Anda di halaman 1dari 1

Nama : Yunandar

NRP : P062160071
1. Dengan menggunakan teori akses, beri alasan mengapa konflik pemanfaatan Sumberdaya Alam
(SDA) terjadi?
Karena pengelolaan sumberdaya alam merupakan regim yang sifatnya state property, private
property dan common property. Implikasi dari ke-3 regim tersebut adanya kelemahan atau
benturan kepentingan antar peraturan perundangan (rule of game) yang legal versus kepentingan
pembangunan daerah, sehingga peraturan perundangan yang dibuat masih dianggap gagal untuk
mewakili kepentingan berbagai pihak dalam hal pendistribusian kesempatan atau izin untuk
memanfaatkan sumberdaya alam. Sebut saja Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan dasar
pokok-pokok agraria sebagai landasan terkait bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya. Namun
seiring kebutuhan pembangunan maka bermunculan undang-undang yang bersifat sektoral
(sekitar 12 perundangan tentang sumberdaya alam) dengan visi dan misi konservasi yang pro
rakyat sampai eksploitasi yang pro kapital bahkan Undang-Undang No.5/1960 direduksi
wewenangnya menjadi Undang-Undang tentang pertanahan. Ditambah lagi kondisi politik-
ekonomi yang memegang peranan penting dalam proses alokasi dan distribusi manfaat
sumberdaya. Ketika rule of game tidak mampu mengarahkan dan mengontrol pemanfaatan
sumberdaya alam (lack of enforcement), akan terjadi suatu kondisi dimana interaksi aktor atau
jaringan (network), politik atau kepentingan, pelaksana kebijakan dan pelaku usaha lebih dominan
(web of power) dan menjadi kontrol terselubung dalam distribusi manfaat sumberdaya alam
sehingga konflik pemanfaatan sumberdaya alam terus berlangsung.
Interaksi antar faktor tidak akan pernah berimbang, selalu ada faktor yang dominan tergantung
kepada akses yang dimiliki. Pemerintah dianggap sebagai institusi yang memiliki kekuasaan dan
kontrol yang kuat (bundle of power) atas kepemilikan, pemanfaatan, alokasi dan pendistribusian
sumberdaya. Disisi lain, individu atau institusi lain seperti masyarakat, swasta, LSM (ENGO,
NGO) dan lembaga daerah lainnya tetap berusaha untuk menjaga akses terhadap sumberdaya alam
melalui pemerintah. Ekspansi perusahaan besar seperti perkebunan, pertambangan dan hutan
tanaman industri yang ada dapat dijadikan contoh sebagai kepemilikian akses terhadap modal,
teknologi, pasar, tenaga kerja, dan informasi yang membuat perusahaan tersebut memiliki
bargaining position (posisi tawar) yang tinggi dalam memperoleh distribusi manfaat sumberdaya
alam yang pada akhirnya perusahaan akan memperoleh legalitas (right based access). Sama halnya
dengan aktivitas pembalakan liar dan pengambilan lahan atau hutan untuk perkebunan dan
pertanian yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat berusaha untuk mendapatkan hak
pengelolaan melalui klaim individu atau komunal dan adat yang kadang bertentangan dengan
kebijakan pemerintah daerah dan pusat. Hal ini terjadi akibat rendahnya pengakuan, pelibatan dan
partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan seperti dalam proses penyusunan rule of
game walau dalam prakteknya telah melalui mekanisme legeslasi (Dewan Perwakilan
Rakyat/Daerah), akibatnya masyarakat memiliki akses yang lebih rendah dibandingkan dengan
perusahaan skala besar. Frame kondisi seperti ini menyebabkan konflik pemanfaatan sumberdaya
alam sesuai dengan pendapat Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso dalam bukunya Rural
Sociology (2003) sebagai teori akses yang mendefinisikan akses sebagai kemampuan atau
kesempatan untuk medapatkan manfaat dari sesuatu (dalam hal ini sumberdaya alam).
Pertimbangan siapa yang berhak dan yang tidak berhak untuk mendapatkan akses pengelolaan
sumberdaya alam sangat penting dalam proses memahami kedudukan situasi masalah mengapa
konflik pemanfaatan sumberdaya alam selalu terjadi dari mekanisme dan waktu terjadinya.

Anda mungkin juga menyukai