Anda di halaman 1dari 8

PEMANASAN GLOBAL , MELELEHNYA LAPISAN ES DI

KUTUB BUMI

Pemanasan global merupakan ancaman potensial bagi masa depan peradaban di


seluruh dunia. Ada banyak akibat pemanasan global yang para ahli percaya hal
tersebut akan menimbulkan dampak signifikan terhadap bumi di tahun-tahun
mendatang. Meskipun banyak perdebatan yang sedang terjadi mengenai benar
atau tidaknya pemanasan global disebabkan oleh perbuatan manusia, dampak
dan akibat pemanasan global yang dipaparkan berikut ini telah memperlihatkan
pada kita bahwa bumi memang sedang mengalami masalah pemanasan global.
Akibat-akibat pemanasan global terus disoroti oleh para ilmuwan, aktivis dan
organisasi lingkungan yang menuntut agar segera diambil tindakan pada skala
yang lebih besar dibandingkan dengan yang dilakukan selama ini sebagai upaya
untuk mengurangi akibat-akibat pemanasan global terhadap bumi di masa
depan.

Akibat Utama Pemanasan Global


Akibat utama pemanasan global merupakan akibat-akibat langsung dari
peningkatan suhu secara global dan dapat dirinci sebagai berikut:

Mengubah Pola Cuaca - Pemanasan global dapat mengubah pola cuaca


tahunan, membawa kondisi yang lebih buruk ke berbagai negara di seluruh
dunia. Akibat dari pemanasan global dapat mencakup peningkatan kekeringan
yang parah, banjir, dan badai yang berpotensi menyebabkan kerugian yang
signifikan atas kehidupan atau dampak terhadap perekonomian.
Melelehnya Es di Laut & Geyser - dengan meningkatnya suhu bumi,
kita mulai melihat terjadinya percepatan pencairan es di laut dan geyser.
Mungkin hal ini dianggap sepele oleh sebagian besar orang sampai kita
menyadari berapa banyak persediaan air dunia dalam bentuk es. Menurut data
tahun 1993 dari USGS, sekitar 1,7% pasokan total air di bumi disimpan dalam
bentuk es di laut atau gletser, ini dapat diterjemahkan menjadi lebih dari 65%
pasokan air tawar di bumi. Apabila semua es di laut dan gletser mencair, maka
akan terjadi peningkatan permukaan air laut secara global yang akan memiliki
potensi untuk menggusur kehidupan masyarakat di daerah pesisir.
Kawasan kutub kini mengalami pemanasan global lebih cepat dari kawasan lain
di dunia. Dalam tiga dekade terakhir, lapisan es di lautan sekitar kutub menyusut
sekitar 990 ribu kilometer persegi

Sejak beberapa dekade terakhir, para pakar iklim terus mencemaskan dampak
pemanasan global, khususnya yang menimpa kedua kutub bumi. Yang terutama
diamati dan diteliti adalah kawasan Kutub Utara. Pasalnya, lapisan es di Kutub
Utara terus menyusut drastis dalam 30 tahun terakhir ini.

Lapisan Es Terus Menipis


Pengukuran yang dilakukan 300 pakar iklim dari delapan negara yang lokasinya
berbatasan dengan Kutub Utara menunjukan, dalam tiga dekade terakhir,
lapisan es di lautan sekitar kutub menyusut sekitar 990 ribu kilometer persegi.
Disebutkan, kawasan kutub kini mengalami pemanasan global lebih cepat dari
kawasan lain di dunia. Para pakar iklim juga yakin, pemicu pemanasan drastis di
kawasan kutub, adalah aktivitas manusia. Dalam beberapa dekade terakhir,
emisi gas rumah kaca ke atmosfir terus meningkat drastis.

Tidak Ada Lagi Es Pada Musim Panas di Kutub Utara


Sinyal apa yang dilontarkan dari penyusutan drastis lapisan es di lautan Kutub
Utara itu? Tentunya bukan pertanda yang baik bagi ekosistem. Karena itulah,
dalam sebuah konferensi ilmiah di Hamburg, sekitar 500 pakar iklim
mendiskusikan kemungkinan dampak yang bakal muncul dari penyusutan
lapisan es di Kutub Utara tersebut.

Peneliti iklim dari Institut Max-Planck untuk meteorologi di Hamburg, Jochem


Marotzke mengatakan, menurut perhitungan, sekitar akhir abad ini, lapisan es itu
pada setiap musim panas akan mencair seluruhnya. Memang di musim dingin
lapisan es kembali terbentuk. Akan tetapi, di musim panas berikutnya seluruhnya
kembali mencair.
Apa yang diungkapkan Marotzke, tentu saja bukan berita bagus. Jika ramalannya
tepat, artinya sekitar tahun 2080 mendatang, setiap musim panas di Kutub Utara
tidak akan ditemukan lagi hamparan padang es. Sekarang saja, para peneliti dari
institut penelitian kutub Alfred-Wegener di Bremerhaven, mencatat bahwa
lapisan es di lautan sekitar kutub juga semakin tipis, setiap musim panas,
menyusut sekitar 20 persen dalam 30 tahun terakhir. Demikian dikatakan
Christian Haas, peneliti dari Bremerhaven.

Permukaan Laut Akan Meningkat


Laju penyusutan lapisan es di lautan sekitar kutub, diperkirakan akan terus
berlanjut hingga tahun 2080 mendatang, sampai semuanya mencair.
Dampaknya adalah meningkatnya permukaan air laut global. Dalam 20 tahun
terakhir ini, permukaan air laut sudah naik rata-rata delapan centimeter. Jika
semua lapisan es mencair, diperkirakan permukaan air laut akan naik rata-rata
90 centimeter. Pemicu drastisnya penyusutan lapisan es adalah pemanasan
global yang dipicu aktivitas manusia.

Pemanasan Global Terus Berlanjut


Lebih lanjut peneliti iklim Jochem Marotzke meramalkan terus berlanjutnya
pemanasan global. Perhitungan menunjukan, Kutub Utara memanas dua kali
lebih cepat, ketimbang kawasan lainnya di dunia. Diperhitungkan adanya
pemanasan antara 8 sampai 10 derajat Celsius, di kawasan lintang Kutub Utara.

Dampaknya bagi manusia akan sangat besar. Dalam jangka panjang, artinya
sampai abad mendatang, jika suhu rata-rata global naik antara tiga sampai
empat derajat Celsius, lapisan es abadi di Greenland akan mencair seluruhnya.
Sebagai akibatnya, permukaan air laut global akan naik rata-rata tujuh meter.
Semua negara kepulauan kecil akan tenggelam. Kota-kota besar di kawasan
pantai, sebagian juga akan lenyap.

Para peneliti iklim memperkirakan, akibat perubahan drastis selama beberapa


dekade, kerusakan yang terjadi pada sebagian ekosistem akan menetap.
Sebagian lagi dapat dipulihkan atau paling tidak efeknya diminimalkan secara
siginifikan. Tapi syaratnya, tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
juga dilaksanakan lebih efektiv lagi.

Kutub Selatan Berbeda


Jika di Kutub Utara diamati penyusutan drastis lapisan es, bagaimana kondisi di
Kutub Selatan? Diketahui di kawasan Antartika terdapat iklim serta arus laut
yang berbeda dari sistem yang mempengaruhi Kutub Utara. Karena itulah
dampak pemanasan global di Kutub Selatan tidak sekuat seperti yang melanda
Kutub Utara. Sejauh ini dapat diamati, di Kutub Selatan relatif tidak terjadi
pencairan laisan es. Peneliti dari Institut Alfred Wegener di Bremerhaven,
Christian Haas bahkan mengamati dampak sebaliknya. Menurut data, dalam 30
tahun terakhir ini, terjadi peningkatan lapisan es di lautan sekitar Antartika.

Suhu Juga Akan Naik di Kutub Selatan


Akan tetapi dalam dekade mendatang, suhu di kawasan Kutub Selatan juga akan
meningkat.
Kawasan timur antartika lebih tebal dan tinggi. Karena itu, salju di kawasan
tersebut dapat terakumulasi lebih banyak, dan menyebabkan peningkatan
volume lapisan es. Sementara kawasan barat Antartika, sangat terpengaruh oleh
arus Circum-Antartika, yang mengangkut air dengan suhu lebih hangat. Jadi di
sana, terdapat kaitan lebih erat, antara pemanasan samudra dengan
mencairnya lapisan es. Demikian dijelaskan Christian Haas.

Lapisan Es di Kutub Selatan Stabil


Juga Jochem Marotzke, pakar iklim dari Institut Max Planc untuk Meteorologi di
Hamburg, mengatakan sulit untuk memperkirakan secara akurat, bagaimana
dampak dari pemanasan global di Kutub Selatan. Hal ini dikarenakan
terdapatnya proses yang saling bertolak belakang. Jika suhu lebih hangat,
diperhitungkan volume hujan salju akan meningkat. Akan tetapi, diperkirakan
juga, lapisan es di kaki gletsyer akan mencair. Proses mana yang akan menang
belum diketahui. Tapi menurut model perhitungan, tidak diharapkan adanya
perubahan drastis pada lapisan es di Kutub Selatan. Akan tetapi di sana, masih
terjadi situasi yang sulit diramalkan.
Pemanasan Global akan Menurun di Tahun
2017?

Panas bumi akan stagnan sampai tahun 2017. Setelah itu, suhu akan menurun.

Liputan6.com, Perth - Bumi semakin panas, pernyataan ini bukan berita baru.
Menipisnya atmosfer, dan fenomena memakan korban jiwa seperti gelombang
panas, merupakan isu yang

Sementara itu, argumen lain yang disampaikan oleh Dr David Evans, mantan climate
modeller --ahli perubahan iklim--untuk Australia Greenhouse Office, mengungkapkan
prediksi pemanasan global selama ini telah dilebih-lebihkan.

Dr Evans asal Perth telah mendapat enam gelar dalam bidang matematika,
menganalisis asumsi hitungan matematika yang digunakan untuk memprediksi
perubahan iklim. Hasilnya, temperatur dunia akan stagnan pada tahun 2017.
Setelahnya, bumi akan mendingin. Bahkan, di tahun 2030 diperkirakan akan terjadi
'zaman es mini'.
Dr David Evans.
Menurutnya, kesalahan dasar dalam penghitungan peningkatan suhu di masa depan
sudah menjadi 'model standar'. Sehingga mengakibatkan prediksi peningkatan yang
tidak tepat.

"Ada perdebatan intelektual dalam perubahan iklim. Kaum skeptis terus


menunjukkan bukti empiris, yang tidak disetujui oleh climate model." ungkap Dr
Evans

Walaupun begitu, menurut Evans, ilmuwan iklim benar dalam hal perhitungan karbon
dioksida. Karena, penghitungan menggunakan ilmu fisika yang sudah dibangun
dengan baik. Seperti spektroskopi, fisika radiasi, dan tingkat panas yang menetap.

Ia menyatakan sudah 'memetakan' pembangunan data yang akan digunakan dan


ditemukan oleh climate model. Walaupun perhitungan fisika-nya benar,
pengaplikasiannya dianggap kurang tepat.

Ada dua alasan mengapa itu terjadi. Pertama, karena efek karbon dioksida pada
suhu dilebihkan.

"Tidak ada bukti empiris bahwa bertambahnya jumlah karbon dioksida akan
meningkatkan suhu bumi. Tidak seperti yang diprediksi oleh IPCC UN. Ya, karbon
dioksida memiliki dampak, namun hanya seperlima sampai sepersepuluh dari
perkiraan."

Karbon dioksida bukan penyebab utama pemanasan global, menurut Dr Evans.


Kenyataannya, karbon dioksika mengakibatkan pemanasan global 20 persen lebih
kecil selama beberapa abad terakhir.

Sedangkan, masalah kedua adalah prediksi tidak memiliki pengaruh pada perubahan
yang sudah tercatat. Tidak ada yang menyebutkan mengenai stagnansi suhu selama
18 tahun yang selama ini sedang kita alami.

Menurut Evans, iklim sebagian besar dipengaruhi oleh hal-hal diluar kendali kita.

"Pertanian angin dan panel matahari tidak hanya buruk dalam mengurangi karbon
dioksida. Jika berhasil, hal ini juga tidak berpengaruh dalam 'mendinginkan' Bumi.
Akhirnya, hanya menjadi empat triliun juta dolar dari seluruh dunia yang sia-sia."

Pun begitu, walau yakin dirinya benar, Evans ragu ucapannya mendapat persetujuan
oleh pemerintahan dunia.

"Penemuan di sini kecil kemungkinan akan populer dalam pengembangan. Rintangan


dalam politik sungguh besar."

Evans juga mengungkapkan bahwa pemanasan global merupakan akibat dari


sebuah aktifitas matahari. Proses yang disebut "albedo modulation." Memudarnya
dan jatuhnya radiasi yang direfleksikan dari matahari.

Antara tahun 2017 dan 2021, ia memperkirakan pendinginan sekitar 0,3 derajat
celcius, sebelum 'zaman es mini' terjadi.

Teori ini kemungkinan besar akan dibantah oleh Julia Slingo, ketua ilmuwan UK Met
Office, yang percaya meningkatnya karbon dioksida merupakan "bukti besar" dari
perubahan iklim yang diakibatkan oleh manusia.

Slingo mengungkapkan: "Panas meningkat secara sistematis sejak Revolusi Industri.


Faktanya, peningkatan cepat dalam lima puluh tahun terakhir. Sehingga, pengukuran
atmosfer setidaknya sepertiga lebih tinggi dari 800.000 tahun sebelumnya. Ini belum
cukup untuk membuktikan, bahwa aktifitas manusia lah yang dibalik terjadinya
kenaikan ini."

Menurut Slingo, kelebihan karbon dioksida di planet datang dari zat karbon di era
lampau. Bukan karena biosfer berubah aktifitasnya. Melainkan karena bahan bakar
fosil.

Mengenai bahan bakar fosil, ia juga berargumen mengenai anggapan tingkat


atmosfer yang menurun selama lebih dari 50 tahun.
"Ada cerita yang lebih lengkap di sini, yang tidak memerlukan penjelasan lain.
Bahwa aktifitas manusia dan cara menghasilkan energi lah yang mengakibatkan
perubahan iklim."
Hancurnya Ekosistem
Tapi juga diingatkan, pemanasan global dan efek rumah kaca tetap akan
berdampak besar, juga pada ketinggian muka air laut global. Jika ramalan pakar
iklim terbukti, dalam 80 tahun mendatang di setiap musim panas, lapisan es
Kutub Utara akan mencair seluruhnya, pastilah terdapat konsekuensi drastis bagi
flora dan fauna di kawasan Kutub Utara. Akan terjadi kerusakan drastis pula bagi
ekosistem yang khas untuk banyak organisme. Misalnya habitat kehidupan
plankton, ikan, anjing laut atau beruang es. Demikian diungkapkan Iris Werner,
biolog dari Universitas Kiel. Sebab organisme itu amat tergantung dari habitat
lautan es di sekitar kutub. Jika setiap musim panas lapisan es mencair
seluruhnya, artinya binatang-binatang ini kehilangan ruang hidupnya dan juga
makanannya. Pada akhirnya banyak binatang khas kutub akan musnah.
Apa dampak dari musnahnya sejumlah organisme kutub ini bagi kehidupan
manusia, masih terus diteliti oleh para pakar. Tapi yang jelas, simulasi iklim yang
dibuat para pakar menunjukan, jika lapisan es di kawasan kutub terus menipis,
kawasan Eropa akan mengalami dampak yang tidak menyenangkan. Musim
panas nantinya akan lebih kering, sementara musim dingin lebih hangat. Bahkan
dalam cuaca yang tidak terlalu fluktuativ sekalipun, tetap saja kehidupan
manusia di Eropa akan berubah drastis.

Anda mungkin juga menyukai