5. Diagnosis
6. Diffrential Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema
diagnosis Pada reaksi sitemik berat:
1. Syok Hipovolemik
2. Syok Septik
3. Syok Kardiogenik
4. Syok Neurogenik
5. Hipoglikemia
6. Ketoasidosis
7. Dehidrasi
7. Pemeriksaan 1. Darah rutin
penunjang 2. Urin rutin
3. Analisis Gas Darah
8. Tatalaksana Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien mengalami henti
jantung-paru, harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
Adrenalin (epinefrin) 1: 1000 mg dosis 0,01 mg/kg intramuskuler maksimal 0,3
mg atau: >12 tahun: 5 mcg IM (0,5 mL); 6-12 tahun: 3 mcg IM (0,3 mL), < 6
tahun: 150 mcg (0,15 mL)
Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas karena
edema
Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang torniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gig1tan tersebut
Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak atau penderita
dengan mengi.
Difenhidramin: untuk mengurangi gejala gatal, kemerahan, angioedema, urtikaria,
gejala pada mata dan hidung, namun tidak dapat menggantikan adrenalin karena
tidak dapat mengurangi gejala obstruksi saluran nafas atas, hipotensi dan syok
dosis 1 mg/kg maksimum 50 mg.
Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak: kristaloid 20 ml/kg
secepatnya
Aminofilin
Vasopresor
Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada penatalaksanaan
akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala berulang
Pengobatan suportif
9. Edukasi Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya makanan, obat-
obatan dan lain-lain.
Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa anak tersebut
menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan dan lain-lain.
Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan tentang cara
pemakaiannya
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat IV
evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH
14. Indikator Respon klinis baik bila :
medis a. Keadaan umum : Kompos Mentis
b. Tanda vital stabil
c. Tanda tanda komplikasi tidak ada
15. Taksiran lama
perawatan
16. Daftar 1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
kepustakaan Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to Drugs.
Chapter 151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN
Kode ICD : D69.0
1. Definisi Sindroma klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang
ditandai dengan lesi kulit spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau
artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan
nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.
2. Anamnesis Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas (terutama di
ekstremitas bawah)
Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
Apakah ada BAK merah, nyeri kepala
3. Pemeriksaan fisik Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya
trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100%
kasus) purpura lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-
kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas
(punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan
intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)
4. Kriteria Diagnosis Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong dan
ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau perdarahan
gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.
Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak spesifik,
jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat, kadar komplemen
normal, kadar IgA dalam darah mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung
darah. Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding
pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri komplikasi.
5. Diagnosis Purpura henoch schonlein
6. Diagnosis Banding Penyakit Kawasaki
Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP
7. Pemeriksaan Laboratorium
Penunujang 1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura yang
disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia. LED dapat meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam
darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan kreatinin
klirens
4. Feses: ditemukan darah
Pencitraan:
Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen
8. Tatalaksana 1. Suportif dan simptomatis:
Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti asetaminofen atau ibuprofen.
Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol
Nyeri perut: makanan lunak
2. Kortikosteroid
diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran cerna,
purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif (sindroma nefrotik,
kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang hebat, gangguan SSP, dan
perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7 hari +
siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 100-200 mg (oral) selang sehari, siklosfosfamid
100-200 mg selama 30-75 hari
- Tappering off predinon 25 mg/bulan terapi selasai minimal dalam 6
bulan.
Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis: kortikosteroid oral jangka
pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 5-7 hari kemudian
diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu.
Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari
3. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
4. Jika akut abdomen konsul bedah.
5. Monitoring:
Tekanan darah
Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
Purpura/lesi kulit baru yang timbul
Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses
9. Edukasi Menjelaskan pada penderita/keluarga:
Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal penurunannya, efek
samping dan cara memakan obat
10.Komplikasi dan Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
Prognosis Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
SSP : defisit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50% kasus
dapat rekuren.
Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH
14. Indikator medis Tanda vital stabil, terutama tekanand arah normal
Gejala yang mengganggu menghilang: nyeri perut, nyeri sendi, lesi kulit, BAB hitam
Perbaikan dari hasil-hasil laboroatorium: LED, leukosit, fungsi ginjal, urinalisis dan
pemeriksaan feses
15. Taksiran lama 10-14 hari
perawatan
16. Daftar 1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA, Munazir Z,
kepustakaan Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke
2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.
Pennsylvania WB Saunders. 2010.
4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2010
4. Imunosupresan
1. Siklofosfamid:
Oral 1-3 mg/kg/hari
Parenteral: awal 500-750 mg/m2 LPT maksimum 1 g/m2 /hari
o Pilih dosis terendah untuk leukopenia , trombositopenia,
kreatinin >2 g/dl) maksimum 1 g/m2 /hari.
o Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan D5%
dalam NaCl 0,225% (D5 NS) selama 1 jam bersama
hidrasi 2L/m2 /hari perinfus selam 24 jam dimulai 12 jam
sebelum infus siklofosfamid.
o Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan
peningkatan 250 mg/m2 /bulan sesuai dengan toleransi
selam 6 bulan selanjutnay tiap 3 bulan sampai 36 bulan
total pengobatan.
2. Metotreksat.
Dosis 10-20 mg/m2 peroral sekali seminggu diberikan bersama
asam folat
Diberikan pada trombositopenia (trombosit <50.000/mm3 )
jangka panjang setelah tercapai inisial metil prednisolon dosis
tinggi, poliartritis berat bila dosis rumatan kortikosteroid> 10
mg/hari, LE kutan berat.
B. Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:
betametason 0,05% atau
flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya hidrokortison
C. Fisioterapi
Diindikasikan bila ada artritis.
D. Supportif
1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka panjang harus disertai
suplemen Ca dan vitamin D
2. Dosis kalsium karbonat:
<6 bulan: 360 mg/hari
6-12 bulan: 540 mg/hari
1-10 tahun: 800 mg/hari
11-18 tahun: 1200 mg/hari
3. Dosis vitamin D (hidroksikolkalsoferol)
BB<30 kg: 20 mcg po 3 kali/minggu
BB>30 kg: 50 mcg po 3 kali/minggu
E. Pencegahan
1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari
Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam
09.00/10.00-15.00/16.00
Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata hitam
Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
Diet tinggi Ca
Vitamin D adekuat
Olahraga
9. Edukasi Edukasi kepada penderita dan keluarga agar mengerti penyakit dan
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat pemakaian
imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.
10. Komplikasi & Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat defisiensi imun, juga
Prognosis berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan.
Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.
Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa 10
tahun sebesar 90%.
Penyebab kematian akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia autoimun infeksi.
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH
14. Indikator medis Klinis: Tanda vital, lesi kulit, edema, pucat, peradangan pada sendi
Laboratoris: darah perifer, urinalisis (proteinuria, hematuria) fungsi ginjal, elektrolit,
albumin, CRP
15. Taksiran lama Tergantung perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul: 15-30 hari
perawatan
16. Daftar 1. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
kepustakaan Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.
2. Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus erithematosus. Chapter
157 . Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2010
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,Harmoniati ED,
Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid II.
Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesi. 2011. Hal: 175-83.
Klasifikasi Imunologis:
a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisiensi CD4+ menurut umur
<11 bln (%) 12-35 bln (%) 36-59 bln (%) >5 th(sel/mm3)
Tidak ada >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349
Berat <25 <20 <15 <200 atau<15%
b. Berdasarkan hitung limfosit total (TLC= total lymphocyte count)
Nilai TLC berdasarkan umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln 5 th (sel/mm3)
(sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3)
TLC <4000 <3000 <2500 <2000
CD4+ <1500 <750 <350 <200
Pemantauan
Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi pemberian ARV
Item dasar Bulan Bulan Bulan Bulan Tiap
1 2 3 6 6 bln
Evaluasi klinis X X X X X X
BB&TB X X X X X X
Status nutrisi & kebutuhannya X X X X X X
Kebutuhan CTX & kepatuhan X X X X X X
berobat
Konseling mencegah X X X
pemakaian narkoba, penularan
PM S & kehamilan
Pencegahan IO dan X X X X X X
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit X X
SGPT X
CD4+% atau absolut X X
Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak diagnosis
AIDS ditegakkan.
11. Tingkat IV
evidens
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH
14. Indikator Klinis: tanda vital, sesak, pucat, BAB, muntah, toleransi makan obat-obatan, status
medis nutrisi
Laboratoris: darah perifer
15. Taksiran lama 14-30 hari
perawatan
16. Daftar 1. Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam: Akib AA,
kepustakaan Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414
2. Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency Syndrome
(Human Immunodeficiency Virus). Bab 273.Dalam: Behrman N,
Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB
Saunders Co 2008.
3. Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada bayi dan anak.
Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management.
Unit Pendidikan Kedokteran Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FK UI.
Jakarta 2009
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jilid 2. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2011.
5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti retroviral pada anak
di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.
Diabetes Melitus
Kode ICD : E10.41
1. Definisi Diabetes adalah keadaan akibat tubuh tidak dapat membuat insulin
secara cukup atau insulin tidak dapat bekerja secara optimal
sehingga terjadi peningkatan gula darah dan gangguan metabolisme
lemak serta protein.
2. Anamnesis polifagia, poliuria (sering kencing malam hari/ngompol), polidipsia,
berat badan turun, badan lemas, gatal-gatal, faktor genetik (riwayat
keluarga dengan DM).
Diabetes simptomatis/klinis
Gejala klasik: polidipsia, poliuria, polifagia, berat badan turun.
Gula darah puasa > 120 mg/dl atau Gula darah 2 jam PP > 200
mg/dl atau Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
Diabetes ketoasidosis
Hiperglikemia, ketonemia, asidosis, ketonuria, glukosuria.
Diabetes asimtomatis/prediabetes
Curiga bila terdapat 2 gejala pada nomer 1b OGTT
Tes autoantibodi insulin (AAI) + HLA+ ICA+L(Islet Cell
Antibody).
5. Diagnosis DM tipe I
DM tipe II
6. Diagnosis Banding Berdasarkan bentuk klinis:
1. DM tergantung insulin/DM tipe I: 95- 98 % kasus
Predisposisi genetik
Pengaruh lingkungan sebagai trigger factor
Kelainan autoimun
7. Pemeriksaan kadar gula darah, bila perlu OGTT (bila meragukan), gula urin /
Penunjang reduksi, ketonemia urin, C peptide, HbA1c, ICA/IAA (kalau
mampu).
Mencegah komplikasi
8. Terapi Menghilangkan gejala klinis
Pertumbuhan dan perkembangan yang normal (fisik dan emosi)
Mencapai harapan hidup yang sama dengan bukan penderita
diabetes
12. Tingkat A
Rekomendasi
7. Pemeriksaan Darah.
Penunjang Kimia darah: glukosa darah, serum elektrolit, fungsi ginjal
Darah tepi lengkap.
Analisis gas darah.
Urin: keton urin, reduksi urin, poliuria (> 900 ml/m2 /hari).
8. Terapi Setiap penderita KAD berat, KAD dengan penurunan kesadaran, KAD
berusia kurang dari 5 tahun dan KAD dengan kecurigaan edema serebri
sebaiknya dirawat di ICU.
Fase akut
a) Resusitasi cairan
Tentukan status hidrasi dan defisit cairan dalam 48 jam (lihat tabel)
Dehidrasi
Ringan Sedang Berat
Bayi 5%: 50 ml/kg 10%: 100 ml/kg 15%: 150 ml/kg
Anak 3%: 30 ml/kg 6%: 60 ml/kg 9%: 90 ml/kg
b) Pemberian insulin.
Berikan regular insulin atau Rapid Insulin 0,1 iu/kgBB/jam secara
intravena (perdrip) dan diberikan secara terpisah dengan jalur infus untuk
resusitasi cairan
50 iu insulin dimasukkan dalam 500 ml NS 0,9% atau 10 I insulin
dalam 100 ml NS 0,9%
Berikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam
Kadar gula darah tidak boleh turun > 100 mg/dL per jam
Jumlah cairan untuk pemberian insulin ini diperhitungkan juga, sehingga
tetesan resusitasi cairan perlu dikurangi dengan jumlah tetesan insulin.
Insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Kecepatan pemberian
insulin dapat disesuaikan (misal menjadi 0,05 /kgBB/jam) sesuai klinis.
Penggantian pemberian secara subkutan harus dilakukan dulu 30 menit
sebelumnya baru insulin drip distop.
Apabila kadar gula darah telah mencapai 250-300 mg/dL, cairan
resusitasi ditambahkan dekstrose 5% dalam perbandingan 1:1 dengan
cairan NaCl 0,9%.
Pertahankan kadar gula darah antara 200-250 mg/dl selama pemberian
insulin intravena dengan melakukan monitoring berkala.
HIPOTIROID KONGENITAL
Kode ICD :E03.0- E03.1
1. Definisi Keadaan di mana kelenjar tiroid gagal untuk mensekresi hormon tiroid
secara cukup sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan organ-organ
tubuh pada bayi baru lahir.
2. Anamnesis a. Asal daerah gondok endemik?
b. Riwayat kelainan kelenjar tiroid pada ibu serta pemakaian obat
(pengobatan) selama kehamilan, pertumbuhan dan perkembangan
anak
3. Pemeriksaan a. Tentukan diagnosis hipotiroid berdasarkan scoring neonatal
fisik hypothyroid index (untuk diagnostik pada RS Perifer dan/ atau
Puskesmas) :
Klinis Skor
Feeding problem 1
Constipation 1
Inactivity 1
Hypotonia 1
Umbilical hernia (>0,5) 1
Enlarge tongue 1
Dry skin 1,5
Skin mottling 1
Open posterior fontanella 1,5
Typical facies 3
Bila total nilai skor 4 dicurigai hipotiroid lakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
b. Bayi baru lahir
Gejala klinis sering belum jelas, dapat berupa:
Ikterus fisiologis yang memanjang
Hipotermi sementara (suhu rektal< 35,5 o C) dalam 0-45 jam paska
lahir
Ubun-ubun besar melebar (> 0,5 cm) terutama fontanella posterior
Makroglosi, kesulitan minum, sering keselek dan sering kesulitan
bernafas
Suara besar dan parau, tangis serak
Hernia umbilikalis (hipotoni otot), sering obstipasi, distensi abdomen
Reflek tendon melambat
Nadi lambat, kulit kering dan dingin, terdapat mottling (bercak-
bercak)
Miksedema / sembab pada wajah, hipertelorisme.
ECG (tidak spesifik): low voltage, prolonged conduction time
Foto toraks: bayangan jantung membesar.
c. Masa bayi dan anak
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (motorik, mental, gigi,
tulang, pubertas)
Miksedema, sering obstipasi
Ubun-ubun besar terlambat menutup
Makroglosi
Kesulitan belajar, anemia
Aktivitas lambat, retardasi mental makin jelas.
Catatan: goiter jarang dijumpai (tetapi bayi dengan goiter sering didapat
pada ibu Grave yang diobati dengan PTU).
5. Kriteria TSH , T4/fT4
Diagnosis fT4 , TSH (suspek pituitary/sekunder hipotiroid, isolated TSH
deficiency atau tersier hypothyroid) evaluasi ulang fT4
T4/fT4 normal, TSH evaluasi ulang 2-3 minggu T4/fT4 , TSH
(immature feedback mechanism).
Catatan: fT4 lebih disarankan dibanding T4
6.Diagnosis kerja Hipotiroid kongenital
7. Diagnosis -
Banding
8. Pemeriksaan Laboratorium: TSH, free T4
Penunjang i. Untuk skrining bisa dimulai dengan pemeriksaan TSH dulu
ii. Bila TSH > 20 kemungkinan hipotiroid besar
iii. TSH >100 95% merupakan hipotiroid walaupun gejala masih
negatif
Radiologi: bone age, foto toraks, thyroid scanning (atas indikasi)
Lain-lain: BERA / tes pendengaran, EMG (Elektromiografi) atas
indikasi
9. Terapi Berikan hormon tiroid: Tiroksin (0,1 mg) dengan dosis awal:
Usia: 0 - 3 bulan 8 10 g/kg BB/hari
3 6 bulan 7 11 g/kg BB/hari
6 12 bulan 6 8 g/kg BB/hari
1 5 tahun 4 6 g/kg BB/hari
kemudian dosis ditingkatkan atau diturunkan tergantung evaluasi
klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Bila terdapat kelainan jantung atau pada hipotiroid berat (dengan
miksedema) dosis dimulai dengan dosis rumatan dan
ditingkatkan secara bertahap tiap 5 hari sampai tercapai dosis
optimum.
10. Edukasi Pencegahan : Skrining Hypothyroid saat bayi baru lahir (usia 1 2
hari)
Ad Vitam: dubia ad bonam
11. Prognosis Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
12. Tindak Selama terapi harus selalu dievaluasi :
lanjut a. Klinis :
Gejala timbulnya hipotiroid (bila dosis terlalu rendah / tidak
teratur berobat)
Gejala timbulnya hipertiroid ( bila dosis terlalu tinggi)
b. Laboratorium: T4/fT4, TSH 46 minggu sekali untuk 3 bulan
pertama, kemudian setiap 3 bulan dan 4 bulan sekali untuk tahun
kedua, seterusnya setiap 6 bulan selama 5 tahun
c. Radiologis: Bone age / maturasi tulang 2 tahun sekali
d. Psikometri: dimulai sejak usia 12-18 bulan setiap 2 tahun
e. BERA / tes pendengaran: sedini mungkin dan evaluasi setiap
tahun
f. EMG (bila mungkin) untuk evaluasi conducting nerve
g. EEG (atas indikasi ).
13. Tingkat III
Evidens
14. Tingkat C
Rekomendasi
15 Penelaah Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
Kritis
16. Indikator - Normalisasi fungsi tiroid
Klinis - Optimalisasi Pertumbuhan dan perkembangan termasuk :
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara
Perkembangan 37sosial
- Pencegahan Komplikasi
17. Daftar 1. Foley TP Jr, Malvaux P, Blizzard RM: Thiroid disease: in Kappy
kepustakaan MS, Blizard RM, Migeon CJ: Wilkins: the Diagnosis and
treatment of Endocrine Disorders in childhood and adolescence,
ed 4. Springfield, Thomas,1994,pp457-533.
2. Svenson J, ericsson UB, Nilsson P, et al: Levothyroxin treatment
reduces thyroid size in children and adolescence with chronic
autoimun thyroiditis. JClin Endocrinol metabolic
HIPERTIROID
Kode ICD : P72.1
1. Definisi Hipertiroid adalah keadaan dimana terjadi kelebihan hormon tiroid dalam
sirkulasi darah.
a. Adanya faktor genetik yang dipicu oleh lingkungan (infeksi, obat, stress,
2. Anamnesis bahan kimia)
b. Gejala klinis: keluhan dada berdebar, berkeringat, mudah lelah, mata
menonjol
Langkah Diagnosis :
3. Kriteria Anamnesis
Diagnosis Pemeriksaan fisis / gejala klinis
Gejala lebih ringan dari dewasa dan muncul perlahan (6-12 bulan).
Krisis tiroid dan hipertiroid apatik jarang dijumpai.
Adanya Trias : Goiter ( diffus), tirotoksikosis, oftalmopati + dermopati
( jarang).
Gejala mayor : Struma, takikardi, tekanan nadi melebar,
eksoftalamus, nervositas.
Gejala minor: tremor, intoleransi panas, berat badan menurun.
Gejala lain: nafsu makan meningkat, banyak berkeringat, kulit panas,
prestasi belajar menurun, emosi labil, sering buang air besar, diare,
menstruasi tidak teratur.
Pemeriksaan penunjang
T4 atau fT4 , T3 , TSH
Uptake RAI naik 34 - 40%
Pada saat sakit T3 meningkat (merupakan tes terbaik untuk
skrining)
Ada thyroid stimulating Ig, TRAb.
4. Diagnosis Hipertiroid
Kerja Neonatal/kongenital: transplacental TSH receptor stimulating
immunoglobulin dari ibu yang menderita penyakit Grave (bersifat
transien)
Didapat: penyakit Grave / tirotoksikosis autoimmun (kasus terbanyak),
fungsional adenoma, tiroiditis subakut, tumor hipofise yang
memproduksi TSH atau hipofise resisten thyroxine.
Laboratorium fungsi tiroid
5. Pemeriksaan USG tiroid dan skintigrafi kalau perlu
Penunjang EKG bila perlu
Pemeriksaan imunologi (bila fasilitas ada)
a) Konservatif / medikamentosa dengan obat anti tiroid/ATD:
6.Terapi Dapat diberikan :
1. Methimazol dengan dosis :
Dosis inisial 0,4mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, dilanjutkan dosis
pemeliharaan 0,2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
2. Propiltiourasil (PTU) dengan dosis :
Anak kecil: 5-7 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis, dosis ditingkatkan /
diturunkan bertahap sesuai dengan evaluasi klinis dan laboratorium
Anak besar : pada umumnya 3 X 100 mg/hari.
Gejala klinis berkurang setelah 1-2 minggu, kelainan laboratorium
normal setelah 4-6 minggu (perlu dipantau T3, fT4, TSH dan
BMR).
Bila fT4 rendah perlu diperiksa TSH untuk menilai over treatment.
Dosis PTU diturunkan sesuai hasil pemantauan klinis dan
laboratorium.
30-40% pasien remisi setelah 2-3 tahun dan di tappering 6 bln-1 th
sehingga bila dihentikan tidak terjadi hipertiroid.
Obat lain yang sering digunakan :
4. Glukokortikoid
Indikasi: krisis hipertiroid dan progressive severe Graves
opthalmopathy.
b) Pembedahan (tiroidektomi)
Dipertimbangkan bila 2-3 tahun terapi konservatif tidak terjadi
remisi
Persiapan:
Sebelum pembedahan pasien harus tirah baring dengan diet
cukup 1-3 minggu Pra pembedahan hingga 1 minggu pasca
bedah diberi larutan KY jenuh 10 tetesan untuk mencegah
timbulnya thyroid storm
Thyroid Storm keadaan darurat
Terapi :
Sodium iodida iv 1-2 gram
Dexamethason
Propanolol
Kontrol hipertermi dan cairan (infus)
Setelah tiroidektomi perlu observasi
Hipotiroid akibat reseksi berlebih (harus diberi hormon tiroid
seumur hidup)
Tirotoksikosis berulang karena reseksi tiroid kurang
Hipoparatiroid (kelenjar paratiroid secara tidak sengaja
terambil).
c) Ablasi Terapi dengan Radioactive Iodine (RAI)
Diindikasikan pada tirotoksikosis rekuren setelah pembedahan
Digunakan 131 I atau 123 I (14)
Efek biologi dari 131 I adalah partikel radiasi necrosis dan
kegagalan replikasi dari folikel sel yang tidak dirusak.
Sasaran terapi adalah membuat euthyroid atau hipothyroid .
Hipotiroid biasanya terjadi dalam 6 bulan-satu tahun (10%-20%)
dan bisa transien atau permanen sehingga perlu tiroksin
sepanjang hidupnya
Ad Vitam: dubia ad bonam/malam
7. Prognosis
Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam
8.Edukasi/Tindak a. Monitoring efek samping obat
lanjut ES PTU : agranulositopenia, hepatitis, cholestasis jaundice,
trombositopenia, anemia aplastik (sangat jarang), gatal,
urtikaria, atralgia, demam (dapat dikurangi dengan
mengganti jenis obat tionamida lain).
b. Monitoring kemungkinan relaps.
c. Monitoring pertumbuhan.
9.Tingkat III
Evidens
10. Tingkat C
Rekomendasi
11. Penelaah Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
Kritis
12. Indikator - pencegahan komplikasi
Klinis - normalisasi fungsi tiroid
- optimalisasi tumbuh kembang
-
13. Daftar 1. Beck-Pecoz P, Persani L, La Franchi S: Safety of medications and
kepustakaan hormons used in the treatment of pediatric thyroid disorders.
Pediatric endocrinol Rev 2004;2 (suppl 1) 124-133
2. Dallas JS, Folley TP Jr.Hyperthyroidism: inlifshitz F (ed): Pediatric
Endocrinology, ed5 New York, Informa Health Care 2007, pp 415-
442.
3. Hung W, Sarlis NJ: Autoimmune and non-Autoimmune
hyperthyroidism in pediatric patients: a review and personal
commentary on management. Pediatr Endocrinol Rev 2004;2:21-38.
Perawakan Pendek
Kode ICD : R.62.52
2
Potensi tinggi genetik = MPH 8,5 cm
Berdasarkan Etiologi
6. Diagnosis Banding Varian normal
Familial / genetic short stature
Constitutional delay of growth and puberty / maturation.
Perawakan pendek primer
Sindrom-sindrom yang dihubungkan dengan kelainan
kromosom
Sindrom-sindrom yang lain
IUGR, yang disebabkan kelainan saat dalam kandungan,
disfungsi plasenta berat
Skeletal dysplasia/osteochondrodysplasia
Storage disorder (jarang).
Perawakan pendek sekunder
Kelainan sistemik (penyakit kronis)
Malnutrisi
Kelainan endokrin
Metabolic disorders
Iatrogenic short stature
Psychososial/ emotional short stature (psychosocial
dwarfism).
Perawakan pendek idiopatik
Tidak dijumpai kelainan.
7. Pemeriksaan a) Lakukan pemeriksaan penunjang:
Penunjang Lab rutin ( DL, UL, FL ) untuk mencari kelainan
sistemik
Pemeriksaan umur tulang (bone age)
b) Pemeriksaan lanjutan (atas indikasi):
Fungsi tiroid (free T4, TSH)
Analisis kromosom (pada wanita): untuk diagnosis
sindrom Turner
Uji stimulasi/provokasi hormon pertumbuhan
(pemeriksaan hormon pertumbuhan secara acak tidak ada
manfaatnya sama sekali dan hasilnya tidak bisa
diinterpretasikan).
14.Daftar
1. 1. Dunger DB,Ong KK: Endocrine and metabolic consequences
kepustakaan of intrauterine growth retardation. Endocrinol Metab Clin North
Am 2005;34:597-615
2. 2. Lee MM: Clinical practice. Idiopathic short stature. N Engl J
Med 2006;354:2576-2582.
3. 3. Rosenfeld RG, Hwa V: Toward a molecular basis for
idiopathic short stature. J Clin Endocrinol Metab 2004;89:1066-
1067.
Penyakit Kromosom
Hambatan Pertumbuhan Penyakit Sistemik
Intrauterine/IUGR
Disproporsi Tubuh Periksa umur tulang (UT).
UT > UK UT < UK UT = UK
Coba beri GH
Defisiensi GH
Respon (+) Respon (-)
GH Bio-inactive
GH Bio-inactive Laron
Dwarfism
(Idiopatik)
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (ppk)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
11.Tingkat C
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
OSTEOGENESIS IMPERFECTA
Kode ICD
SINDROMA TURNER
Kode ICD : Q96.8
SINEKIA VAGINA
Kode ICD :N89.5
1.Definisi Sinekia vagina adalah perlekatan labia minora akibat iritasi dan
inflamasi.
Nama lain: aglutinasi labia minora, adhesi labia minora
2.Anamnesa Tidak tampak lubang vagina, lubang vagina tertutup
Terdapat faktor predisposisi (Higiene daerah sekitar
vulvovagina jelek)
3.Pemeriksaan Fisik tampak perlekatan labia minora sebagian atau menyeluruh
4.Kriteria Diagnosis Gejala klinis: tampak labia minora tertutup dengan adanya rafe
garis tengah translusen yang nyata pada adhesi.
7.Pemeriksaan -
Penunjang
8.Terapi Lakukan tindakan pemisahan secara traumatik dengan alat
tumpul, atau
Berikan krim estrogen, dioleskan pada malam hari selama 2
minggu dan dilanjutkan selang sehari selama 2 minggu, atau
Laser vaporasi dengan anestesi lokal
9.Edukasi Pencegahan
Bersihkan genitalia eksterna setiap BAK/BAB
Gunakan celana dalam longgar dari bahan katun dan diganti bila
basah
Hindari sabun yang bersifat basa
Pengawasan yang cermat dari ibu terhadap hygiene anaknya.
10.Tingkat Evidens III
11.Tingkat C
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH
13.Indikator Klinis - Lepasnya perlengketan labia minora
- hygiene genitalia yang baik
14.Daftar 1. Papagiani M, Stanhope R. Labial adhesions in a girl with
kepustakaan isolated premature telarch: the important of organization. J
pediatric adolesense Gynecol 2003; 16(1):31,2
2. Leung AK, Robson TL. The incidence of labial fusion in
children. J pediatric Child Health 1993; 29.(3): 235-236
Kriptorkismus
Kode ICD :Q53.9
oleh:
12.Tingkat C
Rekomendasi
10,4mEq/L, CI: 61,4 mEq/L, HCO3: 12,6 mEq/L(mirip cairan KAEN 3A).
Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg dan usia 6
bulan sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan antimikroba termasuk
antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit diare akut. Patokan pemberian
antimikroba/antibiotika adalah sebagai berikut :
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.
5. Bayi umur kurang dari 3 bulan
Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.
DIARE KRONIK
ICD 10 : A06
1. Pengertian Diare kronik adalah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau
(definisi) disentri. Diare akut dengan episode serangan 4 kali atau lebih dalam sebulan.
Dibagi 2: diare persisten dengan sebab infeksi, diare kronik dengan sebab non-infeksi.
2. Anamnesis Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi
penampakan, konsistensi, adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala
infeksi saluran pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis),
terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-buahan (defisiensi sukrase-isomerase),
hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah gangguan
emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome), nyeri abdomen berulang yang berat
(insufisiensi pankreas yang berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat memprediksi penyakit. Bayi
muda: diare intraktabel pada bayi, alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena
infeksi yang berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit Hirschrprung, defek transpor
kongenital.Anak 2 tahun keatas, kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic
nonspesific diarrhea), enteritis karena virus yang berkepanjangan, giardiasis, difisiensi
sukrase-isomaltase, tumor sekretori, inflamatory bowel disease, dan penyakit siliak.
3. Pemeriksaan Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi, pemeriksaan abdomen, ekskoriasi
Fisik bokong, manifestasi kulit.Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat badan,
menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya. Tanda;tanda khas: anemia (inflamatory
bowel disease, penyakit siliak, fibrosis kistik), artritis (inflamatory bowel disease),
pubertas terlambat (penyakit Crohn), gagal tumbuh (penyakit Crohn, malabsorpsi lemak),
panas (inflamatory bowel disease, gastroentritis karena infeksi).
4. Kriteria Ananmesis
Diagnosis Pemeriksaanfisik
Pemeriksaanpenunjang
5. Diagnosis Diare kronis/persisten dehidrasi (derajat dehidrasi sama dengan diare akut)
6. Diagnosis Diare kronis
Banding Diare persisten dehidrasi
7. Pemeriksaan a. Pemeriksaan tinja :
Penunjang Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
Mikroskopis :
Darah samar dan leukosit yang positif ( 10/lpb) menunjukkan kemungkinan
adanya peradangan pada kolon bagian bawah.
PH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi
karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada
di dalam kolon. PH rendah (<5,3):reduksitinjaakibatmaldigestidanmalabsorpsi
KH, pH 6,0-7,5: malabsorbsi asam amino, asam lemak
Clinitest, untuk adanya malabsorbsi karbohidrat.
Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak.
Biakan kuman dalam tinja.
Pengecatan gram: bakteri (mengetahui bakteri dominan), jamur, parasit tinja
(amoeba, giardia, telur cacing/ cacing sebagai etiologi langsung). Beberapa
parasit perlu dikultur.
Elektrolit tinja: stool anion gap = 290 2 ([Na]+[K]), jika osmotik > 50,
sekretorik < 50. Osmolalitas tinja:< 250 : kontaminasi dengan air/urin: fistula,
banyak minum, > 290 : metabolismekarbohidrat oleh bakteri: overgroth
kuman, penyimpanan lama
b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate, albumin,
kadang diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll. Eosinofil tinggi: gastroenteritis
eosinofilik, alergi makanan, infeksi parasit. Netropenia: sindroma Sluvachman. Hb
dan albumin rendah, dan LED tinggi menunjukkan penyakit organik. Anemia:
sindromamalabsorpsi. Anemiahipokrommikrositer: peradarahankronis, malabsorpsi
Fe. Anemiamegaloblast:penySeliak, malabsorpsikronik B12 danasamfolat,LED dan
CRP tinggi: IBD. B12 rendah: bacterial overgrowth,Albumin dan protein lainnya
rendah:malnutrisi, malabsorpsi, protein losing enterophati, IgG campilobacter
pylorik. Imunodefisiensi: HIV, malnutrisi.
c. Breath hydrogen test : mengevaluasi malabsorbsi karbohidrat, overgrowth kuman.
d. Pemeriksaan radiologi :membantu mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi,
stenosis) dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory bowel disease,
penyakit Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.
Kolonoskopi : memeriksa kelainan mukosa kolon, seperti inflamatory bowel diseease, dan
lain-lain.
8. Terapi Umum dan Dietetik.
a. Nutrisi enteral :
Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima
untuk mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak
dengan saluran pencernaan yang masih berfungsi. Jalur enteral dapat ditempuh
melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau jejunostomi
dengan feeding tube
Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan
dalam 3 macam diet:
i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan
dipakai untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.
ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah
dan dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.
iii. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai
bercabang untuk pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien dengan
perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan metabolisme bawaan
(inborn errors of metabolism)
Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:
i. Karbohidrat berupa glukosa polimer.
ii. Lemak berupa long chain fatty acid dengan unsaturatted chain lebih
dominan ataumiddle chain fatty acid.
iii. Protein berupa protein utuh, protein hidrolisat, asam amino atau
gabungan.
iv. Vitamin dan mineral
Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung
glukosa primer (bebas laktosa), protein hidrolisat, medium chain triglyceride,
osmolaritas kurang dari 600 mOsm/l dan bersifat hipoalergik atau yang
mengandung short chain peptide (Pregestimil, Pepti Yunior).
Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. Mula-mula dianjurkan
konsentrasi 1/3 oral (2/3 IV), selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral (1/3 IV),
dan bila keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1 kg) diberikan
pregestimil/pepti yunior konsentrasi penuh.
Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu
atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran
gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan
meningkatkan secara bertahap kecepatan dan kadar formula sampai mencapai
kebutuhan nutrisi anak.
Komplikasi nutrisi enteral: hidrasi berlebih, hiperglikemia, azotemia (konsumsi
protein berlebih), hipervitaminosis K, dehidrasi sekunder karena diare,
gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare), gagal
tumbuh sekunder akibat pemasukan energi tidak cukup, aspirasi, dan defisiensi
nutrisi sekunder karena kesalahan formula.
b. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh
melalui jalur intravena. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino,
emulsi lemak, mineral, vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan
apabila penderita masih mempunyai saluran gastrointestinal yang masih
berfungsi serta masih dimungkinkan pemberian secara peroral, enteral atau
gastrostomi. Pada umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.
Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak
satupun yang memberikan efek positif.
b. Obat anti mikroba :
Pemberian anti mikroba umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora
usus dan memperburuk diare, kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat
(sepsis), anak dengan defisiensi imunologi dan anak dengan diare kronis yang
sangat berat. Metronidazole efektif untuk Giardia lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal
memberikan respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi
dengan steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila
pengobatan konvensional tidak mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama
malabsorbsi asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat
toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit
Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Operasi hanya dilakukan setelah keadaan
umum membaik.
Tatalaksana diare persistenmeliputi mengatasi infeksi persisten dengan mengunakan
hasil kultur dan resistensi feses (sebelumnya dapat dipertimbangkan mengunakan
antibiotik empiris), mengatasi intoleransi laktosa dengan mengunakan diet yang
bebas laktosa, mencegah atau mengatasi alergi protein susu sapi, mencegah atau
mengatasibakteri tumbuh lampau (dapat dipertimbangkan pengunaan metronidazol),
dan mengatasi malabsorpsi nutrien dengan memberikan multivitamin.
9. Edukasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah 1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
kritis 2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
14. Indikator Gambaran klnis, hasil laboratorium, kemajuan terapi
Medis
15. Target Sembuh tergantung etiologi
16. Kepustakaan 1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman
pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
2. Dep Kes RI, Dirjen PP & PL. Keputusan Menteri Kesehatan RI No:
1216/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Edisi ke
5, Tahun 2007
3. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
4. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the management of
diarrhea. Bull WHO. 2001; 79: 471-9.
5. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management of acute
diarrhea. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and
Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-3. Philadelphia:
WB Saunders; 2006. H. 557-81.
6. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis, including
epidemics due to shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-70.
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
ICD 10 : Q.43.1
1. Pengertian Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada dinding
(definisi) kolon
2. Anamnesis Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa neonatus
memperkuat diagnosis penyakit Hirschsprung.Riwayat kelahiran dengan mekonium
terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama sehingga terjadi obstruksi parsial dan
total (dengan gejalafeses tidak dapat dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah).
Gambaran klinis obstruksi total pada masa neonatus menunjukkan segmen yang terlibat
lebih panjang. Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus, penyakit
hirschsprungsebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya
hipotiroid) disingkirkan
3. Pemeriksaan Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi defekasi jarang,
Fisik kembung, dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang ditemukan pada penyakit ini.
Colok dubur didapatkan hasil: jari akan merasakan jepitan (karena kontriksi usus
aganglionik) dan saat jari dikeluarkan akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium
feses yang menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan pada pemeriksaan
colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali). Gambaran klinis
pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis (pada yang ultrashort dapat
menyerupai konstipasi fungsional), kadang-kadang diare dan biasanya disertai gagal
tumbuh.
4. Kriteria Anamnesis
Diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Penyakit Hirschsprung segmen pendek
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
Penyakit Hirschsprung segmen ultrashort
6. Diagnosis Konstipasi idiopatik
Banding Obstruksi parsial saluran cernah bawah lainnya
7. Pemeriksaan Foto polos abdomen ter1ihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran obstruksi usus
Penunjang letak rendah. Foto barium enema teknik hirschprung ditemukan daerah transisi antara
usus yang melebar dan yang menyempit (gambaraan ini khas untuk penyakit
hirschsprung, tetapi tidak jelas jika terjadi enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang
tidak teratur di segmen yang menyempit. Foto barium enema pada enterokolitis yang
berhubungan dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus irreguler (seperti
mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya cut off sign air dan
udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosisentrokoloitis. Diagnosis pasti
dengan biopsi rektal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel ganglion di submukosa
8. Terapi Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi abdomen.
Kolostomi dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga tidak dapat melakukan
irigasi, diikuti (dalam 3 sampai 6 bulan) operasi difinitif Pullthrough, pada usia 6-12
tahun dengan metode Swenson Duhamel
9. Edukasi Menjaga rektum tetap kosong dengan melakukan irrigasi rektal yang teratur pada
penderita yang belum dilakukan kolonostomi
Perawatan stoma pada penderita yang dilakukan kolonostomi
Mencegah atau mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita yang sudah
melakukan operasi definitif
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah 1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
kritis 2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
14. Indikator Gambaran klinis
Medis
15. Target Operasi kolonostomi atau difinitif
16. Kepustakaan 1 Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,
BC Decker Inc, 2004
3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
OBSTRUKSI USUS
ICD 10 : K 56.60
1. Pengertian Adalahgangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus
(definisi)
2. Anamnesis Muntah, gejala ini dominan dan pertama muncul pada sumbatan saluran cerna
bagianatas dan menjadi gejala paling akhir muncul pada sumbatan saluran cerna
bagian bawah. Muntah hijau menunjukkan sumbatan berada di bawah valvula
vatery
Sakit perut, kolik.
Tidak ada atau gagal BAB dan flatus, gejala ini dominan dan pertama muncul pada
sumbatan saluran cerna bagianbawah dan menjadi gejala paling akhir muncul
sumbatan saluran cerna bagian atas.
Kembung : pada sumbatan saluran cerna bagianbawah: kembung besifat
menyeluruh, pada sumbatan saluran cerna bagian atas: kembung besifat lokal (di
atas umbilikus) atau tidak tampak.
Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna total terjadi mendadak dan bersifat
progresif. Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna parsial bervariasi tergantung
beratnya derajat obstruksi
Riwayat operasi usus
3. Pemeriksaan Distensi usus.
Fisik Metallic sound.
Darm contour.
Bising usus meningkat pada awal penyakit, menurun atau menghilang pada akhir
penyakit atau jika ada perforasi.
Gambaran klinis komplikasi, misalnya tanda-tanda dehidrasi, gangguan
keseimbangaan asam-basa.
4. Kriteria Muntah/muntah hijau
Diagnosis Kembung
Gagal BAB
Nyeri abdomen akut
5. Diagnosis Obstruksi Usus
6. Diagnosis 1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :
Banding Stenosis pilorus.
Atresia atau stenosis duodenum.
Atresia atau stenosis jejunum.
Ileus mekonium.
Volvulus.
Hirschsprung.
1. Didapat :
Intususepsi.
Bolus askaris.
7. Pemeriksaan Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder
Penunjang
8. Terapi Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan adalah NaCL
fisiologis jika muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah hijau. Patokan dehidrasi
dan jumlah cairan yang digunakan dapat berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk
diare. Jika nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20
ml/kgBB/ secepatnya.
Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada obstruksi
total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial dengan derajat yang
ringan
9. Edukasi Perlunya dilakukan operasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah 1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)
kritis 2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
14. Indikator Adanya tanda-tanda obstruksi
Medis
15. Target Dilakukan operasi
16. Kepustakaan 1 Raffensperger JG. Swensons Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &
Lange, 1990.
2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,
BC Decker Inc, 2004
3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.
Netherlands, Saunders, 2006
INVAGINASI
ICD 10 : K.56.1
1. Pengertian Obstruksi usus yang disebabkan usus bagian proksimal berinvaginasi ke dalam usus
(definisi) bagian distal. Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki
disebut intususipien.
2. Anamnesis Nyeri perut.
Berak berdarah dan berlendir.
Muntah.
Kembung : tidak selalu ditemukan
3. Pemeriksaan Massa berbentuk pisang ditemukan pada kuadran kanan atas
Fisik
4. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
Diagnosis penunjang
5. Diagnosis Invaginasi
6. Diagnosis Obstruksi total saluran cerna bagian bawah lainnya
Banding Disentri
7. Pemeriksaan a. Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium lanjut
Penunjang penyakit.
b. Barium Enema :
1. Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran
pegas (coiled spring).
2. Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan pilihan pada semua
bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan
umum jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat mengakibatkan
perforasi usus.
c. USG
Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal, yang harus dilanjutkan
dengan pemeriksaan potongan longitudinal
Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal
8. Terapi Kasus gawat darurat bedah :
1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).
KOLESTASIS
ICD 10 : K.71.0
1. Pengertian Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi dalam
(definisi) 3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian
kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau
bilirubin direk 1 mg/dl jika kadar bilirubin total 5 mg/dl
2. Anamnesis Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja, perdarahan,
riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan kelahiran
3. Pemeriksaan Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda perdarahan
Fisik
4. 4. Kriteria Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada bayi preterm
Diagnosis dapat ditunda sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk (kolestasis).
Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek adalah warna kulit kuning terang,
kuning dimulai dari muka kemudian ke bagian distal badan (sesuai dengan
peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti skala Krammer), dan urin berwarna
jernih. Hiperbilirubinemia indirek dapat disebabkan jaundice fisiologik (sampai
umur 14 hari), breast milk jaundice, penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal
hipotiroidsm, obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,
galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-Najjar
syndromes (UDPGT deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat partial) dan
Gilbert syndrome.
Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST, Alkali
fosfatase, GGT)
Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/aPTT, kadar glukosa serum, ammonia)
Rule outpenyebab-penyebab yang dapat diobati
Kultur bakteri (urin dan darah)
Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer, intoleransi fruktosa
heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)
Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease, hepatotoksis
karena obat
Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi in
common bile duct
Rule outobstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan ultrasonografi dan biopsi
hati.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kolestasis
6. Diagnosis Kolestasis intrahepatik
Banding Kolestasis ekstrahepatik
7. Pemeriksaan Laboratorium :
Penunjang a. Rutin
Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia indirek),
uji fungsi hati: SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT (normal: meningkat pada
bayi umur-umur muda), alkali fosfatase (normal: meningkat pada waktu
memasuki usia pubertas), waktu protrombin dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar
albumin plasma, kolesterol, kadar glukosa, ureum, kreatinin, urine reduction
substance, kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis
intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika terbukti ada
asites pada USG abdomen)
Bilirubin urine positif
Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.00-
06.00) dan adanya empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan
menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit infeksi (TORCH,
HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining metabolik (asam amino serum dan urin, asam
organik urin), kelainan hormon (kadar hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar 1
antitripsin, dan lain-lain.
Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista koledokus,
masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia bilier: akurasi diagnostik
USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada keadaan puasa (4-6 jam dengan alat
USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam dengan alat USG berosulusi rendah), saat
minum, dan sesudah minum (1 sampai 2 jam setelah makan) ataupun dua fase yakni
puasa dan sesudah minum. Apabila pada saat atau sesudah minumkandung empedu
tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis atresia bilier
dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif, bila
terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh dengan anestesi umum
Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi
Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus
dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal
Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus
yangdisertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul
yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus
ringan
Paucity sistem bilier
8. Terapi Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemiadan tatalaksana
selanjutnya. Tatalaksana kolestasis intrahepatik :
Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :
1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10-30 mg/kgBB/hari, bekerja sebagai
competitive binding empedu toksik, bile fow inducer,suplemen empedu, dan
hepatoprotektor.
2. Kolestiramin, dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap empedu
toksik dan menghilangkan gatal.
3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan aktivitas
enzim mikrosom dan menurunkan ambilan asam empedu oleh sel hati
4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan hanya pada
hiperbilirubinemia indirek pada Crigler-Najjar syndromes (UDPGT
deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10 mg/kgBB/hari
Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol: 0,05 -
0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-7x/ minggu
Nutrisi : diet lemak MCT.
Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya hiperlipidemia/xantelasma diberikan
kolestipol dengan dosis 250-500 mg/kgBB/hari (gabungan kolestramin dengan
kolestipol), hipertensi portal (dibuktikan dengan USG dopler) diberikan
propanolol dengan dosis 1 6 mg/kgBB, gagal hati dengan transplant
Dukungan psikologis
Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati
Kolestasis ektrahepatik : operasi
Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.
Infeksi hepatistsis kongenital : Herpes simpleks diberikaan asiklovir intravena, sipilis
diberikan penisilin 50.000 iu/kgBB/hari selama 10-14 hari, tuberkulosis diberikan
OAT, toxoplasmosis diberikan pyrimethamin 1 mg/kgBB/2-4 hari dan sulfadiaazine
50-100 mg/kgBB/hari. Penyakit metabolik: galaktosemia diberikan diet bebas
galaktosa, tyrosinea heriditer diberikan diet tirosin/fenilalamin rendah, intoleransi
fruktosa heriditer diberikan diet bebas fruktosa/laktosa,
hipotiroidisme/hipopitutarisme diberikan hormon-hormon tiroid, adrenal dan growth
hormon .
Obat-obatan dan toksin: obat-obatan penyebab hepatotoksin dihentikan, endotoksin
bakterial diberikan antibiotika yang sesuai (misalnya Tersangka ISK dengan
cefotaksim), TPN ditatalaksana dengan pemberian intake oral secepatnya.
9. Edukasi Menjelaskan kemungkinan etiologi, diagnosisnya, dan tatalaksana
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah 1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
kritis 2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK.
14. Indikator Gambaran klinis dan laboratoris yang menunjang diagnosis
Medis
15. Target Mengobati etiologi yang dapat diobati
16. Kepustakaan 1. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam: Suchy FJ,
penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-1. St. Louis: Mosby year book;
1994. h. 414-24.
2. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders;
2004. h. 1203-7.
3. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing hepatitis. Dalam:
Bircher J, dkk, penyunting. Oxford textbook of clinical hepatology. Edisi ke-2.
Oxford: Oxford University Press; 1999. h. 955-63.
4. Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal cholestasis. Ped Clin N
Am. 2002;49(1):1-3.
Langkah awal, bedakan antara hiperbilirubinemia indirek dan direk (kolestasis)
Jika kolestasis, perkirakan kelainan yang terjadi intrahepatik atau ektrahepatik, dengan melakukan
pemeriksaan darah, fungsi hati, dan sintesis hati. Kelainan ektrahepatik dibuktikan dengan pemeriksaan
USG. Biopsi hepar dapat dilakukan untuk membedakan kelainan intrahepatik, ektrahepatik, dan paucity
saluran empedu.
Diagnosis awal kolestatik intrahepatik diberikan antibiotik untuk Tersangka ISK (TISK) yang tidak
hepatotoksik (cefotaksim) sampai hasil kultur dan resistensi urin diketahui. Diagnosis sementara berupa
TISK ditegakkan karena meliputi hampir 30% kolestasis intra hepatik.
Adanya dismorfik mengarahkan diagnosis ke kelainan metabolik dan infeksi TORCH kongenital.
Infeksi TORCH kongenital dicurigai jika bayi dismorfik, adanya riwayat infeksi TORCH saat ibu hamil
(gambaran klinis, riwayat kehamilan terdahulu, atau pemeriksaan serologis), dan adanya kelainan
kombinasi (kelainan pendengaran, mata, jantung, dan hepatosplenogali).
Atresia biler dapat diprediksi dengan feses yaang seperti dempul (spesifisitas tinggi, tetapi sensitivitas
yang rendah)
Konstipasi
ICD 10 : K.59.0
1. Pengertian Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria
(definisi) 1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar 1 x / 7 - 30
hari, perut kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 2- 4 minggu
2. Anamnesis Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau kronik),
frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan
defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai kebiasaan
makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk menanyakan
umur saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan
besar bersifat fungsional.
3. Pemeriksaan Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.
Fisik Abdomen dapat terlihat cembung dan dapat teraba skibala. Perineum dapat terlihat
adanya skin tag. Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot
sfingter ani dan mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan
adanya kelainan anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.
4. Kriteria Anamnesis
Diagnosis Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Konstipasi akut
Konstipasi fungsional
Konstipasi organik
6. Diagnosis Hirschsprung disease
Banding Obstruksi parsial saluran cerna lainnya
Hipotiroid
7. Pemeriksaan Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
Penunjang anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid)
atau uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin
dan kultur urine juga dilakukan terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih
akibat konstipasi kronis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi yaitu
foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum,
dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat dilakukan tes untuk
menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi.
Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk mencari
penyebab organik lain yang memberikan gejala konstipasi.Foto tulang belakang daerah
lumbosakral dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil
pemeriksaan neurologi ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.
8. Terapi Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan
kepribadian anak.
Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus
diobati terlebih dahulu.
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan teknik
edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,
pengaturan diet, dan pemberian laksansia).
Evakuasi feses dapat mengunakan gliserin 100% dengan dosis 1-3 ml/kgBB yang
diencerkan dengan NaCl 0,9% dengan jumlah yang sama. Dua kali sehari selama 2
sampai 5 hari. Dapat dikombinasidengan Laktulosa peroral dosis 1-3 ml/kgBB/kali
dalam satu atau dua dosis.
Pemberian laksansia pada terapi rumatan dapat menggunakan laktosa peroral dosis 1-3
ml/kgBB/kali dalam satu atau dua dosis.
9. Edukasi Toilet education
Diet tinggi serat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11. Tingkat I
evidens
12. Tingkat A
rekomendasi
13. Penelaah 1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
kritis 2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
14. Indikator Kriteria konstipasi
Medis
15. Target Disimpaksi berhasil dan rektum kosong
16. Kepustakaan 1. Stephen M. Constipation. Dalam: Walker, penyunting. Pediatric gastrointestinal
disease. Volume ke-1. Philadelphia: BC Decker; 1991. h. 90-108.
2. Benninga. Constipation and faecal incontinence in childhood. Amsterdam:
Universiteit van Amsterdam; 1994. h. 13-35.
3. HM Spiro. Clinical gastroenterology. Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill; 1993.
h. 513-23.
4. Barbara JS. Digestive system disorders. Dalam: RE Behrman, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2005. h. 510-8.
5. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, dkk. Constipation in infants and children:
evaluation and treatment. A medical position statement of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. J Ped Gastr Nutr.
1999;29:615-26
6. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman
pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Maret 2014
Ka Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak
9. Edukasi Memberikan rasa aman dan edukasi kepada penderita dan keluarga.
Meyakinkan bahwa pada sakit perut fungsional, tidak ada bukti adanya kelainan
dasar yang serius
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat I / II / III / IV
evidens
12. Tingkat A/B/C
rekomendasi
13. Penelaah 1. Dr. Hasri Salwan, SpAK
kritis 2. Dr. Achirul Bakri, SpAK
3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK
14. Indikator Gambaran klinis
Medis
15. Target Etiologi diketahui dan ditatalaksana
16. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor &
Francis, 2004
Nelson Pediatric Text Book