Anda di halaman 1dari 13

Identitas Nasional Indonesia

Erwin (2013) menyatakan bahwa identitas nasional Indonesia dirumuskan menjadi 3


bidang. Pertama, identitas fundamental yakni pancasila sebagai filsafat bangsa, hokum dasar,
pandangan hidup, etika politik, Sang saka merah putih, Bhineka Tunggal Ika, Indoparadigm
pembangunan. Kedua, identitas instrumental yang terdiri dari UUD 1945, bahasa Indonesia,
Garuda Pancasila dan Indonesia raya sebagai lagu kebangsaan. Ketiga, identitas alamiah yang
meliputi Indonesia sebagai Negara kepulauan dan kemajuan terhadap sukunya, budayanya, dan
agamanya.

1.) Pancasila
Pancasila sebagai situasi kejiwaan dan karakter bangsa Indonesia yang
mengandung kesadaran, cita-cita, hokum dasar, pandangan hidup telah menjadi nilai,
asas, norma bagi sikap tindak bagi penguasa dan Rakyat Indonesia. Satu-satuya
falsafah serta ideology bangsa dan Negara yang melandasi, membimbing serta
mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Pancasila ini hendaknya dibudayakan dalam
kehidupan anak bangsa di seluruh penjuru nusantara. Dengan begitu kita akan
berkarakter dan mempunyai jati diri sebgaia bangsa dan Negara yang beradab dan
bermaslahat di muka bumi, menjadi bangsa dan Negara yang bermartabat, yang
menjadi rahmat serta penuh kasih bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi lingkungan
alamnya, maupun bagi dunia internasional sebagaimana yang telah diletakkan
dasarnya oleh para pendiri Negara kita.

2.) Undang-Undang Dasar 1945


UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi bangsa Indonesia dalam
bersikap tindak. UUD 1945 dalam eksistensinya telah mengadakan pembagian tugas
bagi pihak-pihak yang terkait dalam sistem politik di Indonesia dan sekaligus pula
telah memberikan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan itu serta juga telah
menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia diIndonesia.

3.) Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan berasal dari bahasa Melayu. Bahasa
Melayu menjadi bahasa persatuan dikarenakan jauh sebelum Indonesia merdeka,

1
bahasay Melayu telah digunakan sebagai bahasa dalam interaksi antar suku yang
tersebar di seluruh kepulauan nusantara dan juga menjadi bahasa niaga yang
menghubungkan antar pedagan yang berniaga di Indonesia. Bahasa Indonesia
berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai
suku bangsa, serta sarana komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah. Dalam
pasal 36 UUD 1945 menyebutkan bahwa bahasa Negara ialah bahasa Indonesia.
Kemudian, dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009
menyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4.) Lambang Negara Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika
Garuda Pancasila sebagai lambing Negara bangsa Indonesia melambangkan
kemegahan Negara Indonesia. Bentuk lambing Garuda Pancasila ini merupakan
karya dari Sultan Hamid II dari kesultanan Pontianak. Lambang garuda ini memiliki
sayap yang berelar 17 helai, dengan ekor berelar 8 helai dan leher berelar 45 helai
yang menunjukkan waktu kemerdekaan Indonesia yaitu 17-8-1945. Pada dadanya
digantung sebuah prisai yang dibagi menjadi lima ruang ditengan dan empat tepi.
Bintang cemerlang atas dasar hitam merupakan sinar cemerlang abadi dari Ketuhanan
Yang Maha Esa. Rantai yang terdiri dari gelang-gelang persegi dan bundar yang
bersambung satu sama lain adalah lambang Perikemanusiaan. Pohon Beringin adalah
lambang kebangsaan. Benteng merupakan lambang keaulatan rakyat. Padi dan kapas
adalah lambang kecukupan. Kaki burung mencengkram sebuah pita yang terdapat
tulisan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua sebagai
semboyan Negara kita.

5.) Bendera Negara Merah Putih


Bendera sang Merah Putih adalah cerminan jiwa bangsa Indonesia dengan
semangatnya yang memerah dan dilandasi dengan hati yang putih. Dalam pasal 35
UUD 1945 dinyatakan bahwa Bendera Negara Indonesia adalah Sang Merah Putih.

6.) Lagu Kebangsaan Indonesia Raya


Lagu kebangsaan ini merupakan buah karya Wage Rudolf Supratman. Lagu
pertama kali diperdengarkan dalam forum resmi yakni pada saat sebelum Kongres

2
Pemuda II ditutup pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam pasal 36B dinyatakan bahwa
lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya.
Identitas nasional yang bersifat alamiah terkait dengan pola perilaku yang
Nampak dalam kegiatan masyarakat yaitu adat-istiadat, tata kelakuaan , kebiasaan.
Identitas nasional menggambarkan pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas
masyarakat sehari-harinya. Akhirnya, identitas yang bersumber dari tujuan bersifat
dianmis dan tidak tetap seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu, seperti
di Indonesia dikenal dengan bulu tangkis (Srijanti, 2011).

Jati Diri Bangsa dalam Arus Globalisasi

Globalisasi secara umum adalah sebuah gambaran tentang semakin ketergantungan di


antara sesama masyarakat dunia baik budaya maupun ekonomi. Fenomena global ini acap sekali
disederhanakan oleh kalangan ahli sebagai gejala kecenderungan dunia menuju sebuah
perkampungan global (global village) dimana interaksi manusia berlangsung tanpa halangan
batas geografis. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kemajuan teknologi informasi yang
menyediakan fasilitas manusia modern untuk menjalin kominikasi secara murah dan mudah.

Presiden Soekarno kerap menegaskan wasiatnya bahwa tugas berat bangsa Indonesia
dalam mengisi kemerdekaan adalah mengutamakan pelaksanaan nation and character building.
Lebih lanjut, Soekarno mewanti wanti, jika pembangunan karakter ini tidak berhasil, bangsa
Indonesia hanya menjadi bangsa kuli! Identitas atau kepribadian bangsa Indonesia yang selama
ini dikenal sebagai bangsa yang halus budinya, sopan dalam bersikap, santun dalam tindakan,
sangat toleran, memiliki solidaritas yang tinggi, dan nasionalisme yang kuat serta mengakar.
Semua itu lambat laun semakin pudar akibat derasnya arus globalisasi dan kapitalisme yang
memberikan ajaran untuk individualis, materialis, bebas sebebas bebasnya, konsumtif,
pragmatis, dan praktis atau instan (Erwin, 2012 : 44).

Saat ini manusia Indonesia cenderung kurang tulus dan suka menggunakan kedok, berbeda
antara perkataan dan perbuatan, tidak bisa memegang janji, dan menghindari tanggung jawab.
Nilai nilai budaya, dan perilaku munafik dan berorientasi pada keduniaan serta materialisme

3
semata. (Erwin, 2012: 44). Sikap kurang tulus itu kemudian meluas menjadi hipokrasi umum
yang berupa rendahnya disiplin dan kepatuhan terhadap hukum, dan sikap masa bodoh terhadap
kepentingan bersama.Beberapa karakteristik manusia Indonesia di antaranya berkarakter hipokrit
(munafik), cenderung pada tahayul (irrasional), suka melempar tanggung jawab pada orang lain,
hedonis, dan artistik (mempunyai jiwa seni atau estetis yang tinggi), dan lain lain.

Oleh karena itu, tantangan besar bagi manusia Indonesia adalah pembangunan karakter
yang berangkat dari dalam, bahkan bisa menjadi auto-kritik terhadap diri kita sendiri. Menurut
Mochtar Lubis yang merupakan salah satu pemikir Indonesia beliau mengatakan dalam proses
menjadi dan menemukan kedirian bangsa tersebut kita dituntut untuk terus berproses menjadi
Indonesia dengan melihat faktor kesejahteraan kritis serta berangkat dari kebudayaan.

Dengan adanya globalisasi, intesitas hubungan masyarakat antarnegara sangat longgar


sehingga rentan sekali mempengaruhi nilai nilai budaya bangsa, sehingga krisis akhlak dan
moral bertambah akut dan meluas. Dalam menghadapi ancaman negatif globalisasi, sudah
sepastinya bangsa Indonesia mulai dari elit sampai ke rakyatnya untuk kembali memposisikan
dirinya kepada sifat aslinya, agar tidak gampang untuk diintervensi oleh negara lain dan tidak
dikatakan sebagai bangsa yang tidak memiliki prinsip dan tersesat dalam arus lautan globalisasi
(Erwin, 2012: 45)

Tolak ukur kemajuan suatu bangsa tidak hanya dilihat dari kecanggihan teknologi ataupun
pembangunan fisik semata. Akan tetapi yang terpenting ada pada semangatnya, semangat untuk
bekerja bagi bangsa dengan bekerja secara keras, dan secra cerdas, dan secara ikhlas,
sebagaimana yang pernah dikumandangkan oleh Soekarno: Beri aku seribu orang, dan aku
akan menggerakkan Gunung Semuru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada
Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia! (Orasi Soekarno, 1920)

Kearifan Lokal Nusantara

Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom,


kecerdasan setempat local genius , dan pengetahuan setempat local knowledge (Fajriani, 2014).

4
Menurut Soebadio, kearifan lokal merupakan identitas/kepribadian budaya bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak
dan kemampuan sendiri. Menurut Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang
dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh dari pengalaman masyarakat. Artinya,
kearifan lokal merupakan sesuatu yang didapat berdasarkan hal yang telah dialami dan dilalui
masyarakat tersebut, yang belum tentu dialami kelompok masyarakat lainnya. Nilai tersebut akan
melekat kuat setelah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang, sepanjang keberadaan
masyarakatnya.

Pada umumnya, etika dan moral yang terkandung dalam kearifan lokal itu diwariskan
secara turun-temurun melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa,
folklore) dan manuskrip (Suyatno). Menurut Pasal 1 Nomor 30 Undang Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat.

Menurut Suyatno, kearifan lokal akan tercermin dalam nilai yang berlaku dalam
kelompok masyarakat tertentu dan menjadi pegangan dan bagian dari hidup yang tak bisa
dipisahkan. Kearifan lokal itu nantinya dapat terlihat dalam perilaku orang-orangnya dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, kearifan lokal nusantara kita tidak begitu saja dibelenggu untuk
masyarakat etnis tertentu, melainkan memiliki sifat lintas etnik, sehingga membentuk nilai
budaya yang bersifat nasional. Misalnya saja hampir di setiap budaya lokal di nusantara dikenal
kearifan lokal yang mengajarkan gotong royong, toleransi, etos kerja, dan seterusnya (Suyatno).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan salah satu sumber untuk
membentuk identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang memungkinkan kearifan
lokal bertransformasi secara lintas budaya dan menjadi nilai budaya nasional.

Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya
(Sartini, 2014). Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud
dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai social dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata
lingkungan, dan sebagainya). Sebagai contoh, kearifan lokal yang bertumppu pada keselarasan
alam telah menghasilkan pendopo dalam arsitektur Jawa. Pendopo memiliki konsep terbuka
sehinga sirkulasi udara lancar, sejuk, menciptakan kenyamanan, lega, dan hemat energi. Pendopo

5
merupakan warisan masa lampau. Namun pada zaman sekarang, gedung dan rumah dibangun
dengan konsep bangunan tertutup sehingga memerlukan penyejuk udara yang boros energi.

Suyatno menyatakan pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya telah


mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di nusantara. Contoh kearifan lokal yang dimaksud
misalnya nilai gotong royong, sehingga dalam sila ke-5 berisi Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.. Dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Uraian yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan adanya lahan subur untuk
menggali kearifan lokal nusantara. Luasnya budaya dan kemungkinan pengembangannya
menjadi tantangan tersendiri. Di samping itu persepektif perubahan yang terjadii juga menjadi
peluang tersendiri untuk menelusuri eksistensinya. Arus modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi
semestinya tidak meniadakan suatu negara jatuh dalam perctauran global, asalkan negara itu
ditopang oleh identitas nasional yang kuat (Hargens 2011 dalam Suyatno).

Integrasi Nasional

Membangun suatu bangsa di masa depan memerlukan kesinambungan dengan kehidupan


cultural masa lalu. Kesadaran akan kontiunitas historis memperkuat kesadaran kultur suatu
bangsa, sehingga terbentuklah rasa nasionalisme atau identitas diri bangsa. Pemupukan identitas
nasional tidak dapat dijalankan tanpa menghidupkan kesadaran cultural. Namun, pada
kenyataannya telah terjadi pemutusan atau keterputusan penerusan budaya bangsa, entah
disengaja atau bahkan tidak disadari. Kini, bangsa menjadi Negara yang kurang memperhatikan
nilai-nilai budaya, terjadi diskontiunitas budaya, dan hilangnya identitas bangsa. Jika kondisi ini
dibiarkan akibatnya, negeri ini tidak mampu menumbuhkan cultural forces yang diperlukan
untuk membentengi diri dari berbagai terpaan modernitas yang berasal dari Barat. Impian besar
menjadi subjek-indonesia yang berjuang dengan pikiran cerdas, batin yang bersih, serta tulus
dalam menciptakan system-sistem hidup bersama yang manusiawi, humanis, toleran, egaliter,
berharkat dalam keragaman, ataupun menghormati setiap kemajemuksn di bawah kepastian
hokum, hamper nyaris semua itu belum terwujud.

6
Pemutusan mata rantai cultural, rantai ekonomi, perdagangan, maritime, sikap hidup,
pandangan dunia, serta mata rantai nilai-nilai ketimuran ini disebabkan oleh colonial Belanda
yang telah lama menjajah negeri ini dengan menggunakan cara-cara feodalistik, seperti system
tanam paksa. Salah satu contoh bahwa kita mempunyai tradisi perdagangan yang kuat dan
maritime yang tangguh dapat dilihat sejarah di beberapa daerah seperti di Aceh, misalnya
seorang Usman berhasil menjadi pengusaha kain yang mampu menembus pasar internasional.

Dalam perspektif sejarah silam sebelum Belanda dating, system pemerintahan desa
bangsa ini dipilih rakyat dengan bebas, ada tanah milik desa dan ada tanah milik individu.
Belanda tak mau tahu dengan system ini. Hal yang terpikirkan dalam benak mereka adalah
kebutuhan tanah-tanah untuk produksi harganya tinggi di Eropa pada masa itu. Mereka masuk ke
pedalaman menjadikan lurah sebagai agennya dan memilih tanah yang baik untuk ditanami.
Lurah yang dahulunya menjadi symbol kegotong royongan lalu menjadi tuan yang ikut menindas
rakyat. Colonial Belanda memporak-porandakan system dan tata cara masyarakat lokal hingga
kini kekacauan system ini permanen sampai sekarang.

Berdasarkan sedikit gambaran tersebut dapat diketahui bagaimana proses kolonialisasi itu
berjalan, dibentuk, dan melalui berbagai sarana seperti : budaya,ekonomi,politik lokal,dan
seterusnya. Praktik penanaman pola-pola imperialis tersebut berjalan dan hingga kini masih
berperan menggerakkan nalar masyarakat Indonesia dari pasca kemerdekaan.

Problem yang cukup mendasar bagi kita untuk merumuskan kembali identitas ke-
Indonesiaan adalah bagaimana menjadi Indonesia? Menjadi Indonesia bukanlah
mengungkungnya dalam definisi yang bersifat esensialis, yakni kebudayaan Indonesia yang
digambarkan secara definitive. Dengan kata lain, kebudayaan Indonesia itu harus begini , dan
yang tidak begini bukan kebudayaan Indonesia. Pemahaman seperti ini tentu saja semakin
menutup, membatasi dan membunuhnya. Ke-Indonesiaan lalu menjadi pencitraan yang sangat
terbatas.

Setidaknya ada empat strategi untuk merumuskan kembali keindonesiaan. Pertama,


perumusan strategi itu dibuat dengan persepsi budaya yang komprehensif, yang mempunyai
cakupan luas terhadap perikehidupan masyarakat Indonesia. Persepsi budaya tidak hanya
mengarah pada kesenian belaka, sebab strategi budaya bukan strategi kesenian. Namun cakupan

7
dalam strategi yang berdasar budaya ini mengubah cara hidup, persepsi dan tingkah laku warisan
colonial. Secara lebih khusus, perubahan tersebut menyangkut semua factor budaya. Yakni:
anthropos, oikos, tekne, dan ethnos. Anthropos, berarti manusia menjadi factor penting dalam
membangun bansa ini, terutama dari sisi kualitas sumber dayanya. Oikos, ketika lingkungan
bukan hanya menjadi sarana, akan tetapi merupakan lebenswelt, yakni medan yang
memungkinkannya berjuang untuk hidup. Tekne, yakni menjadikan teknologi sebagai
perpanjangan tangan dalam meringankan tugas, bukan justru teknik yang membelenggunya.

Kedua, strategi yang diarahkan untuk mengarah ke masa depan. Warisan budaya harus
dihargai, agar warisan tersebut bermakna diperlukan tafsir ulang yang kreatif dan produktif,
seperti dalam bahasa Gadamer, interpretasi bukan hanya mengarah pada teks, ataupun hanya
pada konteks teks tersebut di buat, akan tetapi diperlukan kontekstualisasi yang bersifat
produktif, bukan hanya reproduktif. Gadamer juga mengingatkan, berpijak pada tradisi bukan
lalu membuat kita masuk dalam kubangan romantisisme, tetapi justru malah mengarahkannya
pada modern yang berasal dari dalam diri kita. Modernitas yang digali dari dalam, modernitas
yang berangkat dari tradisi (turast) dan kebudayaan kita (Hassan Hanafi). Adalah suatu kenaifan
jika kita ingin membangun modernitas tanpa melibatkan tradisi dan kebudayaan, sebab akan
mengalami kepincangan di dalamnya, sebagaimana modernitas yang terjadi di Eropa. Modernitas
yang dibangun dari kebudayaan kita justru akan meneguhkan ke-diri-an atau jati diri sebagai
bangsa dan mampu mengintegrasikannya dengan kebudayaan luar. Model integrasi ini tidak
menghilangkan identitas, atau bahkan tidak pula bersifat konservatis terhadap tradisi, sementara
terhadap kebudayaan luar (tentu secara selektif) juga bersifat menolaknya.

Dalam strategi tersebut terkandung adanya kondisi dinamis yang mandiri. Berbuat secara
mandiri, tidak tergantung ataupun menyadarkan diri pada kebaikan bangsa lain. Masyarakat juga
harus mempunyai kemampuan integratif-akulturatif, yakni terbuka terhadap unsur-unsur luar,
menerima secara selektif dan yang terpenting dari itu adalah mampu mengintegrasikannya ke
dalam kebudayaan nasional untuk memperkuat identitas kebangsaan, seperti yang telah terbukti
dalam sejarah era cultural sebelum masa kolonial.

Seiring dengan perkembangan pesat dunia modern, rumitnya jejaring kebudayaan


Indonesia untuk dipahami. Maka dari itu, pelacakan identitas Indonesia dengan kembali ke masa
lalu, yakni dengan mencari Indonesia murni yang cenderung ke arah puritan dan bahkan

8
puritanisme adalah hal yang kurang bijak. Namun, pilihan mengikuti gerak globalisasi juga harus
diperhatikan dengan seksama. Idealnya, pencarian diri cultural Indonesia adalah dengan
membiarkannya selalu berada dalam proses persilangan akibat dari perjumpaan dengan budaya-
budaya lain.

Agar perumusan identitas itu terus berjalan dengan baik seperti aliran sungai abadi, maka
cara yang terbaik adalah membiarkan wacana kebudayaan di Indonesia tetap hidup. Dengan
demikian, identitas Indonesia akan selalu berada dalam ruang tarik ulur yang bergerak, yakni
ruang ketiga, ruang ambang. Untuk menciptakan ruang wacana yang melibatkan sebanyak etnis
di Indonesia inilah kiranya perlu terus dikembangkan. Dengan demikian, kebangsaan memang
bukanlah suatu entitas yang jadi dan untuk proses redifinisi menjadi Indonesia perlu diciptakan
keindonesiaan yang interaktif antaretnis, gerakan yang bergerak terus menerus, dalam kondisi
Indonesia yang demoktratis.

Integritas nasional merupakan interaksi utuh segenap suku-suku bangsa di seluruh


penjuru nusantara. Penyatu paduan secara utuh ini pertama kali telah diikrarkan bangsa
Indonesia melalui sumpah pemuda, yang kemudian mencapai puncaknya pada proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, 17 agustus 1945. Indonesia sejak 1945 telah membuktikan
pada dunia, walaupun terdiri dari berbagai suku dan wilayah kepulauan yang terpisah-pisah oleh
lautan, tapi Indonesia tetaplah Indonesia dalam satu kesatuan yang utuh sebagai Negara (Erwin,
2012: 48)

Adapun yang menjadi perekat bangsa Indonesia sehingga tetap bertahan sampai dengan
saat ini tidak lain besar pengaruhnya karena ditunjang oleh identitas nasional yang memang
memiliki karakter yang dalam. Pancasila telah terbukti berperan sebagai pandangan hidup yang
satu bagi bangsa Indonesia dalam bentuk kesadaran, cita-cita hokum dengan satu kejiwaan
nasionalisme Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen pertama, kedua, ketiga,
keempat) juga telah memberikan pedoman/patokan yang satu bagi sikap segenap bangsa
Indonesia. Begitupun dengan apa yang dialami oleh bahasa Indonesia, bahasa Indonesia telah
menjadi sasana interaksi yang satu bagi segenap bangsa Indonesia. Demikian juga terhadap
Garuda Pancasila sebagai lambang Negara, Sang Saka Merah Putih sebagai bendera Negara dan
Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan telah menjadi symbol kejiwaan yang satu bagi bangsa
Indonesia (Erwin, 2012: 48)

9
Identitas nasional juga sangat mengharapkan bentuk integrasi nasional yang kokoh.
Dalam menopang kekokohannya membutuhkan kekuatan dari integritas social dan integritas
kebudayaan. Integritas social adalah upaya untuk menyatu padukan masyarakat yang beragam,
berlainan latar belakangnya dan masing-masing memiliki jati diri dari sukunya menjadi suatu
masyarakat baru dan besar yang saling berasimiliasi. Sementara integritas kebudayaan
merupakan sarana asimilasi budaya atau penyesuaian antar budaya sehingga dapat menjadi suatu
system budaya yang selaras. (Erwin, 2012: 48)

Dari cerminan kedua bentuk integrasi penyokong keberadaan integrasi nasional itu, maka
dapat dirumuskan bahwasanya integrasi nasional merupakan penyatupaduan bagian-bagian yang
berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh dan tetap memelihara keanekaragaman dan kearifan-
kearifan budaya lokal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa eksistensi identitas nasional
sebagai sarana rekayasa nasional memerlukan identitas nasional sebagai sarana rekayasa social
dan politik dalam upaya mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa yang diinginkian (Erwin,
2012: 49)

Selain itu identitas nasional tidak akan memberikan kekuatan kepada integritas nasional
apabila kesadaran masyarakat sangat rendah. D riyarkara telah merumuskan bahwa
kesadaran itu adalah seperti ein ruf aus mir und doch uber mich, seperti panggilan yang timbul
dari aku, tetapi mengatasi diriku. Kesadaran pada identitas nasional pada hakekatnya merupakan
kesadaran tentang diri kita sendiri, dimana kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan
bangsa kita sendiri. Orang yang memiliki kesadaran berarti orang tersebut yakin akan cita-cita
kebaikan yang setinggi-tingginya. Keyakinan itulah yang menjadi tempat bagi jalinan nilai-nilai
yang bergumul dalam benak dan sanubari manusia. Orang yang mengalami dan merasakan
keyakinan bahwa suatu perbuatan yang kongkrit harus dilakukan atau sama sekali tidak boleh
dilakukan. Maka, kesadaran terhadap identitas nasional pada hakekatnya merupakan keyakinan
akan nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang identitas bangsanya yang pernah ada,
yang ada dan yang aka nada. Selain itu, jalinan nilai-nilai dalam diri manusia itu merupakan
refleksi terhadap akibat dari proses interaksi social yang kontinu dan dinamis, dalam rangka
memilih arah dalam kehidupan social (Erwin, 2012: 49).

10
Dalam situasi yang konkrit terhadap identitas nasional akan menjelma dalam bentuk
kepatuhan atau ketaatan terhadap identitas bangsa sendiri. Kepatuhan terhadap identitas bangsa
sendiri begitu bergantung pada pertumbuhan akal, kemauan dan rasa seseorang.

Ada orang yang sadar terhadap identitas nasionalnya demi kehidupan bersama, ada yang karena
sesuai dengan cita-citanya, ada pula yang karena kepentingan. Namun, pada akhirnya
konsekuensi psikologis dari adanya kesadaran moral atas identitas nasional ini, bahwa kesadaran
itu menggugah timbulnya rasa kebangsaan.

Dengan kesadaran seperti itu, maka secara konkret dapat dilakukan upaya-upaya
kreativitas bangsa dalam tindakan-tindakan sebagai berikut.

1) Dengan berupaya mengimplementasikan rasa kebangsaan kita yang berwujud


nasionalisme atau pengabdian secara total kepada Indonesia, misalnya dengan
membudayakan penggunaan bahasa Indonesia,memublikasikan pertunjukan-pertunjukan
seni budaya bangsa melalui media-media
2) Dengan memodifikasi kebudayaan Indonesia menjadi sesuatu yang menarik
3) Dengan bersikap selektif dalam menerima pengaruh globalisasi yang masuk ke Indonesia
(Erwin, 2012: 49-50)

Integritas
Nasional

Integrasi Integrasi
Kebudaya Sosial
an

Persesuaian Penyatuan kelompok-kelompok


11
antarkebudaya yang kecil menjadi kelompok
an besar
Integrasi Penyatuan bagian-bagian yang
Nsional
Nasional berbeda menjadi kesatuan yang
utuh

Integrasi nasional merupakan interaksi utuh segenap suku-suku bangsa di segala penjuru
nusantara. Penyatu paduan secara utuh ini pertama kali telah diikrarkan bangsa Indonesia
melalui Sumpah Pemuda, yang kemudian mencapai puncaknya pada Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia,17 Agustus 1945. Sejarah mencatat bahwa perbedaan
suku, agama, ras, dan terpiash secara geografis tidak menghalangi bangsa Indonesia menyatu
menjadi bangsa.

Adapun yang menjadi perekat bangsa sehingga kini tetap bertahan bertahan adalah adanya
identitas nasional yang memliki karakter kuat. Pancasila terbukti menjadi pandakangan hidup
(filsafat hidup) bangsa dalam bentuk kesadaran, cita-cita, moral, hokum, dan kejiwaan
bangsa. UUD 1945 (amandemen ke-1,2,3,4) juga telah memberikan pedoman fan patokan
dalam kehidupan berbangsa. Begitu pula mengenai bahasa Indonesia tetap menjadi alat
komunikasi pemersatu antar berbagai suku, etnis, yang berbeda. Demikian pula pada garuda
pancasila sebagai lambang Negara, sangsaka merah putih sebagai bendera Negara dan
Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan yang menjadi symbol kejiwaan yang satu bagi
bangsa.

Integritas nasional membutuhkan penopang, yang berupa integritas social dan integritas
budaya. Integritas nasional adalah penyatupaduan bagian bagian yang berbeda menjadi satu
kesatuan yang utuh dengan tetap memelihara keanekaragaman dan kearifan lokal. Pada
hakikatnya integritas merupakan upaya politik/kekuasaan unutuk menyatukan semua unsur
masyarakat yang majemuk harus tunduk kepada aturan aturan kebijakan politik yang
dibangun dari nilai-nilai kultur yang ada dalam masyarakat majemuk tadi, sehingga terjadi
kesepakatanbersama dalam mencapai tujuan tujuan nasional dimasa depan untuk kepentingan
bersama. Proses integritasi disebabkan oleh adanya kebersamaan sejarah, ada ancaman dari
luar yang dapat mengancam keuntuhan NKRI, adanya kesepakatan pemimpin, homogenitas

12
social budaya serta agama, dan adanya saling ketergantungan dalam bidang politik dan
ekonomi.

Integritas memiliki dua dimensi, antara lain: dimensi vertical yang bertujuan untuk
mengintegrasikan persepsi dan perilaku elit dan masa dengan cara menghilangkan,
mengurangi perbedaan kesenjangan antara kelompok yang mempengaruh dengan yang
dipengaruhi. Sedangkan dimensi horizontal mengintegrasikan antara kelompok-kelompok
dalam masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan oelh
factor factor territorial/kultur dengan mengurangi kesenjangan yang disebabkan oleh factor
factor tersebut.

Contoh contoh penghambat integritasi nasional adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan kepentingan
2. Diskriminasi
3. Masih berkembang paham etosentris
4. Masih marak isu isu keagamaan
5. Masyarakat Indonesia masih mudah dihasut dan di adu domba
6. Kurangnya ras apersatuan dan kesatuan
7. Bhineka Tunggal Ika hanya sebatas wacana

Integritas budaya yang dapat dilakukan dua strategi: pertama, proses


objektivitasi.menghilangkan unsure unsure lokalitas daRi kebudayaan dan social untuk
dapat diuniversalkan. Kedua dapat pula dilakukan dengan cara menarik kesamaan
identitas/benang merah dari semua kebudayaan daerah.
Sikap yang paling ditekankan adalah menyeleksi pengaruh globalisasi yang kuat
menyerang kepribadian bangsa. Kesadaran akan kebudayaan sendiri akan sangat penting
untuk menangkal pengaruh dari laur yang bertentangan dengan kepribadian bangsa

13

Anda mungkin juga menyukai