Anda di halaman 1dari 10

Lebih dari 70% anak dan remaja dengan gangguan depresi tidak mendapat diagnosis

dan penanganan yang tepat atau sesuai. Alasan yang mungkin dipertimbangkan
karena adanya stigma pada gangguan ini dan tidak dikenalinya gejala depresi ini
terutama pada anak prasekolah serta tidak ada pelatihan khusus mengenal gangguan
ini pada para petugas kesehatan jiwa. Didapatkan jumlah yang minimal para psikiater
anak dan minimalnya dana asuransi kesehatan. Anak lebih sukar mengutarakan
perasaannya dan sering menyatakan perasaannya melalui penyimpangan tingkah laku
yang ditunjukkan pada orang lain.

Pada anak usia prasekolah (sebelum usia 6 tahun) superego memang masih belum
sempurna berkembang sehingga anak sukar mengatakan perasaan bersalah dan
perasaan harga dirinya sedangkan perkembangan kognitif dan emosional masih
terbatas sehingga anak sukar menyatakan isi hatinya secara verbal, termasuk
menyatakan perasaan sedih, tak berdaya, putus asa, kecewa, dan sebagainya. Dengan
demikian manifestasi gejala depresi anak sering terselubung dalam bentuk gejala lain
berupa (a) perubahan tingkah laku misalnya hiperaktif, impulsif, agresivitas, sikap
negativistik, suka berkelahi, (b) sukar makan, sukar tidur, mudah marah, malas
bermain atau menarik diri, (c) gejala psikosomatik (sakit kepala, sakit perut, dan
muntah), hipokondriasis, enuresis, enkopresis, dan phobia. Sebenarnya gejala depresi
terselubung ini merupakan jeritan minta tolong dari anak (cry for help) tetapi orang
tua sering salah mengartikannya, bahkan anak sering mendapatkan hukuman,
akibatnya gejala depresi makin bertambah dan hal ini berakibat anak tidak akan dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Gejala bunuh diri sangat jarang pada anak
sebelum usia 10 tahun, hal ini disebabkan karena pada usia ini pendapatnya sangat
kabur mengenai kematian, mungkin mati dianggap sebagai suatu perjalanan jauh yang
akan kembali, berkumpul kembali dengan ibunya yang telah meninggal atau sebagai
orang yang sedang tidur dan bangun lagi kemudian.

Depresi berdasarkan karakteristiknya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: (1)


Depresi Akut Depresi akut mempunyai ciri-ciri: manifestasi gejala depresi jelas
(nyata), ada trauma psikologis berat yang mendadak sebelum timbulnya gejala
depresi, lamanya gejala hanya dalam waktu singkat, secara relatif mempunyai
adaptasi dan fungsi ego yang baik sebelum sakit dan tidak ada psikopatologi yang
berat dalam anggota keluarganya yang terdekat, (2) Depresi Kronik. Depresi kronik
mempunyai ciri-ciri: gejala depresi jelas (nyata) tetapi tidak ada faktor pencetus yang
mendadak, gejalanya dalam waktu lebih lama dari pada depresi akut. Ada gangguan
dalam penyesuaian diri sosial dan emosional sebelum sakit, biasanya dalam bentuk
kepribadian yang kaku, ada riwayat gangguan afektif pada anggota keluarga terdekat,
(3) Depresi terselubung. Gejala depresi tak jelas tetapi menunjukkan gejala lain
misalnya; hiperaktif, tingkah laku agresif, psikosomatik, dan sebagainya.

Depresi berdasarkan karakteristiknya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: (1)


Depresi Akut Depresi akut mempunyai ciri-ciri: manifestasi gejala depresi jelas
(nyata), ada trauma psikologis berat yang mendadak sebelum timbulnya gejala
depresi, lamanya gejala hanya dalam waktu singkat, secara relatif mempunyai
adaptasi dan fungsi ego yang baik sebelum sakit dan tidak ada psikopatologi yang
berat dalam anggota keluarganya yang terdekat, (2) Depresi Kronik. Depresi kronik
mempunyai ciri-ciri: gejala depresi jelas (nyata) tetapi tidak ada faktor pencetus yang
mendadak, gejalanya dalam waktu lebih lama dari pada depresi akut. Ada gangguan
dalam penyesuaian diri sosial dan emosional sebelum sakit, biasanya dalam bentuk
kepribadian yang kaku, ada riwayat gangguan afektif pada anggota keluarga terdekat,
(3) Depresi terselubung. Gejala depresi tak jelas tetapi menunjukkan gejala lain
misalnya; hiperaktif, tingkah laku agresif, psikosomatik, dan sebagainya.

Etiologi depresi terdiri dari:


1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan
gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak
kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga
tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting
di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks.
Bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi
faktor non genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam
perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang.
Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari
penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih
besar daripada sanak saudara derajat pertama (Kaplan, 2010; Tomb, 2004).

2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di
dalam metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter
norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam penelitian
lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah
disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan
timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino khususnya GABA
(Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi
neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan
terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien
dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan
kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing
Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).
Gambar 2.1.4.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:


a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi
katekolamin pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak
diketahui kadang-kadang menimbulkan depresi lambat (Ingram dkk,
1993).
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak)
menurun dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami
episode depresi dan meningkat di saat mereka gembira (Ingram dkk,
1993).

b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi
indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA
rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang
mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk,
1993).
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan
kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason.
Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil
abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien
dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam
keluarga (Ingram dkk, 1993).
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore.
Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan
faktor penting dalam menentukan etiologi (Ingram dkk, 1993).

4. Faktor Kepribadian Premorbid


Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama
hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan
kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang,
energetik dan lebih ramah dari rata-rata (Ismail dkk, 2010).
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya
dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres
besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog
menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif
mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan
perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru
dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon
mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang
belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres
kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan
lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan
psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor pembelajaran
sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik
kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke
generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan
untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan
berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif (Ismail
dkk, 2010).
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak
peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan
dan mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi
didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada
serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak
yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan
populasi lainnya (Ingram dkk, 1993).

Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta :


FKUI, 2007.
I.M Ingram. dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran
EGC
Kaplan and Saddock. Synopsis of Psychiatry. 7th ed. Vol 1. Sans Tache. New
York, 1993.
Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott
Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.
Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III
Gangguan Depresi. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.
Maslim, Rusdi. Panduan Praktis pengguaan klinis obat psikotropik edisi ketiga. Jakarta:2002

Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,


pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal,
sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode
gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan
lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan depresif
muncul (Ismail dkk, 2010).
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya (Kaplan,
2010; Slotten, 2004). Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan
pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode pertama
menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan yang
bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional
berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil
akhir dari perubahan tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada
resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood
selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor external (Kaplan, 2010).

1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan
bahwa pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan
lainnya. Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek
samping yang terlihat pada antidepresan (Kaplan, 2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi.
bekerja untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak
khususnya epinefrin dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada
dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi dari depresi yang kemungkinan
diakibatkan dari abnormalitas dari sistem neurotransmitter di otak (NIMH,
2002). Obat antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi generasi
pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan
antidepresi golongan ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).
Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta :
FKUI, 2007.

a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan
sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat
(Kaplan, 2010). Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa
golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline,
desipramine) dan tetrasiklik tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari
ketiga golongan obat tersebut, yang paling sering digunakan adalah
tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang lebih
minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat
kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena sebagian
besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik (Kaplan,
2010).
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga
bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin
tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini
mempunyai implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin
lebih responsive terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat
kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap amin tersier
(Arozal, 2007).

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)


MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun
yang lalu. Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi
oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin,
noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik (Arozal, 2007). Obat ini
sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan
depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain karena dapat
menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi dengan tiramin yang
berasal dari makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur dan acar,
MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim di hati terutama
sitokrom P450 yang akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di
hati. (Kaplan, 2010).

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)


SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini
pertama pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik (Kaplan,
2010). Obat golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan
setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang pengalamannya
mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan
trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena mempunyai
efek samping yang cukup minimal karena kurang memperlihatkan
pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik dan histaminergik.
Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila SSRIs
dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan efek
serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan
gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda
vital (Arozal, 2007).
d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang
hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga
menghambat dari reuptake norepinefrin (NIMH, 2002).
Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada
beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada
pasien depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat lebih
jelas pada gambar di bawah ini (Mann, 2005).

Gambar 2.1.10.1 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

e. Terapi Non Farmakologis


Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal
dan terapi perilaku (Kaplan, 2010). NIMH (2002) telah menemukan
predictor respons terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini :
(1) disfungsi sosial yang rendah menyatakan respons yang baik
terhadap terapi interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang rendah
menyatakan respons yang baik terhadap terapi kognitif-perilaku dan
farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang tinggi mengarahkan respons
yang baik terhadap farmakoterapi, (4) keparahan depresi yang tinggi
menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal dan
farmakoterapi.
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang
memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan
depresi berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif
dan mencegah rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi
dan uji kognitif negatif (Kaplan, 2010).
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman,
memusatkan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang
sedang dialami sekarang, dengan pertama, masalah interpersonal
sekarang kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang
disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang kemungkinan
terlibat di dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresif
sekarang (Kaplan, 2010).
(Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott
Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010. )

PENGGOLONGAN :
1. ObatAnti-depresi TRISIKLIK = TRICYCLIC ANTIDEPRESSANTS
e.g. Amitriptyline, Imipramine, Clomipramine, Tianeptine.
2. Obat Anti-depresi TETRASIKLIK
e.g. Maprotiline, Mianserin, Amoxapine.
3. Obat Anti-depresi MAOI-Reversible = REVERSIBLE INHIBITOR OF
MONOAMINE OXYDASE - A (RIMA)
e.g. Moclobemide.
4. Obat Anti-depresi SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
e.g. Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine, Duloxetine,
Citalopram.
5. Obat Anti-depresi "ATYPICAL
e.g. Trazodone, Mirtazapine, Venlafaxine.
No. Nama Generik Dosis Anjuran
1. Amitriptyline 75-150 mg / hari (Maslim R.
2. Amoxapine 200-300 mg / hari
Penggunaan
3. Tianeptine 25-50 mg / hari
4. Clomipramine 75-150 mg / hari Klinis Obat
5. Imipramine 75-150 mg / hari Psikotik
6. Moclobemide 300-600 mg / hari
7. Maprotiline 75-150 mg / hari (Psychotropic
8. Mainserin 30-60 mg / hari Medication).
9. Setraline 50-100 mg / hari
Edisi ke-3.
10. Trazodone 100-200 mg / hari
11. Paroxetine 20-40 mg / hari Jakarta: Balai
12. Fluvoxmine 50-100 mg / hari Penerbit FK
13. Flouxitine 20-40 mg / hari
14. Citalopram 20-60 mg / hari Unika Atma
15. Mirtrazapine 15-45 mg / hari Jaya;2007. h. 23-
16. Duloxetine 30-60 mg / hari
24.)
17. Venlafaxine 75-150 mg / hari

Sediaan Obat Anti-Depresi Dan Dosis anjuran

Anda mungkin juga menyukai