Anda di halaman 1dari 10

BAB II

INFORM CONSENT

A. Pengertian Inform Consent

Dalam sejarahnya, Informed Consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan,
termasuk dalam ilmu kesehatan/kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat
moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal informed consent
adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya
dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang
berbeda.

Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini terhadap Informed Consent rumit dan
kontroversial, intisari dari pendekatan secara hukum, dan pendekatan secara etika mudah
dimengerti. Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam
kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada
pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter
lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau
tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah
menyebabkan cedera tersebut. Visi legal ini lebih berfokus pada kompensasi finansial daripada
pada pemberian informasi dan izin yang diberikan pasien secara umum.

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta


Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.

Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara pasien dan dokter yang
menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu.
Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada
dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemriksaan fisik dan pemeriksaan
lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin,
melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak lanjut jika terjadi kesulitan,
dan sebagainya. Selanjutnya kata informed terkait dengan informasi atau penjelasan.

Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan


kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan itu bisa dalam bentuk lisan maupun
tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah
cukup.

Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan


atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang
akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa
telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dan pasien. Pembuktian tentang adanya perjanjian
terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip rekam medis atau dengan
persetujuan tindakan medis (Informed Consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam
kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter untuk
meminta pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.

Dapat disimpulkan bahwa Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau
keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah
kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap
tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui
oleh UU sehingga dengan kata lain Informed Consent adalah persetujuan setelah penjelasan.

B. Tujuan Informed Consent

a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)

C. Elemen-elemen Informed Consent


Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban untuk
memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan
penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi
materi informasi atau memaksa pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang
diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Suatu Informed Consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan
keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit
tidak diobati.
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan. Ruang lingkup dan
materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika
memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta
dalam pengobatan pasien. Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan
adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif.
Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai orang yang memberi terapi atau melakukan
tindakan mediklah yang harus menjelaskan dan mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah
ini. Proses komunikasi ini tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus
dibicarakan:
1. Diagnosis pada pasien, kalau sudah diketahui.
2. Sifat dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan.
3. Risiko dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan.
4. Pilihan pengobatan atau tindakan yang lain yang tersedia (tanpa melihat biayanya maupun
apakah termasuk di dalam pembiayaan yang dicakup oleh asuransi).
5. Risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan atau tindakan lain yang tersedia.
6. Risiko dan manfaat yang dihadapi apabila suatu pengobatan atau tindakan tidak dilakukan.
Sebaliknya, pasien atau klien harus mempunyai kesempatan untuk bertanya untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu pengobatan atau tindakan. Dengan
demikian dia akan dapat membuat keputusan yang berdasarkan pemahaman yang baik
mengenai suatu intervensi medik. Keputusan yang dia ambil bisa berupa persetujuan maupun
penolakan akan intervensi tersebut. Informed Consent baru dianggap sah kalau diberikan oleh
seorang pasien/klien yang kompeten dan diberikan secara sukarela.
Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien sebelum rencana tindakan medis
dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa
tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk
berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.
Kriteria pasien yang berhak :
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat
seorang pasien yang boleh memberikan pernyataan, yaitu :
1. Pasien tersebut sudah dewasa
Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa, namun secara umum bisa
digunakan batas 21 tahun. Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah
termasuk kriteria pasien sudah dewasa.
2. Pasien dalam keadaan sadar.
Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu
kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus bisa
diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
3. Pasien dalam keadaan sehat akal
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap
rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas,
bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya. Namun apabila pasien
tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk menentukan
dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan dilakukan kepada
dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali keluarga atau wali
hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan persetujuan
adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah
menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya
merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.
4. Hak suami/istri pasien
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan
sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus
melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa
dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga
memenuhi kriteria dalam keadaan sadar dan sehat akal. Beberapa jenis tindakan medis
tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa
berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
5. Dalam keadaan gawat darurat
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini
bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat
darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa
pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar
pelayanan / prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk
mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
6. Tidak berarti kebal hukum
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau
walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan
tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap
kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan
medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan
tuntutan hukum.
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko
sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien
bersedia menerima apapun resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa
pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan
dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam
melaksanakan tindakan medis.
Tindakan invasif :
a. Wali
Orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk mewakili
dalam melakukan perbuatan hukum, atau orang yang menurut hukum menggantikan
kedudukan orang tua.
b. Induk semang
Orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi
orang lain, misalnya : Pimpinan asrama dari anak perantau, kepala RT dari seorang pembantu
RT yang belum dewasa.
C. Hal-hal yang diinformasikan
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya
perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan
selanjutnya berada di tangan pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang
dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak
terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat
bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui
bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman,
ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya
untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia
wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia
harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa
pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu
obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur,
keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4. Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan
pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu.
Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan
terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat
menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya,
kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat
tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi
dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh
dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari Informed Consent.

D. Syarat-syarat Informed Consent

Hakim Cardozo (King, 1977) menyatakan bahwa setiap manusia dewasa dan berpikiran
sehat mempunyai hak untuk menetukan hal yang dapat dilakukan terhadap tubuhnya

Menurut Beauchamp bahwa informed consent dilandasi oleh prinsip etik dan moral serta
otonomi pasien

Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga)
unsur sebagai berikut :

a) Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter

b) Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan

c) Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.


E. BENTUK INFORMED CONSENT

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk, yaitu :

1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);

2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;

3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

F. ISI INFORMASI YANG HARUS DISAMPAIKAN

Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, yang harus dijelaskan
beberapa hal, yaitu:

1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang
akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1) Diagnosa yang telah ditegakkan.
2) Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3) Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4) Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5) Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6) Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran :
a) Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b) Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran,
dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (
Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ).
Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum
dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus
segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa
menghadapi situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

G. Peran Perawat dalam Informed Consent


Perawat sangat berperan dalam pelaksanaan informed consent yaitu berfungsi sebagai advocator
pasien dan sumber informasi (communicator ) bagi pasien selama fase perawatan di rumah sakit,
tetapi pada kenyataanya, pelaksanaan informed consent di indonesia sampai saat ini belum
terkoordinasi, karena terdapat kesenjangan dalam pelaksanaanya, Fenomena yang terlihat
sekarang ini adalah bahwa perawat belum melaksanakan informed consent secara optimal sesuai
dengan standar praktik keperawatan, seolah-olah perawat tidak mempunyai wewenang dalam
pelaksanaan informed consent (Suhaemi,2004).

Hal-hal yang harus dijelaskan oleh dokter dan perawat terkait informed consent:

1. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of
medical procedure)

2. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)

3. Tentang risiko (risk inherene in sual medical procedures)

4. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

5. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya (alternative
medical procedure and risk)

6. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan

7. Diagnosis

Anda mungkin juga menyukai