BAB II Inform Consent
BAB II Inform Consent
INFORM CONSENT
Dalam sejarahnya, Informed Consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan,
termasuk dalam ilmu kesehatan/kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat
moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal informed consent
adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya
dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang
berbeda.
Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini terhadap Informed Consent rumit dan
kontroversial, intisari dari pendekatan secara hukum, dan pendekatan secara etika mudah
dimengerti. Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam
kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada
pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter
lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau
tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah
menyebabkan cedera tersebut. Visi legal ini lebih berfokus pada kompensasi finansial daripada
pada pemberian informasi dan izin yang diberikan pasien secara umum.
Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara pasien dan dokter yang
menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu.
Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada
dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemriksaan fisik dan pemeriksaan
lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin,
melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak lanjut jika terjadi kesulitan,
dan sebagainya. Selanjutnya kata informed terkait dengan informasi atau penjelasan.
Dapat disimpulkan bahwa Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau
keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah
kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap
tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui
oleh UU sehingga dengan kata lain Informed Consent adalah persetujuan setelah penjelasan.
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)
Hakim Cardozo (King, 1977) menyatakan bahwa setiap manusia dewasa dan berpikiran
sehat mempunyai hak untuk menetukan hal yang dapat dilakukan terhadap tubuhnya
Menurut Beauchamp bahwa informed consent dilandasi oleh prinsip etik dan moral serta
otonomi pasien
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga)
unsur sebagai berikut :
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, yang harus dijelaskan
beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang
akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1) Diagnosa yang telah ditegakkan.
2) Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3) Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4) Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5) Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6) Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran :
a) Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b) Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran,
dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (
Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ).
Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum
dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus
segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa
menghadapi situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
Hal-hal yang harus dijelaskan oleh dokter dan perawat terkait informed consent:
1. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of
medical procedure)
2. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)
5. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya (alternative
medical procedure and risk)
7. Diagnosis