pola penyediaan infrastruktur dan layanan TIK yang
berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat; (d) melakukan evaluasi atas implementasi
5|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi
konsep pergeseran belanja modal menjadi belanja operasional; dan (e) melakukan evaluasi atas
pelaksanaan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa TIK.
2. Tim Bappenas bertugas (a) memberikan arahan secara keseluruhan selama proses kajian; (b)
memeriksa hasil evaluasi dan analisa Tim Tenaga Ahli; (c) melakukan analisa menyeluruh atas
pemetaan dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Tenaga Ahli; dan (d) menyusun rekomendasi
kebijakan yang diperlukan.
Adapun keluaran kajian yang diharapkan adalah rekomendasi kebijakan yang mendukung
pengembangan sektor TIK di era konvergensi yang meliputi pengembangan infrastruktur, tingkat
pemanfaatan layanan TIK, dan strategi pembiayaan, sebagai landasan bagi terciptanya masyarakat
informasi Indonesia 2015 - 2019.
I.5. METODOLOGI
Kerangka pemikiran kajian berlatar belakang pada kebutuhan yang mendesak untuk
mengembangkan sektor komunikasi dan informatika yang kokoh, kompetitif, dan berkelanjutan.
Pengalaman sepuluh tahun terakhir membuktikan bahwa struktur industri dan penyelenggaraan
komunikasi dan informatika harus mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan trend
global. Tantangan terberat dalam lima tahun ke depan adalah menterjemahkan konvergensi ke
dalam tataran kebijakan, regulasi, perizinan, dan pengelolaan sumber daya terbatas (penomoran
dan spektrum frekuensi radio). Hal ini dikarenakan konvergensi akan mengubah penyelenggaraan
komunikasi dan informatika secara fundamental yaitu dengan menghilangkan sekat sektoral. Bila
sebelumnya penyediaan dan pengelolaan infrastruktur telekomunikasi terpisah secara jelas dari
penyediaan dan pengelolaan infrastruktur informatika dan penyiaran, maka pada era konvergensi
sekat tersebut menjadi hilang.
Pengalaman juga membuktikan bahwa setiap perubahan struktur industri dan bentuk
penyelenggaraan membawa implikasi yang luas, tidak saja kepada penyelenggara karena harus
melakukan penyesuaian terhadap rencana dan strategi bisnis, tetapi juga kepada pemerintah karena
dimungkinkannya muncul kebutuhan kompensasi, dan masyarakat karena adanya kemungkinan
biaya tambahan yang dibebankan sebagai akibat dari perubahan sistem dan perangkat.
Oleh karena itu, sektor komunikasi dan informatika nasional harus kokoh, dapat mengantisipasi
perubahan teknologi tanpa menimbulkan kekacauan (chaos) terhadap bentuk penyelenggaraan,
kompetitif, dan berkelanjutan. Karakteristik tersebut diperlukan untuk memastikan tercapainya
sasaran pembangunan nasional, terjaminnya keberlangsungan bisnis penyelenggara, serta
terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan akses komunikasi dan informatika yang handal,
berkualitas dan terjangkau.
6|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi
Kajian ini dilaksanakan melalui (1) pengumpulan dan evaluasi literatur, seperti peraturan perundang-
undangan, kebijakan sektor, dan konsep terkait lainnya; (2) pengumpulan data, wawancara, diskusi
dan pengisian kuesioner; (3) analisa; dan (4) penyusunan konsep/rekomendasi kebijakan.
2. Aspek Pemanfaatan Informasi dan Metode pendekatan yang efektif untuk memperkenalkan TIK
TIK (Demand) kepada masyarakat
3. Aspek Pembiayaan Evaluasi kebutuhan biaya modal
Evaluasi pergeseran belanja modal ke belanja operasional
Identifikasi potensi sumber pembiayaan selain APBN
BAB II
HASIL KAJIAN
Berikut ini adalah rangkuman hasil pemetaan yang dilakukan oleh Tim Tenaga Ahli dengan arahan
dari Tim Bappenas yang terdiri dari aspek (a) penyediaan infrastruktur (supply); (b) pemanfaatan
informasi dan TIK (demand); dan (c) pembiayaan.
b. Jumlah Internet Service Provider (ISP): 232 ISP (2005), 271 (2006), 298 (2007)
c. Jumlah Network Access Provider (NAP): 35 (2005), 41 (2006), 44 (2007)
d. Jumlah izin penyelenggaraan jasa multimedia sekitar 25 buah
9. Jenis aplikasi internet yang banyak digunakan melalui layanan mobile dan tetap antara lain
streaming video, games, dan entertainment. Selain penggunaan google, yahoo, detik.com,
aplikasi Web 2.0 seperti facebook, blog, youtube, chatting sangat banyak digunakan. Dalam hal
aplikasi Web 2.0 tersebut, Indonesia tergolong sebagai pengguna terbesar di Asia Tenggara.
10. Pembangunan USO (Pembangunan telepon perdesaan program Desa Berdering)
a. Dalam rangka pembukaan akses bagi masyarakat di daerah yang belum memiliki fasilitas
komunikasi dan informatika, pemerintah melaksanakan program USO di 31.824 desa.
Pemilihan penyelenggara secara kompetitif sudah dilakukan dengan menghasilkan dua
pemenang yaitu PT Telkomsel dan PT Indonesia Comnets Plus.
b. Program Desa Berdering akan dilakukan di 32 provinsi Indonesia dengan distribusi sebagai
berikut:
Sumatera: Nangroe Aceh Darusalam 3.611 unit, Sumatera Utara 2.809 unit, Sumatera
Barat 1.695 unit, Jambi 751 unit, Riau 701 unit, Kepulauan Riau 90 unit, Bangka
Belitung 141 unit, Bengkulu 969 unit, Sumatera Selatan 1.752 unit, dan Lampung 793
unit.
Jawa dan Bali: Banten 530 unit, Jawa Barat 1.038 unit, Jawa Tengah 1.551 unit, DI
Yogyakarta 19 unit, Jawa Timur 1.436 unit, dan Bali 139 unit.
Kalimantan: Kalimantan Barat 954 unit, Kalimantan Tengah 1.131 unit, Kalimantan
Timur 798 unit, dan Kalimantan Selatan 914 unit.
Sulawesi: Sulawesi Utara 474 unit, Gorontalo 184 unit, Sulawesi Tengah 744 unit,
Sulawesi Barat 236 unit, Sulawesi Selatan 905 unit, dan Sulawesi Tenggara 929.
Nusa Tenggara, Maluku, Papua: Nusa Tenggara Barat 198 unit, Nusa Tenggara Timur
2.031 unit, Maluku 710 unit, Maluku Utara 576 unit, unit Papua 2247 unit, dan Papua
Barat 768 unit.
11. Rencana pembangunan broadband wireless access (BWA)
Dalam rangka pemerataan akses pita lebar untuk seluruh wilayah Indonesia, pemerintah telah
melakukan seleksi penyelenggara pada bulan Juli 2009 dengan menghasilkan delapan
pemenang yang akan beroperasi selaku operator BWA. Salah satu kewajiban yang harus
dipenuhi pemenang seleksi tersebut adalah tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri.
12. Model pembangunan dan penggunaan infrastruktur TIK menuju Masyarakat Informasi
Indonesia (MII).
10 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Antisipasi melalui pengaturan kembali dan penyusunan perangkat regulasi sangat diperlukan oleh
pelaku bisnis untuk memberikan kepastian iklim usaha. Proses pengaturan kembali perlu dilakukan
secara bertahap untuk menjamin perubahan yang halus (seamless).
Walaupun terjadi perubahan struktur industri secara fundamental, ketersediaan, kualitas dan harga
layanan TIK kepada masyarakat harus tetap terjaga, begitu pula dengan kelangsungan bisnis
penyediaan jaringan dan penyediaan jasa. Untuk memperkecil dampak negatif dari perubahan
11 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
menuju era konvergensi ini, maka perlu dipetakan proses perubahan tersebut. Proses pemetaan ini
dimaksudkan untuk menjaga bahwa proses perubahan yang terjadi tetap pada arah/jalur yang sudah
direncanakan, melalui tahapan demi efesiensi sumber daya. Hal lain yang ingin dicapai adalah
sinergi peran/fungsi antara pemerintah, regulator dan operator/pelaku bisnis, sehingga secara
nasional dicapai hasil yang maksimal.
Struktur industri dan struktur pasar saat ini mengacu pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, KM
Perhubungan No. 20 Tahun 2001 beserta perubahannya tentang Penyelenggaraan Jaringan
Telekomunikasi, dan KM Perhubungan No. 21 Tahun 2001 beserta perubahannya tentang
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sesuai perkembangan teknologi, jaringan masa depan yaitu Next Generation Network (NGN), akan
berevolusi melalui infrastruktur yang dibangun pada fondasi yang terdiri atas tiga area infrastruktur.
Ketiga area tersebut adalah core, access dan penyediaan service/layanan control platform.
12 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Jaringan operator akan berevolusi melalui tiga area infrastruktur ini. Ketiga infrastruktur NGN dapat
digambarkan sebagai berikut.
Terminal
Equpment
Core
Access
Sumber : European Telecommunication Platform
Jaringan core (Next Generation Core) merupakan infrastruktur yang menjadi pusat terjadinya
konvergensi jaringan. Next Generation Core mempunyai kemampuan membawa dan menyalurkan
suara, data dan video melalui satu jaringan fisik yang sama dengan menggunakan protokol yang
sama yaitu protokol internet (IP). Pada jaringan core ini juga terjadi konvergensi antara jaringan
tetap (fixed network) dan jaringan bergerak (mobile network).
Jaringan akses menghubungkan terminal pengguna dengan operator. Jaringan akses dapat berupa:
Jaringan tetap
Jaringan bergerak
Jaringan kabel TV/broadband TV cable
Broadband Wireless Access (BWA)
High speed internet access
Pada jaringan akses inilah akan terjadi kompetisi ketat.
Dalam era NGN, konvergensi secara penuh harus melalui tahap Fixed-Mobile Convergence (FMC).
Untuk menuju FMC diperlukan IP Multimedia Subsystems (IMS). IMS diperlukan untuk layanan IP
ujung-ke-ujung (end-to-end) yang selanjutnya untuk akses (open access) ke layanan jasa nilai
tambah (Value Added Service) layanan aplikasi dan konten. IMS menambah fungsi service control
yang menjadikannya mampu memberikan layanan multimedia secara tanpa batas dari berbagai
teknologi akses fixed dan mobile, karena itu memungkinkan konvergensi FMC. Perkembangan
menuju FMC untuk fixed network agak berbeda dengan mobile network meskipun pada akhirnya
menyatu. Perkembangan mobile network berawal dari tiga GPP, badan standar untuk mobile
network, dimana IMS semula dikembangkan untuk memberikan layanan multimedia melalui jaringan
3G. Dimulai di 3GPP release 5, yang peruntukannya hanya untuk akses mobil, diteruskan dengan
13 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
release 6 untuk wireless dan release 7 untuk fixed access. Perkembangan pada fixed network
diawali oleh European Telecommunication Standard Institute (ETSI) yang menyatukan IMS pada
spesifikasi NGN ITU, menjadi standar yang disebut Telecoms and Internet Converged Services
and Protocol for advance Network (TISPAN). Selanjutnya ITU membuat rekomendasi terbaru
tentang NGN yang berbasis IMS (NGN IMS) seperti ETSI TISPAN. Pada NGN IMS inilah
konvergensi secara penuh terjadi, standarisasi IMS masih terus berkembang, untuk mengatur hal-
hal yang lebih rinci/ spesifik. Gambar-gambar berikut memperlihatkan struktur industri/struktur pasar
masa depan sebagai dampak dari perkembangan teknologi jaringan.
Pola penyediaan infrastruktur yang dimaksudkan di sini adalah sebatas konten dari perkembangan
TIK yang hendak dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. Usaha pemerintah di bidang
telekomunikasi sampai dengan tahun 2008 menghasilkan tingkat penetrasi layanan telekomunikasi
sambungan bergerak sebesar 61,72 persen, sambungan tetap 11,49 persen dan pengguna internet
11,30 persen. Penyediaan ketiga layanan tersebut masih terpusat di daerah perkotaan dan wilayah
barat Indonesia. Bila dilihat dari luas wilayah Indonesia kebutuhan infrastruktur TIK masih sangat
kurang belum menjangkau wilayah perdesaan dan daerah terpencil. Program Palapa Ring, USO dan
pembangunan menara bersama merupakan langkah untuk menjembatani masalah tersebut
sekaligus untuk mempercepat penyediaan infrastruktur di bidang TIK. Langkah ini perlu diambil
karena dunia persaingan di pasar domestik maupun global menghendaki percepatan dan ketepatan
dalam layanan bisnis.
Di sisi lain, masyararakat pengguna yang terdiri dari berbagai lapisan serta mempunyai latar
belakang budaya, pendidikan dan kemampuan sosial ekonomi yang berbeda menjadikan
pemanfaatan TIK masih belum memadai kalau tidak dapat dikatakan rendah. Penyebabnya adalah
kurangnya informasi dan kepedulian masyarakat dalam pemanfaatan kecanggihan TIK untuk
kepentingan bisnis masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah rendahnya pemakaian internet
yang baru mencapai sekitar sebelas persen. Mitos tentang posisi kaum wanita sebagai kaum yang
berada di belakang pria (sebagai isteri, pengasuh anak, mengurusi dapur dan sebagainya)
menjadikannya tidak termanfaatkan dengan semestinya dan kurang produktif. Padahal kaum wanita
banyak menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk pemberdayaan masyarakat. Kondisi demikian
harus segera diatasi dengan berbagai pendidikan, penyuluhan, pelatihan, mengaktifkan kegiatan
kelompok masyarakat dan pemberian sarana yang memadai sebagai penunjang.
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM/UKM). Dengan adanya
pergeseran paradigma dalam perkonomian dunia yaitu dari masyarakat industri menjadi masyarakat
informasi, maka pemanfaatan TIK menjadi sangat penting untuk dapat mengikuti persaingan pasar.
Masyarakat dididik untuk meningkatkan kemampuan di bidang TIK dengan menggunakan dukungan
transaksi eletronik. Aplikasi dari TIK ini meliputi tiga komponen pelaku yaitu pemerintah, produsen,
dan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang melindungi ketiga komponen tersebut akan
menaikan supply dan demand masyarakat. Untuk mengoptimalkan implementasi program TIK, perlu
diketahui bahwa setiap masyarakat memiliki karakteristik yang beda. Dengan demikian diperlukan
pendekatan tertentu agar program TIK tersebut dapat berjalan efektif dan diterima oleh masyarakat.
Langkah yang diambil untuk mendorong pemanfaatan informasi dan TIK di masyarakat adalah:
a. Pendidikan kepada masyarakat
1) Tahapan awal adalah mengubah paradigma masyarakat khususnya di perdesaan tentang
komputer sebagai barang mewah dan tak terjangkau. Adalah tugas pemerintah untuk
mempermudah masyarakat untuk mempunyai daya beli komputer serta kemudahan
mengakses infromasi.
2) Tahap berikutnya, memperkenalkan komputer sebagai hal yang sederhana (bukan hal
sulit) melalui pelatihan komputer dengan metode yang sederhana dan mudah dimengerti.
Dengan demikian, akan terbentuk paradigma baru dalam masyarakat bahwa komputer
adalah barang yang terjangkau, mudah digunakan oleh siapapun.
3) Memperkenalkan dengan memberikan wacana kepada masyarakan bahwa internet adalah
sesuatu yang mudah untuk digunakan, oleh siapapun dari kalangan apapun,
menyenangkan, bermanfaat, dan dapat memberikan informasi yang kita butuhkan. Pada
tahapan ini juga perlu dijelaskan mengenai potensi kemampuan internet dalam
mengembangkan usaha/bisnis yang ada.
Pada kelompok masyarakat tertentu sangat sulit menerima pengaruh dari luar apa apabila
bertentangan dengan adat kebiasaan setempat. Oleh karena itu, dalam pemberdayaan
masyarakat perlu diperhatikan budaya lokal yang dapat membantu memasarkan produk
masyarakat melalui jasa layanan TIK ke luar daerahnya. Pendekatan yang diambil adalah
melalui pengenalan budaya lokal kepada pasar domestik maupun internasional. Produk berbasis
budaya khas daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, didorong untuk segera
17 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
dipatenkan di Ditjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Kementerian Hukum dan HAM agar
masyarakat dapat memilih secara tepat produk yang diinginkan Produk berbasis budaya seperti
rencong, ulos, songket, tenun ikat, kain tapis, keris, batik, angklung, ukiran Asmat, ukiran
Jepara, mandau Kalimantan, dan produk berbasis budaya lainnya, secara resmi harus terdaftar
sebagai produk asli dan berasal dari Indonesia.
Melihat perkembangan tersebut, pengembangan UKM perlu dilakukan mengingat industri kreatif
merupakan salah satu sumber perkembangan pasar di bidang pemberdayaan masyarakat dan
sangat kompetitif dalam pasar global. Sebagian besar hasil industri kerajinan tangan di daerah
pedalaman di Papua, Pedalaman Kalimantan, Pulau Nias dan sebagainya belum dipatenkan dan
belum memanfaatkan kemajuan TIK untuk memasarkan produksinya. Contoh pemanfaatan
kemajuan TIK perorangan dalam indusri kreatif adalah G.M Sudharta, kartunis Om Pasikom
sejak puluhan tahun lalu dengan lebih dari 4.000 komik. Dengan dicanangkannya tahun 2009
sebagai tahun industri kreatif Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, memberikan
tantangan tambahan dalam pengelolaan industri telekomunikasi nasional karena industri kreatif
merupakan aplikasi telematika yang sangat mengandalkan ketersediaan infrastruktur.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, industri kreatif yang sangat terkait dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi kreatif di atas rata-rata
nasional pada tahun 2006 atau mencapai 7,2 persen dengan pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional hanya 4,71 persen. Hal tersebut dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.
Langkah selanjutnya yang juga perlu dilakukan adalah membangun jaringan pengembangan kota
kreatif yang menghubungkan beberapa kota seperti Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, Manila,
Hanoi, Hong Kong, Taipei, London, Auckland, Istambul, Bogota dan Glasgow. Sampai tiga tahun ke
depan, kota Bandung akan menjadi proyek percontohan pengembangan kota kreatif se-Asia Pasifik.
Untuk mencapai tujuan dimaksud, kebutuhan TIK harus dipenuhi.
20 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
II.4 PEMBIAYAAN
II.4.1 Biaya Modal
Melakukan investasi baru yang signifikan untuk upgrading infrastruktur yang ada saat ini adalah
merupakan keharusan, kalau para operator telekomunikasi tidak mau ketinggalan dalam kemajuan
teknologi. Tanpa mengikuti secara terus menerus kemajuan teknologi akan menurunkan daya saing
perusahaan dalam jangka panjang.
Seperti kita ketahui, biaya modal pada umumnya menyangkut nominal yang relatif besar dan cara
pengembaliannya relatif lama karena harus melalui proses depresiasi. Untuk proyek baru, biaya
modal tersebut meliputi biaya pekerjaan sipil, pembelian peralatan dan jasa untuk pelaksanaan
proyek tersebut, pembelian tanah, termasuk biaya untuk konsultan, serta gaji insinyur dan staf yang
bertanggung jawab atas pembangunan proyek tersebut sejak awal pembangunan hingga
beroperasi. Biaya depresiasi yang merupakan salah satu unsur biaya operasi mencapai sekitar 30
persen dari total biaya operasi tahunan untuk dua operator besar di Indonesia, sedang di Singapura
mencapai antara 16-18 persen. Dengan demikian, depresiasi mempunyai peranan yang cukup besar
dalam penentuan harga jual dari jasa yang ditawarkan.
Demikian pula bila biaya depresiasi tersebut dibandingkan dengan laba operasi. Untuk PT Indosat
angkanya mencapai hampir 97 persen (2008) dan 107 persen (2009) sampai 31 Maret. Untuk PT
Telkom, angkanya masing-masing mencapai 50 persen dan 56 persen pada periode yang sama,
sedangkan untuk SingTel (Singapura), angkanya lebih kecil, yaitu 42 persen untuk tahun 2008 dan
39 persen untuk tahun 2009.
Dua faktor utama yang menyebabkan tingginya biaya depresiasi adalah jumlah investasi dan
metode depresiasi.
Jumlah Investasi aktiva tetap untuk tiga operator tersebut di atas per 31 Maret 2009 adalah sebagai
berikut:
Indosat Rp 67,8 triliun
Telkom Rp 71,2 triliun
SingTel US$ 9,1 miliar
Metode depresiasi yang digunakan oleh ketiga operator tersebut di atas adalah metode straight line
dimana harga perolehan dari aktiva tersebut dibagi rata selama umur manfaat aktiva tersebut. Untuk
Indosat dan Telkom umur manfaat aktiva tetap ditentukan antara 3 - 20 tahun, sedang untuk Sing
Tel, umur manfaat aktiva tetapnya antara 3 - 40 tahun.
Untuk aktiva tetap yang dibangun sendiri, nilai dari aktiva adalah penjumlahan dari nilai material
yang dipakai, biaya tenaga kerja langsung, biaya bunga yang dikapitalisasi dan sebagian biaya
overhead. Dengan demikian, biaya bunga termasuk salah satu faktor yang penting dalam
21 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
perhitungan investasi pada aktiva tetap. Untuk Indonesia, biaya bunga termasuk yang tertinggi di
ASEAN baik untuk pinjaman investasi maupun modal kerja. Selain hal itu, keputusan untuk investasi
kapital apabila sudah dilaksanakan akan sangat sulit mengubahnya.
Dengan cara sharing infrastruktur, penyelenggara telekomunikasi akan memperoleh manfaat lebih
dari hasil investasinya, dengan syarat adanya peraturan yang jelas akan memberi insentif ekonomi
bagi penyelenggara telekomunikasi yang ingin melakukan sharing. Para penyelenggara
telekomunikasi terdorong untuk melakukan sharing infrastruktur karena hal tersebut akan
menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat yang pada akhirnya akan mengoptimalkan hasil
investasi. Para penyelenggara telekomunikasi akan otomatis memilih infrastruktur sharing apabila
hal tersebut secara nyata akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar. Hal tersebut
akan tercipta apabila ada kebijakan pemerintah yang jelas, pengaturan tarif yang bisa
dipertanggungjawabkan secara komersial dan peraturan lain yang akan menciptakan suasana
kondusif bagi investor penyelenggara telekomunikasi. Secara umum terdapat empat sifat utama
yang diperlukan dari peraturan pemerintah agar pengembangan sektor komunikasi dan informatika,
khususnya telekomunikasi, dapat berlangsung cepat dan sukses, yaitu:
Transparan: regulator memberikan informasi yang relevan, menggunakan wewenangnya tanpa
memihak dan memberikan kesempatan kepada pihak yang tertarik untuk mengembangkan sektor
telekomunikasi untuk memberi masukan yang konstruktif.
Efisien: membuat tolok ukur yang akan mencegah munculnya peraturan yang tidak perlu dan justru
akan membatasi transaksi jasa telekomunikasi, serta adanya kekuatan yang memaksa ditaatinya
peraturan yang sudah ditetapkan.
22 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Independen: membuat peraturan yang menjamin bahwa regulator tidak terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung pada aktivitas bisnis jasa telekomunikasi dan tidak memihak
kepada salah satu atau lebih pelaku pasar.
Non diskriminasi: membuat catatan yang transparan tentang aktivitas pelaku pasar tanpa
memihak.
Regulator harus berpikir yang seimbang antara bagaimana menyediakan layanan komunikasi
dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat secara luas dengan cara menciptakan iklim
kompetisi yang sehat diantara para operator, namun pada saat bersamaan harus menciptakan
kondisi yang menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya disektor tersebut.
Pengeluaran operator yang jumlahnya relatif besar umumnya digunakan untuk investasi teknologi,
dengan tujuan agar tidak ketinggalan teknologi dan peralatan jaringan. Mengingat pengeluaran
tersebut adalah untuk aktiva tetap, dengan jumlah yang relatif besar dan umumnya setelah
diputuskan sangat sulit untuk diubah, maka pengeluaran tersebut mempunyai risiko sangat tinggi.
Salah satu cara untuk mengurangi resiko tersebut adalah dengan sharing infrastruktur. Melalui
langkah ini, risiko dapat dibagi di antara operator pengguna infrastruktur tersebut. Untuk
menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan mendorong adanya pemain baru pada industri
telekomunikasi, maka pemerintah atau regulator harus mengeluarkan peraturan yang mewajibkan
para operator untuk melakukan sharing infrastruktur tersebut.
Operator telekomunikasi diuntungkan dengan adanya sharing infrastruktur tersebut karena adanya
cost saving. Pada studi kasus yang dimuat di situs Booz Allen Hamilton (BAH) diterangkan bahwa di
India diperlukan 240,000 menara untuk 3 tahun kedepan. Dari hasil analisa, akan terdapat cost
saving sebesar US$ 4 miliar apabila untuk masing-masing menara dipakai oleh setidaknya dua
operator telekomunikasi. Contoh lain, di salah satu negara di kawasan Timur Tengah, terdapat dua
operator yang bersaing. Agar mendapat wilayah jangkauan yang optimal, keduanya harus membuat
350 menara. Kalau kedua operator tersebut melakukan sharing dalam penggunaan menara, maka
penghematan belanja modal dapat mencapai sekitar US$ 250 juta. Pada akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa dalam kasus fixed-network sharing, beberapa biaya dapat dihemat dan
dioptimalkan. Untuk biaya set-up dapat dihemat sekitar 40 persen dan biaya penggunaan
penghematannya bisa mencapai 20 persen.
Untuk mengantisipasi kenyataan ini dan risiko investasi yang terkait dengan pemanfaatan
infrastruktur sharing, pemerintah dan regulator memilih model yang berbeda untuk infrastruktur
sharing agar memenuhi beberapa ketentuan berikut:
1. Mengurangi persyaratan investasi
Investasi dibagi di antara para operator yang melakukan sharing infrastruktur, bukan dilakukan
oleh mereka secara sendiri-sendiri. Investasi yang optimal akan memberi kontribusi terhadap
daya tahan operator telekomunikasi dan dapat dijadikan dasar bagi keputusan investasi jangka
23 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
panjang karena risikonya menjadi relatif lebih kecil. Para penjual perangkat telekomunikasi
memperkirakan bahwa sharing untuk infrastruktur akan menghemat sekitar 40 persen dari total
biaya.
2. Menawarkan sumber pendapatan baru
Di pasar yang terbuka untuk kompetisi, operator incumbent akan mendapatkan penghasilan
yang signifikan dari sharing infrastruktur. Dalam beberapa kasus, penghasilan tersebut
mencapai lebih dari 15 persen dari total penghasilan operator. Sebagai contoh, berikut data
pendapatan interkoneksi dari PT Telkom untuk tahun 2006, 2007 dan 2008.
3. Modal yang tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur dapat direalokasi untuk investasi
yang lebih strategis.
Apabila pembangunan jaringan diserahkan pada perusahaan yang terpisah, maka operator
dapat berkonsentrasi pada aktivitas peningkatan pelayanan kepada para pelanggannya dan di
lain pihak dapat memanfaatkan dana untuk investasi yang lebih strategis.
4. Mengurangi hambatan (barrier to entry) bagi pemain baru untuk masuk pasar
Apabila infrastruktur sharing diharuskan kepada setiap operator yang secara operasional
memungkinkan, maka pasar menjadi lebih menarik untuk para pemain baru. Mereka dapat
meningkatkan kompetisi dan melakukan investasi secara lebih efektif.
5. Pergeseran fokus ke inovasi pelayanan dari yang sebelumnya pendayagunaan jaringan
Dengan tidak adanya tekanan untuk memaksimalkan penggunaan jaringan, ditinjau dari segi
finansial maupun operasional, maka para operator akan mengalihkan perhatiannya kepada
peningkatan inovasi, pelayanan yang lebih baik, dan juga penawaran pelayanan dengan harga
yang lebih baik bagi konsumen, serta menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat.
6. Memperluas investasi ke daerah yang penduduknya relatif tidak padat sehingga dapat
memenuhi target universal
Sharing infrastruktur membantu para operator melakukan perluasan jaringan di daerah
perdesaan dengan cara menggunakan dana hasil penghematan investasi di daerah yang lebih
padat penduduknya. Hal ini harus juga menjadi dimensi kebijakan karena memberi sumbangan
yang tidak sedikit untuk memenuhi target kewajiban universal yang sudah ditentukan.
7. Mengoptimalkan penggunaan sumber daya nasional, yaitu right of way
Sharing infrastruktur dalam bentuk yang sederhana akan mendorong penggunaan yang lebih
baik dari sumber daya nasional yang terbatas, seperti right of way dan spektrum frekuensi radio.
8. Mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
Dengan semakin sedikitnya pembangunan jaringan, maka makin berkurang dampak negatif
terhadap lingkungan.
24 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Bentuk dari sharing infrastruktur bisa beragam karena para operator memilih untuk share
komponen jaringan baik yang bersifat aktif maupun yang bersifat pasif. Saat ini total
pengeluaran investasi para operator hampir sama besar antara pengeluaran untuk investasi
komponen aktif dan investasi komponen pasif, tetapi kondisi ini akan berubah di masa
mendatang karena penurunan harga peralatan telekomunikasi. Sebaliknya, terdapat kenaikan
biaya untuk komponen jaringan pasif secara terus menerus termasuk harga tanah dan biaya
material untuk pembangunannya.
US $
BTS WiMax 40.000 @ US$ 200.000 = US$ 8.000.000.000
Rupiah
BPH Frekuensi 2 x 200 Mhz
Biaya BPH Frekuensi 2 x 200 Mhz per tahun Rp16 miliar/Mhz
Total BPH Frekuensi Rp 6,4 triliun per tahun
Biaya 5 tahun Rp 32 triliun
Asumsi: setiap satu BTS bisa menjangkau 1000 pengguna.
Apabila kita gunakan nilai tukar Rp 10.000 untuk setiap 1 US$, maka total biaya investasi yang
diperlukan adalah Rp 112 triliun, atau lebih dari Rp 22 triliun per tahun. Perkiraan jumlah investasi
tersebut di atas sangat beralasan apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dalam lima
tahun ke depan. Kiranya perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2009 dan pertumbuhan
ekonomi pada dua tahun yang lalu dapat digunakan sebagai indikator untuk memperkirakan
pertumbuhan ekonomi pada masa lima tahun yang akan datang.
Pada tahun 2008 perekonomian Indonesia tumbuh dengan 6,1 persen, sedikit lebih kecil bila
dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2007 yang mencapai 6,3 persen. Namun yang
menarik adalah pertumbuhan tersebut secara sektoral didominasi oleh sektor pengangkutan dan
telekomunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor keuangan. Sektor pengangkutan dan
telekomunikasi pada tahun 2008 tumbuh sebesar 16,7 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan pada tahun 2007 sebesar 14,0 persen. Dan subsektor telekomunikasi sendiri tumbuh
sebesar 31,3 persen pada tahun 2008, sebagai dampak meningkatnya penggunaan telepon seluler.
Mengingat bahwa sektor pengangkutan dan telekomunikasi saat ini masih kecil sumbangannya
terhadap PDB, maka ke depan sektor tersebut masih mempunyai potensi untuk tumbuh yang jauh
25 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
lebih besar. Berikut adalah sumbangan masing-masing sektor terhadap GDP sesuai dengan data
yang tercantum pada Nota Keuangan APBN 2010.
Dengan melihat perkembangan terakhir paruh pertama tahun 2009, dimana pengeluaran domestik
yang terdiri dari konmsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah masih merupakan faktor
pendorong utama perekonomian, maka pada tahun 2009 pemerintah memperkirakan pertumbuhan
ekonomi bisa mencapai 4,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi untuk lima tahun ke depan beserta asumsi makro jangka menengah yang
diperkirakan oleh pemerintah sebagaimana tercantum pada NK APBN 2010 adalah sebagai berikut:
Proyeksi PDB untuk lima tahun ke depan berdasarkan perkiraan pertumbuhan yang disusun oleh
pemerintah dengan diambil angka rata-rata pertumbuhan per tahun adalah sebagai berikut.
26 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Proyeksi dari total dana investasi tersebut dapat berubah sejalan dengan adanya perubahan
teknologi, perubahan pasar dan tingkat pertumbuhan ekonomi secara umum. Secara grafis angka
tersebut di atas bisa digambarkan sebagai berikut:
Dari tabel di atas, terlihat bahwa dalam lima tahun ke depan dana yang disediakan oleh para
operator untuk investasi adalah sekitar Rp 210 triliun. Adapun pada uraian terdahulu, untuk
pembangunan WIMAX saja dalam lima tahun ke depan Indonesia memerlukan dana sekitar Rp 112
triliun. Dengan demikian, untuk mencapai target penetrasi yang moderate pada 2014 yaitu selular 90
persen, FWA 15 persen, BWA 20 persen, ADSL dan HFC 2 persen dan Internet 25 persen
27 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
diperlukan dana investasi tambahan yang jauh lebih besar lagi. Dana investasi tambahan yang lebih
besar ini diharapkan berasal selain dari investor baru yang akan masuk dalam industri sebagai
pemain baru, bila secara pasar maupun regulasi masih memungkinkan, juga dari investor portofolio
dan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mengingat keterbatasan dana
pemerintah, diperlukan mekanisme atau tata cara penyaluran dana pemerintah yang lebih
sederhana dan transparan namun tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam rangka peningkatan dan pemerataan penetrasi pemanfaatan TIK secara nasional untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi seperti yang direncanakan oleh pemerintah, untuk masa lima
tahun ke depan diperlukan adanya dana investasi baru dengan jumlah yang relatif besar, baik untuk
pembangunan infrastruktur baru maupun untuk biaya pengelolalaan. Data sementara
memperlihatkan bahwa dana yang disediakan para operator yang sudah beroperasi saat ini belum
bisa mencukupi. Untuk itu perlu dibuat inisiatif baru yang mendorong terciptanya sumber pendanaan
baru, baik sumber dana dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dalam jangka pendek (1 - 2 tahun ke depan) sumber dana dari luar negeri yang umumnya datang
dari negara maju (OECD) diperkirakan masih sulit didapat mengingat negara tersebut masih dalam
taraf pemulihan ekonomi setelah dilanda krisis keuangan global pada tahun 2008 yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatif. Pemulihan tersebut diperkirakan masih terus dilakukan
pada tahun 2009. Untuk itu, mobilisasi sumber dana dari dalam negeri adalah satu satunya pilihan,
baik dana publik (milik pemerintah) maupun dana swasta.
Dana milik pemerintah jumlahnya sangat terbatas bila dikaitkan dengan sangat luasnya tugas dan
tanggung jawab keuangan yang harus dilaksanakan. Indikasinya adalah selama tiga tahun terakhir
APBN selalu defisit antara 1 - 2 persen dari PDB. Namun demikian, pemerintah masih mempunyai
kemampuan untuk menggalang dana dalam negeri misalkan dengan menerbitkan instrumen
keuangan seperti SUN atau ORI. Untuk itu perlu ada diversifikasi instrumen keuangan yang
ditawarkan oleh pemerintah kepada pemilik dana dari dalam negeri, misalkan dengan imbal hasil
yang lebih tinggi ataupun paket lain yang lebih aman dan menarik bagi pemilik dana. Selain itu,
pemerintah dapat bekerjasama dengan swasta dalam pembangunan infrastruktur dalam bentuk lain,
misalkan pemerintah mengalokasikan sumber daya yang ada dalam penguasaannya seperti
spektrum frekuensi, right of way, kepada operator yang menjadi mitra dalam kerjasama tersebut.
Pengalokasian sumber daya tersebut diperhitungkan sebagai penyertaan pemerintah.
Sumber dana dalam negeri yang lain adalah sumber dana dari perbankan yang berasal dari
simpanan masyarakat. Sampai saat ini tingkat bunga yang ditawarkan oleh perbankan kepada dunia
usaha masih relatif tinggi bila dibandingkan dengan tingkat bunga simpanan yang diterima
penyimpan, karena adanya margin bunga yang tinggi yang dikehendaki oleh perbankan. Hal ini
mencerminkan kurang efisiennya operasi perbankan. Agar bank dapat menawarkan bunga pinjaman
yang lebih menarik, pemerintah berkewajiban mendorong agar perbankan beroperasi lebih efisien.
28 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Bila perlu, pemerintah dapat memberi keringanan pajak bagi penyimpan yang bersedia menyimpan
uang sampai jangka waktu tertentu.
Dengan tingkat bunga yang lebih menarik dan relatif rendah, maka para pengusaha UMKM akan
lebih mudah untuk berpartisipasi dalam bisnis TIK sesuai dengan kemampuannya. Untuk pengusaha
menengah ke atas diharapkan berpartisipasi pada bisnis TIK yang memerlukan belanja modal relatif
besar, namun untuk pengusaha kecil dan mikro dapat mengambil bagian bisnis yang relatif hanya
memerlukan belanja operasional.
29 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
BAB III
ANALISA HASIL KAJIAN
Berikut ini adalah analisa dari aspek supply (infrastruktur), demand (pemanfaatan informasi), dan
pembiayaan dengan memperhatikan pergeseran paradigma tersebut di atas.
1. Perubahan Teknologi
Pemanfaatan teknologi digital di awal tahun 1970 terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan
kualitas infrastruktur dan layanan telekomunikasi, sedangkan teknologi satelit dan sistem
komunikasi kabel laut mampu mempercepat perluasan jangkauan penyediaan layanan. Pada
tahun 1990-an, teknologi seluler memungkinkan penyediaan layanan suara secara bergerak
(mobile).
Teknologi nirkabel khususnya seluler dapat dikatakan fenomenal karena pertumbuhannya yang
eksponensial sejak diperkenalkan pada awal dekade 1990. Dalam lima tahun pertama
pengembangan layanan ini (1992 - 1997), jumlah pelanggan meningkat 25 kali, yaitu dari 35 ribu
orang menjadi 900 ribu. Dalam lima tahun kedua (1998 - 2003), jumlah pelanggan melonjak
drastis dari satu juta orang menjadi lebih dari 18 juta orang. Selanjutnya pada lima tahun ketiga
(2004 - 2008), pertumbuhannya mencapai lebih dari 340 persen. Dalam waktu relatif singkat,
tingkat penetrasi layanan seluler sudah mecapai lebih dari 61 persen pada tahun 2008,
sedangkan tingkat penetrasi telepon tetap yang sudah dikembangkan selama puluhan tahun
(sejak Repelita I) baru sekitar 11,5 persen, itupun 67 persen di antaranya merupakan fixed
wireless access yang juga berbasis nirkabel. Dalam lima tahun ke depan, infrastruktur nirkabel
diperkirakan masih akan menjadi moda utama dalam penyediaan akses komunikasi dan
informatika.
Sangat cepat dan dinamisnya perubahan teknologi informasi dan komunikasi menuntut
pemerintah dan para penyelenggara untuk memiliki kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi
31 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
yang baik. Di satu sisi, pemerintah diharapkan dapat mendukung pengembangan dan
pemanfaatan teknologi baru melalui kerangka kebijakan dan regulasi yang ditetapkan. Di sisi
lain, penyelenggara diharapkan dapat selalu meningkatkan jangkauan, kapasitas, dan kualitas
infrastruktur dan layanan melalui pemanfaatan teknologi yang modern tanpa menimbulkan biaya
tinggi.
Salah satu bentuk interaksi antara pemerintah dan penyelenggara adalah dalam bentuk
perizinan. Melalui perizinan, pemerintah pada dasarnya memberikan/mengalokasikan sumber
daya terbatas (penomoran dan spektrum frekuensi radio) agar penyelenggara dapat
menyediakan layanan. Di lain pihak, penyelenggara diwajibkan untuk memenuhi
kewajiban/komitmen pembangunan seperti jumlah sambungan baru yang dibangun, prosentase
wilayah jangkauan, dan prosentase kualitas layanan. Saat ini, Indonesia masih menganut
perizinan berbasis teknologi.
Kondisi tersebut belum menjadi masalah besar pada masa lima tahun yang lalu, tetapi akan
menjadi isu pokok pada lima tahun mendatang. Pengalaman membuktikan bahwa penyusunan
regulasi seringkali terlambat dalam mengantisipasi perkembangan teknologi secara tepat atau
bahkan justru menjadi penghalang pemanfaatan teknologi secara optimal. Sebagai contoh, pada
saat fixed wireless access mulai diperkenalkan pada tahun 2004, penyelenggara layanan
tersebut tidak diperbolehkan untuk melakukan jelajah (roaming) walaupun secara teknis
dimungkinkan. Hal tersebut terjadi karena perizinan FWA adalah untuk sambungan tetap
dengan mobilitas terbatas. Contoh lainnya adalah keterlambatan implementasi layanan televisi
berbasis protokol internet (IP-TV) karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang
secara spesifik mengatur layanan ini. Mengingat layanan ini merupakan hasil konvergensi dari
tiga sektor, yaitu telekomunikasi (penggunaan jaringan telekomunikasi), informatika (berbasis
protokol internet), dan penyiaran (siaran televisi), maka layanan IP-TV saat ini harus memiliki
tiga izin sekaligus. Pengalaman tersebut di atas membuktikan bahwa perizinan berbasis
teknologi kurang fleksibel dan kurang responsif sehingga justru dapat menghalangi pemanfaatan
teknologi itu sendiri secara optimal.
Keberpihakan pemerintah terhadap industri TIK dalam negeri sudah ada yang antara lain terlihat
dari ketentuan penggunaan industri dalam negeri oleh penyelenggara telekomunikasi senilai 30
persen dari total belanja modal dan 50 persen dari belanja operasional, proteksi industri dalam
negeri pada implementasi broadband wireless access, serta ketentuan Tingkat Kandungan
Dalam Negeri pada set top box TV digital sebesar 30 persen untuk kemudian ditingkatkan
menjadi 50 persen pada tahun 2014. Contoh keberpihakan pemerintah lainnya adalah
penetapan standar 16.d pada penyelenggaraan broadband wireless access (2009). Kebijakan
tersebut ditetapkan dengan memperhatikan kesiapan industri dalam negeri, walaupun saat itu
negara lain sudah mempersiapkan implementasi standar 16.e. Pada kasus ini terlihat bahwa
tujuan untuk mengimplementasikan teknologi terbaru/modern belum tentu sejalan/sinergis
dengan kepentingan untuk mendukung industri dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan untuk
memproteksi dan menciptakan demand bagi industri dalam negeri harus dibarengi dengan
peningkatan kemampuan industri dalam negeri.
Reformasi tahap kedua terjadi sekitar satu dekade lalu yang ditandai dengan dimulainya
penyelenggaraan berbasis kompetisi melalui penghapusan bentuk monopoli dalam
penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap, yaitu lokal, Sambungan Langsung Jarak
Jauh (SLJJ), dan Sambungan Langsung Internasional (SLI)4. Reformasi gelombang kedua
tersebut menuntut reposisi pemerintah dalam bentuk pemisahan fungsi operasi dari fungsi
pembinaan dan regulasi. Pada tahap ini ditekankan bahwa kewajiban untuk bekerjasama
dengan BUMN dihilangkan, serta izin penyelenggaraan diberikan kepada badan usaha (BUMN,
swasta, dan koperasi) yang dinilai mampu/layak. Dengan demikian semua badan usaha
mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama (tidak diskriminatif).
Struktur industri saat itu memungkinkan setiap penyelenggara untuk membangun infrastruktur
masing-masing dan memberikan layanan kepada masyarakat secara kompetitif. Langkah ini
4 Kompetisi terbatas pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan diberlakukan pada tahun 2002 (lokal) dan 2003
(SLJJ dan SLI) bersamaan dengan penetapan kebijakan terminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom sebagai
penyelenggara telekomunikasi sambungan tetap lokal dan SLJJ, serta hak eksklusivitas PT Indosat sebagai
penyelenggara telekomunikasi sambungan tetap SLI. Sebelumnya, hak eksklusivitas PT Telkom diberikan hingga tahun
2010 (lokal) dan 2005 (SLJJ), sedangkan hak eksklusivitas PT Indosat diberikan hingga 2004 (SLI).
33 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Sejalan dengan desakan kemajuan teknologi dan trend global, sektor TIK nasional kembali
mengalami reformasi tahap ketiga yang dipicu oleh konvergensi telekomunikasi, informatika, dan
penyiaran. Konvergensi yang dimulai dari konvergensi teknologi ini pada akhirnya akan
menyentuh tataran kebijakan, regulasi, kelembagaan, dan industri/pasar. Salah satu implikasi
dari konvergensi adalah adanya perubahan bentuk industri dari yang terintegrasi secara vertikal
menjadi terintegrasi secara horizontal (Gambar 3.2). Akibatnya, landscape pengaturan industri
juga akan berubah seperti dalam hal perizinan dan pemanfaatan sumber daya terbatas
(penomoran dan spektrum frekuensi radio).
Konvergensi sesungguhnya sudah terjadi dalam tiga tahun terakhir. Satu handset saat ini
sudah dapat digunakan untuk berkomunikasi, melakukan tukar menukar data termasuk upload
dan download, serta untuk mendengarkan musik bahkan menonton acara televisi melalui live
streaming. Selain konvergensi perangkat, konvergensi infrastruktur dan layanan juga
diperkirakan akan sudah terjadi dalam lima tahun ke depan. Konvergensi infrastruktur
memungkinkan berbagai jenis infrastruktur untuk membawa satu jenis layanan, sedangkan
konvergensi layanan memungkinkan satu infrastruktur untuk membawa berbagai jenis layanan.
Dampak dari kedua konvergensi tersebut adalah teknologi hanya akan menjadi black box.
Masyarakat pengguna tidak akan mempermasalahkan jenis teknologi yang digunakan atau
5Dalam kurun waktu tiga tahun (2005-2008), tarif seluler berhasil turun sebesar 90 persen yaitu dari US$ 0,15/menit
pada tahun 2005 (termahal di Asia) menjadi US$ 0,015/menit pada tahun 2008 (termurah di Asia). Sumber: Global
Market Research, Deutsche Bank, 2008
34 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
infrastruktur yang dilewati, asalkan layanan dapat diakses dengan baik. Kondisi ini
sesungguhnya akan memudahkan penyelenggara untuk mengelola sumber daya yang dimiliki,
baik infrastruktur maupun sumber daya terbatas seperti spektrum frekuensi radio dan
penomoran, secara lebih efisien. Hasilnya, tarif layanan dapat ditekan. Konvergensi juga pada
akhirnya akan mendorong terjadinya konsolidasi penyelenggara. Pembangunan infrastruktur
yang sejenis oleh penyelenggara yang berbeda hanya akan menimbulkan ketidakefisienan
investasi. Sebaliknya, pemanfaatan infrastruktur yang telah dibangun oleh penyelenggara yang
berbeda secara bersama-sama akan meningkatkan nilai perusahaan.
Reformasi gelombang ketiga ini perlu diantisipasi oleh kebijakan dan perangkat regulasi yang
memadai untuk memastikan proses perubahan yang halus (seamless) sehingga walaupun
terjadi perubahan industri secara fundamental, kesediaan, kualitas, dan harga layanan kepada
masyarakat tetap terjaga, begitu pula dengan kelangsungan bisnis operator sebagai penyedia
jasa.
III.1.2 Implikasi Format Baru Struktur Industri dan Perizinan terhadap Kompetisi di Era
Konvergensi
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pada negara yang menerapkan kebijakan
konvergensi terdapat peningkatan dampak pemanfaatan TIK terhadap pertumbuhan perekonomian.
Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya konvergensi dapat mengurangi tingkat hambatan
(barrier to entry) bagi penyelenggara baru, mendukung perkembangan model bisnis, mengurangi
biaya bagi penyelenggara yang pada akhirnya juga mengurangi biaya yang dipungut dari pengguna,
serta memperluas pilihan teknologi dan jenis layanan yang dapat dikembangkan. Di sisi lain,
konvergensi juga dapat berdampak kepada konsolidasi pasar dan mengurangi kompetisi.
Untuk banyak negara, konvergensi masih menjadi pro dan kontra. Perbedaan latar belakang,
termasuk kondisi dan kesiapan infrastruktur, menjadi pertimbangan utama masing-masing negara
dalam mengambil sikap tentang konvergensi. Secara umum sikap tersebut dapat dibagi menjadi tiga
kelompok sebagai berikut.
Dengan tabel di atas terlihat bahwa pada akhirnya konvergensi tidak dapat dihindari, namun untuk
mengimplementasikannya diperlukan persiapan terutama dari sisi kerangka kebijakan dan regulasi,
di antaranya terkait struktur industri dan perizinan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi, jenis penyelenggara telekomunikasi yang dikenal hanya dua, yaitu
penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Dengan memperhatikan trend konvergensi yang
berkembang, diperkirakan akan terdapat empat jenis penyelenggara yang merupakan
pengembangan dari dua jenis penyelenggara sebelumnya. Keempat jenis penyelenggara tersebut
adalah:
1. Network Facility Provider (NFP) sebagai penyedia infrastruktur penunjang jaringan
telekomunikasi seperti saluran (duct), menara, dark fiber, peralatan transmisi radio, dan stasiun
bumi;
2. Network Service Provider (NSP) sebagai penyelenggara yang menyediakan konektivitas ujung
ke ujung (point-to-point) untuk mendukung berbagai aplikasi. Penyelenggara yang termasuk
jenis ini adalah penyelenggara jaringan tetap, jaringan bergerak, TV kabel, dan VSAT;
3. Application Service Provider (ASP) sebagai penyedia layanan seperti suara, data, dan berbasis
konten; serta
4. Content Application Service Provider (CASP) yang merupakan penyelenggara konten seperti
video, siaran olahraga, permainan (games), ringbacktone, dan lain-lain.
Jenis penyelenggara NFP dan NSP merupakan pengembangan dari penyelenggara jaringan,
sedangkan penyelenggara ASP dan CASP merupakan pengembangan dari penyelenggara jasa.
Pemetaan jenis penyelenggara antara yang diatur dalam UU Telekomunikasi dan rancangan masa
depan adalah sebagai berikut.
36 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Sebagai konsekuensi struktur industri yang lebih sederhana, perizinan juga harus lebih sederhana.
Secara umum perizinan pada era konvergensi dapat dibagi berdasarkan dua atribut, yaitu
berdasarkan kategori izin dan jenis izin dengan persandingan sebagai berikut:
Dari sisi jumlah penyelenggara, kategori izin disusun secara piramida terbalik yang menunjukkan
bahwa jumlah penyelenggara konten akan lebih banyak dari jumlah penyelenggara infrastruktur. Hal
ini sejalan dengan trend pemakaian infrastruktur secara bersama (infrastructure sharing) yang di
antaranya disebabkan oleh besarnya kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur. Kondisi
ini akan menimbulkan sinergi antara ASP/CASP dan NFP/NSP dimana ASP/CASP merupakan
pasar bagi NFP/NSP dan sebaliknya pertumbuhan ASP/CASP sangat tergantung kepada
ketersediaan infrastruktur yang dikembangkan NFP/NSP. Dengan demikian tidak akan terjadi
dikotomi antara service-based competition yang menjadi basis ASP/CASP dan facility-based
competition yang menjadi basis NFP/NSP.
37 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan struktur industri khususnya kepastian berusaha,
diperlukan fungsi pengawasan penyelenggaraan yang kuat dan profesional untuk memonitor
perilaku kompetisi para penyelenggara khususnya untuk:
1. Menjaga dan mengawasi level playing field dengan menjaga transparansi dan sikap tidak
diskriminatif penyelenggara;
2. Mengatur open access untuk memastikan bahwa setiap operator ASP dan CASP dapat
mengakses infrastruktur yang disediakan NFP dan NSP secara fair; dan
3. Mengatur pemisahan fungsi untuk penyelenggara yang berusaha di lebih dari satu bidang,
misalnya suatu penyelenggara selain menjadi NFP juga menjadi NSP, atau bahkan selain
sebagai NFP suatu penyelenggara juga menjadi NSP, ASP, sekaligus CASP.
Di era konvergensi regulasi diperkirakan lebih banyak diserahkan ke mekanisme pasar melalui
pendekatan bisnis ke bisnis (B-B). Oleh karena badan regulasi harus dapat mengawasi dan menjaga
kompetisi serta harus dapat bertindak sebagai mediator perselisihan (dispute) sebagai konsekuensi
dari diterapkannya pendekatan bisnis ke bisnis.
Atas dasar tersebut, banyak negara memasukkan pengembangan broadband dalam paket stimulus
ekonomi. Pemerintah Australia mengalokasikan US$ 30 miliar atau sekitar sebelas persen dari total
paket stimulus ekonominya untuk pengembangan infrastruktur broadband, sedangkan Pemerintah
Finlandia mengalokasikan sebesar US$ 2,65 miliar atau sekitar lima persen dari total paket stimulus
ekonominya. Sementara itu, Pemerintah Jepang dan Pemerintah Amerika Serikat masing-masing
mengalokasikan sekitar satu persen dari total paket stimulus, yaitu US$ 375 miliar (Jepang) dan US$
789 miliar (Amerika Serikat). Di sisi lain, Pemerintah Kanada dan Pemerintah Spanyol
mengalokasikan kurang dari satu persen yaitu US$ 27,1 miliar (Kanada) danUS$ 94,5 miliar
(Spanyol).
Definisi broadband sangat beragam, di antaranya sebagaimana yang dikeluarkan oleh Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) dan menjadi acuan bagi Indonesia, yaitu
6Untuk negara berkembang, sedangkan kenaikan PDB untuk negara maju adalah 1,21 persen. Sumber: Asian Pacific
Mobile Observatory, 2009
38 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
kecepatan 256 kbps/detik paling tidak satu arah. Definisi lainnya adalah 1,5 Mps/detik sampai 2
Mbps/detik (International Telecommunication Union sektor Standarisasi) dan 200 kbps/detik (Federal
Communication Commission).
Permasalahan
Dari aspek infrastruktur, permasalahan utama yang akan dihadapi dalam lima tahun mendatang
adalah belum optimalnya penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur komunikasi dan informatika
untuk kegiatan yang produktif sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat daya saing nasional.
Sebagai salah satu pilar knowledge based economy, infrastruktur TIK memberikan kontribusi
sebesar 17 persen7 terhadap peningkatan indeks daya saing. Pada kenyataannya, indeks sarana
dan prasarana TIK Indonesia mengalami penurunan tajam yaitu dari 3,50 di tahun 1995 menjadi
2,94 di tahun 2006, sedangkan indeks sarana dan prasarana TIK regional (Asia Timur dan Pasifik) di
tahun 2006 sudah mencapai 7,04.
Rendahnya tingkat daya saing infrastruktur TIK Indonesia, terutama infrastruktur internet dan
broadband, dibandingkan dengan negara lain dapat dilihat pada Tabel 3.4 dan Tabel 3.5. Walaupun
secara umum Indonesia mempunyai peringkat daya saing yang lebih baik dari Vietnam, Philipina,
dan Sri Lanka, namun peringkat infrastruktur TIK jauh tertinggal (Tabel 3.4).
7Untuk negara non-core innovator termasuk Indonesia, sedangkan untuk negara core innovator adalah 25 persen.
Sumber: World Economic Forum, 2007
39 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Rendahnya peringkat infrastruktur TIK Indonesia dan pemanfaatannya juga terlihat dari peringkat
indeks e-readiness (Tabel 3.5). Dari 70 negara, Indonesia berada pada posisi ke-68.
Belum optimalnya pemanfaatan spektrum frekuensi radio. Hal ini terlihat dari masih banyaknya
penggunaan spektrum frekuensi radio secara ilegal, baik yang tidak memiliki izin, tidak sesuai
dengan peruntukannya, maupun penggunaan alat atau perangkat yang tidak sesuai dengan
perencanaan frekuensi dan ketentuan teknis di Indonesia. Pelanggaran tersebut tidak saja
menyebabkan ketidakefisienan pengalokasian dan pemanfaatan spektrum frekuensi radio, serta
rendahnya kualitas layanan akibat interferensi, tetapi juga dapat membahayakan apabila terjadi
interferensi dengan sistem komunikasi penerbangan, pelayaran, pencarian dan penyelamatan
(SAR), dan pertahanan keamanan.
Sebagai ilustrasi, hingga akhir kuartal pertama tahun 2009, masih terdapat sejumlah pelanggaran
penggunaan spektrum frekuensi untuk penyelenggaraan penyiaran sehingga harus dilakukan
penegakan hukum berbentuk penghentian siaran (off air) 40 stasiun TV nasional dan 51 stasiun TV
lokal di berbagai daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, sebagai sumber daya terbatas, penggunaan spektrum frekuensi radio terus meningkat
seiring dengan berkembangnya aplikasi dan layanan berbasis nirkabel, baik untuk keperluan
telekomunikasi, penyiaran, maupun komunikasi radio lainnya. Sebagai ilustrasi, dalam kurun waktu
lima tahun (2004 - 2008), pengguna layanan seluler melonjak 363 persen yaitu dari 30,34 juta
menjadi 140,58 juta orang8, sedangkan pengguna layanan jaringan tetap nirkabel (fixed wireless
access) melonjak lebih dari 950 persen, yaitu dari 1,67 juta menjadi 17,55 juta orang. Ke depan,
spektrum frekuensi radio diperkirakan masih akan tetap menjadi moda utama dalam percepatan
pengembangan akses komunikasi dan informatika.
Sementara itu, sebagai salah satu Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), Biaya Hak
Penggunaan (BHP) Frekuensi memberikan kontribusi signifikan. Dalam periode lima tahun (2004-
2008), perolehan BHP Frekuensi meningkat tajam yaitu dari Rp. 961 Miliar (2004) menjadi Rp. 6
triliun (2008). Adapun total perolehan BHP Frekuensi sepanjang 2004 - 2008 mencapai Rp. 14,32
triliun. Lima tahun ke depan, pengelolaan sumber daya terbatas non spektrum, seperti orbit satelit,
alamat IP, dan nama domain juga akan menjadi isu.
Belum optimalnya penyelenggaraan komunikasi dan informatika. Hal ini disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu: (a) belum optimalnya penerapan peraturan otonomi daerah dan pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah pusat dan daerah yang sering kali menimbulkan sengketa
dan munculnya multi regulator (faktor eksternal); serta (b) belum selesainya proses penataan
penyelenggaraan komunikasi dan informatika (faktor internal).
Walaupun pada PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sudah diatur
secara rinci, pada pelaksanaannya masih terdapat ketidaksesuaian implementasi pembagian urusan
pemerintahan tersebut, misalnya terkait penerbitan izin penggunaan spektrum frekuensi radio yang
dilakukan oleh pemerintah daerah9 sehingga menyebabkan ketidakberaturan dalam manajemen
spektrum frekuensi radio nasional. Hal lain yang juga menimbulkan permasalahan di beberapa
daerah terkait keberlanjutan penyediaan layanan telekomunikasi khususnya sambungan bergerak
(mobile communications) adalah pembongkaran menara Base Transceiver Station (BTS) seluler
oleh pemerintah daerah tanpa didahului koordinasi dengan pihak terkait yang pada akhirnya
merugikan masyarakat karena hilang/tidak tersedianya layanan.
Sementara itu, belum selesainya proses penataan industri komunikasi dan informatika
mengakibatkan belum optimalnya keterlibatan dan mobilisasi dana swasta pada sektor penyiaran,
dan belum optimalnya pengelolaan kompetisi pada sektor telekomunikasi.
Khusus mengenai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan RRI, diperlukan dukungan
pemerintah dan DPR untuk menegaskan eksistensi dan mendorong peningkatan kapasitas LPP,
baik melalui instrumen kebijakan dan regulasi maupun instrumen pembiayaan. Dukungan ini
dirasakan semakin krusial mengingat di tengah arus globalisasi saat ini informasi cenderung
dijadikan sebagai komoditi ekonomi. Sebagai LPP, RRI dan TVRI dirancang untuk menempatkan
masyarakat sebagai warga negara yang wajib dilindungi haknya dalam memperoleh informasi,
bukan sebagai objek sebuah industri penyiaran.
Konsistensi pembiayaan sangat diperlukan mengingat dalam sepuluh tahun terakhir, pembangunan
infrastruktur baru khususnya infrastruktur TVRI sangat terbatas. Akibatnya, jangkauan siaran TVRI
turun drastis dari 81 persen menjadi 36 persen dalam sepuluh tahun terakhir.
Penyelenggaraan telekomunikasi saat ini, khususnya pada segmen sambungan bergerak, sangat
kompetitif dengan kehadiran 12 penyelenggara. Di satu sisi, penyelenggaraan yang kompetitif
mempercepat penyediaan sarana dan prasarana, menyediakan pilihan bagi pengguna, dan
9 Pada Lampiran Y Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Komunikasi dan Informatika dijelaskan antara lain bahwa
pemberian izin penggunaan frekuensi radio dan orbit satelit, penetapan persetujuan alokasi, dan penerbitan izin stasiun
radio merupakan urusan pemerintah pusat.
42 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
mendorong terjadinya penurunan tarif. Di sisi lain, pasar yang sangat kompetitif menghasilkan nilai
pasar (market value) yang kecil sehingga menyulitkan penyelenggara untuk berkembang. Oleh
karena itu, pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif dan setara (level playing
field), khususnya dalam penyelenggaraan fixed/wireline broadband, tetapi tetap memperhatikan
profitabilitas para penyelenggara dalam rangka menjamin keberlangsungan usahanya merupakan
isu yang akan dihadapi dalam lima tahun ke depan.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat informasi Indonesia tahun 2015 yang merupakan bagian
dari upaya mewujudkan masyarakat Indonesia berbasis pengetahuan (knowledge-based society)
tahun 2025 dan Indonesia ubiquitous pada tahun 2045, pembangunan infrastruktur komunikasi dan
informatika difokuskan kepada penyediaan infrastruktur broadband secara bertahap, yaitu:
Untuk akses:
1. Pemenuhan amanat UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk menyediakan
akses telepon dan internet bagi wilayah blank spot;
2. Pemerataan penyediaan akses komunikasi dan informatika sehingga dapat mengurangi
kesenjangan digital (digital divide) terutama melalui seluler dan broadband wireless access;
Untuk backbone dan backhaul:
3. Pembangunan jaringan serat optik yang berbentuk ring dan menghubungkan seluruh
ibukota kabupaten/kota;
Adapun pembangunan infrastruktur komunikasi dan informatika khusus tahun 2010 - 2014 diarahkan
untuk memperkuat virtual national interconnectivity melalui peningkatan ketersediaan infrastruktur
komunikasi dan informatika yang aman dan modern dengan kualitas baik dan harga terjangkau.
10 Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
11 Goal 8: Develop a Global Partnership for Development. Target 6: In cooperation with the private sector, make
principles of the charter of the UN, international law and multilateralism, and respecting fully and upholding the Universal
Declaration of Human Rights, so that every people can create, access, utilize, and share information and
knowledge, to achieve their full potential and to attain the internationally agreed development goals and objectives,
including the Millennium Development Goals.
43 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Sasaran pembangunan sarana dan prasarana komunikasi dan informatika tahun 2010 - 2014 yang
hendak dicapai adalah:
1. Tersedianya akses komunikasi dan informatika yang merata di seluruh Indonesia (mengecilnya
kesenjangan digital) dengan indikator dampak dan target pencapaian pada tahun 2014: jumlah
provinsi yang memiliki indeks kesiapan kompetisi (competition readiness index) baik13, yaitu
sekurang-kurangnya 49 persen dari total jumlah provinsi di seluruh Indonesia mempunyai indeks
tinggi dan sekurang-kurangnya 51 persen dengan indeks menengah.
2. Tersedianya sarana, prasarana, dan layanan komunikasi dan informatika di seluruh desa,
daerah perbatasan negara, pulau terluar, daerah terpencil, dan wilayah non komersial lain untuk
mengurangi daerah blank spot dengan indikator dampak dan target pencapaian pada tahun
2014: (a) jangkauan layanan akses telekomunikasi universal dan internet mencapai 100 persen
di Wilayah Pelayanan Umum Telekomunikasi (USO); serta (b) jangkauan siaran TVRI dan RRI
terhadap populasi masing-masing mencapai 88 persen.
3. Tersedianya akses dan layanan komunikasi dan informatika yang modern dengan indikator
dampak dan target pencapaian pada tahun 2014: (a) tingkat penetrasi pengguna internet
sekurang-kurangnya 50 persen; (b) tingkat penetrasi pengguna layanan broadband sekurang-
kurangnya 30 persen; (c) tingkat penetrasi siaran TV digital terhadap populasi 35 persen; (d)
jaringan backbone telekomunikasi yang menghubungkan antarpulau besar mencapai 100
persen; serta (e) jumlah ibukota kabupaten/kota yang dilayani broadband mencapai sekurang-
kurangnya 80 persen dari total ibukota kabupaten/kota14.
4. Berkembangnya industri (manufaktur) penunjang TIK dengan indikator dampak dan target
pencapaian pada tahun 2014: (a) prosentase Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)
perangkat telekomunikasi mencapai 30 persen; dan (b) prosentase TKDN set top box TV digital
sekurang-kurangnya mencapai 50 persen.
Mengingat luasnya ruang lingkup dan besarnya investasi yang diperlukan untuk pembangunan
infrastruktur broadband, diperlukan pembagian kerja antara pemerintah dan swasta. Selain kerangka
regulasi, pemerintah juga dimungkinkan untuk melakukan intervensi anggaran dalam pembangunan
infrastruktur broadband yaitu untuk kegiatan yang bersifat infrastruktur dasar (backbone). Berikut
adalah pembagian kerja dimaksud.
13 Meliputi daerah dengan indeks kompetisi tinggi (intensive competition) dan menengah (workable competition).
14 Termasuk ibukota kab/kota di wilayah timur Indonesia yang harus selesai sebelum tahun 2013
44 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Tabel 3.7 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000
LAPANGAN USAHA 2004 2005 2006 2007* 2008**
Bersamaan dengan itu, kebutuhan telekomunikasi (pulsa handphone) menduduki peringkat keempat
kebutuhan pokok masyarakat setelah lauk-pauk, listrik, dan transportasi15. Dua hal tersebut
mengindikasikan besarnya demand masyarakat akan informasi dan TIK.
Sebagai dampak dari globalisasi, demokratisasi, dan inovasi teknologi informasi dan komunikasi,
informasi dapat mengalir bebas tanpa sensor dan tidak mengenal batas ruang dan waktu (free flow
of information). Dampaknya adalah informasi dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana
saja. Pada kenyataannya, tidak semua informasi baik, patut, dan berguna. Tidak semua masyarakat
dapat memilih dan memilah informasi yang berkualitas, yaitu akurat (tidak menyesatkan), relevan
(beragam sesuai kebutuhan), dan efisien (tidak menimbulkan banjir informasi). Tidak semua
masyarakat memanfaatkan informasi untuk kegiatan produktif.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan berbasis TIK (cyber activity) dalam kehidupan
sehari-hari, tingkat kejahatan berbasis TIK (cyber crime) juga meningkat seperti penipuan,
pemalsuan dan pencurian identitas, pelanggaran privasi, penyebarluasan informasi palsu melalui
pesan layanan singkat dan surat elektronik, serta posting yang menimbulkan keresahan masyarakat
di situs elektronik. Kejahatan ini tidak saja dapat menimbulkan kerugian financial dan keresahan
masyarakat, tetapi juga mengancam keamanan dan persatuan nasional.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut di atas, pembangunan komunikasi dan informatika tidak
saja hanya terfokus kepada penyediaan infrastruktur. Perhatian yang sama juga harus diberikan
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan informasi dan segala bentuk
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk kegiatan yang produktif.
Secara umum, hasil monitoring dan evaluasi program USO tahun 2003 dan 2004 menunjukkan
sebuah temuan penting, yaitu pemanfaatan fasilitas USO yang sangat rendah, baik untuk
memanggil (outgoing) maupun dipanggil (incoming).
1. Berdasarkan data trafik dari operator16, terdapat kecenderungan penurunan jumlah desa aktif
dan peningkatan jumlah desa yang tidak aktif17 pada bulan-bulan pertama pengoperasian
15 Sumber: paparan PT Indosat, Agustus 2008, quick survey yang dilakukan pada Juli 2008 dengan responden sekitar
460 orang di 39 kota. Peringkat kelima: gas/bahan bakar, keenam:air/PAM, ketujuh: jajanan, kedelapan: tagihan telepon
rumah; kesembilan: rekreasi; kesepuluh: bensin.
16 Sumber: Workshop Rural Infrastructure Policy Development 11-13 Oktober 2005
46 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
fasilitas USO. Pada kondisi stabil, prosentase desa aktif sekitar 60 persen dari keseluruhan
jumlah fasilitas telekomunikasi, dan 40 persen desa dengan kondisi fasilitas yang tidak aktif,
atau tidak ada aktivitas telekomunikasi yang menggunakan fasilitas USO.
2. Temuan di desa USO Banten menunjukkan hanya 11 desa dari total 54 desa USO yang masih
dapat menerima panggilan18. Hal serupa juga terjadi di daerah USO lainnya.
Tidak optimalnya program USO tahun 2003 dan 2004 tersebut antara lain disebabkan oleh
keberlanjutan program yang rendah karena (a) tidak adanya jaminan ketersediaan dana setiap
tahun; (b) tidak adanya rencana tindak lanjut setelah program dilaksanakan; dan (c) kurangnya
keterlibatan masyarakat.
Pada kasus ini khususnya butir (c) terlihat bahwa keterlibatan masyarakat sangat diperlukan tidak
saja ditujukan untuk menjaga fasilitas USO (agar tidak dirusak) tetapi juga menciptakan demand
sehingga fasilitas USO terus diperlukan yang pada akhirnya dapat menciptakan trafik.
Permasalahan yang dihadapi dalam mendorong pemanfaatan informasi berbasis teknologi informasi
dan komunikasi adalah sebagai berikut.
Terbatasnya pengembangan industri manufaktur dalam negeri, aplikasi, dan konten lokal
sebagai pembangkit demand. Dari sepuluh kelompok sektor19, penyerapan tenaga kerja industri
kreatif mengalami kenaikan terbesar ketiga sepanjang tahun 2002 - 2006 yaitu 8,10 persen. Adapun
dari 1420 kelompok industri kreatif, penyerapan tenaga kerja layanan komputer dan piranti lunak
mengalami kenaikan tertinggi pada periode yang sama, yaitu 25,87 persen. Dengan demikian
industri kreatif berpotensi dalam mendorong penciptaan demand, namun hal tersebut belum
didukung secara optimal oleh beberapa isu seperti penegakan dan perlindungan hukum atas hak
kekayaan intelektual, inkubasi inovasi, dan pengembangan konten lokal.
17 Desa aktif adalah desa dengan aktivitas trafik lebih dari 0 menit, sedangkan tidak aktif adalah desa dengan aktivitas
trafik 0 menit atau tidak ada aktivitas telekomunikasi
18 Sumber: Providing Telecommunications to Rural Indonesia, Jan van Rees, 2006
19 Sepuluh sektor dimaksud adalah (a) kehutanan, perikanan; (b) perdagangan, hotel, restauran; (c) pelayanan publik;
(d) industri pengolahan; (e) transportasi dan komunikasi; (f) bangunan; (g) industri kreatif; (h) keuangan, real estate; (i)
pertambangan; (j) listrik, gas dan air bersih.
20 Keempat belas kelompok tersebut adalah (a) periklanan; (b) arsitektur; (c) pasar seni dan barang antik; (d) kerajinan;
(e) disain; (f) disain fesyen; (g) film, video, fotografi; (h) permainan interaktif; (i) musik; (j) seni pertunjukan; (k) penerbitan
dan percetakan; (l) layanan komputer dan piranti lunak; (m) TV dan radio; dan (n) riset dan pengembangan.
47 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Masih terbatasnya konten berbahasa Indonesia yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat/komunitas tertentu (misalnya perikanan, kehutanan, perkebunan, pertanian)
menghambat penetrasi TIK dalam kegiatan perekonomian. Padahal TIK dapat membantu
masyarakat untuk mengakses secara cepat berbagai informasi yang mendukung kegiatan
perekonomian masyarakat.
Adapun sasaran yang hendak dicapai pada akhir tahun 2014 adalah:
1. Tercapainya tingkat e-literasi masyarakat Indonesia menjadi 50 persen pada tahun 2014.
2. Tersedianya informasi dan layanan publik yang dapat diakses secara online dengan indikator
dampak dan target pencapaian pada tahun 2014: (a) nilai rata-rata e-government instansi
pemerintah sekurang-kurangnya menjadi baik22; (b) jumlah aparatur pemerintah yang paham
TIK sekurang-kurangnya menjadi 80 persen dari total aparatur pemerintah; (c) prosentase
jumlah e-provinsi yang merupakan muara sistem elektronik kabupaten/kota di masing-masing
provinsi mencapai 100 persen; serta (d) tersedianya layanan publik yang dapat diakses secara
online sekurang-kurangnya untuk layanan kependudukan (e-citizen), perizinan (e-licensing), dan
pengadaan (e-procurement).
21 Antara lain melalui program Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan
Nasional
22 Yang dimaksud dengan baik adalah mempunyai nilai rata-rata total sebesar 3,4 dari keseluruhan dimensi yang dinilai,
yaitu kebijakan, kelembagaan, sarana dan prasarana, aplikasi dan perencanaan berdasarkan penilaian yang dilakukan
secara berkala oleh Dep. Komunikasi dan Informatika melalui kegiatan Pemeringkatan e-Government Indonesia (PeGI)
48 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Penggunaan APBN selama ini difokuskan kepada empat kegiatan pokok, yaitu (1) perkuatan fungsi
pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan; (2) penyediaan infrastruktur di wilayah non
komersial; (3) pelaksanaan proyek percontohan TIK khususnya dalam rangka peningkatan e-literasi
dan pengembangan e-government; dan (4) fasilitasi pengembangan sumber daya manusia, industri,
content, dan aplikasi TIK.
Pelaksanaan kegiatan pertama dibiayai dari Rupiah Murni, kegiatan kedua dibiayai dari PNBP USO,
sedangkan kegiatan ketiga dan keempat dibiayai dari Rupiah Murni dan Pinjaman/Hibah Luar
Negeri. Bentuk intervensi pemerintah dalam sektor komunikasi dan informatika sebagian besar
adalah kerangka regulasi, sedangkan kerangka anggaran hanya dimaksudkan untuk penyediaan
infrastruktur di wilayah non komersial.
PNBP sektor komunikasi dan informatika sesungguhnya terbilang besar, yaitu sekitar Rp 8 triliun
pada tahun 2008 dan Rp 10 triliun pada tahun 2009, namun alokasi PNBP yang dapat digunakan
oleh sektor komunikasi dan informatika itu sendiri sangat kecil yaitu kurang dari 10 persen. Untuk
menambah kemampuan pembiayaan, pemerintah perlu mengambil langkah untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sisa PNBP tersebut.
23 Termasuk sumber daya terbatas spektrum dan non spektrum, teknologi, dan industri
51 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
c. pengembangan kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan broadband
dengan pengalokasian risiko yang proporsional dan sesuai dengan prinsip unbundling yaitu
pemerintah menanggung pembangunan infrastruktur dasar, sedangkan badan usaha
menanggung pembangunan yang bersifat komersial;
d. pemberian insentif/stimulus baik berbentuk tangible maupun intangible untuk mempercepat
penetrasi broadband;
e. peningkatan penyerapan broadband melalui perluasan penyediaan komputer/akses internet
serta pengembangan aplikasi dan konten lokal; (f) optimalisasi pengalokasian spektrum
frekuensi radio; serta (g) stimulasi industri perangkat broadband dalam negeri.
4. Menjamin keterhubungan (interoperabilitas/interkoneksitas) sistem, jaringan, dan
layanan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin keutuhan, kehandalan, keamanan, dan
kualitas sistem, jaringan, dan layanan terutama dimana sistem/jaringan yang digunakan
berbeda-beda. Strategi yang ditempuh adalah:
a. pengembangan standar dengan memperhatikan kesepakatan/standar internasional;
b. pengembangan sertifikasi; serta
c. pemantauan dan penertiban pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi.
5. Pemerataan penyediaan infrastruktur dan layanan komunikasi dan informatika. Kebijakan
ini diperlukan untuk meningkatkan jangkauan dan mempertahankan keberlanjutan layanan
komunikasi dan informatika di wilayah perbatasan, perdesaan, terpencil, dan wilayah non
komersial lain. Strategi yang diambil antara lain:
a. kerjasama dengan penyelenggara komunikasi dan informatika dalam memetakan daerah
blank spot yang dituangkan dalam rencana induk National Border Information Belt dan
rencana induk Desa Informasi;
b. pengalokasian APBN dan pemberian subsidi secara tepat sasaran (target oriented) dengan
pengukuran kinerja berbasis output yang jelas dan memperhatikan keberlanjutan layanan;
c. peningkatan efisiensi dan manfaat layanan melalui integrasi dan sinergi kegiatan yang
sejenis baik di internal sub bidang komunikasi dan informatika maupun lintas sub bidang;
dan
d. peningkatan kerja sama dengan badan usaha yang dipilih melalui proses yang kompetitif
dan transparan dalam pembangunan dan penyelenggaraan komunikasi dan informatika di
wilayah non komersial.
6. Peningkatan peran/keterlibatan badan usaha termasuk UKM dan koperasi dalam
penyelenggaraan komunikasi dan informatika. Kebijakan ini ditujukan untuk mempercepat
penyediaan infrastruktur dan layanan komunikasi dan informatika yang modern dan handal di
seluruh Indonesia dan meningkatkan efisiensi penyelenggaraan. Strategi yang ditempuh adalah:
a. pembukaan peluang usaha bagi badan usaha secara kompetitif, tidak diskriminatif, dan
transparan dalam penyediaan sarana dan prasarana dan layanan komunikasi dan
informatika termasuk di wilayah non komersial;
52 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
b. penyederhanaan perizinan antara lain melalui penerapan unified access licensing sehingga
memungkinkan penyelenggara untuk mengelola sumber daya dan teknologi secara lebih
optimal;
c. pengembangan skema kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan
komunikasi dan informatika selain skema perizinan (licensing) dengan memperhatikan
pengelolaan risiko antara pemerintah dan badan usaha berdasarkan prinsip pengalokasian
risiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikan risiko; serta
d. pemberian insentif/stimulus bagi penyelenggara untuk pembangunan di wilayah non
komersial.
7. Peningkatan kualitas penyelenggaraan. Kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan iklim
investasi dan berusaha yang kondusif sehingga memberikan ruang bagi penyelenggara untuk
berkembang sekaligus memastikan tercapainya sasaran pembangunan nasional. Berbeda
dengan sub bidang sarana dan prasarana lain, sub bidang sarana dan prasarana komunikasi
dan informatika sangat dipengaruhi oleh kekuatan pasar (market driven). Pola top-down sudah
tidak efektif dilaksanakan pada sektor yang tingkat efisiensi investasinya sangat dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi. Oleh karena itu, sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan,
pemerintah akan meningkatkan kualitas pengaturan melalui penetapan instrument dan koridor
yang tegas dan jelas baik dalam bentuk hard policy maupun soft policy. Strategi yang diambil
adalah:
a. penyusunan perangkat peraturan yang jelas, konsisten, tidak diskriminatif, dan
berpandangan ke depan (forward looking) beserta rencana transisi/pentahapan (apabila
terdapat perubahan peraturan) untuk menjamin perubahan yang halus;
b. penciptaan kompetisi yang sehat dan setara (level playing field) dengan tetap menjaga
profitabilitas industri dan memperhatikan penguasaan/kepemilikan terhadap sumber daya
(diversity of ownership);
c. reformasi pentarifan layanan dari berbasis jarak dan waktu menjadi volume dan kualitas;
serta
d. pengawasan atas penyelenggaraan komunikasi dan informatika termasuk pengawasan
terhadap pemenuhan komitmen pembangunan yang melekat pada izin penyelenggaraan
operator, pengawasan terhadap kualitas layanan, serta pengawasan terhadap penguasaan,
pemanfaatan, dan perpindahan hak penggunaan sumber daya terbatas, seperti spektrum
frekuensi radio.
24 Sebagaimana dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
25 Juga dimungkinkan kustomisasi
26 Termasuk Informasi Publik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
54 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
10. Mendorong inovasi di bidang TIK. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong
berkembangnya industri penunjang TIK dalam negeri baik industri perangkat, jasa, maupun
konten menuju kemandirian industri TIK nasional. Strategi yang ditempuh adalah:
a. koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk memfasilitasi kegiatan penelitian dan
pengembangan, pemberian insentif, dan penyediaan inkubasi untuk mendorong
pengembangan konten, aplikasi, dan industri penunjang TIK dalam negeri sehingga
implementasi TKDN tidak menimbulkan biaya tinggi, serta mendorong pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan seperti penggunaan energi baru dan terbarukan (renewable
energy) pada base transceiver station;
b. koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk memfasilitasi terbentuknya kerja
sama antara lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan industri (education-research-
industry collaboration);
c. koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk memberikan perlindungan atas hak
kekayaan intelektual;
d. koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk mendorong pengembangan industri
kreatif dan penyerapan tenaga kerja TIK sehingga tidak terjadi brain drain; serta
e. koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk mendorong tercapainya komitmen
TKDN dalam penyelenggaraan komunikasi dan informatika.
11. Peningkatan kualitas sumber daya manusia TIK. Kebijakan ini diperlukan untuk
meningkatkan pemahaman dan kemampuan aparatur pemerintah dan masyarakat terkait
pemanfaatan informasi dan penggunaan TIK untuk mendukung peningkatan produktivitas dan
inovasi. Strategi yang ditempuh adalah:
a. penetapan Chief Information Officer (CIO) di setiap instansi pemerintah untuk memperkuat
e-leadership, apresiasi, dan komitmen di kalangan instansi pemerintah;
b. pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan TIK;
c. pelatihan komunikasi dan informatika berbasis kompetensi kerja;
d. fasilitasi komunitas informasi sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat dalam
pemanfaatan informasi dan pengawasan terhadap kepatutan konten;
e. pengembangan standar kompetensi kerja bidang keahlian komunikasi dan informatika;
f. fasilitasi sertifikasi kompetensi profesi bekerjasama dengan Kementerian/Lembaga terkait;
serta
g. pelatihan dan perkuatan kapasitas SDM aparatur pemerintah/regulator dalam penyusunan
kebijakan/regulasi.
12. Mendorong pemanfaatan TIK untuk bisnis (e-bisnis). Kebijakan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan produktivitas perekonomian melalui difusi dan pemanfaatan TIK. Strategi yang
ditempuh antara lain:
a. fasilitasi penyediaan akses permodalan untuk UKM TIK bekerjasama dengan
Kementerian/Lembaga terkait;
b. fasilitasi penyediaan komputer dan akses internet dengan tarif terjangkau untuk UKM
melalui Community Access Point (CAP), Mobile CAP dan Warmasif;
55 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Secara ringkas, intervensi pemerintah baik dalam bentuk kerangka regulasi maupun kerangka
anggaran yang diperlukan dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 3.8 Bentuk Intervensi Pemerintah Untuk Mendorong Pembangunan Komunikasi dan
Informatika di Era Konvergensi
PELAKSANA ASPEK INTERVENSI PEMERINTAH
Supply 1. Restrukturisasi penyelenggaraan komunikasi dan informatika dari
bentuk vertikal menjadi horizontal, termasuk:
a. Reformasi perizinan dari berbasis teknologi menjadi unified
access licensing;
b. Reformasi pentarifan dari berbasis jarak menjadi volume;
Pemerintah Pusat c. Reformasi Biaya Hak Penggunaan Frekuensi dari berbasis izin
stasiun radio menjadi pita;
d. Fasilitasi konsolidasi penyelenggara;
e. Penciptaan dan pengawasan kompetisi dalam penyelenggaraan.
2. Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Nasional;
56 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
2. Ikut menyusun Rencana Induk Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika beserta pemangku kepentingan untuk
memastikan bahwa Rencana Induk tersebut sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005 - 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-
2014.
3. Memfasilitasi sinkronisasi penentuan daerah yang mendapatkan bimbingan teknis/
pendampingan untuk pembelajaran TIK dengan daerah penerima Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pemberian bimbingan teknis dan tutorial kepada
pendamping/koordinator pelaksanaan PNPM di daerah merupakan bentuk training for trainer.
Selanjutnya, para koordinator tersebut diharapkan dapat memberikan bimbingan ke masyarakat
yang lebih luas.
4. Memfasilitasi penyusunan konsep ICT Fund dan pengembangan konsep kerjasama pemerintah
dan swasta di luar skema perizinan.
5. Memfasilitasi pemberian hibah luar negeri dalam bentuk bantuan teknis untuk memperkuat
fungsi regulatory Kementerian Komunikasi dan Informatika.
59 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
IV.1 KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dari kajian Kebijakan Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi di
Era Konvergensi adalah sebagai berikut.
1. Dari hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan pos dan telematika periode 2004 2009,
terdapat dua agenda yang memerlukan perbaikan segera, yaitu (a) pemerataan infrastruktur dan
layanan komunikasi dan informatika; dan (b) peningkatan kualitas pemanfaatan informasi dan
teknologi informasi dan komunikasi.
2. Pemerataan infrastruktur dan layanan komunikasi dan informatika diperlukan tidak saja untuk
memperkuat domestic interconnectivity tetapi juga untuk mendukung peningkatan perekonomian
dan daya saing bangsa. Sebagai salah satu pilar knowledge-based economy, infrastruktur
komunikasi dan informatika memberikan kontribusi sebesar 17 persen terhadap kenaikan indeks
daya saing bangsa.
3. Peningkatan kualitas pemanfaatan informasi dan TIK juga perlu dilakukan mengingat
pemanfaatannya yang saat ini masih bersifat konsumtif dan terutama untuk mengantisipasi
meningkatnya tindak kejahatan berbasis TIK (cyber crime).
4. Aspek Infrastruktur
a. Trend dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa nirkabel (wireless) masih
merupakan moda utama penyediaan akses komunikasi dan informatika. Konsekuensinya,
perlu dipastikan ketersediaan spektrum frekuensi radio.
b. Perubahan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat dan dinamis justru
berpotensi meningkatkan ketergantungan nasional terhadap industri luar negeri. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, pemerintah memproteksi dan menciptakan demand bagi
industri dalam negeri sebagai bentuk keberpihakan, antara lain melalui ketentuan Tingkat
Kandungan Dalam Negeri. Selanjutnya, langkah ini perlu dibarengi oleh peningkatan
kapasitas industri dalam negeri.
c. Tuntutan perubahan dari bentuk vertikal menjadi horizontal sebagai konsekuensi
konvergensi perlu segera ditindaklanjuti melalui reformasi penyelenggaraan komunikasi dan
informatika, baik pada tataran kebijakan, regulasi, kelembagaan, maupun pengelolaan
sumber daya terbatas (terutama penomoran dan spektrum frekuensi radio).
d. Penyediaan infrastruktur komunikasi dan informatika hingga saat ini belum optimal dalam
mendukung peningkatan perekonomian dan daya saing bangsa. Hal ini disebabkan oleh
60 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
6. Aspek Pembiayaan
a. Perubahan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat menyebabkan tingginya
keperluan untuk melakukan investasi dalam jangka pendek, sebaliknya investasi jangka
panjang menjadi tidak menarik.
b. Dalam lima tahun terakhir, pemanfaatan APBN lebih difokuskan untuk penguatan fungsi
kebijakan dan regulasi, serta penyediaan infrastruktur di wilayah non komersial. Hal ini
61 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
sejalan dengan pandangan bahwa sektor komunikasi dan informatika sudah lebih komersial
dibandingkan dengan sektor infrastruktur lain. Namun dalam beberapa terakhir, kemampuan
pembiayaan penyelenggara juga semakin terbatas seiring dengan semakin tingginya tingkat
kompetisi dan krisis global yang menerap dua tahun terakhir.
c. Untuk itu diperlukan upaya efisiensi investasi, diversifikasi sumber pembiayaan, dan
optimalisasi pemanfaatan pembiayaan yang ada sebagai berikut:
Efisiensi investasi dilakukan melalui infrastructure sharing, site sharing, dan
pemanfaatan infrastruktur pasif bersama seperti right of way;
Diversifikasi sumber pembiayaan dilakukan melalui pengembangan kerjasama
pemerintah dan swasta selain skema perizinan, dan optimalisasi pemanfaatan PNBP
melalui ICT Fund;
Optimalisasi pemanfaatan pembiayaan yang ada melalui pembelanjaan APBN secara
tepat sasaran (target/output-oriented), pergeseran belanja modal menjadi belanja
operasional, serta pergeseran dari asset-based menjadi service-based.
IV.2 REKOMENDASI
Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa hal yang kami rekomendasikan sebagai tindak lanjut
pengembangan teknologi informasi dan komunikasi nasional sebagai berikut.
Aspek Infrastruktur
1. Restrukturisasi penyelenggaraan ke arah konvergensi yang ditujukan untuk menciptakan
pengelolaan sumber daya dan penyelenggaraan komunikasi dan informatika yang efisien,
kompetitif, mantap (robust), dan berkelanjutan (sustainable) sekaligus memberikan kepastian
investasi/berusaha dan menjaga agar perubahan menuju konvergensi berjalan secara halus
(seamless).
2. Optimalisasi sumber daya (resources) dalam pengembangan infrastruktur dan layanan
komunikasi dan informatika untuk mempercepat pengembangan infrastruktur dan penyediaan
layanan yang modern di seluruh wilayah NKRI, termasuk wilayah non komersial, dengan
memanfaatkan sumber daya secara efisien dan efektif, di antaranya melalui infrastructure
sharing, site sharing, pemanfaatan open source.
3. Pengembangan infrastruktur broadband untuk mempercepat dan memperluas pembangunan
infrastruktur broadband sebagai electronic superhighway yang memungkinkan pertukaran data
dalam kecepatan tinggi termasuk mendorong penetrasi broadband ke perdesaan sebagai
bentuk universal service.
4. Menjamin keterhubungan (interoperabilitas/interkoneksitas) sistem, jaringan, dan layanan
untuk menjamin keutuhan, kehandalan, keamanan, dan kualitas sistem, jaringan, dan layanan
terutama dimana sistem/jaringan yang digunakan berbeda-beda.
62 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
Aspek Pembiayaan
13. Optimalisasi pembiayaan untuk mempercepat pengembangan infrastruktur dan penyediaan
layanan yang modern di seluruh wilayah NKRI, termasuk wilayah non komersial, dengan
memanfaatkan sumber pembiayaan secara efisien dan efektif, yaitu antara lain melalui (a)
pemanfaatan APBN secara efisien dan efektif untuk mendorong penyediaan, pendistribusian,
dan pemanfaatan informasi terutama di wilayah non komersial melalui penggeseran konsep
asset-based menjadi service/output-based; (b) pembentukan dana jangka panjang (ICT Fund)
berupa optimalisasi pemanfaatan Pendapatan Negara Bukan Pajak yang dihasilkan oleh sub
bidang komunikasi dan informatika untuk pengembangan broadband, inovasi, industri TIK dalam
negeri, dan peningkatan kualitas SDM TIK.
63 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
14. Bappenas, khususnya Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika, juga diharapkan
berkontribusi dalam pelaksanaan intervensi Pemerintah Pusat, terutama dalam:
a. Mengkoordinasikan pemanfaatan infrastruktur pasif (di luar infrastruktur komunikasi dan
informatika) seperti right of way (PT PLN, PT KAI, jalur jalan tol), saluran (dinas Pekerjaan
Umum), dan tiang listrik untuk menekan biaya investasi.
b. Ikut menyusun Rencana Induk Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika beserta pemangku kepentingan untuk
memastikan bahwa Rencana Induk tersebut sejalan dengan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005 - 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010 - 2014.
c. Memfasilitasi sinkronisasi penentuan daerah yang mendapat bimbingan
teknis/pendampingan untuk pembelajaran TIK dengan daerah penerima Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pemberian bimbingan teknis dan tutorial
kepada pendamping/koordinator pelaksanaan PNPM di daerah merupakan bentuk training
for trainer. Selanjutnya, para koordinator tersebut diharapkan dapat memberikan bimbingan
ke masyarakat yang lebih luas.
d. Memfasilitasi penyusunan konsep ICT Fund dan pengembangan konsep kerjasama
pemerintah dan swasta di luar skema perizinan.
e. Memfasilitasi pemberian hibah luar negeri dalam bentuk bantuan teknis untuk memperkuat
fungsi regulatory Kementerian Komunikasi dan Informatika.
64 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i
DAFTAR PUSTAKA