Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang
sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: Hipnotik (hilang
kesadaran), Analgetik (hilang perasaan sakit), Relaksan (relaksasi otot-otot).1
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.1
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam duktus koledukus, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke
dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis sekunder.
Hernia inguinalis merupakan penonjolan yang keluar dari rongga
peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh
epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika
cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang
sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu :1
a. Hipnotik, hilang kesadaran
b. Analgetik, hilang perasaan sakit

c. Relaksan, relaksasi otot-otot

2.2 Anestesi Umum


Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular1.

Indikasi anestesi umum :1


Pada bayi dan anak-anak
Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh
ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
Operasi besar
Pasien dengan gangguan mental
Pembedahan yang lama
Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan

Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

2
Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :2
a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan
yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan
kategori menggunakan sungkup muka, Endotrakeal tube nafas spontan,
Endotrakeal tube nafas terkontrol.

c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan


kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-


anestesi. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:2
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
c. Pemeriksaan laboratorium

3
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin yang
sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di
atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :2
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk
ditransplantasi.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan


mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.

2.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi:2
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi rasa sakit
Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi

Menurunkan basal metabolisme tubuh

4
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan
keadaan umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam
sebelumnya atau per oral 2 jam sebelum anestesi.
Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi
jika anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Obat
yang banyak digunakan:
Analgetik opium : - Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler

- Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler

Sedatif : - Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler

- Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, Dewasa

1,5 mg/kgbb intramuskuler

- Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral


Anak
- Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb

Vagolitik antisialagog ue: - Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau

intravena pada saat induksi maksimal 0,5 mg

Antasida : - Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan

2 jam sebelum operasi

- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi

- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

Sebelum induksi anastesi


Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab
untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah

5
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum
sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui
hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung
mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa
mungkin. Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman.
Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.

Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering
digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan aliran
infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam vena
besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.

2.4 Induksi Anestesi


Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.

6
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS:2
S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).
A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S = Suction

Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri.

7
Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis
tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.

Induksi Intamuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga
obat anestesi dapat masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak
dapat masuk dan anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan
dangkal. Jika hal ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga
digunakan untuk anak-anak yang takut pada jarum.

2.5 Intubasi Endotrakeal


Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa
pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.2

8
Gambar 2.1: Intubasi Endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal :2


1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernapasan yang tenang dan
tak ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord2

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :1


Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
Posisi kepala dan leher yang tepat

Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :2


a. Pipa endotrakea

9
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir
bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.

Gambar 2.2: Endotracheal Tube

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + umur (thn)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)

b. Laringoskop

10
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop :
Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 2.3: Laringoskop

Penilaian Mallampati
Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi
kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut,
khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade:3
Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas

11
Grade II :Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring
tidak terlihat
Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat

Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.

Gambar 2.4: Grade Mallampati

Kesulitan dalam teknik intubasi:1


Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap
Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
Kesulitan membuka mulut
Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
Abnormalitas pada daerah servikal
Kontraktur jaringan leher

Komplikasi pada intubasi endotrakeal :2


Memar & oedem laring
Strech injury
Non specific granuloma larynx
Stenosis trakea

Trauma gigi geligi

Laserasi bibir, gusi dan laring

12
Aspirasi, spasme bronkus

2.6 Obat-Obat Anestesi Umum


Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah:2
I.
Gas Anestesi
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan
Sevofluran.Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih
menjadi misteri dalam farmakologi modern.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :
1. Ambilan oleh paru

2. Difusi gas dari paru ke darah

3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.


Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:
1. N2O
N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.
2. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N 2O.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi
dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol
% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan
klinis pasien.
3. Isofluran

13
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi
adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan
frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap
oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan
batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi
17 kali lebih poten dibanding N2O.
5. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N 2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.

II. Obat-obat Anestesi Intravena


Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang
diberikan dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena2.
A.
Hipnosis2

1. Golongan barbiturat (pentotal)

14
Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan
induksinya cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam
waktu singkat kerjanya habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat
ini menyebabkan kehilangan kesadaran dengan jalan memblok kontrol
brainstem.

Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian


sebagai induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang
waktu pemberian 15-20 detik (untuk orang dewasa).

2. Benzodiazepin
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat
toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman
yang lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin
telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi
dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi.
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-
aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.
Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan
meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter
penghambat. Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam :
induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.

3. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna
putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan

15
dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn dan
pada wanita hamil tidak dianjurkan.
4. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan
kerja singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek
membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-
metil-D-aspartat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik,
tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi
otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Dosis
ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM. Anestesi dengan
ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama,
kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif.
Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil,
salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus
otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan
sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.

B. Analgetik2
1. Morfin

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa
getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun
tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin


meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui
emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks
serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari
thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.

16
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg
intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.

2. Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid
sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor
. Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk
mencapai puncak analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah
dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi
kardiovaskular.
3. Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang
lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25
mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis
untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
C.
Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)2
Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.
a. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf otot
tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik,
sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi
otot lurik.Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2
mg/kgBB IV.

17
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi

Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-


kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.

Dosis (mg/kgBB) Durasi (menit)


Long Acting
1. D-tubokurarin 0,4-0,6 30-60
2. Pankuronium 0,08-0,12 30-60
3. Metakurin 0,2-0,4 40-60
4. Pipekuronium 0,05-0,12 40-60
5. Doksakurium 0,02-0,08 45-60
6. Alkurium 0,15-0,3 40-60
Intermediate Acting
1. Gallamin 4-6 30-60
2. Atrakurium 0,5-0,6 20-45
3. Vekuronium 0,1-0,2 25-45
4. Rokuronium 0,6-1,2 30-60
5. Cistacuronium 0,15-0,2 30-45
Short Acting
1. Mivakurium 0,2-0,25 10-15
2. Ropacuronium 1,5-2 15-30

II.7 Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi baik
dari anestesi umum atau analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau, unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post
Anestesia Care Unit).

18
Sebagai ahli anastesi, anda bertanggung jawab terhadap perawatan pasien
pada saat pemulihan. Lakukan observasi dengan mengukur nadi, tekanan darah
dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal
dan perdarahan yang berlanjut.
Pada jam pertama setelah anestesi , merupakan saat yang paling berbahaya
bagi pasien. Reflek perlindungan jalan napas masih tertekan, walaupun pasien
tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi
pernapasan. Nyeri pada luka khususnya pada thoraks dan abdomen bagian atas,
akan menghambat pasien untuk mengambil napas dalam atau batuk. Ini dapat
menyebabkan berkembangnya infeksi di dada atau kolaps dasar paru dengan
hipoksia lebih lanjut. Pasien yg masih belum sadar betul, sebaiknya dibaringkan
dalam posisi miring, tetapi pasien dengan insisi abdomen, bila sudah benar-benar
sadar, biasanya pernafasannya lebih enak dalam keadaan duduk atau bersandar.
Oksigen harus selalu diberikan secara rutin pada pasien yang sakit dan pasien yg
menjalani operasi yang lama. Cara yang paling ekonomis untuk memberikan
oksigen selama masa pemulihan adalah melalui kateter nasofaring lunak 0,5-1
L/menit, yang akan menghasilkan udara inspirasi dengan konsistensi oksigen 30-
40%. Jika dibutuhkan analgetik kuat, misalnya opium, berikan dosis pertama
secara intravena, sehingga anda dapat menghitung dosis yg diperlukan untuk
melawan rasa sakit dan juga bisa mengobservasi bila terjadi depresi
pernapasan.Bila dibutuhkan, dosis intravena tersebut kemudian dapat diberikan
secara intramuskular.

Tempat pemulihan
Tempat yang terbaik untuk masa pemulihan adalah kamar operasi itu
sendiri, dimana semua peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk resusitasi
tersedia. Akan tetapi biasanya pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, sehingga
kamar operasi dapat dibersihkan dan digunakan untuk operasi berikutnya. Ruang
pemulihan harus bersih, dekat dengan kamar operasi sehingga anda bisa cepat
melihat pasien bila terjadi sesuatu. Alat penghisap harus selalu tersedia, juga

19
oksigen dan peralatan resusitasi. Pasien yang tidak sadar jangan dikirim ke
bangsal.
Sebelum pasien meninggalkan ruang pemulihan, kita harus melakukan
penilaian pemulihan pasca anestesi. Salah satunya berdasarkan Aldrete Score.

Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi Dapat Tidak dapat
baik dibangunkan dibangunkan
Warna Merah muda Pucat kehitaman, Sianosis, dengan
(pink), tanpa O2, perlu O2, SaO2 O2 SaO2 tetap
SaO2 92% >90% <90%
Aktivitas 4 ekstremitas 2 ekstremitas Tidak ada
bergerak bergerak ekstremitas
bergerak
Respirasi Dapat bernapas Napas dangkal Apnue atau
dalam Sesak napas obstruksi
Batuk
Kardiovaskular Tekanan darah Berubah 20-30 % Berubah >50%
berubah <20%
Kriteria pindah dari unit perawatan pasca anestesi jika nilai 9 atau 10.

2.8. Kolelitiasis
Definisi

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam duktus koledukus, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar
batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran
empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis
sekunder.

Patogenesis

Hepatolitiasis ialah batu emepdu yang terdapat di dalam saluran empedu


dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun percabangan

20
tersebut mungkin terdapat di luar parenkim hati. Bastu ersebut umumnya berupa
batu pigmen yang berwarna cokelat, lunak, bentuknya sepertu lumpur dan rapuh.
Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau
kolangitis oriental yang sering sulit penangananya.
Batu kendung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledukus
melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara partial atau komplit
sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang
melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan
sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus dan striktur
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akantetap berasa
di san sebagai batu duktus sistikus.
Kolelitiasis asimtomatik biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu
pemeriksaan ultrasonografi, pembuatan foto polos perut, atau perabaan sewaktu
operasi. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak ditemukan kelainan.

Diagnosis

A. Anamnesis

Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah


asimtomatik.
Keluhan yang mungkin timbul berupa dyspepsia yang kadang disertai
intoleransi terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit dan kadang-kadang
menghilang dalam beberapa jam kemudian. Penyebaran nyeri dapat ke punggung
bagian tengah, scapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih
kurang penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah makan antasida.

21
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik epigastrium dan
perut kanan atas akan disertai tanda sepsis. Baisanya terdapat icterus dan urin
berwarna gelap yang hilang timbul.
Pruritus ditemukan pada icterus obstrultif yang berkepanjangan dan lebih
abnyak ditemukan di daerah tungkai daripada badan.
B. Pemeriksaan Fisik
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung
empedu, empiema kandung empedu atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase
tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sclera ikterik. Patut diketahui bila
kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dL gejala icterus tidak jelas.
C. Pemeriksaan Penunjang
Batu kandung empedu yang asimtomatik tidak menilbukan kelainan
laboratorium. Apabila terjadi peradangna akut, dapat terjadi leukositosis. Pabila
ada sindrom Mirizzi, akan ditemukan kenaikan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledokus oleh batu, dinding yang oedem di daerah kantong Hartman, dan
penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar pospatase alkali serum
dan mungkin juga kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali
ada serangan akut.
Dengan USG dapat dilihat batu kandung emoedu, pelebaran saluran
empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic, dinding kandung empedu yang
menebal karena fibrosis atau oedem. Batu yang terdapat pada duktus koledukus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang udara didalam usus.
Foto polos perut, biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengadung cairan empedu berkalsium tinggi dapat dilihat
pada foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di

22
kuadran kana atas yang menekan gambaran udara di dalam usus besar di pleksura
hepatica.
Foto rontgen dengan kolangiopankreatikografi endoskopi retrogard
(ERCP) di papila vater atau melalui kolangiografi transhepatik perkutan (PTC)
berguna untuk pemeriksaan batu di duktus koledokus. Indikasinya ialah batu
kandung empedu dengan gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi dengan
USG dan kolesistografi oral, misalnya karena batu oral. Kelemahan ERCP untuk
diagnosis adalah bahaya timbulnya komplikasi pankreatitis.

Komplikasi
Komplikasi kolelitiasis adalah kolisitisis akut yang dapat menimbulkan
perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, icterus obstruktif, kolangitis,
kolangiolitis piogenik, ileus batu empedu, pankreatitis, dan perubahan keganasan.
Batu empedu dari duktus koledokus dapat masuk ke dalam duodenum melalui
papilla vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan mukosa, peradangan,
oedem, striktur papila vater.

Penatalaksanaan
A. Non Bedah
Tata laksana non bedah terdiri atas lisis batu atau endoskopi. Selain itu,
dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada orang yang cenderung memiliki
empedu litogenik dengan mecegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol
serum dengan cara mengurangi asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat
golongan statin dikenal dapat menghambat sintesis kolestrol karena mengahambat
enzim HMG-CoA reduktase.
Lisis batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil
pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan 1-
2 tahun.
B. Bedah
Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun laparoskopi adalah
kolelitiasis asimptomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan
kolesistisis akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi lain adalah
kandung empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi oral, atau kandung
empedu dengan batu besar, berdiameter > 2 cm karena batu yang besar lebih
sering menimbulkan kolesistisis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.

23
Indikasi lain adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan
kejadian karsinoma.
Secara umum, indikasi kolesitektomi untuk batu empedu adalah batu
empedu simptomatik, pankreatitis empedu, dan diskinesia empedu, dimana hasil
pemeriksaan injeksi empedu harus kurang dari 35%. Batu empedu yang
asimtomatik yang memerlukan kolesistektomi adalah pasien karier salmonella
yang ditandai dengan kultur feses yang positif untuk S.thypii, pasien
imunodefisensi; pasien yang akan bertugas jauh dari fasilitas kesehatan atau
menjadi anggota ekspidisi kedaerah terpencil; pasien dengan kandung empedu
jenis porselin; dan kandidat transplasntasi ginjal.

2.9. Hernia Inguinalis

Definisi

Hernia inguinalis merupakan penonjolan yang keluar dari rongga


peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh
epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika
cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus.

Etiologi

Faktor penyebab Hernia Inguinalis adalah:

1. Adanya prosesus vaginalis yang tetap terbuka

Proses turunnya testis mengikuti prosesus vaginalis. Pada neonatus kurang lebih
90% prosesus vaginalis tetap terbuka, sedangkan pada bayi umur satu tahun

24
sekitar 30% prosesus vaginalis belum tertutup Akan tetapi, kejadian hernia pada
umur ini hanya beberapa persen. Tidak sampai 10 % dengan anak dengan
prosesus vaginalis paten menderita hernia. Pada lebih dari separuh populasi anak,
dapat dijumpai prosesus vaginalis paten kontralateral, tetapi insidens hernia tidak
melebih 20 %. Umumnya disimpulkan adanya prosesus vaginalis yang paten
bukan merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan faktor
lain, seperti anulus inguinalis yang cukup besar.

Insidens hernia inguinalis pada bayi dan anak antara 1 dan 2 %. Kemungkinan
terjadi hernia pada sisi kanan 60 %, sisi kiri 20-25 % dan bilateral 15 %. Kejadian
hernia bilateral pada anak perempuan dibandingkan lelaki kira-kira sama (10%)
walaupun frekuensi prosesus vaginalis yang tetap terbuka lebih tinggi pada
perempuan.

Anak yang pernah menjalani operasi hernia pada waktu bayi, mempunyai
kemungkinan 16% mendapat hernia kontralateral pada usia dewasa. Insidens
hernia inguinalis pada orang dewasa kira-kira 2 %. Kemungkinan terjadi hernia
bilateral dari insidens tersebut mendekati 10 %.

2. Peninggian tekanan intraabdomen

Tekanan intraabdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik,


hipertropi prostat, konstipasi, dan asites, sering disertai hernia inguinalis.
Insidensi hernia meningkat dengan bertambahnya umur mungkin karena
meningkatnya penyakit yang meninggikan tekanan intra-abdomen dan
berkurangnya kekuatan jaringan penunjang. Hernia dapat terjadi setelah
peningkatan tekanan intra-abdominal yang tiba-tiba dan kuat seperti waktu
mengangkat barang yang sangat berat, mendorong, batuk, atau mengejan dengan
kuat pada waktu miksi atau defekasi.

3. Kelemahan otot dinding perut karena usia.

25
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus
internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak tinggi dan
kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya, bila otot dinding perut
berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis
tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke dalam kanalis inguinalis.
Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n. ilioinguinalis
dan n.iliofemoralis setelah apendektomi.

Diagnosa

Diagnosis Hernia Inguinalis :

a. Anamnesa

Gejala dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia.
Pada hernia reponibel keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di lipat paha
yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan, dan menghilang
setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang dijumpai; kalau ada biasanya dirasakan di
darah epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri viseral karena regangan pada
mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia.
Nyeri yang disertai mual atau muntah baru timbul kalau terjadi inkarserasi karena
ileus atau strangulasi karena nekrosis atau gangren.

b. Pemeriksaan Fisik

Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada
inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul
sebagai penonjolan di regio inguinalis yang berjalan dari lateral atas ke medial
bawah. Kantong hernia yang kosong kadang dapat diraba pada funikulus
spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan sensasi
gesekan dua permukaan sutera, tetapi umumnya tanda ini sukar ditentukan. Kalau

26
kantong hernia berisi organ, tergantung isinya, pada palpasi mungkin teraba usus,
omentum (seperti karet), atau ovarium. Dengan jari telunjuk atau jari kelingking,
pada anak, dapat dicoba mendorong isi hernia dengan menekan kulit skrotum
melalui anulus eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat
direposisi atau tidak. Dalam hal hernia dapat direposisi, pada waktu jari masih
berada dalam anulus eksternus, pasien diminta mengedan. Kalau ujung jari
menyentuh hernia, berarti hernia inguinalis lateralis, dan kalau bagian sisi jari
yang menyentuhnya, berarti hernia inguinalis medialis. Isi hernia, pada bayi
perempuan, yang teraba seperti sebuah massa padat biasanya terdiri atas ovarium.

Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat direposisi, atas dasar
tidak adanya pembatasan jelas di sebelah kranial dan adanya hubungan ke kranial
melalui anulus eksternus.

Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis
yang teraba dapat dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.

Penatalaksanaan

Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan


pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang
telah direposisi. Reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis strangulata,
kecuali pada pasien anak-anak. Reposisi dilakukan secara bimanual. Tangan kiri
memegang isi hernia membentuk corong sedangkan tangan kanan mendorongnya
ke arah cincin hernia dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi
reposisi. Pada anak-anak inkarserasi lebih sering terjadi pada umur dibawah dua
tahun. Reposisi spontan lebih sering dan sebaliknya gangguan vitalitas isi hernia
jarang terjadi dibandingkan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh cincin hernia
yang lebih elastis pada anak-anak. Reposisi dilakukan dengan menidurkan anak
dengan pemberian sedatif dan kompres es di atas hernia. Bila usaha reposisi ini
berhasil, anak disiapkan untuk operasi pada hari berikutnya. Jika reposisi hernia
tidak berhasil, dalam waktu 6 jam harus dilakukan operasi segera.

27
Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang
telah direposisi dan tidak pernah menyembuhkan sehingga harus dipakai seumur
hidup. Namun, cara yang sudah berumur lebih dari 4000 tahun ini masih saja
dipakai sampai sekarang. Sebaiknya cara ini tidak dianjurkan karena
menimbulkan komplikasi, antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding perut
di daerah yang tertekan sedangkan strangulasi tetap mengancam. Pada anak-anak
cara ini dapat menimbulkan atrofi testis karena tekanan pada tali sperma yang
mengandung pembuluh darah testis.

Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan rasional hernia


inguinalis. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosa ditegakkan. Prinsip dasar
operasi hernia terdiri atas herniotomi dan hernioplasti.

Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke


lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit ikat setinggi mungkin lalu dipotong.

Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis


internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik lebih
penting dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi.
Dikenal berbagai metode hernioplastik, seperti memperkecil anulus inguinalis
internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa, dan
menjahitkan pertemuan m.transversus internus abdominis dan m.obliqus obliqus
internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum
inguinale Poupart menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia transversa,
m.transversus abdominis, m. obliqus internus abdominis ke ligamentum Cooper
pada metode McVay.

Metode Bassini merupakan teknik herniorafi yang pertama dipublikasi


tahun 1887. Setelah diseksi kanalis inguinalis, dilakukan rekonstruksi dasar lipat
paha dengan cara mengaproksimasi muskulus obliqus internus, muskulus
transversus abdominis, dan fasia transversalis dengan traktus iliopubik dan

28
ligamentum inguinale. Teknik dapat diterapkan, baik pada hernia direk maupun
indirek.

Kelemahan teknik Bassini dan teknik lain yang berupa variasi teknik
herniotomi Bassini adalah terdapatnya regangan berlebihan dari otot-otot yang
dijahit. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun delapan puluhan dipopulerkan
pendekatan operasi bebas regangan. Pada teknik itu digunakan prostesis mesh
untuk memperkuat fasia transversalis yang membentuk dasar kanalis inguinalis
tanpa menjahitkan otot-otot ke inguinal.

Pada hernia kongenital pada bayi dan anak-anak yang faktor penyebabnya
adalah prosesus vaginalis yang tidak menutup hanya dilakukan herniotomi karena
anulus inguinalis internus cukup elastis dan dinding belakang kanalis cukup kuat.

Terapi operatif hernia bilateral pada bayi dan anak dilakukan dalam satu
tahap. Mengingat kejadian hernia bilateral cukup tinggi pada anak, kadang
dianjurkan eksplorasi kontralateral secara rutin, terutama pada hernia inguinalis
sisnistra. Hernia bilateral pada orang dewasa, dinajurkan melakukan operasi
dalam satu tahap,kecuali jika ada kontraindikasi.

Kadang ditemukan insufisiensi dinding belakang kanalis inguinalis dengan


hernia inguinalis medialis besar yang biasanya bilateral. Dalam hal ini, diperlukan
hernioplastik yang dilakukan secara cermat dan teliti. Tidak satu pun teknik yang
dapat menjamin bahwa tidak akan terjadi residif. Yang penting diperhatikan ialah
mencegah terjadinya tegangan pada jahitan dan kerusakan pada jaringan.
Umumnya dibutukan plastik dengan bahan prostesis mesh misalnya.

Terjadinya residif lebih banyak dipengaruhi oleh teknik reparasi


dibandingkan dengan faktor konstitusi.Pada hernia inguinalis lateralis penyebab
resididf yang paling sering ialah penutupan anulus inguinalis internus yang tidak
memadai, di antaranya karena diseksi kantong yang kurang sempurna, adanya
lipoma preperitoneal, atau kantung hernia tidak ditemukan. Pada hernia inguinalis

29
medialis penyebab residif umumnya karena tegangan yang berlebihan pada jahitan
plastik atau kekurangan lain dalam teknik.

Pada operasi hernia secara laparoskopi diletakkan prostesis mesh di bawah


peritoneum dinding perut.

BAB III

KESIMPULAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos,"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesi umum endotrakeal merupakan teknik anestesi dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anesthesia intravena maupun
obat anestesi inhalasi dan memasukkan pipa pernafasan yang terbuat dari portex ke
dalam trakea guna membantu pernafasan pada penderita atau waktu memberikan
anestesi secara inhalasi.
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam duktus koledukus, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke
dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis sekunder.
Hernia inguinalis merupakan penonjolan yang keluar dari rongga
peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh

30
epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika
cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anastesi Umum dan Anastesi Lokal. Medan :
Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal : 1-38.
2. Latief S, dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, cetakan kelima.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; Hal : 29-90.
3. Dobson BM. Dharma A. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. World Health
Organization. EGC. Hal 47- 110
4. Gwinnutt CL.2012. Catatan Kuliah Anestesi Klinis. Edisi 3. EGC.
5. Torpy JM, Lynm C. 2011. General Anesthesia. Vol 305. No 10. JAMA (The
Journal of the American Medical Association). (diakses tanggal 14-03-2017,
http: jama.jamanetwork.com)
6. Christoper D. 2015. General Anesthesia. Departement of Anesthesiology.
Standford University school of Medicine. (diakses 14-03-2017, http:
emedicine.medscape.com)
7. Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC

31
BAB IV

LAPORAN ANESTESI

ANAMNESA PRIBADI
Nama : Mr.R
Umur : 4 tahun
Jeniskelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Suku : Minang
BB : 15 kg
No RM : 01-02-63-68
Tanggal masuk : 1 April 2017

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan utama : Luka bakar terkena air panas
Telaah :
Hal ini dialami os 3 minggu yang lalu, awalnya os terkena air panas
pada beberapa bagian tubuh os, os merasakan nyeri pada bagian yang terkena air

32
panas (+), nyeri (+), mual muntah (-), nafsu makan berkurang, riwayat BAB dan
BAK (+) Normal.
RPT :-
RPO :-
KEAADAAN PRA BEDAH
Status Present
Sensorium : Compos mentis
KU/KP/KG : Sedang /sedang/ sedang
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
Frekuensi nafas : 24 x/i
Temperatur : 37,2oC
Anemis : (-)
Ikterik : (-)
Sianosis : (-)
Dipsnoe : (-)
Oedem : (-)

Status Lokalisata
a. Kepala
Mata : RC (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior anemis(-/-),
ikterik (-/-)
Hidung : Secret (-)
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis, luka bakar pada thorax sinistra
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP = vesikuler

33
ST = (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Simetris, luka bakar pada abdomen sinistra
Palpasi : Soepel
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
e. Ekstremitas superior : Tampak luka bakar pada ekstremitas sinistra
f. Ekstremitas inferior : Tampak luka bakar pada ekstremitas sinista
g. Genitalia eksterna : Tampak luka bakar pada genitalia
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (tanggal 23 April 2017)

Hb 29,13 g/dL
Hct 25,9 %
Leukosit 29.13 u/L
Trombosit 5 u/L
Natrium 140 mmol/L
Kalium 3,10 mmol/L
Klorida 118 mmol/L

Laboratorium (tanggal 26 April 2017)

Hb 10,9 g/dL
Hct 31,6 %
Leukosit 20,99* u/L
Trombosit 78 u/L
Natrium 136 mmol/L
Kalium 3,30 mmol/L
Klorida 113 mmol/L
Ureum 26 mg/dL
Creatinin 0,25 mg/dL
Albumin 2,50 g/dl

Rontgen thorax ( Tanggal 7 April 2017) : Tidak tampak kelainan radiologis pada
cor dan pulmo

34
KEADAAN PRA BEDAH (FOLLOW UP ANESTESI)
B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 20 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-

B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah/kering
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 37,2oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik :-/-/-

B3 (Brain)
Sensorium :Compos mentis
RC : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -

B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-

35
B5 (Bowel)
Abdomen : Soepel
Peristaltic : (+) Normal
Mual/Muntah : -/-
BAB/Flatus : +/+
NGT :-

B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar : (+) pada bagian thorax sinistra, ekstremitas superior sinistra,
ekstremitas inferior sinistra, dan genitalia.
Oedem :-

Diagnosis : Scald burn 30%


Status fisik : ASA I
Rencana tindakan : Debridement
Rencana anestesi : GA-TIVA

Anestesi
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00 wib
Pemasangan infus pada dorsum manus dextra dengan cairan RL
Persiapan alat
Stetoskop
Tensimeter
Meja operasi dan perangkat operasi
Ventilator
Ambu bag
Infus set

36
Abocath no 22
Threeway
Spuit 3cc
Spuit 5cc
Spuit 10cc

Obat obat yang dipakai


- Premedikasi :
o Midazolam 2 mg
o Fentanyl 20 mcg
- Medikasi :
o Propofol 30 mg
- Sebelum operasi selesai :
o Paracetamol drip 300 mg

Urutan pelaksanaan anastesi


- Cairan pre operasi : RL 500 ml
- Prosedur anastesi :
Pasien dibaringkan di meja operasi dalam posisi supine
Infuse RL terpasang di lengan kanan
Pemasangan tensi meter di lengan kiri
Pemasangan oksimetri di ibu jari kanan pasien
Pemasangan elektrodapengukuran frekuensi nadi dan frekuensi nafas

Teknik anastesi : Preoksigenasi O2 5-10 menit Inj.Midazolam 2


mgInj.fentanyl 20 mcg induksi Propofol 30 mg.

DURANTE OPERASI

37
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infuse.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan nafas setiap 15 menit.

Jam TD Nadi RR SaO2


(mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)
11.00 110/80 110 20 99%
11.15 100/80 110 20 99%
11.30 98/80 120 20 99%
11.45 98/90 120 20 99%

3. Monitoring perdarahan
- Perdarahan
Kassa basah : 5 x 10 cc = 50 cc
Kassa basah: 5 x 5cc = 25 cc
Total : 75 cc
Infuse RL o/t regio dorsum manus dextra
Pre operasi : RL 500 ml
Durante operasi : RL 500 ml
Urine output :
Durante operasi : Terpasang kateter (100 cc)

KETERANGAN TAMBAHAN
- Diagnosis pasca bedah : Post debridement a/i scald burn 30%
- Lama anastesi :11.00 11.45 wib
- Lama operasi :11.05 11.40 wib

Instruksi Pasca Bedah :


Bed rest, head up 300
O2 2 L/i via nasal kanul
Injeksi Paracetamol 20 mg/kgbb (k/p)
Antibiotik dan terapi lain sesuai TS BEDAH

38
Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam di RR
Cek Hb post operasi, bila Hb < 7 lapor ke dokter jaga
TD sistol <90 mmHg atau >160 mmHg, diastole <60 mmHg atau >110
mmHg, HR <60x/i atau HR>120 x/i, RR<10 x/i atau >32x/i, T < 35 oC,
atau > 38 oC, lapor dokter jaga
Pantau urin output, bila <0,5 cc/kgBB/jam, lapor dokter jaga.

39

Anda mungkin juga menyukai