Anda di halaman 1dari 31

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Demam Berdarah Dengue
Kode ICD : A.91
1. Definisi Infeksi dengue disertai dengan adanya bukti plasma leakage bertendensi
menimbulkan renjatan dan kematian
2. Anamnesis 1. Demam atau riwayat demam mendadak tinggi, terus menerus, 2-7 hari,
dapat mencapai 40C serta terjadi kejang demam.
2. Manifestasi perdarahan
3. Dijumpai facial flush
4. Muntah
5. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
6. Bila syok: lemah, gelisah, produksi urine sedikit, kaki tangan dingin
7. Terdapat kasus DBD di lingkungan
3. Pemeriksaan 1. Suhu tubuh dapat meningkat, normal atau hipotermi
fisik 2. Manifestasi perdarahan
a. Uji bendung positif (10 petekie/inch2 atau 2.5 cm2 ) merupakan
manifestasi perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
b. Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena (easy
bruising).
c. Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
d. Perdarahan mukosa: epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran
cerna
e. Hematuria (jarang)
f. Menorrhagia (pada remaja dan dewasa)
3. Ruam makulopapular/rubellaform pada fase demam
4. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan
5. Splenomegali (jarang)
6. Terdapat hemostasis yang tidak normal,
7. Terdapat perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura/efusi pleura
dan rongga peritoneal/ascites)
8. Dapat disertai dengan hipovolemia, dan syok
Warning Signs: muntah persisten, nyeri perut, menolak asupan per oral,
letargi atau gelisah, hipotensi postural, oliguria
Gejala kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu turun antara hari ke 3-
7 demam berupa: kulit dingin dan lembab, sianosis sirkumoral, nadi
lemah dan cepat. Pasien tampak letargi atau gelisah kemudian jatuh
dalam keadaan syok.
Tanda-tanda syok:
- Nadi cepat dan lemah
- Tekanan nadi sempit, diastolik cenderung naik atau hipotensi
- Capillary refill time > 3 detik
- Akral dingin
- Gelisah
- Pada profound shock (DBD grade IV), nadi tidak teraba dan
TD tidak terukur
- Oliguria hingga anuria
Pada prolonged shock dapat terjadi:
- asidosis metabolik
- gagal mutliorgan
- perdarahan masif

112
- gagal hati dan renal
- ensefalopati
- perdarahan intrakranial
9. Fase konvalesen :
sinus bradikardi
aritmia
timbul ruam konvalesen
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Tersangka DBD: bila definisi kasus DBD belum terpenuhi


Definisi kasus DBD:
1. Demam,
2. Manifestasi perdarahan,
3. Disertai trombositopenia 100.000/L,
4. Bukti plasma leakage berupa peningkatan hematokrit 20%, dapat
disertai dengan efusi pleura atau asites
5. Dapat disertai dengan syok

Berdasarkan tingkat keparahan DBD (harus memenuhi definisi kasus


DBD):

DBD Derajat Tanda & Gejala Klinis Laboratorium

DBD I Deman dengan manifestasi - Trombositopenia


perdarahan tidak spontan (uji 100.000/mm3
bendung + atau easy bruishing) dan - Penngkatan Ht 20%
bukti kebocoran plasma
DBD II Sama dengan derajat I ditambah - Trombositopenia
perdarahan spontan 100.000/mm3
- Penngkatan Ht 20%
DBD III Sama dengan derajat I atau II - Trombositopenia
ditambah kegagalan sirkulasi (nadi 100.000/mm3
lemah, tekanan nadi sempit 20 - Penngkatan Ht 20%
mmHg, hipotensi, letar i)
DBD IV Sama dengan derajat III - Trombositopenia
ditambah syok profunda dengan 100.000/mm3
nadi tidak eraba dan tekanan - Penngkatan Ht 20%
darah tidak terukur

5. Diagnosis Demam Berdarah Dengue

6. Diagnosis 1. Demam dengue


banding 2. Infeksi virus lainnya seperti campak, rubella, demam chikunguya
3. Leptospira, malaria dan demam tifoid
4. ITP, leukemia, anemia aplastik
5. Sepsis atau meningitis bila mengalami demam disertai syok
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit dan trombosit)
penunjang serta hitung jenis saat awal
2. Pemeriksaan Ht dan trombosit secara berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue

113
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti adanya diulang pada fase
Infeksi konvalesens
- + Infeksi pada 2-3 bulan diulang pada fase
sebelumnya konvalesens

5. SGOT dan SGPT


6. Gula darah sewaktu atas indikasi
7. Foto rontgen dada dalam posisi AP atau right lateral decubitus
8. USG
9. AGD dan elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida) atas indikasi
10. CT/BT dan PT/aPTT atas indikasi
11. LP atas indikasi
12. CT-Scan atau MRI atas indikasi
8. Tatalaksana 1. Parasetamol (bila T > 38.5C)
2. Cairan per oral dan atau intravena (cairan rumatan, cairan rehidrasi sesuai
derajat dehidrasi, atau cairan resusitasi).
Cairan dapat berupa kristaloid, koloid.
- Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
- Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat,
dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang
diberikan.
- Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga
volume dan cairan intravaskular yang adekuat.
- Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
- Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai
acuan untuk menghitung volume cairan.

Tabel 1. Kecepatan cairan intravena


Keterangan* Kecepatan cairan
(ml/kg/jam)
Setengah rumatan 1.5
Rumatan (R) 3
Rumatan + 5% defisit 5
Rumatan+ 7% defisit 7
Rumatan+ 10% defisit 10
*Catatan: sesuai untuk berat badan 20 kg
Sumber: World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011 dengan modifikasi.

3. Indikasi pemberian cairan intravena:


a. Asupan cairan oral tidak adekuat atau muntah
b. Saat Ht terus naik 10-20% (bersamaan dengan penurunan
trombosit) walaupun telah direhidrasi oral
c. Ancaman syok atau syok
4. Pemantauan KU, kesadaran, tanda vital dan diuresis secara berkala
5. Antagonis H2 dan penghambat pompa proton atas indikasi
6. Transfusi PRC, TC, FFP/ Cryo atau dapat Whole Blood atas indikasi
7. Vitamin K1 iv pada perdarahan masif
8. Antikonvulsan seperti fenitoin, fenobarbital dan diazepam jika terdapat

114
kejang
9. Terapi oksigen atas indikasi
10. Kortikosteroid diberikan pada DBD Ensefalopati
11. Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati atau dugaan infeksi bakteri
sekunder
12. Inotropik dan vasopressor kadang-kadang diperlukan pada Dengue Shock
Syndrome
13. Hemodialisis atau plasmafaresis pada kasus perburukan klinis dapat
dipertimbangkan
14. Pemberian diuretik pada kasus-kasus dengan overload cairan

Skema sesuai derajat keparahan terlampir


9. Edukasi 1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Monitor tanda kegawatan
4. Melaksanakan upaya pencegahan 3M plus (menguras, menutup dan
mengubur)
5. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
6. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk diberikan ke
RT/RW tempat tinggal pasien
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Tingkat IV
evidens
12. Tingkat D
rekomendasi
13. Penelaah Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Dept IKA RSMH Palembang
kritis
14. Taksrian lama 5-7 hari
rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Tidak ditemukan distress napas dari efusi pleura dan atau asites
7. Trombosit > 50.000 dengan kecenderugan meningkat.
8. Hematokrit stabil
9. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun eksternal
10. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
11. Dua hari pasca syok
12. Mulai timbul ruam penyembuhan
16. Kepusatakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance.
Updated 2010 sept 1. Available from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control.
Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control.2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:823

115
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana
Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Skema 1. Tatalaksana Tersangka DBD derajat I & II (tanpa syok)

Skema 2. Tatalaksana DBD Derajat I dan II

116
Skema 3. Tatalaksana DBD Derajat III

Skema 4. Tatalaksana DBD Derajat IV

117
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014
Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19580126 1985 03 2006 NIP 19710715 1999 03 2008

118
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Demam Dengue
Kode ICD : A.91
1. Definisi Demam Dengue merupakan penyakit demam akut yang dapat
disertai manifestasi perdarahan, disebabkan oleh virus genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, dan ditularkan melalui perantara
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus
2. Anamnesis 1. Demam mendadak tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C serta
dapat terjadi kejang demam.
2. Dijumpai facial flush
3. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri retroorbital, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung
iga kanan, dan nyeri perut
4. Lesu dan tidak mau makan
5. Ruam makulopapular
6. Manifestasi perdarahan
7. Konstipasi atau diare
8. Depresi umum
3. Pemeriksaan 1. Demam: 39-40C, umumnya berakhir 5-7 hari
fisik 2. Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka
kemerahan), leher, dan dada
3. Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit
makulopapular/rubellaform
4. Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki
bagian dorsal, lengan atas, dan tangan (Convalescent rash),
berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg
normal, dapat disertai rasa gatal
5. Manifestasi perdarahan
a. Perdarahan kulit: uji bendung positif dan/atau petekie
b. Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan
saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan
trombositopenia berat)
4. Kriteria diagnosis 1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Diagnosis klinis Demam Dengue ditegakkan atas dasar:


Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus,
bifasik disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:
sakit kepala
nyeri retro orbital
arthralgia
myalgia
ruam
manifestasi perdarahan
lekopenia <4000/mm3
trombositopenia <150.000/mm3
tidak ditemukan bukti plasma leakage

119
ditambah minimal satu dari pernyataan berikut:
Bukti serologis infeksi dengue yang mendukung
Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di
sekitar rumah
5. Diagnosis Demam Dengue
6. Diferensial Infeksi Virus: Virus Chikungunya, dan penyakit infeksi virus
diagnosis lain seperti Campak, Campak Jerman, dan virus lain yang
menimbulkan ruam; Virus Eipstein Barr, Enterovirus, Virus
Influenza, virus Hepatitis A dan Hantavirus
Infeksi Bakteri: Meningokokus, Leptospirosis, Demam Tifoid,
Meiloidosis, Penyakit riketsia, Demam Skarlatina
Infeksi Parasit: Malaria
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit
penunjang dan trombosit) serta hitung jenis
2. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti diulang
adanya infeksi
- + Infeksi pada 2-3 diulang
bulan sebelumnya
5. SGOT dan SGPT
6. Gula darah sewaktu
7. USG
8. Terapi 1. Pengambilan keputusan untuk observasi rawat jalan atau terapi/
rawat inap (Skema 1)
2. Parasetamol
3. Cairan per oral dan atau intravena (Cairan rumatan atau cairan
rehidrasi sesuai derajat dehidrasi apabila kurang asupan atau
perdarahan berat.)
4. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan diazepam bila kejang
9. Edukasi 1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Melaksanakan upaya pencegahan 3M + (Meguras, menutup,
mengubur tempat penampungan air, menaburkan bubuk abate,
memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, membersihkan
lingkungan, fogging, mencegah gigitan nyamuk)
4. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
5. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk
diberikan ke RT/RW tempat tinggal pasien
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Level evidens IV
12. Tingkat D
rekomendasi
13. Penelaah kritis Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Dept IKA RSMH Palembang

120
14. Taksiran lama 3-5 hari
rawat
15. Indikator Medis 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Trombosit > 50.000, Hematokrit stabil
7. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun eksternal
8. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
9. Kembalinya nafsu makan
10. Mulai timbul ruam penyembuhan
16. Kepustakaan 1. World Health Organization-South East Asia Regional Office.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical
Guidance. Updated 2010 sept 1. Available from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention
and control. Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control.
2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in
parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi
Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit
Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari
HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

121
Skema 1. Skrining pasien tersangka infeksi dengue

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19580126 1985 03 2006 NIP 19710715 1999 03 2008

122
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
DemamTifoid
Kode ICD : A01.0
1. Definisi Demam Tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh

infeksi sistemik Salmonella typhi.

2. Anamnesis 1. Demam lebih dari 7 hari, timbul insidius, naik secara bertahap tiap hari,
mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus
menerus tinggi, lisis pada minggu ketiga (step-ladder temperature chart)
2. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, nyeri kepala
3. Gangguan GIT: anoreksia, nyeri perut, kembung, diare atau konstipasi, muntah
4. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
ikterus
3. Pemeriksaan Bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi, gejala yang dapat
fisik ditemuikan :
1. Rhagaden
2. Lidah tifoid
3. Bradikardi relatif
4. Meteorismus
5. Hepatomegali
6. Kesadaran dapat menurun, dari apatis, delirium hingga koma
7. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Klasifikasi diagnosis:
Demam Tifoid klinis
Panas lebih dari 7 hari, di dukung gejala klinik lain:
Gangguan GIT : typhoid tongue, rhagaden, anoreksia, konstipasi/ diare
Hepatomegali
Tidak ditemukan penyebab lain dari panas.
Demam Tifoid
Demam Tifoid klinis + Salmonella typhi (+) pada biakan darah, urine atau fees
dan/atau pemeriksaan serologis yang mendukung
Demam Tifoid berat
Demam Tifoid + keadaan : lebih dari minggu kedua sakit, toksik, dehidrasi,
delirium jelas, hepatomegali dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul,
aneosinofilia, SGOT/ SGPT meningkat
Ensefalopati Tifoid/Tifoid toksik
Demam Tifoid atau Demam Tifoid klinis disertai satu atau lebih gejala:
kejang
kesadaran menurun: soporous sampai koma
kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
5. Diagnosis Demam Tifoid
6. Diagnosis 1. Stadium dini: Influenza, Gastroenteritis, Bronkitis, infeksi Dengue,
banding Bronkopneumonia
2. Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, Malaria
3. Demam Tifoid berat: Sepsis, Leukemia, Limfoma
7. Pemeriksaan 1. Darah tepi perifer:

123
penunujang a. anemia (dapat terjadi akibat supresi sumusm tulang, defisiensi besi, atau
perdarahan usus)
b. leukopenia (jarang kurang dari 3000/L)
c. limfositosis relatif
d. aneosinofilia
e. trombositopenia (terutama pada demam tifoid berat)
2. Pemeriksaan serologi:
a. antibodi anti-Salmonela O9, atau
b. kadar IgM dan IgG anti Salmonella
3. Pemeriksaan biakan empedu dari spesimen:
a. darah (minggu 1-2 perjalanan penyakit)
b. urine (minggu ke-2 dan selanjutnya)
c. sumsum tulang (sampai minggu ke 4)
4. Pemeriksaan radiologi:
a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti
perforasi usus atau perdarahan saluran cerna
5. EKG bila mencurigai miokarditis
6. Biakan feses saat pulang untuk deteksi karier, kemudian diulangi lagi 1 minggu
kemudian. Apabila 2 kali berturut-turut dalam interval 1 minggu Salmonella (-),
berarti penderita sembuh dan tidak merupakan carrier.
8. Tatalaksana 1. Antipiretik bila suhu tubuh >38,5C
2. Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)
Lini pertama:
Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10 14 hari, kontraindikasi pada leukosit <2000/l,
dosis maksimal 2g/hari atau
Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14 hari atau
Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali, selama 10 hari
Linikedua/ multidrug resisten S. typhi
Seftriakson 80 mg/kg/hari IV selama 5-7 hari
Cefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari per oral selama 10 hari
Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama, dinilai tidak efektif, dapat
diganti dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua
Karier S. typhi (S. typhi tetap ada dalam urin atau feses selama lebih dari 6 -12
bulan) :
Ampisillin 100 mg/kg/hari, 4x hari atau
Trimetoprim-sulfametoksazol 4-20 mg/kg/hari selama 6-12 minggu
Lakukan pemeriksaan USG kandung empedu untuk menentukan ada atau
tidaknya kolelitiasis atau disfungsi kandung empedu
3. Kortikosteroid diberikan pada demam tifoid berat dengan perubahan status
mental (Ensefalopati Tifoid) atau syok yaitu dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV,
dilanjutkan 1mg/kg/kali, setiap 6 jam sampai dengan 48 jam (penggunaan lebih
dari 48 jam akan meningkatkan angka relaps)
4. Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
9. Edukasi 1. Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
2. Indikasi rawat:
Demam Tifoid klinis bila ada hiperpireksia, dehidrasi atau KU lemah.
Semua Ensepalopati Tifoid
Semua demam Tifoid dengan komplikasi
3. Imunisasi
Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide) usia 2 tahun atau lebih
(IM), diulang tiap 3 tahun
Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia 6 tahun dengan interval

124
selang sehari (1,3,5), ulangan setiap 3-5 tahun. Belum beredar di Indonesia,
terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian kedaerah endemik
4. Tirah baring
5. Isolasi memadai
6. Kebutuhan cairan dan kalori dipenuhi. Diet lunak, mudah dicerna.
7. Higiene perorangan dan lingkungan karena penularan melalui fekal oral
10. Prognosis Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat:
Ad vitam: bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad functional: ad bonam
11. Tingkat evidens IV
12. Tingkat D
rekomendasi
13. Penelaah kritis Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
14. Indikator medis 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
15. Taksiran lama 7-10 hari
perawatan
16. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK,
Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the
committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American
Academy of Pediatrics; 2006, h.579-84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober
CG, penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi
ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam:
Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugmans infectious diseases of
children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004, h. 212-3
5. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric
infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
6. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006 NIP 19710715 1999 03 2008

125
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Malaria
Kode ICD : B50-54
1. Definisi Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu
atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten,
anemia, dan hepato-splenomegali yang hidup dan berkemabng dalm eritrosit
manusaia dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
2. Anamnesis 1. Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah
endemis malaria dalam 1-4 minggu sebelumnya. Ada riwayat sakit malaria,
pernah minum obat malaria, dan riwayat mendapat transfusi.
2. Demam, lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri
daerah perut, pucat, mialgia, atralgia, dan diare.
3. Pada malaria tanpa komplikasi hanya ditemukan gejala malaria tanpa tanda
berat dan bukti (klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
4. Pada malaria berat didapat keluhan tambahan gangguan kesadaran, demam
tinggi, ikterik, pucat, perdarahan hidung, gusi, atau saluran cerna, nafas cepat
atau sesak nafas, warna urine seperti teh tua atau kehitaman (black water fever),
produksi urine sedikit, kejang dan sangat lemah (prostration).
5. Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan
demam dengan interval tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam.
Sebelum demam pasien merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan,
mual atau muntah.
6. Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam
(hotstage), dan stadium berkeringat (sweating stage).Paroksisme jarang
dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali bermanifestasi sebagai kejang.
Periode paroksisme berhubungan dengan ruptur skizon:
P. vivax dan P. ovale: demam tiap 48 jam
P. malariae: demam tiap 72 jam
P. falciparum: demam tidak khas dapat terus menerus
7. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis --
Plasmodium atau infeksi berulang dari satu jenis Plasmodium), demam terus
menerus (tanpa interval),
8. Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
3. Pemeriksaan 1. Demam
fisik 2. Pucat pada konjungtiva palpebra atau telapak tangan
3. Splenomegali
4. Hepatomegali
5. Ikterik
6. Pada malaria berat dapat ditemukan tanda klinis lain :
a. Temperatur > 41C
b. Nadi filiformis
c. TD sistolik < 50 mmHg
d. Pucat
e. Takipneu
f. GCS < 11
g. Manifestasi perdarahan
h. Tanda dehidrasi
i. Ikterik
j. Terdengar ronchi
k. Oliguria hingga anuria
l. Kelainan neurologis berupa gejala rangsang meningeal dan atau refleks
patologis

126
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik

Malaria tanpa komplikasi: infeksi simtomatik dengan parasitemia malaria tanpa


tanda berat dan bukti (klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
Malaria berat: infeksi simtomatik dengan parasitemia malaria dengan tanda berat
dan bukti (klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
5. Diagnosis Malaria
6. Diagnosis 1. Demam tifoid
banding 2. Meningitis
3. Apendisitis
4. Gastroenteritis
5. Hepatitis
6. Influenza dan infeksi virus lainnya
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan apus darah tepi:
penunjang Tebal: ada tidaknya Plasmodium
Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia (hitung parasit)
dikerjakaan saat penegakan diagnosis dan diulang pada hari ke 3, 7 , 14 dan 28
setelah pengobatan
2. Rapid diagnostic test (RDT) malaria
3. Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi:
a. Darah perifer lengkap
b. Urinalisis
c. SGOT, SGPT, bilirubin total/direk/indirek
d. Alkali fosfatase, albumin
e. Ureum, kreatinin
f. AGD dan elektrolit
g. Gula darah sewaktu
h. EKG
i. Foto toraks
j. Analisis cairan serbrospinalis
k. Biakan darah
4. Temuan laboratorium malaria berat:
hipoglikemia (gula darah < 40 mg/dl)
asidosis metabolik
anemia normositik berat (Hb < 5 g/dl, Ht < 15%)
haemoglobinuria
hyperparasitaemia (> 2%/100 000/l pada daerah transmisi rendah atau
>5% atau 250.000/ul pada daerah transmisi tinggi)
hiperlaktatemia
gangguan ginjal
8. Tatalaksana 1. Antipiretik apabila demam > 38.5o C
2. Suportif (atas indikasi)
Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan
pemberian oral atau parenteral
Pelihara keadaan nutrisi
Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg atau whole blood 20 ml/kg apabila
anemia dengan Hb <7,1g/dl
Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai
Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP.
Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal
Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen

127
Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik
Pertahankan kadar gula darah normal.
3. Medikamentosa
Plasmodium falciparum
Lini Pertama: Artemisinin-based combination therapy (ACT)
1. Artensunat + Amodiakuin + Primakuin
Artesunat (10 mg/kg) + Amodiakuin (4 mg/kg) per oral dosis tunggal
selama 3 hari (maks 4 tablet)
Setiap kemasan kombinasi artesunat-amodiakuin terdiri dari 2 blister
yaitu blister artesunat 12 tablet @ 50mg dan blister amodiakuin: 12
tablet @ 200mg 153mg amodiakuin basa
Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal hanya pada hari pertama
(maks 3 tablet)
Tiap tablet primakuin mengandung 15 mg basa.
Primakuin tidak boleh diberikan pada anak < 1 tahun dan penderita
defisensi G6PD
2. [Artemether + lumefantrine (Coartem)] + Primakuin
Artemether ((514 kg: 1 tablet; 1524 kg: 2 tablet; 2534 kg: 3 tablet;
and > 34 kg: 4 tablet), diberikan 2 kali sehari untuk 3 hari, setara
dengan dosis artemether 2-4 mg/kg dan lumefantrine 10-16 mg/kg.
Tiap tablet coartem mengandung 20 mg artemether dan 120 mg
lumefantrine
Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal
3. [Dihidroartemisinin + piperaquin (Arterakine)] + Primakuin
Dihydroartemisinin 4 mg/kg/hari (2-10 mg/kg/hari) dan piperaquine 18
mg/kg/hari (16-24 mg/kg/hari) satu kali sehari untuk 3 hari
Tiap tablet arterakine mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320
mg piperaquine
Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal

Lini Kedua
Bila obat tidak tersedia, maka digunakan :
1. Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kg terbagi dalam 3 hari dengan perincian
Hari I: 10 mg/kg peroral + Primakuin 0,75 mg/kg peroral
Hari II: 10 mg/kg peroral
Hari III: 5 mg/kg peroral
2. Kombinasi kina + doksisiklin/klindamisin
Kina dosis 30 mg/kg/hari peroral dibagi 3 dosis diberikan selama 7
hari. Kemasan tablet kina yang beredar di Indonesia: 200mg kina
fosfat atau kina sulfat.
Doksisiklin diberikan untuk anak 8-14 tahun dengan dosis 2
mg/kg/hari selama 7 hari. Sediaan doksisiklin yang tersedia tablet 50
mg dan 100 mg.
Untuk anak di bawah 8 tahun doksisiklin diganti clindamycin dengan

dosis 10 mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.

3. Kombinasi tetrasiklin/klindamisin + primakuin


Tetrasiklin diberikan dengan dosis 4-5 mg/kg/6 jam selama 7 hari.
Untuk anak di bawah 8 tahun tetrasiklin diganti clindamycin dengan

128
dosis 10 mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.

Primakuin diberikan dengan dosis 0,75 mg/kg/dosis tunggal hanya


pada hari pertama.
Plasmodium vivax & P. ovale:

Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Dosis dan lama pemberian Artesunat + Amodioakuin sama dengan pada
malaria falciparum + Primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14 hari

Lini Kedua
Kina + Primakuin
Kina 30mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari + primakuin 0,25 mg/kg/hari
selama 14 hari

Pengobatan vivaks relaps


Dosis primakuin ditingkatkan 0,5 mg/kg/hari untuk 14 hari, regiman lainnya
sama dengan sebelumnya

Penderita defisiensi G6PD


Artesunat+Amodiakuin dengan dosis yang sama diberikan 1x/minggu selama
8-12 minggu
Plasmodium malariae
ACT 1x/hari selama 3 hari dengan dosis sama dengan pengobatan malaria
lainnya

Penganganan malaria berat :

Pilihan utama: Artesunat intravena


Pengobatan malaria di tingkat RS dianjurkan untuk menggunakan artesunate
intravena.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam
artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%.
Larutan artesunat dibuat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dan
0,6 ml natrium bikarbonat 5%, diencerkan dengan Dextrose 5% sebanyak 3 - 5
cc dan diberikan secara bolus perlahan-lahan.
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kg per-iv sebanyak 3 kali jam ke
0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kg per-iv setiap 24 jam sampai
penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.

Kemasan dan cara pemberian artemeter


Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter
dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 1,6mg/kg
intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6
mg/kg intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan
regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.

Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral

129
Kemasan dan cara pemberian kina parenteral

Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada
daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral. Obat ini dikemas
dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kg (bila umur < 2 bulan: 6 - 8
mg/kg ) diencerkan dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10
ml/kg diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat
minum obat, selanjutnya diberikan kina peroral sampai 7 hari.

Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi
jantung dan dapat menimbulkan kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2
nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis
0,75 mg/kg.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu
dianjurkan pemberiannya dalam Dextrose 5%

9. Edukasi 1. Pemakaian kelambu saat tidur


2. Penggunaan losion anti nyamuk
3. Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis malaria
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ada bonam
11. Level evidens IV

12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
kritis
14. Taksiran 7-10 hari
lama rawat
15. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Respon klinis dan parasitologis memadai
3. Tidak ada parasitemia
4. Tidak ditemukan komplikasi
16. Kepustakaan 1. American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam: Pickering LK, Baker
CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of the
committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL.
American Academy of Pediatrics; 2006, h. 435-41.
2. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting.
Krugmans infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004.
h. 337-48.
3. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia; 2004. h. 1139-43.
4. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam: Long SS, Pickering
LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious

130
diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1295-
1301
5. World Health Organization. Severe falciparum malaria. Trans R Soc Trop
Med Hyg. 2000.
6. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Malaria. Dirjen PP & PL Depkes RI.
2012.
7. Depkes R. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malara di Indonesia: Gebrak
Malaria Ditjen PP 7 PL. Depkes RI. 2008.
8. WHO. Guidelines for the Treatment of Malaria. 2nd edition. 2010.
9. Harijanto, P. Eliminasi Malaria pada Era Desentrallisasi. Dalam : Jendele
Data dan Informasi Kesehatan : Epidemiologi Malaria di Indonesia.
Triwulan I. 2011.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19580126 1985 03 2006 NIP 19710715 1999 03 2008

131
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Difteri
Kode ICD : A.36
17.Definisi Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit
dan/atau mukosa
18.Anamnesis 1. Riwayat kontak dengan karier, baik melalui droplet, bahan muntahan atau debu
2. Bervariasi mulai dari gejala ringan yang menyerupai common cold dengan gejala
demam tidak terlalu tinggi, pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan
3. Anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan
4. Suara serak, sesak nafas, lesu, pucat dan lemah
19.Pemeriksaan fisik 1. Difteri nasal anterior:
Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas
Terdapat pseudomembran putih pada daerah septum nasi
2. Difteri faring atau tonsil
Timbul pseudomembrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, sukar diangkat meluas ke uvula dan palatum molle atau
ke bawah ke laring dan trakea, yang berdarah saat dilepaskan
Limfadenitis servikal dan submandibular, dapat timbul bullneck bila limfadenitis
terjadi bersama dengan edema jaringan lunak leher yang luas.
Bila terjadi perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia
Dapat terjadi gagal napas
Dapat terjadi paralisis palatum molle, baik uni- maupun bilateral, disertai
kesulitan menelan dan regurgitasi
3. Pada difteria laring, napas dapat berbunyi, stridor progresif, suara parau dan batuk
kering. Membran dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, koma dan kematian
4. Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi sebagai berikut:
a. Derajat I: Anak tenang, dispneu ringan, stridor inspiratoar, retraksi suprasternal
b. Derajat II: Anak gelisah, dispneu hebat, stridor masih hebat, retraksi suprasternal
dan epigastrium, sianosis belum tampak
c. Derajat III: Anak sangat gelisah, dispneu makin hebat, stridor makin hebat,
retraksi suprasternal dan epigastrium serta interkostal, sianosis
d. Derajat IV: Letargi, kesadaran menurun, pernafasan melemah, sianosis
5. Difteria dapat juga mengenai kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga.
20.Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
Diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Laboratorium: Isolasi C. diphtheria dari spesimen

Diagnosis berdasarkan CDC / WHO 2003 :


1. Tersangka: kriteria klinis (+), laboratorium (-), dan tidak ditemukan kasus sama
yang terbukti secara laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
2. Terbukti: kriteria klinis (+), laboratorium (+), atau ditemukannya kasus yang sama
yang terbukti secara laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
21.Diagnosis Difteria

132
22.Diagnosis 1. Difteria hidung : rhinorrhea (commoncold, sinusitis, adenoiditis), benda asing, lues
banding kongenital (snuffles)
2. Difteriatonsil-faring : tonsilitis membranosa akut oleh Streptococcus mononukleosis
infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer,
moniliasis, bloody scrasia, pasca tonsilektomi, vincent angina, candidiasis
3. Difteria laring: laringitis/infectious croups yang lain (spasmodic croup),
angioneurotic edema, benda asing
4. Difteria kulit: impetigo dan infeksi kulit oleh Streptococcus atau Staphylococcus
23.Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah perifer lengkap: hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit dan
penunujang hitung jenis.
2. Pewarnaan gram dan pewarnaan khusus untuk C. Diphtheriae (Neisser/Albert) dari
sediaan apus pseudomembran
3. Diagnosis pasti dari isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler.
4. Foto rontgen toraks (atas indikasi)
5. Foto soft tissue leher (atas indikasi)
6. AGD dan elektrolit (atas indikasi)
7. EKG pada waktu penderita dirawat, dan diulang minimal 3 kali per minggu
8. Skin test sebelum pemberian ADS
9. Urine lengkap
10. Ureum dan kreatinin (atas indikasi)
24. Tatalaksana Umum
1. Atasi obstruksi jalan nafas segera dengan konsultasi dengan ahli THT untuk
melakukan tindakan trakeostomi. Trakeostomi dilakukan bila terdapat gangguan
pernapasan yang progresif, atau obstruksi saluran napas derajat II atau lebih
2. Pasien dirawat di ruang isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan apusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut (2 3 minggu)
3. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 3 minggu
4. Cairan parenteral diberikan untuk mempertahankan hemodinamika tetap baik
5. Pemenuhan kebutuhan kalori, protein, cairan dan elektrolit yang adekuat sesuai klinis
menurut berat badan dan umur, bila tidak dapat oral dapat diberikan parenteral.
6. Dapat diinhalasi dengan nebulizer dengan NaCL 0.9% agar jalan napas tetap bebas
serta untuk menjaga kelembaban udara pada pasien dengan difteria laring
Spesifik
1. Segera diberikan Anti Difteria Serum (ADS) secara intravena (jika difteri dicurigai
(tersangka difteri), ADS harus segera diberikan tanpa menunggu hasil laboratorium),
didahului dengan uji kulit dengan cara menyuntikan 0,1 ml ADS yang telah
diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:100. Uji kulit dibaca dalam 20 menit dan dinyatakan
positif bila timbul bentol berukuran 10 mm atau lebih.
Dosis ADS yang diberikan tergantung lokasi dan waktu ADS diberikan:

Tabel. Dosis dan cara pemberian ADS sesuai tipe difteri


Tipe Difteria Dosis ADS (IU) Cara pemberian
Difteria hidung 20.000 IM
Difteria tonsil 40.000 IM atau IV
Difteria faring 40.000 IM atau IV
Difteria laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), 80.000-100.000 IV
lokasi dimana saja
Sumber Krugman, 1992 (dengan modifikasi)

a. Hari I: Separuh dosis ADS diberikan secara intravena dengan pengenceran 20 kali
dengan NaCl 0,9% atau dekstrose 5%, atau dilarutkan dalam 200 ml NaCl 0,9%

133
atau dekstrosa 5%, diberikan dalam 4-8 jam (tidak melebihi 1 ml/jam). Bila uji
kulit positif lakukan desensitasi dengan cara sebagai berikut (ADS diberikan
secara bertahap, sambil melihat tanda-tanda alergi/ anafilaktik):

Tabel. Desensitisasi ADS: Jalur intravena


Nomor dosis, Pengenceran serum Jumlah
diberikan tiap dalam NaCl 0,9% injeksi
interval 15 menit (ml)
1 1:1.000 0,1
2 1:1.000 0,3
3 1:1.000 0,6
4 1:100 0,1
5 1:100 0,3
6 1:100 0,6
7 1:10 0,1
8 1:10 0,3
9 1:10 0,6
10 Tanpa pengenceran 0,1
11 Tanpa pengenceran 0,3
12 Tanpa pengenceran 0,6
13 Tanpa pengenceran 1,0

b. Hari II: Separuh dosis ADS diberikan secara intramuskular

2. Antibiotik:
Penisilin prokain 50.000-100.000 U/kg/hari selama 14 hari
Apabila hipersensitif terhadap penisilin diberikan eritromisin 40-50 mg/kg/hari dalam
dosis terbagi (4x sehari) selama 14 hari
3. Eliminasi difteri harus dibuktikan dengan dua kali beruturut-turut hasil biakan negatif
setelah 24 jam antibiotik dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala obstruksi saluran napas bagian atas
(dengan atau tanpa bullneck) atau bila terdapat miokarditis.
5. Setiap penemuan kasus difteri (tersangka/terbukti) harus dilaporkan ke Dinas
Kesehatan dalam waktu 1 x 24 jam
6. Vaksinasi difteri diberikan saat masa penyembuhan penyakit
7. Pengobatan kontak (bekerja sama dengan petugas surveilans Dinas Kesehatan)
Kontak erat, atau kontak serumah:
a. Surveilans
b. Vaksinasi difteri (sesuai usia)
c. Biakan apusan hidung dan tenggorok untuk C. diphtheriae
d. Pemberian antibiotik:
Benzathine Penicillin G Intramuskular (dosis tunggal) dengan dosis
600.000 IU untuk usia <6 tahun dan
1.200.000 IU untuk usia 6 tahun atau lebih; atau
Eritromisin oral selama 7 hari dengan dosis
40 mg/kg BB/hari untuk anak
1 g/hari untuk dewasa

Algoritma tatalaksana:

134
25.Edukasi 1. Tirah baring
2. Prognosis pasien
3. Imunisasi DPT
4. Imunisasi catch up:

Tabel. Jadwal imunisasi DPT


Usia minimal Interval minimum pemberian
Usia dosis pertama Dosis 1-2 Dosis 2-3 Dosis Dosis 4-
3-4 5
4 bln 6 thn 6 minggu 4 minggu 4 minggu 6 bulan 6 bulan
(DTaP)
7 thn 18 7 tahun 4 minggu * 4 minggu 6 bulan 6 bulan
thn(DTaP) 6 bulan**
Keterangan:
* Apabila dosis pertama diberikan saat usia < 12 bulan
**Apabila dosis kedua diberikan saat usia 12 bulan
Booster (Td) diberikan setiap 10 tahun (Td adalah vaksin dewasa dengan jumlah antigen sepersepuluh jumlah
antigen pada anak)

5. Cari sumber penularan dan karier


26. Prognosis Ad vitam: dubia ad malam
Prognosis tergantung pada:
Usia
Lanjutnya penyakit
Lokasi
Patogenisitas bakteri
Cepat lambatnya pemberian toxin
Hari pertama 0,3% (mortalitas)
Hari kedua 4%
Hari ketiga 12%
> hari ketiga 25%
Ad sanationam: bonam

135
Ad fungsionam: dubia ad bonam
27. Tingkat evidens IV

28. Tingkat D
rekomendasi
29. Penelaah kritis Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis IKA RSMH

30. Indikator medis 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik


2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
31. Taksiran lama 2-3 minggu
perawatan
32. Kepustakaan 1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2009.
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugmans infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB
Saunders: Philadelphia; 2002.
5. Red book, report of committee on infectious disease, 24th ed. American academy of
pediatrics 2009
6. Top FH, Wehrle PF. Diphtheria. Communicable and infectious disease. St Louis:
Mosby; 1976. h. 223-38.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19580126 1985 03 2006 NIP 19710715 1999 03 2008

136
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Morbili
Kode ICD : B05

1. Definisi Campak, measles atau rubeola adalah penyakit virus akut yang
disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat
menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari
setelah munculnya ruam, ditandai oleh panas tinggi diikuti dengan
keluarnya ruam yang kemudian menghitam pada akhir perjalanan
penyakit.
2. Anamnesis 1. Demam tinggi terus menerus 38,5o C atau lebih
2. Disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila
terkena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare
3. Timbul ruam kulit pada hari ke 4-5 demam, didahului oleh suhu
yang meningkat lebih tinggi dari semula.
4. Dapat mengalami kejang
5. Saat ruam timbul, anak masih demam, batuk dan diare dapat
bertambah parah sehingga anak mengalami sesak napas atau
dehidrasi
6. Tanda penyembuhan: Adanya kulit kehitaman dan bersisik
(hiperpigmentasi)
3. Pemeriksaan Fisik Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga
stadium:
1. Stadium prodromal: berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan
demam yang diikuti dengan batuk, pilek, faring merah, nyeri
menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda patognomonik
timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut
bercak Koplik yang timbul 24 jam sebelum muncul ruam dan
menghilang pada hari ketiga timbulanya ruam.
2. Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular
yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari
batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah,
leher, dan akhirnya ke ekstremitas. Saat timbul ruam anak masih
demam
3. Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3 hari ruam
berangsur-angsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam
kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang
setelah 1-2 minggu.
4. Kriteria diagnosis 1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan serologis jika diperlukan (IgM campak)
5. Diagnosis kerja Campak (ICD 10: B05)
6. Diagnosis banding 1. Rubela
2. Demam skarlatina
3. Eksantema subitum
4. Infeksi stafilokokus
5. Ruam akibat obat-obatan
7. Pemeriksaan 1. Darah tepi: jumlah leukosit normal/turun atau meningkat apabila
penunjang ada komplikasi infeksi bakteri
2. Apabila ada komplikasi ensefalopati dilakukan:
a. Pemeriksaan cairan serebrospinalis
b. Kadar elektrolit darah

137
c. Analisis gas darah
3. Feses lengkap apabila ada komplikasi enteritis
4. Apabila ada komplikasi bronkopneumonia dilakukan:
a. Pemeriksaan foto rontgen dada
b. Analisis gas darah
8. Terapi 1. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup,
suplemen nutrisi, antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, anti
konvulsi diberikan bila terjadi kejang, dan vitamin A.
2. Indikasi rawat inap: hiperpireksia, dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau
adanya komplikasi.
3. Pasien dirawat di ruang isolasi, tirah baring.
4. Vitamin A diberikan sekali sehari selama 2 hari dengan dosis 50.000 IU pada
usia < 6 bulan, pada usia 6 bulan-1 tahun 100.000 IU oral pada usia 6 bulan-1
tahun dan, 200.000 IU oral pada usia > 1 tahun.
5. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai, jenis makanan disesuaikan
dengan tingkat kesadaran pasien dan ada-tidaknya komplikasi.
6. Pengobatan komplikasi yang sesuai
7. Imunisasi campak dapat diberikan untuk pencegahan anak yang kontak dengan
kasus campak, apabila vaksin campak diberikan 72 jam setelah kontak campak.
8. Immunoglobulin dapat diberikan untuk mencegah timbulnya campak pada
individu yang terpapar dalam 6 hari, terutama diindikasikan pada kasus
immunocompromised. Dosis yang direkomendasikan 0,25 mg/kg IM , untuk
pasien imunokompromais dosis yang diberikan 0,5 mg/kg IM (dosis maksimum
15 mL). Immunoglobulin diberikan pada kelompok risiko tinggi terjadinya
komplikasi yaitu bayi < 1 tahun, wanita hamil, dan anak yang
immunocompromised

9. Edukasi 1. Rawat di bangsal isolasi


2. Tirah baring
3. Menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin.
4. Melaksanakan cuci tangan 6 langkah
5. Penyakit Campak merupakan penyakit yang swasirna.
6. Menjelaskan risiko terjadinya komplikasi pada pasien dengan
gizi buruk dan anak berumur lebih kecil: diare dengan dehidrasi,
otitis media, croup, bronkopneumonia, ensefalitis akut, SSPE
7. Imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan, diulang saat
masuk sekolah SD (program BIAS), atau imunisasi MMR pada
umur 12-15 bulan diulang saat umur 5-6 tahun.
8. Pada anak yang pernah menderita campak, imunisasi tidak perlu
diberikan
10. Prognosis Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
11. Tingkat evidens III
12. Tingkat C
rekomendasi
13. Penelaah kritis Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH

14. Taksiran lama 3-5 hari


rawat

138
15. Indikator Medis 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis (tanpa sesak maupun diare)
3. Nafsu makan baik
4. Ruam kulit mulai menjadi kehitaman dan mengelupas.
16. Kepustakaan 1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of
pediatric infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders:
2004.
2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
American Academy of Pediatrics. Measles. Dalam: Pickering
LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book:
2006 Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27.
Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006,
h. 441-52
3. Samuel LK. Measles (Rubeola). Dalam: Anne AG, Peter JH,
Samuel LK, penyunting. Krugmans infectious diseases of
children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 353-68
4. Maldonado YA. Rubeola virus (measles and subacute sclerosing
panencephalitis). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003,
h.1148-55
5. Maldonado YA. Measles. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 1026-32.
6. American Academy of Pediatrics. Measles. Dalam: Pickering
LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book:
2006 Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27.
Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006,
h. 441-52

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19580126 1985 03 2006 NIP 19710715 1999 03 2008

139
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Sepsis
Kode ICD : A41.9
1. Definisi Sepsis: sindrom klinis hasil dari respon inflamasi sistemik (Systemic inflammatory
response syndrome/SIRS) terhadap infeksi (dugaan klinis/terbukti)
SIRS: respon klinis terhadap proses infeksi atau non-infeksi yang ditandai dengan
minimal 2 keadaan berikut (salah satunya harus temperatur atau jumlah lekosit
yang abnormal):
suhu core 38,5o C atau <36o C
takikardi atau bradikardi
takipneu
leukositosis, leukopenia atau hitung jenis bergeser ke kiri (netrofil imatur >
10%)
Infeksi: Adanya dugaan infeksi patogen atau terbukti (berdasarkan hasil biakan
positif, pewarnaan jaringan, atau uji PCR) ATAU sindrom klinis yang sangat
dicurigai berhubungan dengan infeksi. Bukti infeksi meliputi temuan positif pada
pemeriksaan klinis, pencitraan, atau laboratorium (misal: ditemukannya sel darah
putih pada cairan tubuh yang seharusnya steril, perforasi viscus, gambaran
radiografi sesuai pneumonia, ruam petekie atau purpura, atau purpura fulminans).
Sepsis berat: sepsis + disfungsi organ akut (minimal 1 organ: kardiovaskular atau
sindrom distress pernapasan akut) atau minimal 2 disfungsi organ lainnya.
Syok septik: sepsis + syok yang refrakter terhadap resusitasi cairan atau disfungsi
kardiovaskular
2. Anamnesis 1. Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus
infeksi yang mendasari timbulnya sepsis.
2. Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia,
vasodilatasi yang disusul dengan hipotensi
3. Gelisah dan agitasi
4. Letargi
5. Muntah
6. BAK sedikit
7. Riwayat luka bakar luas
8. Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
9. Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
10. Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
11. Riwayat pemberian antibiotik atau antivirus
3. Pemeriksaan 1. Penurunan kesadaran, letargi, agitasi
fisik 2. Hipotermia atau hipertermia
3. Takikardia atau bradikardi
4. Hiperventilasi
5. Gangguan perfusi atau hipotensi
6. Dehidrasi
7. Perut kembung
8. Timbulnya petekia dan purpura
9. Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
4. Kriteria 1. Sesuai dengan anamnesis
diagnosis 2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis kerja Sepsis

140
6. Diagnosis 1. Intoksikasi
banding 2. Sindrom Kawasaki
3. Leptospirosis
4. Tuberkulosis
5. Malaria
6. Kriptokokosis
7. Penyakit Lyme
8. Rocky Mountain Spotted Fever
9. Keganasan
7. Pemeriksaan 1. Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, hitung jenis leukosit, dengan
Penunjang apus darah tepi, LED
2. SGOT, SGPT, Bilirubin Total, Direk dan Indirek
3. Gula Darah Sewaktu
4. Ureum dan Creatinin
5. CRP
6. Procalcitonin
7. Elektrolit: Na, K, Ca, Cl
8. PT, aPTT, d-dimer, fibrinogen
9. Analisa gas darah
10. Urinalisis
11. Biakan darah berulang
12. Biakan urin
13. Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
14. Biakan jamur pada darah dan urin
15. Pemeriksaan radiologis
16. Laktat
6. Terapi 1. Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat diberikan:
a. Sefotaksim 100-150mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis atau Ampicillin (150-
200 mg/kg/hari iv dalam 3 dosis) + Gentamisin (5-7 mg/kg/hari dalam 2
dosis atau dosis tunggal)
b. Antibiotik spektrum luas sesuai pola kuman rumah sakit jika kuman
berasal dari health care associated infections (HAISs)
c. Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila
didapatkan kecurigaan bakteri anaerob.
d. Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara
definitif.
2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam-basa.
3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian
oksigen dan mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
4. Terapi Oksigen
5. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
6. Terapi cairan intravena termasuk TPN
7. Glucose control: pertahankan kadar gula darah >70 mg/dl
8. Anti jamur sistemik atas indikasi
9. Antipiretik: parasetamol
10. Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
11. Terapi inhalasi
12. Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin
13. Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
14. Source control: drain dan debridement sumber infeks bila memungkinkan

141
7. Edukasi 1. Tirah baring
2. Imunisasi
3. Perbaiki nutrisi
4. Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
5. Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
8. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam: dubia
10. Tingkat III
evidens
11. Tingkat C
rekomendasi
12. Penelaah Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
kritis
13. Taksiran 10-15 hari
lama rawat
14. Indikator 1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
medis 2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi
15. Kepustakaan 1. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS,
Satari HI. Penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
2. Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and
Nelson WE. Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13.
Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
3. Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-
3 Philadelphia: JB Lippincott, 1989. H 292-9
4. Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians.
Pediat Infect Dis Journ, 1992; 11: 739-49
5. Goldstein B, Giroir B, Rnadoplph A; International Consensus Conference on
Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference : definition
for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005.
Jan;6(1):2-8
6. Dellinger RP, et al. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine,
2013. Feb;41(2):580-637

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19580126 1985 03 2006 NIP 19710715 1999 03 2008

142

Anda mungkin juga menyukai