Anda di halaman 1dari 44

SKENARIO 2

TRAUMA PELVIS

KELOMPOK A-09

Ketua : Desta Murdinia 1102010067


Sekretaris : Almira Rosalie 1102010015
Anggota : Andhika Hadi Wirawan 1102010020
Dianta Afina Shabrina 1102010075
Lelly Sembodo 1102010150
Lisa Chairunnisa 1102010153
Indah Kusumo Wardani 1102010129
Fennie Budhiarti 1102010100
Hilyatus Shalihat 1102010125

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2013/2014

1
Kata-kata sulit :
1. Defans Muskular : Kekakuan otot perut
2. EMV : Skala untuk mengukur kesadaran
E: Eye;
M: Motorik;
V: Verbal
Pertanyaan :
1. Kenapa terjadi nyeri perut?
2. Mengapa terjadi perubahaan tanda vital?
3. Kenapa fundus sulit berevaluasi?
4. Mengapa visus turun?
5. Mengapa terjadi defans muscular?
6. Apa yang menyebabkan hematoma?
7. Apa arti dari E3V4M4?
8. Bagaimana cara menilai penurunan kesadaran?
9. Bagaimana penanganan pasien tersebut?
10. Apa saja yang terjadi pada pasien dengan keadaan kegawat-daruratan?

Jawab :
1. Karena terjadi trauma pada region pelvis (uretra dan vesica urinaria)
2. Karena adanya perdarahan dan kompensasi tubuh?
3. Karena ada perdarahan di COA.
4. Karena ada perdarahan di COA dan menghalangi jalan pengelihatan.
5. Karena ada rangsangan dan adanya trauma di buli-buli yang menyebabkan urin keluar
mengisi cavum abdomen, sehingga merangsang rangsangan peritoneal.
6. Karena adanya pendarahaan dan menumpuk di daerah sekitar.
7. E3 = Buka mata terhadap rangsangan suara.
M4 = Fleksi ke arah nyeri
V4 = Disorientasi tempat dan waktu
8. GCS
9. ABCD, Hentikan Pendarahan, Infus dan Kateter
10. Penurunan kesadaran dan Pendarahan

Hipotesa :

2
3
SKENARIO 2: TRAUMA PELVIS

Seorang laki-laki, 22 tahun dating ke UGD RS dengan nyeri perut setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas terjatuh dari sepeda motor 30 menit yang lalu. Pemeriksaan fisik:
tanda-tanda vital: Airway: baik, Breathing: frekuensi nafas 30x/menit, Circulation: tekanan
darah 90/50 mmHg, denyut nadi 110x/menit. GCS: E3M4V4.

Status Lokalis:

Regio Orbita dextra:

Inspeksi : Visus : 1/60 dan tak terkoreksi ; Hematoma Palpebra ;

Conjunctiva bulbi : injeksi siliaris (+), oedema kornea, darah di COA/BMD

Pupil : bulat, reflex cahaya (+)

Fundus : sulit di-evaluasi

TIO : normal per palpasi.

Regio Pelvis:

Inspeksi : jejas di daerah suprapubic, bulging (-), hematoma (+)

Palpasi : defans muskuler (+)

4
Sasaran Belajar :

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Pelvis


1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Klasifikasi
1.4 Manifestasi Klinis
1.5 Patofisiologi
1.6 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1.7 Diagnosis Banding
1.8 Tatalaksana
1.9 Komplikasi

2. Memahami dan Menjelaskan Kegawat Daruratan Mata


2.1 Definisi
2.2 Klasifikasi
2.3 Manifestasi Klinis
2.4 Terapi

3. Memahami dan Menjelaskan Hifema


3.1 Definisi
3.2 Etiologi
3.3 Klasifikasi
3.4 Manifestasi Klinis
3.5 Patofisiologi
3.6 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
3.7 Diagnosis Banding
3.8 Tatalaksana
3.9 Prognosis
3.10 Komplikasi
3.11 Pencegahan

4. Memahami dan Menjelaskan Gangguan Kesdaran


4.1 Definisi
4.2 Mekanisme
4.3 Penilaian

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Pelvis


1.1 Definisi
Trauma vesica urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang
memerlukan penatalaksanaan segera. Trauma pada vesica urinaria seringkali

5
merupakan daya eksternal yang berhubungan dengan fraktur pelvis (sekitar
15% dari semua fraktur pelvis berkaitan dengan trauma vesica urinaria atau
trauma ureter), dapat menimbulkan kontusio atau ruptur vesica urinaria. Pada
kontusio hanya terjadi memar pada dinding vesika urinaria dengan hematuria
tanpa ekstravasasi urin. Trauma iatrogenik dapat disebabkan karena prosedur
ginekologi dan prosedur ekstensif pelvis lainnya. Juga hasil dari operasi hernia
dan operasi transuretra.
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat
trauma dan kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis
(simpiolisis).Trauma uretra biasanya terjadi padapria jarang pada wanita.
Sering ada hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Cedera
menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan baik parsial/total.
1.2 Etiologi

Trauma buli-buli
90% trauma tumpul buli-buli akibat fraktur pelvis. Robeknya buli-
buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang
pelvis yang merobek dindingnya.
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli
iatrogenic antara lain pada reseksi buli-buli transurethral.
Partus yang lama/tindakan operasi didaerah pelvis dapat
menyebabkan trauma iatrogenic pada buli-buli.
Dapat pula terjadi secara spontan, biasanya terjadi jika sebelumnya
terdapat kelainan pada dinding buli-buli seperti tuberculosis, tumor
buli-buli, dll.
Trauma uretra
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar.
Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra.
Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis yang
menyebabkan ruptur uretra pars membranasea.
Trauma tumpul pada selangkangan/straddle injury dapat menyebabkan
ruptur uretra pars bulbosa
Pemasangan kateter yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan
uretra karena false route/salah jalan.

1.3 Klasifikasi

Trauma buli-buli

6
Kontusio buli-buli, hanya terdapat memar pada dindingnya,
mungkin didapatkan hematoma vesikel, tetapi tidak didapatkan
ekstravasasi urin ke luar buli-buli.
Cedera buli-buli ekstraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-
buli kosong. Dapat diakibatkan oleh fraktur pelvis.
Cedera buli-buli intraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-
buli sedang terisi penuh.
o Menurut Tile (1988)
a. Tipe A: stabil
- A1: fraktur panggul tidak mengenai cincin
- A2: stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin panggul
tetapi tanpa atau sedikit sekali pergeseran cincin.
b. Tipe B: tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal
- B1: open book
- B2: kompresi lateral ipsilateral
- B3: kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)
Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai sisi satu panggul (open
book) atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan
fraktur pada ramus isio-pubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma bagian
posterior tetapi simfisis tidak terbuka (closed book).
c. Tipe C: tidak stabil secara rotasi dan vertikal
- C1: unilateral
- C2: bilateral
- C3: disertai fraktur asetabulum
Terdapat disrupsi ligamen posterior pada satu sisi disertai pergeseran dari
salah satu sisi panggul secara vertikal, mungkin juga disertai fraktur
asetabulum.
o Menurut Young-Burgess
a. Kompresi Anterior-Posterior (APC)
Disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah
diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang menganggu ligamentum
sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan
ligamentum sacrotuberale
b. Kompresi Lateral (LC)
Terjadi akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi
benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena
gaya tarik. Sering terjadi disrupsi pembuluh darah besar.
c. Shear Vertikal (SV)
Terjadi pemindahan vertikal hemipelvis yang dibarengi dengan cedera
vaskuler lokal yang parah.
d. Mekanisme Kombinasi (CM)
Meliputi faktor pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi
dua vektor tekanan terpisah

7
o Menurut Key dan Conwell
a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
- Fraktur avulsi
Spina iliaka anterior posterior
Spina iliaka anterior inferior
Tuberositas ischium
- Fraktur pubis dan ischium
- Fraktur sayap ilium (Duverney)
- Fraktur sakrum
- Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
- Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
- Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis
- Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
c. Fraktur bilateral cincin panggul
- Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
- Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)
- Fraktur multipel yang hebat
d. Fraktur asetabulum
- Tanpa pergeseran
- Dengan pergeseran
o Klasifikasi lain
a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang ischium dan tulang pubis tanpa gangguan
pada cincin
- Fraktur ramus isiopubis superior
- Fraktur ramus isiopubis inferior
- Fraktur yang melewati asetabulum
- Fraktur sayam ilium
- Avulsi spina iliaka antero-inferior
b. Fraktur disertai robekan cincin
o Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi
a. Fraktur avulsi
b. Fraktur stabil
c. Fraktur tidak stabil
d. Fraktur dengan komplikasi

Dalam menilai klasifikasi maka yang paling penting adalah stabilitas panggul apakah
bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam penanggulangan serta
prognosis.
Trauma uretra
Trauma uretra anterior, yang terletak distal diafragma urogenital.
Trauma uretra posterior, yang terletak proksimal diafragma urogenital.

Derajat cedera urtera dibagi dalam 3 jenis :

8
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching
(peregangan).Pada foto uretrogram tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang.
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea,
sedangkandiafragma urogenital masih utuh. Foto uretrogram
menunjukkan ekstravasasikontras yang masih terbatas di atas
diafragma urogenitalis.
3. Uretra posterior, diafragma genitalis, uretra pars bulbosa sebelah
proksimalikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi
kontras meluas hinggadibawah diafragma urogenital sampai ke
perineum.

1.4 Manifestasi Klinis

Trauma buli-buli
Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat sehingga
dapat menyebabkan syok.
Tampak jejas/hematoma pada abdomen bagian bawah. Nyeri tekan
didaerahsuprapubik ditempat hematoma.
Pada kontusio buli-buli: nyeri terutama bila ditekan didaerah
suprapubik dan dapatditemukan hematurtia. Tidak terdapat rangsang
peritoneum.
Pada rupture buli-buli intraperitoneal: urin masuk ke rongga
peritoneum sehingga memberi tanda cairan intraabdomen dan rangsang
peritoneum. Tidak terdapat benjolan dengan perkusi pekak.
Pada ruptur buli-buli ekstraperitoneal: infiltrat urin di rongga
peritoneal yang sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeluh
tidak bisa buang air kecil, kadang keluar darah dari uretra. Timbul
benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi pada daerah suprapubik.
Trauma uretra
Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada
daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas,
hematom dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur kandung kemih bisa
ditemukan tanda rangsangan peritoneum.
Pada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada
penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra
merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total
penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma dan
nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan
ditemukan kandung kemih yang penuh.

1.5 Patofisiologi

9
Trauma buli-buli
Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan. Fraktur
tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih.
Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan
hematuria tanpa ekstravasasi urin.Ruptur kandung kemih dapat bersifat
ekstraperitonneal ataupun intraperitoneal.Ruptur kandung kemih
ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada
dinding dengan kandung kemih yang penuh.Pada kejadian ini terjadi

ekstravasasi urin di rongga perivesikel.Trauma tumpul dapat menyebabkan


ruptur buli-buli terutama jika buli-buli sedang terisi penuh atau terdapat
kelainan patologik seperti TBC, sehingga trauma yang kecil bisa
menyebabkan ruptur.

Trauma uretra
Cedera dapat menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan
mukosa baik parsial/total. Ruptur uretra hampir selalu disertai fraktur
tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars
membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke
kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa terikat
di difragma urigenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi

10
total/inkomplit. Pada ruptur total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum pubo-prostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat
terlepas ke kranial.
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis.
Korpus spongiosumbersama dengan corpora kavernosa penis
dibungkus oleh fascia buck dan fasia colles. Jika terjadi ruptur uretra
beserta korpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi
masih terbatas pada fascia buck dan secara klinis terlihat hematoma
yang terbatas pada penis. Namun, jika fascia buck ikut robek,
ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fascia colles sehingga
darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen.
Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga
disebut butterfly hematoma.

1.6 Diagnosis & Diagnosis Banding

Trauma buli-buli
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinik serta
hematuria. Pada fotopelvis atau foto polos abdomen terlihat fraktur
tulang pelvis.
Pemeriksaan sistogram, dapat memberikan keterangan ada tidaknya
ruptur kandung kemih dan lokasi ruptur apakah intra/ekstraperitoneal.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan medium kontras ke
kandung kemih sebanyak 300-400 ml kemudian dibuat foto antero-
posterior. Kandung kemih lalu dikosongkan dan dibilas dan dibuat foto
sekali lagi. Bila tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah
kontusio buli-buli. Pada ruptur ekstraperitoneal, gambaran ekstravasasi
terlihat seperti nyala api pada daerah perivesikel, sedangkan pada
ruptur intraperitoneal terlihat kontras masuk ke dalam rongga
abdomen.
Pada ruptur kecil sistokopi dapat membantu diagnosis.
Tes buli-buli: dilakukan dengan cara buli-buli dikosongkan terlebih
dahulu dengan kateter, lalu dimasukkan 300 ml larutan garam faal,
kateter kemudian diklem sebentar lalu dibuka kembali. Bila selisihnya
cukup besar kemungkinan terjadi ruptur buli-buli.
Trauma uretra
Ruptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di
meatus uretra disertai patah tulang pelvis.
Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung
karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang sama
sekali tidak teraba lagi karena pindah ke kranial.
Pemeriksaan radiologik dengan menggunakan uretrogram retrograde
dapat memberi keterangan letak dan tipe ruptur uretra.

1.7 Tatalaksana

Trauma buli-buli

11
1. Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dulu dengan
memberikan cairan intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil,
lakukan reparasi buli-buli.
2. Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan
tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli
sembuh setelah 7-10 hari.
3. Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi
untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera organ
lain. Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2
lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar
sayatan laparotomi.
4. Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana dianjurkan
untuk memasang kateter 7-10 hari tetapi dianjurkan juga untuk
melakukan penjahitan disertai pemasangan kateter sistostomi.
5. Untuk memastikan buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter
uretra/kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
sistografi untuk melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin.
Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada
ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.
Trauma uretra
1. Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja.
2. Jika sulit kencing/terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan
memasukkan kateter foley sampai buli-buli. Jika gagal lakukan
pembedahan sistostomi untuk manajemen aliran urin.
3. Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ intrabdomen,
cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari
kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung dan
pemasangan kateter silikon selama 3 minggu. Bila disertai cedera
organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari
kemudian, sebaiknya dipasang kateter.
4. Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan
uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal.
Dipasang kateter silikon selama 3 minggu. Bila ruptur parsial
dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra selama 7-
10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistostomi
baru dicabut bila saat kateter sistostomi di klem ternyata penderita bisa
buang air kecil.

12
1.8 Komplikasi

Trauma buli-buli

Abses Pelvis, bila urin terinfeksi


Inkontinensia partial, bila laserasi sampai ke leher buli-buli
Peritonitis

Trauma uretra

Ruptur uretra anterior


- Striktur uretra, impotensi, inkontinensia
- Komplikasi akan tinggi bila dilakukan repair segera, dan akan
menurun bila kita hanya melakukan sistostomi suprapubik dan
repair dilakukan belakangan.
Ruptur uretra posterior
- Perdarahan
- Infeksi/sepsis
Striktur uretra

13
2. Memahami dan Menjelaskan Kegawat Daruratan Mata
2.1 Definisi

Kedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam


penglihatan seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya
kebutaan. (Roper- hall, 1990, FI UI 1982, perhimpunan indonesia 1994).

Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan


dimana mata terancam akan kehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi
kebutaan apabila tidak dilakukan tindakan atau pengobatan sesegera mungkin.

2.2 Klasifikasi

Kegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata)


diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sangat gawat,
2. gawat, dan
3. semi gawat.

Berikut ini akan kami uraikan secara singkat dan padat.

1. Sangat Gawat

Yang dimaksud dengan keadaan "sangat gawat" adalah keadaan atau


kondisi pasien memerlukan tindakan yang harus sudah diberikan dalam waktu
beberapa menit.Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini
adalah: luka bakar kimia (luka bakar kerena alkali/basa dan luka bakar asam)

2. Gawat

Yang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan
dalam waktu satu atau beberapa jam.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini
adalah:

1. Laserasi kelopak mata


2. Konjungtivitis gonorhoe
3.Erosi kornea
4.Laserasi kornea
5.Benda asing di kornea
6.Descemetokel
7. Tukak kornea
Tukak atau ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea
akibat kematian jaringan kornea.

8. Hifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan. Terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.

14
9. Skleritis (peradangan pada sklera)
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada
mata. Sklera bersama dengan jaringan uvea dan retina berfungsi sebagai
pembungkus dan pelindung bola mata.

10. Iridosiklitis akut


11. Endoftalmitis merupakan infeksi intraokular yang umumnya melibatkan
seluruh jaringan segmen anterior dan posterior mata. Umumnya didahului
oleh trauma tembus pada bola mata, ulkus kornea perforasi, riwayat operasi
intraokuler (misalnya: ekstraksi katarak, operasi filtrasi, vitrektomi). Gejala
klinis endoftalmitis adalah penurunan tajam penglihatan (visus menurun),
mata merah, bengkak, nyeri.
12. Glaukoma kongestif
13. Glaukoma sekunder
14.Ablasi retina (retinal detachment) suatu keadaan terpisahnya (separasi) sel
kerucut dan batang atau lapisan sensorik retina dengan sel epitel pigmen
(retinal pigment epithelium atau RPE).
15. Selulitis orbita
16. Trauma tembus mata
17.Trauma radiasi

3. Semi Gawat

Yang dimaksud dengan keadaan "semi gawat" adalah keadaan atau kondisi
pasien memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu
beberapa hari atau minggu.

Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini
adalah:

1. Defisiensi (kekurangan) vitamin A.


Sinonim (nama lain) untuk kondisi ini adalah: vitaminosis A, hypovitaminosis
A.

2. Trakoma yang disertai dengan entropion.


Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam
tepi jaringan, terutama tepi kelopak bawah.Namun pada trakoma, entropion
terdapat pada kelopak atas.

3. Oftalmia simpatika
Yaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat
bilateral, dan didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai
badan siliar, bagian uvea lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.

4. Katarak kongenital
Kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu
penyebab kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya:

15
leukokoria (bercak putih), fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit),
strabismus (juling), nystagmus (pergerakan bola mata yang involunter.
Involunter maksudnya: tanpa sengaja, diluar kemauan; dapat teratur, bolak-
balik, dan tidak terkendali).

5. Glaukoma kongenital
6. Glaukoma simpleks
7.Perdarahan badan kaca

8.Retinoblastoma (tumor ganas retina)


Yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari neuroretina (sel kerucut dan
batang).
9. Neuritis optika / papilitis
10. Eksoftalmus
(bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata tidak dapat
menutup sempurna).
11. Tumor intraorbita
12. Perdarahan retrobulbar

Berdasarkan konsep penanganan masalah gawat darurat maka kedaruratan


mata dapat dikelompokkan menjadi beberapa keadaan :
1) Sight threatening condition. Dalam situasi ini mata akan mengalami
kebutaan atau cacat yang menetap dengan penurunan penglihatan yang
berat dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit saja bila tidak
segera mendapatkan pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan
kimia basa (alkali) termasuk dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis
retina merupakan keadaan bukan trauma yang termasuk dalam kelompok
ini.
2) Mayor condition. Dalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi
dengan batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai
beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan maka penderita akan
mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening
condition.
3) Monitor condition. Situasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun
mungkin menimbulkan suatu penderitaan subyektif pada pasien bila
terabaikan pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan mayor
condition. (Sidarta Ilyas, ed.3 2008)

2.3 Manifestasi Klinis

1. Glaucoma akut
Biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun.
Keluhan :
o Kemunduran penglihatan yang berlangsung cepat.
o Nyeri dimata dan sekitarnya
o Mual dan muntah
Pada mata terlihat :
o Injeksi siliar
o Edema kornea
o Bilik mata depan dangkal

16
o Pupil lebar dan refleksnya menghilang
o Lensa keruh dan kehijauan.
o Tekanan intraokuler tinggi.

Penatalaksanan : segera berikan :


Asetazolamid 500mg oral, kemudian 250 mg/4 jam.
Pilokarpin HCL 2-6% 1 tetes/jam selama penserita bangun. Mata tidak
usahditutup.
Dapat diberikan pula (bila tidak dikontraindikasikan) morfin 10 mg im
dan deksametason 0.5 mg im. Jangan diberi diazepam.
24 jam kemudian :
- Bila tekanan intraocular telah normal, segera lakukan iridektomi perifer.
- Bila tekanan intraocular tetap tinggi, berikan infuse :
o Larutan manitol 20% 60 tetes/ menit selama 3 jam atau
o Larutan ureum 30% 30 tetes/menit selama 3 jam atau
o Larutan gliserin dalam air 50% 150-200 ml oral. Setelah
tekanan intraokular berhasil diturunkan segera lakukan filtering.
- Selama operasi belum mungkin, pengobatan diteruskan dengan cara yang
samasetiap harinya.

2. Ulkus kornea
Ulkus kornea yang cepat menimbulkan perforasi ialah ulkus sentra.
Pennyebab utamanya adalah pseudomonas pyocyaneus, pneumococcus.
Keluhan :
o Penglihatan mundur, silau dan mata berair terus menerus.
o Nyeri sekitar mata dan seisi kepala.
o Biasanya didahului trauma ringan pada mata.
Pada mata terlihat :
o Injeksi siliar dan dapat disertai pula dengan injeksi konjungtiva.
o Kornea keruh, keputihan dengan permukaan mencekung, bila
disebabkan jamur,permukaannya dapat menonjol karena timbunan
jaringan nekrotik.
Penatalaksanaan :
Beri tetes mata larutan atropine sulfat 1% 3-4 kali/hari
Antibiotik, bila dalam bentuk tetes mata, berikan 2 tetes/jam atau
dalam bentuk salep mata 3-5 kali/hari. Bila ada gunakan antibiotik
yang efektif untuk pseudomonas seperti terramycin dengan
polymixin B sulfate, garamycin. Berikan juga secara sistemik
antibiotik yang berspektrum luas dengan dosis tinggi.
Vitamin A, sekurang-kurangnya 100.000 U
Mata ditutup dengan kasa steril.
Bila keadaan tidak membaik atau memberat, mungkin penyebabnya adalah
jamur. Maka dilakukan :
Debridement sampai bersih, lalu bilas dengan larutan garam faal steril.
Setelah itu diberi salep antijamur tiap jam misalnya: preparat
amfoterisin B, preparat nistatin.
Sebaiknya usahakan pengiriman ke spesialis mata agar dapat segera
diambil tindakan bila terjadi perforasi.

17
3. Uveitis anterior
Penyakit ini cenderung kronik, tetapi tindakan dini yang tepat dapat
menyelamatkan mata dari kebutaan.
Keluhan :
o Penglihatan mundur, silau dan pegal disekitar dan dalam mata.
o Tidak ada sekret ataupun lakrimasi.
Pada mata terlihat:
o Injeksi siliar
o Kornea jernih atau berbercak-bercak coklat di bagian dalam.
o Bilik mata depan suram, kadang-kadang ada hipopion.
o Iris pucat, lipatannya berkurang atau menghilang.
o Pupil kecil, kadang-kadang tepinya tidak rata.

Penatalaksanaan :
Beri tetes mata larutan atropine sulfat 1% 3 kali/hari
Beri tetes mata mengandung kortikosteroid dengan atau tanpa
campuran antibiotik setiap 2 jam. Bila berbentuk salep, berikan 3-5
kali/hari
Mata sebaiknya ditutup dengan kasa steril.
Sebaiknya dikirimkan ke spesialis mata karena dapat menimbulkan
komplikasi yang menetap.

4. Trauma mata
Trauma pada mata menimbulkan rasa takut dan kegelisahan yang
besar, oleh karena itu kita harus bertindak cepat dan tepat.

Macam-macam trauma mata :


1.Trauma tajam mata/trauma perforatum
Biasanya mudah didiagnosis bila luka luas karena akan selalu ada
jaringan intraokuler yang prolaps.
Penatalaksanaan :
Konservatif :
Berikan salep mata antibiotik 3-5 kali/hari, lalu tutup dengan kasa
steril.
Berikan antibiotic sistemik dengan dosis tinggi.
ATS 1500 U im, pada anak 750 U im.
Bila terjadi perforasi kecil < 4 mm dapat diharapkan sembuh dengan cara
diatas. Tetapi bila luas > 4mm harus disertai dengan tindakan operatif yang
sebaiknya dilakukan di spesialis mata.

2. Trauma tumpul mata


Hematoma Kelopak

18
Hematoma palpebra yang
merupakan pembengkakan atau
penimbunan darah di bawah kulit kelopak
akibat pecahnya pembuluh darah
palpebra.Hematoma kelopak merupakan
kelainan yang sering terlihat pada trauma
tumpul kelopak.Trauma dapat akibat
pukula tinju, ataupun benda-benda keras
lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk
yang menakutkan pada pasien, dapat tidak berbahaya ataupun sangat
berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya.
Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua
kelopak dan berbentuk kaca mata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan
ini diseut sebagai hematoma kaca mata.Hematoma kaca mata merupakan
keadaan sangat gawat.Hematoma kaca mata terjadi akibat pecahnya arteri
oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii.Pada pecahnya
a.oftalmika maka darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura
orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita
kelopak maka akan berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang
memakai kaca mata.
Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres
dingin untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit.Bila
telah lama, untuk memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres
hangat pada kelopak mata.

Trauma Tumpul Konjungtiva


Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat
selaput lendir dapat menjadi kemotik pada
setiap kelainannya, demikian pula akibat
trauma tumpul.Bila kelopak terpajan ke
dunia luar dan konjungtiva secara langsung
kena angin tanpa dapat mengedip, maka
keadaan ini telah dapat mengakibatkan
edema pada konjungtiva.
Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak
menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjugtiva.Pada edema
konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan
cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.Pada kemotik konjungtiva berat
dapat dilakukan insisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melali
insisi tersebut.
Hematoma subkonjungtiva

19
Hematoma subkonjungtiva terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah yang
terdapat pada atau di bawah konjungtiva,
seperti arteri konjungtiva dan arteri
episklera.Pecahnya pembuluh darah ini
dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul
basis kranii (hematoma kaca mata), atau
pada keadaan pembuluh darah yang rentan
dan mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia
lanjut, hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva meradang (konjungtivitis),
anemia, dan obat-obat tertentu.
Bila perdarahan ini terjadi akiba trauma tumpul maka perlu dipastikan
bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau
sklera.Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata
yang lebih buruk seperti perforasi bola mata.Pemeriksaan funduskopi adalah
perlu pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat
trauma.Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam
penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya
dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur
bulbus okuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres
hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2
minggu tanpa diobati.

Trauma tumpul pada kornea


Edema kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat
mengenai mata dapat mengakibatkan edema
kornea malahan ruptur membran descemet.
Edema kornea akan memberikan keluhan
penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi
sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang
dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan
uji plasido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel
radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea. Pengobatan
yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam
hipertonik 2-8%, glukose 40% dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan
asetazolamida.Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki
tajam penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya
menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea. Penyulit trauma kornea
yang berat berupa terjadinya kerusakan M.descemet yang lama sehingga
mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa sakit
dan menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme iregular.

Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasya epitel kornea yang
dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea.Erosi dapat terjadi
tanpa cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya

20
dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi
pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak ornea yang mempunyai
serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi,
fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi
pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu
diperhatikan adalah adanya infeksi yang timbul kemudian.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan
dan menghilangkan rasa sakit yang sangat.Hati-hati bila memakai obat
anestetik topikal untuk menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena
dapat menambah kerusakan epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau
dikupas.Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti
antibiotika spektrum luas neosporin, kloramfenikol, dan sulfasetamid tetes
mata.Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan
sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup
bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup
kembali setelah 48 jam.

Erosi kornea rekuren


Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera
yang merusak membran basal atau tukak
metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan
mudah lepas kembali di waktu bangun pagi.
Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak
dapat bertahan pada defek epitel kornea.Sukarnya
epitel menutupi kornea diakibatkan oleh terjadinya
pelepasan membran basal epitel kornea tempat
duduknya sel basal epitel kornea. Biasanya
membran basal yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu.
Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga
regenerasi tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal
kornea.Pengobatan biasanya dengan memberikan sikloplegik untuk
menghilangkan rasa sakit ataupun untuk mengurangkan gejala radang uvea
yang mungkin timbul.Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata
ditutup untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi
sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder erosi kornea yang
mengenai seluruh permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari. Pada erosi
kornea tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid.
Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren
sangat bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan
tidak dipengaruhi kedipan kelopak mata.

Trauma tumpul uvea


Iridoplegia
Trauma tumpul padda uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot
sfingter pupil atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.
Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau
akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil.

21
Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat
menjadi iregular. Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat
trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien
dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadinya
kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris
sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan
satu matanya.
Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi
bersama-sama dengan terbentuknya hifema.Bila keluhan demikian maka pada
pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal
iris yang terlepas.

Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga
menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat
mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik mata depan maka akan
terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun.
Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid
topikal.Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.
Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa
fundus dengan midriatika.

Trauma tumpul pada lensa


Dislokasi lensa
Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan
dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada
putusnya zonula Zinn yang akan mengakibatkan
kedudukan lensa terganggu.

Subluksasi lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya
sebagian zonula Zinn sehingga lensa berpindah
tempat.Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan
akibat pasien menderita kelainan pada zonula Zinn
yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca
trauma akan mengeluh penglihatan berkurang.
Subluksasi lenssa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.
Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis
akan menjdai cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yg
menjadi sangat cembung mendorong iris ke depa sehingga bilik mata
tertutup.Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi
glaukoma sekunder.
Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi
penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung.Bila tidak terjadi
penyulit subluksasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan
pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai.

22
Luksasi lensa anterior
Bila seluruh zonula Zinn di
sekitar ekuator putus akibat trauma maka
lensa dapat masuk ke dalam bilik mata
depan. Akibat lensa terletak di dalam
bilik mata depan ini maka akan terjadi
gangguan pengaliran keluar cairan bilik
mata sehingga akan timbul glaukoma
kongestif akut dengan gejala-gejalanya.
Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa
sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat
injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris
terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar.Tekanan bola mata sangat
tinggi.
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien secepatnya dikirim pada
dokter mata untuk dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan
asetazolamida untuk menurunkan tekanan bola matanya.

Luksasi lensa posterior


Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa
posterior akibat putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah
polus posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada
lapang pandangnya akibat lensa mengganggu kampus.
Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien
akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan
dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior
dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma
fakolitik ataupun uveitis fakotoksik.Bila luksasi lensa telah menimbulkan
penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

Katarak trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat
akibat trauma perforasi ataupun tumpul
terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun.
Pada trauma tumpul akan terlihat katarak
subkapsular anterior ataupun posterior.
Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti
bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak
tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi
kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk
kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan
mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya
masa lensa di dalam bilik mata depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang
akan bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk
endoftalmitis fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah
akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut

23
sebagai cincin Soemering atau bilaepitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat
mutiara Elsching.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila
terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya
ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat di pasang lensa intra
okuler primer atau sekunder.
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat
ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi peyulit seperti glaukoma,
uveitis dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit
uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa
pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat
mengurangi tajam penglihatan.Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi
retina, uveitis atau salah letak lensa.

Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang
disebut sebagai cincin Vossius yang merupakan
cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang
pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma, yang
merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan
lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu stempel
jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata
tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.

Trauma tumpul retina dan koroid


Edema retina dan koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina,
penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna
retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui
retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana
terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga pada keadaan ini akan
terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma
tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red
spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema
makula atau edema Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas
sehingga seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abu-abu.
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu,
akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah
makula oleh sel pigmen epitel.

Ablasi retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlapasnya retina dari
koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat
untuk terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata,
miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Pada pasien akan terdapat
keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir mengganggu lapang
pandangnya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka tajam penglihatn
akan menurun.

24
Pada pemeriksaan funduskopi akan
terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang terlihat terangkat dan
berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat
pembuluh darah seperti yang terputus-
putus.Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya dirawat untuk dilakukan
pembedahan oleh dokter mata.

Trauma Koroid
Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat
merupakan akibat ruptur koroid.Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior
bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka
tajam penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh
perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah
diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat
dilihat langsung tanpa tertutup koroid.

Trauma tumpul saraf optik


Avulsi papil saraf optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya
di dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini
akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering
berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan
fungsi retina dan saraf optiknya.

Optik neuropati traumatik


Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik,
demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan
berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa
adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah
gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat
normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma
retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada
kiasam optik.Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut
dengan membei steroid.Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu
dipertimbangkan untuk pembedahan.

3. Trauma kimia
o Trauma asam, bila bahan asam mengenai mata maka akan segera
terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan
sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka kerusakannya hanya
pada bagian superficial saja. Pengobatan dapat dilakukan dengan
irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan selama mungkin untuk
menghilangkan dan melarutkan bahan.
o Trauma basa, alkali akan menembus dengan cepat ke kornea, bilik
mata depan, dan sampai ke jaringan retina. Pada trauma basa akan

25
terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia alkali
bersifat koagulasi sel dan terjadi proses penyabunan disertai dengan
dehidrasi.
Menurut klasifikasi Hughes maka trauma mata diklasifikasikan
menjadi:
a. Ringan
o Terdapat erosi epitel dan kekeruhan ringan kornea
o Tidak terdapat iskemi dan nekrosis kornea atau konjungtiva
o Prognosis baik
-

b. Sedang
o Terdapat kekeruhan kornea sehingga sukar melihat iris dan pupil
secara detail
o Terdapat nekrosis dan iskemi ringan konjungtiva dan kornea
o Prognosis sedang

c. Berat
o terdapat kekeruhan kornea, sehingga pupil tidak dapat dilihat
o terdapat iskemia konjungtiva dan sklera, sehingga tampak pucat
o prognosis buruk

Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan:


Derajat 1: Hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitispungtata.
Derajat 2: Hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea.
Derajat 3: Hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
epitel kornea.
Derajat 4 : Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.
Tindakan yang dilakukan adalah secepatnya melakukan irigasi dengan
garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Penderita
diberi sikloplegia, antibiotik, EDTA untuk mengikat basa.

4.Trauma radiasi
Trauma Fisika
1. Trauma Sinar Inframerah
Sinar inframerah dapat mengakibatkan kerusakan pada lensa, iris dan
kapsul disekitar lensa. Hal ini terjadi karena sinar yang terkumpul dan
ditanglap oleh mata selama satu menit tanpa henti akan menagkibatkan
pupil melebar dan terjadi kenaikan suhu lensa sebanyak 9 derajat selsius,
sehingga mengakibatkan katarak dan eksfoliasi pada kapsul lensa. Sinar
inframerah yang sering didapatkan adalah dari sinar matahari dan dari
tempat pekerjaan pemanggangan.

26
Gambaran klinis
Seseorang yang sering terpejan dengan sinar ini dapat terkena keratitis
superfisial, katarak kortikal anterior posterior dan koagulasi pada koroid.
Biasanya terjadi penurunan tajam penglihatan, penglihatan kabur dan mata
terasa panas.
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang telah terjadi, kecuali
mencegah sering terpapar oleh sinar infra merah ini. Pemberian steroid
sistemik dimaksudkan untuk mencegah terbentuknya jaringn parut pada
makula dan untuk mengurangi gejala radang yang timbul.

2. Trauma Sinar Ultra Violet


Sinar ultra violet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat,
mempunyai panjang gelombang antara 350 295 nM. Sinar ultra violet
banyak dipakai pada saat bekerja las dan menatap sinar matahari.
Sinar ultra violet akan segera merusak sel epitel kornea, kerusakan iniakan
segera baik kembali setelah beberapa waktu dan tidak memberikan
gangguan tajam penglihatan yang menetap.
Gambaran klinis
Biasanya pasien akan memberikan keluhan 4 6 jam post trauma, pasien
akan merasakn mata sangat sakit, terasa seperti ada pasir, fotofobia,
blefarospasme dan konjungtiva kemotik. Korne akan menunjukan adanya
infiltrat pada permukaanyayang kadang-kadang disetai dengan kornea yang
keruh. Pupil akan terlihat miosis.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah sikloplegia, antibiotika lokal, analgetika
dan mata ditutup selama 2 3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam.
3. Trauma Sinar Ionisasi dan Sinar X
Sinar Ionisasi dibedakan dalam bentuk:
- Sinar alfa yang dapat diabaikan
- Sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan
- Sinar gamma
- Sinar X
Gambaran Klinis
Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan kerusakan pada kornea yang
dapat bersifat permanen. Katarak akibat pemecahan sel epitel yang tidak

27
normal dan rusaknya retina dengan gambarandilatasi kapiler, perdarahan,
mikroaneuris mata dan eksudat. Atrofi sel goblet pada konjungtiva juga dapat
terjadi dan mengganggu fungsi air mata.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal, steroid sistemik dan
sikloplegik.
Bila terjadi simblefaron pada konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan.
2.4 Terapi

1. Trauma oftalmik
Bila ada kecurigaan adanya laserasi, cedera tembus, ruptur bola mata,
jangan lakukan penekanan
Penekanan dapat diakibatkan ekstrusi isi intraokule dan kerusakan
yang tidak dapat diperbaiki
Robekan kelopak mata , letakkan ibu jari dan jari telunjuk pada atas
dan bawah orbita
2. Cedera bola mata
Hindari manipulasi mata sampai saat perdarahan
Pasang balutan ringan (tanpa tekanan) dan perisai logam yang
bersandar pada tulang orbita diplester kedahi dan pipi
Pembalutan bilateral, jaga jarak bola mata minimal
Kolaborasi, antibiotik, analgesik, anti tetanus dll
Bila ruptur bola mata sudah teratasi periksakan struktur lain dapat
dilakukan
Laserasi kelopak mata, penjahitan
3. Benda asing
Benda asing tidak menembus dibawah kelopak mata atas
Angkat kelopak mata atas keatas kelopak mata bawah, sehingga
memungkinkan kelopak mata bawah menyapu benda asing untuk
keluar
Lakukan irigasi, hati-hati jangan sentuh kornea
Jika benda asing gagal keluar, tutup mata, rujuk
Benda asing supervisial kornea , irigasi
Benda asing tertanam, pembedahan
Ambil benda asing, alat berujung tumpul hindari gunakan aplikator
beraujung kapas karena dapat bergesek epitel terlalu banyak
4. Abrasi kornea
Beri balut tekan mata, mengimobilisasi kelopak mata
Kolaborasi pemberian antibiotik, anastesi, dll
Monitor efeki anastesi, terlambat penyembuhan
Pembalutan sebelah (24 jam) untuk abrasi ekstensif berlapisan bagian
bawah tidak terkena, penyembuhan tanpa jaringan parut (24 s/d 48
jam)
Monitor epitelisasi dan penyembuhan

28
5. Luka bakar kimia
Irigasi segera dengan air bersih atau larutan NaCl
Cuci mata dibawah aliran air keran
Memasukkan mata kedalam air mengejap-ngejapkan mata
Bilas terus selama 20 mnt atau sampai bersih
Lain-lain, kolaborasi
Balut mata bilateral
6. Trauma tumpul
Kontusio orbita kompres es, istirahatkan
Hifema posisi tegak, dan isrirahatkan mata. Kolaborasikan, bedah
kamera
anterior
Waspadai anemia sel sabit dan penggunaan obat anti koagulan &
penurunan dosis
(Sidarta Ilyas, ed.3 2008)

29
3. Memahami dan Menjelaskan Hifema
3.1 Definisi

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata


depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur
dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik
mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang
terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan.

Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Bila pasien duduk
hifema akan terlihat terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema dapat
memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.

Penglihatan pasien akan sangat menurun. Kadang-kadang teriha iridoplegia


dan iridodialisis. Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan
blefarospasme.

Gaya-gaya kontusif sering merobek pembuluh darah di iris dan merusak


sudut bili mata depan. Darah di dalam aqueous dapat membentuk suatu lapisan
yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi bila anyaman trabekular
tersumbat oleh fibrin dan sel atau bila pembentukan bekuan darah menimbulkan
bokade pupil.

3.2 Etiologi

Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti


terkenabola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga
dapatterjadi karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang
dapatmenyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata
(contohnyaretinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya
juvenilexanthogranuloma).
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapatdiakibatkanoleh
kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi
robekanrobekanjaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut
mengandungbanyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan.
Pendarahanyang timbul dapat berasal dari kumpulan arteri utama dan cabang dari
badanciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada sisi pupil.
Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak
dariluar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah.

30
Gambar 1. Ilustrasi Hifema

3.3 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:


1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan
yangdisebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat
traumapada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan proseduroperasi
mata).
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier,sehingga
pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah
(contohnyajuvenile xanthogranuloma).
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:4


1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade(Sheppard):5


1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA(20%)
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA (14%)
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA (8%)

31
3.4 Manifestasi Klinis

Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.


Penglihatan pasien akan sangat menurun dan bila pasien duduk hifema akan
terlihat terkumpul dibagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh
ruang bilik mata depan. Zat besi di dalam bola ata dapat menimbulkan siderosis
bulbi yang bila didiamkan ftisis bulbi dan kebutaan.

3.5 Patofisiologi

Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata,disertai peregangan


limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan
tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada
sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh
darah,antara lain arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliar,
arterikoroidalis, dan vena-vena badan siliar.

Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata

32
Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dankankermungkin
juga bisa menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul dapatmerobek
pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan
merobekpembuluh darah iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat juga terjadi
secaraspontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam
ruangCOA, mengotori permukaan dalam kornea.
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinyamekanisme
hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular,spasmepembuluh
darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuandarah yang
akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas daribilik mata
depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsunghingga 4-7
hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi. Setelah terjadi bekuan darahpada bilik
mata depan, maka plasminogen akan diubah menjadi plasmin olehaktivator
kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuandarah yang
sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuandarah, bersama
dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik mata depan
menuju jalinan trabekular dan aliran uveaskleral.

Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang


disebutperdarahanprimer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak.
Perdarahan sekunderbiasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma.
Perdarahannya biasanya lebihhebat daripada yang primer. Oleh karena itu
seseorang dengan hifema harusdirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan
sekunder ini terjadi karenaresorpsi daribekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga
pembuluh darah takmendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalambentuk
seldarah merah melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya
akandiabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan
adanyaenzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah
terurai dalambentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini,
dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna
kuningdandisebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat ditolong
dengankeratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema
yang penuhdisertai glaukoma.

Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuanklinisyang


berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpulmata. Hal
ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari ototsiliar. Resesi
sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitandengan timbulnya
glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik, dengansel-sel radang pada
bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema. Padakeadaan ini, terjadi
perubahan pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan.
Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotelkornea
hinggaruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan
pada10 % kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis,
iridodialisis,robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan
pada segmenposterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema,

33
perdarahan, danrobekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat
peninggian tekananintraokular.

3.6 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen;visus


dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
2. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskulerokuler,
glaukoma.
3. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
4. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA daniridocorneal
contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
5. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
6. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO
normal atau meningkat ringan.

3.7 Diagnosis & Diagnosis Banding

Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya


dapatmemastikanadanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya
perdarahan pada COA(dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang
ditemukan gangguan visus.

Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva danpericorneal,


fotofobia(tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda, blefarospasme, edema
palpebra,midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan
umum yaituletargic, disorientasi atau somnolen.

Hifema pada 1/3 bilik mata depanHifema pada bilik mata depan
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang
berair.Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah
yangterlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien
duduk,hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema
dapatmemenuhi seluruh ruang COA. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan,
pupiltetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining)
padakornea, anisokor pupil.
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah
mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara
langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat
bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler

34
inidisebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat
massadarah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang
humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama
beradadi kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding
kornea dankerusakan jaringan kornea.

3.8 Tatalaksana

Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak


berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan
penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada
dasarnya adalah :

1. Menghentikan perdarahan.
2. Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3. Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat
absorbsi.
4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yanglain.
5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan


traumatik hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan
dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan
tindakan operasi.

Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi

1. Tirah baring (bed rest total)


Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi
kepaladiangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30 - 45o (posisi
semi fowler).Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris
sertamemudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak
pendapat daribanyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan
pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan
beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring kesempurnaan
absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi
perdarahan sekunder. Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari
mengingat kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan,
terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan
kakinya ke tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.

2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian
pendapatdi antara para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena
trauma yaitu untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema
tidaklah mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan,

35
mempercepatabsorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk
maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :

Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral
maupunparenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan,
Misalnya:Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C.
Pada hifemayang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik
(di pasaran obatini dikenal sebagai transamine/ transamic acid)
sehingga bekuan darah tidakterlalu cepat diserap dan pembuluh darah
diberi kesempatan untukmemperbaiki diri dahulu sampai sembuh.
Dengan demikian diharapkanterjadinya perdarahan sekunder dapat
dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250mg dan hanya kira-kira 5 hari
jangan melewati satu minggu oleh karena dapattimbulkan gangguan
transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma jugaimbibisio
kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan
intraokular.
Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat
golongan midriatika atau miotika, karena masing-masing obat
mempunyai keuntungandan kerugian sendiri-sendiri. Miotika memang
akan mempercepat absorbsi,tapi meningkatkan kongesti dan midriatika
akan mengistirahatkan perdarahan.
Pemberian midriatika dianjurkan bila didapatkan komplikasi
iridiocyclitis.
Akhirnya beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian
midriatika danmiotika bersama-sama dengan interval 30 menit
sebanyak dua kali sehari akanmengurangi perdarahan sekunder
dibanding pemakaian salah satu obat saja.

Ocular Hypotensive Drug


Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide
(Diamox) secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya
kenaikan tekanan intraokuler. Bahkan Gombos dan Yasuna
menganjurkan juga pemakaian intravena urea, manitol dan gliserin
untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan bahwa
cara ini tidak rutin. Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan
intra okular, berilah diamox, glyserin, nilai selama24 jam. Bila tekanan
intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatasnormal, lakukan
parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di korneaBila
tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan
dandievaluasi setiap hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan
darahnyamasih ada sampai hari ke 5-9 lakukan juga parasentesa.

Kortikosteroid dan Antibiotika


Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan
mengurangikomplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding
dengan antibiotika.

36
Perawatan Operasi

Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaucoma


sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3
5hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila
tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata
maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6
hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.

Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia


anterior perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus
bertahan selama 9 hari. Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau
setelah 4 hari. Darikeseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :

1. Empat hari setelah onset hifema total


2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama
4hari (untuk mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA selama 6
haridengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih dari 8-9 hari
(untukmencegah peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun
ukurannyadengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari
24 jam. Jika Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari,pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat
atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. Corneal blood staining terjadi pada 43%
pasien. Pasien dengan sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi
jika tekanan intra ocular tidak terkontrol dalam 24 jam.

Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :

1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai
berikut :dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang
sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan
pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila
darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan
garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak
perlu dijahut. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan
diamox atau jika darah masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200

3.9 Prognosis

37
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa
disertaiglaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali
danhilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah
mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma
tersebutmenimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan
telahmencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk
(malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.

3.10 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik


hifemaadalahperdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di
sampingkomplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio
retina,katarak dan iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung
padatingginya hifema.
1. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini
timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari
perdarahan primernya. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada
yang primer.Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma
inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.

2. Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan
olehtersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah.
Insidensinya 20% , sedang di RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya darah
dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-
unsur darah menutupisudut COA dan trabekula sehingga terjadinya
glaukoma.Glaukoma sekunderdapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar
berakibat suatu reses sudut bilik matasehingga terjadi gangguan pengaliran
cairan mata.

3. Hemosiderosis kornea
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA
dalambentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm
sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada
iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian
hifema dikeluarkansetelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat
penumpukan darihemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea,
menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau
imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio
kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma.
Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder
disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karena hemosiderosis
tidak selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam
waktu yang lama (2 tahun). Insidensinya 10%.3 Zat besi di dalam bola mata

38
dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat
menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.
Komplikasi ini akibat dari iritis atau iridocyclitis. Komplikasi ini jarang pada
pasien yangmendapat terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada
pasien dengan evakuasi bedah pada hifema. Peripheral anterior synechiae
anterior synechiaeterjadi pada pasien dengan hifema pada COA dalam waktu
yang lama, biasanya 9 hari atau lebih.Patogenesis dari sinekia anterior perifer
berhubungan dengan iritis yang lama akibat trauma atau dari darah pada COA.
Bekuan darah pada sudutCOA kemudian bisa menyebabkan trabecular
meshwork fibrosis yangmenyebabkan sudut bilik mata tertutup.

5. Atrofi optik
Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.

6. Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio
kornea,uveitis. Selain dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar
yangmungkin juga masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga
padafunduskopi gambaran fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan
menurunnya
lebih banyak.Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit
ketajamanpenglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih
normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat menyebabkan
gangguan visus dankenaikan tekanan intra okular sehingga mata terasa sakit
oleh karena glaukoma.Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit
bertambah karena tekanan intraokular lebih meninggi dan penglihatan lebih
menurun lagi.

3.11 Pencegahan

Trauma kecelakaan pada mata dapat dicegah dengan menggunakan


peralatan pelindung mata seperti googles. Walaupun trauma akibat pembedahan
jarang terjadi, pencegahan dengan menggunakan acetazolamid intravena dan
manitol perlu dilakukan apabila terdapat peningkatan TIO atau pasien dengan
anestesia umum. Hal ini diharapkan bisa mencegah hifema intra dan post-
operatif. Untuk menghindari kemungkinan perdarahan ulang, perlu diberikan
pengobatan antifibrinolitik dan steroid sistemik pada kasus-kasus tertentu.

4. Memahami dan Menjelaskan Gangguan Kesadaran


4.1 Definisi
Kesadaran adalah kesiagaan seseorang terhadap diri dan sekitarnya. Secara
patofisiologi, kesadaran normal tergantung dari input sensorik ke otak dan
aktivitas intrinsik sistem aktivasi retikular, formatio retikularis asenden di batang
otak dan hubungan rostralnya, yang mempertahankan korteks serebri tetap dalam
keadaan siaga.

39
Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk
mempertahankan fungsi kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan
dan efektif antara hemisfer serebri yang intak dan formatio retikularis di batang
orak. Gangguan pada hemisfer serebri atau formatio retikularis dapat
menimbulkan gangguan kesadaran

4.2 Mekanisme

Input saraf dapat dibedakan dalam input yang bersifat spesifik dan bersifat
non-spesifik. Lintasan asenden dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan
implus sensorik protopatik, propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke
daerah korteks perseptif primer disebut lintasan asenden spesifik atau lintasan
asenden lemniskal.
Ada pula lintasan asendens non spesifik yakni formasi retikularis
disepanjang batang otak yang menerima dan menyalurkan implus dari lintasan
spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang otak bagian atas serta
meneruskannya ke nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan
difus keseluruh permukaan otak.
Pada manusian pusat kesadarn terdapat didaerah pons, formasio retikularis
daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan non spesifik ini oleh merruzi dan
magoum disebut diffuse ascending reticular activating system (ARAS). Melalui
lintasan non pesifik ini, suatu implus dari perifer akan menimbulkan rangsangan
pada seluruh permukaan korteks serebri.
Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asenden
yang pada dasarnya berbeda. Lintasan spesifik menghantarkan implus dari satu
titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks persetif primer. Sebaliknya
lintasan asenden nonspesifik menghantarkan setiap implus dari titik manapun
pada tubuh keseluruh korteks serebri.
Neuron-neuron dikorteks serebri yang digalakan oleh implus asenden
nonspesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, sedangkan yang
berasal dari formasio retikularis dan nuklei intralaminalis talami disebut neuron
penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab
apapun akan menimbulkan gangguan kesadaran

Menjelaskan dan memahami mekanisme gangguan kesadaran.


- Proses supratentorial dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran
1. Disfungsi difus kortikal dari korteks serebri seperti ensefalitis,
neoplasma, trauma kepala tertutup dengan perdarahan, empiema
subdural (akumulasi nanah) intraserebral.
2. Disfungsi subkortikal bilateral seperti trauma batang otak, GPDO.

40
3. Kelainan lokal hemisfer serebri disebabkan masa yang menjepit,
menekan struktur bagian dalam diensefalon, herniasi mengganggu
talamus dan activating hipotalamus.

- Proses infratentorial, penuruan kesadaran.


1. Destruksi langsung pada ARAS
2. Batang otak rusak akibat invasi langsung (GPDO, diemilinasi,
neoplasma, granuloma)
3. Kompresi ARAS langsung pada pons dan midbrain, iskemik dan
edema, yang dapat menyebabkan herniasi keatas serebelum dan
kebawah.
Tata laksana :
1) Airway (jalan napas), hilangkan obstruksi, gunakan pipa orofaring atau
endotrakea (ETT) jika perlu.
2) Breathing (pernapasan), berikan oksigen, lakukan ventilasii jika gerak
pernapasan tidak adekuat.
3) Circulation (sirkulasi), cek nadi dan tekanan darah, pasang akses
intravena, dan berikan pengganti darah yang hilang.
4.3 Penilaian

Tingkat Kesadaran (penilaian kualitatif)


1) Compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungn dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4) Somnolen (obtundasi, letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban
verbal.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya). Sedangkan pada
coma ringan, pasien masih responsif terhadap rangsang nyeri.

Indikasi Penilaian Kesadaran


a. Pasca kecelakaan / trauma
b. Terdapat riwayat penyakit di bagian kepala
Cara Penilaian Kesadaran

41
Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara kuantitatif
Membuka mata
Spontan :4
Dengan perintah :3
Terhadap nyeri :2
Tidak ada :1

Respon verbal terbaik


Orientasi baik :5
Bingung :4
Kata-kata yang tidak tepat :3
Suara yang tidak dapat dimengerti :2
Tidak ada :1

Respon motorik terbaik


Mematuhi perintah :6
Melokalisir nyeri :5
Menarik lengan (withdraws)(fleksi normal/ menghindar) :4
Fleksi abnormal (fleksi spastik) :3
Ekstensi bila ada rangsang nyeri :2
Tidak ada :1

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E


VM..Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu
E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Jika dihubungkan dengan kasus trauma
kapitis maka didapatkan hasil :
GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)

Untuk anak-anak, dipakai Skala Koma Glasgow untuk anak-anak, tetapi dengan
perubahan pada skor verbalnya bagi anak yang berusia kurang dari 4 tahun (skor
respons membuka mata dan respons motornya seperti dewasa) :

Skor Verbal SKG/GCS Pediatrik.

Tabel 2

V-score
Verbal Respons
Appropriate words or social smile, fixes and follows 5
Cries, but consolable 4

42
Persistenly irritable 3
Restless, agitated 2
None 1

43
Daftar Pustaka

Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit; available at URL :


www.medicastore.com.

Ilyas, Sidarta. Hifema, dalam: Ilmu Penyakit Mata, edisi 2, FKUI, Jakarta, 2003

Ilyas S; Salamun MT, Azhar Z ; Hifema dalam Sari Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-3,
Jakarta ; Balai penerbit FKUI;2003

Ilyas S; Hifema. Dalam : Kedaruratan dalam Ilmu penyakit Mata. Cetakan Ke-3. Jakarta ;
Balai penerbit FKUI, 2005

Ilyas S. Milingky hbb, Taim H dkk ; hifema dalam Ilmu Penyakit mata edisi ke-2.Jakarta;
penerbit CV sagung seto;2002

Sheppard, John D, Jr, MD, MMSC. Hyphema. Available at:


http://www.emedicine.com/med/EYE/ topic.2884.htm. last up date: 3rd November 2006.

Wijana,N; Hifema. Dalam ; Ilmu Penyakit Mata, cetakan ke-5.Jakarta, 1989

44

Anda mungkin juga menyukai