Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ACARA I
Disusun Oleh :
NIM : H1916005
Kelas :B
Kelompok :7
FAKULTAS PERTANIAN
SURAKARTA
2017
ACARA 1
A. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum analisis pangan acara 1 air dan abu mempunyai tujuan
sebagai berikut :
1. Mengetahui prinsip kerja penentuan kadar air dan kadar abu dengan
metode thermogravimetri
2. Mengetahui kadar air pada sampel dengan metode thermogravimetri
3. Mengetahui kadar abu pada sampel dengan metode yhermogravimetri
B. Tinjauan Pustaka
Air adalah sumber daya alam yang sangat diperlukan dalam berbagai
aspek kehidupan manusia, baik untuk keperluan dosmestik, industry atau
pertanian (Murdiyarso, 2003). Air terdiri dari persenyawaan oksigen dan
hydrogen, terdapat dimana-mana dan berwujud gas, cairan, zat padat. Air
adalah zat pelarut yang baik sekali dan paling murah, terdapat di alam dalam
keadaan tidak murni. Air murni berupa cairan yang tidak berbau, tidak berasa,
dan tidak berwarna. Pada suhu 4oC mempunyai berat maksimum 1 m3
beratnya 2 gram (Alwi dan Dendy, 2002).
Penetapan kandungan air pada bahan makanan dapat dilakukan dengan
beberapa cara, hal ini tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya
penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada
suhu 105-110oC selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih
berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan.
Untuk bahan-bahan yang tidak tahan panas seperti bahan berkadar gula tinggi,
minyak, daging, dan kecap dilakukan dilakukan dalam oven vakum dengan
suhu yang lebih rendah. Kadang-kadang pengeringan dilakukan tanpa
pemanasan, bahan dimasukkan dalam eksikator dengan H2SO4 pekat sebagai
pengering hingga mencapai berat yang konstan (Winarno, 1997).
Analisa kadar air adalah usaha untu mengetahui presentase air yang
ada dalam bahan pangan. Biasanya bahan baku akan diuji dikeringkan atau
kadar air yang ada dalam bahan pangan dikeluarkan (diuapkan). Selanjutnya
ditimbang , da nada perbedaan berapa persen dengan bahan baku sebelum
dikeringkan. Banyak sedikitnya kadar air pada bahan pangan secara kuantitas
mempengarui kadar zat-zat nutrisi untuk pertumbuhan mikroba
(Murtidjo, 1987)
Kadar air adalah kandungan air dalam bahan pangan yang dinyatakan
dalam presentase basis basah (bb) (Santoso, 2010). Kadar air dalam bahan
dapat dianalisis dengan metode antara lain thermogravimetri, destilasi, NMR
(Nuclear Magnetic Resonance), dan kromatografi. Metode yang sering
digunakan untuk mengukur kadar air didalam bahan pangan adalah metode
thermogravimetri. Pemeilihan metode ini membutuhkan biaya yang lebih
murah. Namun, demikian metode ini merupakan metode analisis proksimat,
artinya hasil dari pengukuran kadar air tersebut tidak menunjukkan kadar
yang tepat, karena beberapa komponen volatile bahan makanan selain air juga
ikut menguap (Rauf, 2015).
Termogravimetri digunakan untuk mengukur tingkat kelembapan
residu produk hasil pengeringan. Metode ini mengukur kelembaban yang
dihasilkan baik oleh air bebas maupun terikat. Dengan termogravimetri dapat
diketahui tingkat kelembapan hingga sebesar 2 mg. Metode ini juga dapat
digunakan untuk mengecek kembali sampel yang diuji dengan metode Karl
Fischer, terlebih lagi jika pada pengujian Karl Fischer terdapat hasil yang
tidak valid (FDA, 1990).
Kandungan atau kadar air dituliskan sebagai presentase air atau uap air
dibanding berat basah atau berat kering. Kadar air pada kondisi berat basah
lebih sering digunakan dibanding pada berat kering. Berat kering lebih sering
digunakan pada penelitian. Kadar air dapat dirumuskan seperti
(Hellevang, 1995).
Prinsip analisis kadar air dengan ovem vakum yaitu bahan dikeringkan
dalam oven vakum dengan tekanan 25 100 mmHg bergantung jenis bahan
(sesuai yang disebutkan dalam persiapan oven pengering di atas), sehingga air
dapat menguap pada suhu lebih rendah dari 100C misalnya pada suhu 60
70C. Penggunaan suhu yang lebih rendah dari metode oven udara dapat
mempermudah analisis terhadap bahan yang mudah terurai pada suhu tinggi.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penanganan bahan yang
mempengaruhi analisis kadar air meliputi jenis bahan, ukuran bahan, partikel
bahan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi oven yang dapat
mempengaruhi analisis kadar air meliputi suhu oven, gradien suhu oven,
kecepatan aliran dan kelembaban udara oven. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan perlakuan bahan setelah pengeringan yang dapat mempengaruhi
analisis kadar air meliputi sifat higroskopis bahan, kelembaban udara ruang
analisis, kelembaban udara ruang penimbangan (Nadia, 2015).
Konsep kadar air kesetimbangan merupakan suatu konsep yang
penting dalam studi pengeringan karena kadar air kesetimbangan menentukan
kadar air minimum yang dapat dicapai pada kondisi udara pengeringan yang
tetap atau pada suhu dan kelembaban relatif yang tetap. Kadar air
kesetimbangan didefinisikan sebagai kadar air bahan setelah bahan dipaparkan
atau berada dilingkungan tertentu untuk jangka waktu yang panjang yang
ditentukan. Selain itu, kadar air kesetimbangan dapat pula didefinisikan
sebagai kadar air dimana tekanan uap internal bahan berada dalam kondisi
kesetimbangan dengan tekanan uap lingkungan. Kadar air kesetimbangan juga
dipengaruhi atau tergantung pada kelembaban dan kondisi suhu lingkungan
dan bergantung pula pada varietas, spesies dan kematangan (Brooker et al.,
1992 dalam Hani, 2012). Menurut Henderson and Perry (1976) dalam Hani
(2012) suatu bahan dalam keadaan seimbang apabila laju kehilangan air dari
bahan ke udara sekelilingnya sama dengan laju penambahan air ke bahan dari
udara di sekelilingya. Kadar air pada keadaan seimbang disebut juga dengan
kadar air keseimbangan atau keseimbangan higroskopis.
Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk
pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw) berkaitan
erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis,
serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi aw pada
umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak
menyukai aw yang tinggi (Christian 1980 dalam Herawati, 2008).
Pengeringan buatan sering diterapkan untu menurunkan kadar air
dengan cepat tanpa terhalang oleh faktor iklim dan cuaca. Adapun salah satu
sarana pengeringan adalah oven. Oven menggunakan elemen pemanasan
sebagai komponen utamanya. Sumber pemanasanya berasal dari katu bakar,
minyak tanah, atau tenaga listrik. Prinsip kerjanya dengan cara
mengembuskan udara panas menuju tumpukan cetakan bahan pangan yang
baru menggunakan blower atau kipas angina. Selanjutnya, uap air akan
terdorong keluar bersama uap panas meninggalkan ruang oven dan menyatu
dengan atmosfer. Dalam waktu antara 4-6 jam (Oswan dan Marsono, 2000).
Desikator adalah suatu wadah yang terbuat dari bahan gelas yang kedap udara
dan mengandung desika yang berfungsi menghilangkan air dari kristal hasil
pemurnian (Suryatin, 2008).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan.
Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam
yaitu garam organik dan garam anorganik. Yang termasuk dalam garam
organik misalnya garamgaram asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan
garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, khlorida,
sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk
sebagai senyawa kompleks yang bersifat organik. Apabila akan ditentukan
jumlah mineralnya dalam bentuk asli sangat sulit, oleh karena itu biasanya
dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut,
yang dikenal dengan pengabuan. Penentuan kadar abu adalah dengan
mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-
600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah
proses pembakaran tersebut (Slamet Sudarmadji, 2003 dalam Prabowo, 2010).
Mineral adalah nutrient mikro yang sangat dibutuhkan tubuh terutama
untuk proses metabolisme. Mineral dikelompokkan dalam dua kategori yaitu
mayor dan minor berdasarkan tingkat asupannya dan bukan berdasarkan
kebutuhannya. Jika mineral diperlukan dalam tingkat asupan lebih besar dari
100 mg per hari, maka dimasukkan ke dalam kelompok mineral mayor.
Termasuk mineral mayor adalah kalsium, fosfor, kalium, natrium, klorida,
magnesium, dan sulfur, sedangkan yang termasuk mineral minor atau trace
mineral adalah boro, kromium, koblat, capper, flurida, iodin, mangan,
selenium, silicon, dan seng (Vitahealth, 2006).
Abu merupakan kotoran yang tidak akan terbakar. Kandungannya
berkisar antara 5% hingga 40%. Kadar abu ini mempengaruhi efisiensi
pembakaran. Menghitung kadar abu briket adalah dengan cara membakar
briket tersebut didalam furnace pada suhu 900OC hingga semuanya terabukan.
Kemudian abu yang dapat ditimbang dengan teliti. (Martynis, dkk, 2012).
Pengabuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengabuan kering (dry
ashing) dan pengabuan basah (wet ashing). Pengabuan kering dilakukan
dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu
sekitar 500-600C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal
setelah proses pembakaran tersebut. Pengabuan basah terutama digunakan
untuk digesti sampel dalam usaha penentuan trace element dan logam-logam
beracun. Kelebihan pengabuan basah dibanding pengabuan kering adalah
dapat menghemat waktu dan kehilangan karena pemakaian suhu tinggi.
Prinsip pengujian kadar abu dengan cara basah adalah memberikan reagen
kimia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Bahan kimia
tersebut antara lain asam sulfat, campuran asam sulfat dan potasium sulfat,
campuran asam sulfat dan asam nitrat, asam perkhlorat, asam nitrat
.Pada pengabuan kering, untuk menghindari adanya berbagai komponen abu
yang mengalami dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu tinggi maka
suhu pengabuan disesuaikan dengan bahan (Musfiroh dkk., 2007).
Metode analisis abu dengan pengabuan kering dan pengabuan basah
biasa digunakan untuk menganalisis elemen dalam bahan. Pengabuan kering
lebih mudah dan aman digunakan daripada pengabuan basah akan tetapi
mungkin terjadi kesalahan karena adanya penguapan pada beberapa elemen
terutama pada P, K, S, As, Se, dan Hg. Kesalahan juga dapat terjadi karena
penggunaan suhu tinggi pada pengabuan (Enders dan Johannes, 2012). Selain
pengabuan kering lebih sering digunakan karena lebih mudah dilakukan dan
lebih aman juga lebih murah dibandingkan dengan pengabuan basah yang
berpotensi menyebabkan kanker atau digunakannya bahan-bahan peledak
(Ali et al., 1988).
Mengingat adanya berbagai komponen abu yang mudah mengalami
dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu yang tinggi, maka suhu
pengabuan untuk tiap-tiap bahan dapat berbeda-beda bergantung komponen
yang ada dalam bahan tersebut. Sebagai gambaran dapat diberikan berbagai
contoh suhu pengabuan untuk berbagai bahan sebagai berikut (Winarno,
2004) :
1. Buah-buahan dan hasil olahannya, daging dan hasil olahnya, gula dan
hasil olahnya serta sayuran dapat diabuakan pada suhu 525C.
2. Serealia dan hasil olahanya, susu dan hasil olahnya kecuali keju
pengabuan pada suhu 550C sudah cukup baik.
3. Ikan dan hasil olahnya serta bahan hasil laut, rempah-rempah, keju,
anggur dapat menggunakan suhu pengabuan 500C.
4. Biji-bijian, makanan ternak dapat diabukan pada suhu 600C. pengabuan
diatas 600C tidak dianjurkan karena menyebabkan hilangnya zat tertentu
misalnya garam klorida ataupun oksida dari logam alkali.
Desikator adalah suatu wadah yang terbuat dari bahan gelas yang kedap udara
dan mengandung desika yang berfungsi menghilangkan air dari kristal hasil
pemurnian (Suryatin, 2008). Tanur adalah alat yang digunakan sebagai
pemanas. Muffle Furnace dioperasikan pada $uhu dari 497C sampai bates
maksimum yaitu 1068C selama 105 men it. Setiap terjadi pertambahan
waktu 15 menit di.lakukan pengukuran suhu bilik pemanas. Pengukuran suhu
dilakukan dengan menggunakan alat Kalibrator Digital Pyrometer (Aminhar
dab Hadjaya, 2000).
C. Metodologi Praktikum
1. Alat dan Bahan
a. Bahan
Milna biskuit bayi rasa pisang
Milna toddler biskuit cheese
Promina buskuit rasa kacang hijau
Sun marie susu
Sun susu madu
b. Alat
Botol Timbang
Cawan porselin
Esikator atau desikator
Gelas ukur
Neraca massa
Oven
Penjepit
Tanur (Muffle Furnance)
2. Cara Kerja
a. Preparasi Botol Timbang
Gambar 1.1 Cara Kerja Preparasi Botol Timbang
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaraan suatu bahan organik.
Kandungan dan komposisinya tergantung pada bahan dan cara pengabuannya.
Kadar abu ada hubugannya dengan mineral saatu bahan. Mineral yang
terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam
organik dan garam anorganik. Selain dua garam tersebut, kadang-kadang
mineral berbentuk sebagian senyawa kompoleks yang bersifat organis.
Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk asli sangat sulit,
oleh kerena itu biasanya dilakukan dengen menentukan sisa-sisa pembakaran
garam mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan (Sudarmadi, dkk,
1989). Pengabuan kering dilakukan dengan mengoksidasikan semua zat
organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600C dan kemudian
melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran
tersebut (Musfiroh, dkk, 2007). Penentuan kadar abu dilakukan dengan
metode pengabuan kering (dry ashing). Prinsip analisis ini adalah
mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi (sekitar 550 C), kemudian
dilakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran
tersebut (Hafiludin, 2011). Prinsip analisis kadar abu adalah membakar bahan
dalam tanur (furnace) dengan suhu 600C selama 3-8 jam sehingga seluruh
unsur pertama pembentuk senyawa organik (C,H,O,N) habis terbakar dan
berubah menjadi gas. Sisanya yang tidak terbakar adalah abu yang merupakan
kumpulan dari mineral-mineral yang terdapat dalam bahan. Dengan perkataan
lain, abu merupakan total mineral dalam bahan (Chayati, 2010).
Abu (%) = berat sisa
-------------- x 100%
Berat awal
Analisa kadar abu dibagi menjadi dua yaitu pengabuan kering (dry
ashing) dan pengabuan basah (wet ashing). Prinsip pengabuan kering adalah
dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu
sekitar 500-600C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal
setelah proses pembakaran tersebut. Alat: cawan porselin, eksikator,
timbangan analitik, penjepit, tanur (Muffle) Prinsip pengujian kadar abu
dengan cara basah adalah memberikan reagen kimia tertentu ke dalam bahan
sebelum dilakukan pengabuan. Bahan kimia tersebut antara lain asam sulfat,
campuran asam sulfat dan potasium sulfat, campuran asam sulfat dan asam
nitrat, asam perkhlorat, asam nitrat (Sudarmadji, dkk, 1989).
Prosedur pengujian kadar abu yaitu cawan dikeringkan dalam oven
pada suhu 85C selama semalam, didinginkan dalam desikator hingga
mencapai suhu ruangan baru kemudian ditimbang bobot kosongnya (G).
Kurang lebih 2 gram bahan standar/contoh kering ditimbang ke dalam cawan
yang sudah diketahui bobotnya (W). Cawan yang sudah berisi contoh
ditempatkan ke dalam tanur dan dibakar pada suhu 550C selama 16 jam
(Cara A), dan suhu 600C selama 3 jam (Cara B). Bahan yang telah dibakar
didinginkan dalam desikator sampai suhu kamar. Kemudian ditimbang dengan
menggunakan neraca timbang (C) (Nugraha, 1997). Menurut Musfiroh, dkk
(2007) prosedur penentuan kada abu yaitu pengukuran kadar abu total
dilakukan dengan metode drying ash. Sampel sebanyak 3g ditimbang pada
cawan yang sudah diketahui bobotnya. Lalu diarangkan di atas nyala
pembakaran dan diabukan dalam tanur pada suhu 550 C hingga pengabuan
sempurna. Setelah itu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang hingga
diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan
membandingkan berat abu dan berat sampel dikali 100%. Sedangkan menurut
Tang dan Franz et al. (2013) penentuan kadar abu dilakukan dengan
menempatkan sampel mentah pada tanur. Langkah selanjutnya adalah
mengatur suhu tanur menjadi 600C selama 4 sampai 6 jam sampai residu
menjadi berwarna putih. Abu kemudian digunakan untuk menentukan
kandungan mineral dalam bahan.
Manfaat penentuan kadar abu yaitu untuk mengetahui baik tidaknya
suatu proses, untuk parameter nilai gizi makanan, dan mengetahui jenis bahan
yang digunakan (Fardiaz, 1989). Mengatahui baik tidaknya suatu proses
adalah jika dalam proses tersebut masih menghasilkan kadar abu terlalu
banyak, maka proses tersebut perlu adanya perbaiakan. Contohnya adalah
pada penggilingan gandum yang menghasilkan lembaga terikut banyak serta
mempunyai kadar abu relatif tinggi, sehingga dapat disimpulkan proses
tersebut tidak baik tidak baik. Mengetahui jenis bahan yang digunakan, karena
dengan menggunakan kadar abu kita dapat mengetahui bahan yang asli dan
sintetis. Contohnya penentuan kadar abu dalam digunakan untuk melihat
kandungan buah yang akan digunakan untuk membuat jelly. Penentuan
parameter nilai gizi, analisis kadar abu dapat mengindentifika abu yang tidak
larut dalam asam yang cukup tinggi yang menandakan bahwa dalam bahan
tersebut terdapat banyak endapan pasir dan kotoran sehingga mempunyai gizi
buruk.
Berdasarkan Tabel 1.2 pengujian kadar abu pada sampel sun susu
madu (A1 dan A2), milna biskuit bayi rasa pisang (B1 dan B2), Promina
biskuit bayi rasa kacang hijau (C1 dan C2), sun marie susu (D1dan D2), milna
toddler biskuit cheese (E1 dan E2). Pada sampel sun susu madu A1
mempunyai kadar abu (wb) 1.4091% dan kadar abu (db) 1.511%, sedangkan
sampel A2 yaitu kadar abu (wb) 1.37643% dan kadar abu (db) 1.484%.
Sampel sun marie susu D1 mempunyai kadar abu (wb) 2.0358% dan kadar
abu (db) 2.120%, sedangkan untuk D2 kadar abu (wb) yaitu 2.0943% dan
kadar abu (wb) 2.181%. Menurut SNI 01-7111.1-2005 bagian 1 bubuk instan
mempunyai kadar abu tidak lebih dari 3.5 gram per seratus gram (3.5%). Jika
dilihat dari perbandingan SNI dan kadar abu pada produk sun susu madu dan
sun marie susu, bahwa kedua sampel tersebut pada kadar abu wb dan db
sudah sesuai dengan SNI yang menyatakan kadar abu tidak boleh lebih dari
3.5%.
Sampel milna biskuit bayi rasa pisang B1 mempunyai kadar abu (wb)
0.9177% dan kadar abu (db) 0.985%, sedangkan untuk sampel B2 mempunyai
kadar abu (wb) 1.0842% dan kadar abu (db) 1.167%. Sampel promina biskuit
bayi rasa kacang hijau C1 mempunyai kadar abu (wb) 1.7312% dan kadar abu
(db) 1.840%, sedangkan untuk sampel C2 mempunayi kadar abu (wb)
1.9345% dan kadar aby (db) 2.064%. Sampel milna toddler biskuit cheese E1
mempunyai kadar abu (wb) 2.8881% dan kadar abu (db) 3.725%, sedangkan
E2 mempunyai kadar abu (wb) 3.0219% dan kadar abu (db) 3.168%. Menurut
SNI 01-7111.2-2005 bagian 2 biskuit mempunyai kadar abu tidak lebih dari
3.5 gram per seratus gram (3.5%). Jika dilihat dari hasil perbandingan hasil
praktikum dan SNI bahwa hasil praktikum sudah sesuai dengan SNI yang
hasilnya tidak lebih dari 3.5%.
E. Kesimpulan
Pada praktikum analisa pangan acara 1 air dan abu dapat dismpulkan
sebagai berikut:
1. Prinsip penentuan kadar air adalah mengeringankan sampel dalam oven
100-105oC sampai bobot konstan dan selisih awal dengan boboy akhir
dihitung sebagai kadar air. Prinsip penentuan kadar abu adalah
mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi (sekitar 550C),
kemudian dilakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses
pembakaran tersebut.
2. Sampel sun susu madu A1 mempunyai kadar air 6.744 dan kadar verat
kering 933.255, sedangkan sampel A2 yaitu kadar air 7.245 dan kadar
berat kering 92.755%. Sampel sun marie susu D1 mempunyai kadar air
3.997% dan kadar berat kering 96.006%, sedangkan untuk D2 kadar air
yaitu 3.997% dan kadar berat kering 96.002%. Sampel milna biskuit bayi
rasa pisang B1 mempunyai kadar air 6.904% dan kadar berat kering
93.095%, sedangkan untuk sampel B2 mempunyai kadar air 7.112 dan
kadar berat kering 92.887%. Sampel promina biskuit bayi rasa kacang
hijau C1 mempunyai kadar air 9.930% dan kadar berat kering 94.069%,
sedangkan untuk sampel C2 mempunayi kadar air 6.282% dan kadar berat
kering 93.718%. Sampel milna toddler biskuit cheese E1 mempunyai
kadar air 22.47% dan kadar berat kering 77.529%, sedangkan C2
mempunyai kadar air 4.406% dan kadar berat kering 95.593%. Hasil
praktikum tidak sesuai SNI, yang sesuai SNI hanya sun marie susu.
3. Kadar abu pada sampel sun susu madu (A1 dan A2), milna biskuit bayi
rasa pisang (B1 dan B2), Promina biskuit bayi rasa kacang hijau (C1 dan
C2), sun marie susu (D1dan D2), milna toddler biskuit cheese (E1 dan
E2). Pada sampel sun susu madu A1 mempunyai kadar abu (wb) 1.4091%
dan kadar abu (db) 1.511%, sedangkan sampel A2 yaitu kadar abu (wb)
1.37643% dan kadar abu (db) 1.484%. Sampel sun marie susu D1
mempunyai kadar abu (wb) 2.0358% dan kadar abu (db) 2.120%,
sedangkan untuk D2 kadar abu (wb) yaitu 2.0943% dan kadar abu (wb)
2.181%. Sampel milna biskuit bayi rasa pisang B1 mempunyai kadar abu
(wb) 0.9177% dan kadar abu (db) 0.985%, sedangkan untuk sampel B2
mempunyai kadar abu (wb) 1.0842% dan kadar abu (db) 1.167%. Sampel
promina biskuit bayi rasa kacang hijau C1 mempunyai kadar abu (wb)
1.7312% dan kadar abu (db) 1.840%, sedangkan untuk sampel C2
mempunayi kadar abu (wb) 1.9345% dan kadar abu (db) 2.064%. Sampel
milna toddler biskuit cheese E1 mempunyai kadar abu (wb) 2.8881% dan
kadar abu (db) 3.725%, sedangkan E2 mempunyai kadar abu (wb)
3.0219% dan kadar abu (db) 3.168%. Hasil praktikum kadar abu wb dab
db sudah sesuai dengan SNI.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Martin, Petr Dobias, Petra Bajerova, dan Karel Ventura. 2009. Comparison of
Various Methods for Determination of Water in White Yoghourt. Elsevier
Food Chemistry Vol. 115 Hal : 1069
Ali dab Raford. 1998. A Comparison of Dry and Wet Ashing Methods for Elemental
Analysis of Peat. Canada Journal of Soil Science 68:443
Alwi, Hasan dan Dendy Syguono. 2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Obor. Jakarta
Aminhara dan Hadijaya Dahlan. 2000. Kalibrasi Muffle Furnance. Urania No.21-22
Tahun VI/Januari-April 2000. ISSN 0852-4777
Asgar dan Musaddad. 2006. Optimalisasi Cara, Suhu, dan Lama Blansing Sebelum
Pengeringan pada Wortel. Jurnal Hortikultur Vol.16 No.3 Hal:245-252
Chayati, Ichda. 2010. Bahan Ajar Pengujian Bahan Pangan. Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta
Enders, Akio dan Johannes Lehman. 2012. Comparison of Wet Digestion and Dry
Ashing Methods for Total Elemntal Analysis of Biochar. Communiccation in
Soil Science and Plat Analysis 13:1043
Fardiaz. 1989. Analisa Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Hani, Agus. 2012. Pengeringan Lapisan Tipis Kentanf (Solonium tubersum L.)
Varietas Granula. Skripsi Universitas Hassanudin. Makasar
Hellevang, Kenneth. 1995. Grain Moisture Content Effect and Management. EXT,
AEGOS Hal : 1
Herawati. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan. Jurnal Litbang
Pertanian, 27(4), 2008
Histifarina, Musaddad, dan E. Murtiningsih. Teknik Pengeringan dalam Oven untuk
Irisan Wortel Kering Bermutu. Jurnal Hortikultur Vol.14 No. 1, 2004
Legowo, Anang, Nurwantoro, Sutaryo. 2007. Buku Ajar Analisis Pangan. Universitas
Diponegoro. Semarang
Martynis, Munas, Elmi Sudari, dan Ellyta Sari. 2012. Pembuatan Bioberiket dari
Limbah Cangkang Kakao. Jurnal Litbang Industri Vol. 2 No.1, 2012: 32-38
Musfiroh, Ida, Wiwiek Indriyati, Muchtardi, Yudgi Setiya. 2007. Analisis Proksimat
dan Penetapan Beta Karoten dalam Selai Lembaran Terong Belanda dengan
Metode Speltofotometri Sinar Tanpak. Fakultas Farmasi Universitas
Padjajaran 1:4
Nadia, Lula. 2015. Modul I Praktikum Kimia dan Analisa Pangan. Universitas
Trisakti. Jakarta
Nugraha, Endang. 1997. Modifikasi Faktor Suhu dan Waktu pada Metode Penetapan
Kadar Abu. Lokakarya Fungsional Non Penelitian 1997
Oktaviana, Prima Rista. 2010. Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas
Antiosidan Ekstrak Temul Awak pada Berbagai Teknik Pengeringan dan
Poporsi Larutan. Skripsi Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Prabowo, Bimo. 2010. Kajian Sifat Fisiko Kimia Tepung Millet Kuning dan Tepung
Millet Merah. Skripsi Universitas Sebelas Maret. Surakarta
SNI 01.7111.1.2005. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-1SI) Bagian 1: Bubuk
Instan
SNI 01.7111.2.2005. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-1SI) Bagian 2: Biskuit
Sudarmaji, Slamet, Bambang Haryono, dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan
dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta
Tim Penyusun. 2007. Petunjuk Praktikum Teknik Analisis Kimia Hasil Perkebunan.
Laboratorium Analisis Kimia TPHP Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Wibawanto, Nanda Rudy, Victoria Kristian Ananingsih, Rika Pratiwi. 2015. Produksi
Serbuk Pewarna Alamu Beta Merah (Beta vulgari L.) dengan Metode Oven
Drying. Jurnal Sains dan Teknilogi Vol.1 No. 1
Winarno, Srikandi Fardiaz, dan Dedi Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
Gramedia. Jakarta
Gambar 1.1 Promina Biskuit Rasa Kacang Hijau Gambar 1.2 Milna biskuit toodler cheese
Gambar 1.3 Milna biskuit rasa pisang Gambar 1.4 Sun rasa susu madu