Terdapat efek mendasar yang terjadi pada jaringan saat terapi HBO, yakni efek yang
berhubungan dengan peningkatan PO2 serta efek yang terkait dengan daya mekanik tekanan itu
sendiri.
Hiperoksigenasi
Kondisi hiperbarik memungkinkan oksigen dalam jumlah yang signifikan larut dalam
darah. Plasma yang ter-hiperoksigenasi akan mentranspor oksigen pada area yang kekurangan
akses dari sel darahmerah atau jaringan yang hipoksik. Oksigen terlarut dalam plasma dapat
dikirim ke jaringan pada jarak sedikitnya tiga sampai empat kali yang dapat dihantarkan oleh
hemoglobin. Selain itu, sel darah merah menjadi lebih lentur dan dapat masuk ke sirkulasi
mikrovaskuler secara lebih efisien. Sehingga dapat lebih memungkinkan peningkatan
pengantaran oksigen.
Vasokonstriksi
Lingkungan yang hiperoksik pada terapi HBO memfasilitasi perubahan fisiologis dan
biokimia yang berkontribusi terhadap pemberian antimikroba standar.
Supresi radikal oksigen yang toksik
Terapi HBO melindungi jaringan terhadap efek yangmembahayakan dari radikal oksigen
yang toksik. Efek yang menguntungkan ini dikatakan dapat terjadi dalam beberapa mekanisme.
Pertama, terapi HBO bersifat antagonis terhadap lipid peroksidase dari membran seldengan cara
mencegah konversi dari endothelial Canthine dehydrogenase menjadi Canthine Cidase , tahap
yang paling penting dalam produksi lipid peroksidase.Kedua, terapi HBO menghambat inisiasi
dari reperfusion injury Karena mencegah sekuestrasi neutrofil ke jaringan yang cedera
Reperfusion injury mengacu pada kerusakan jaringan oleh karena ketika suplai darah kembali ke
jaringan setelah masa iskemia,pemulihan aliran darah sebenarnya mengarah ke kerusakan
vascular progresif dan memperluas area dengan aliran darah yang buruk.ketiga, terapi HBO
memungkinkan oksigen yang cukup untuk reperfusi jaringan
Sahni T, Singh P, John MJ. Hyperbaric Oxygen Therapy : Current Trends and Applications.
JAPI. 2003;51:280-4.
Wang J, Li F, Calhoun JH, Mader JT. The role and effectiveness of adjunctive hyperbaric oxygen
therapy in the management of musculoskeletal disorders. J Postgrad Med 2002;48:226-31.
Available from: http://www.jpgmonline.com/article.asp?issn=0022-
Dwipayana R, Prijambodo B. The Effect Of Hyperbaric Oxygen on The Healing of Rats Flexor
Muscle Injury. Majalah Orthopedi Indonesia. 2010; XXXVIII:77-84.
Huda N. Pengaruh hiperbarik oksigen (HBO) Terhadap Perfusi Perifer Luka Gangren pada
Penderita DM di RSAL Dr. Ramelan Surabaya. [Tesis]. Universitas Indonesia;2010.
Pada bagian luka juga terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan infeksi. Di
bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami
kondisi hipooksigenasi karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast sebagaimana telah disinggung
sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Jadilah kondisi
daerah luka tersebut menjadi hipervaskular, hiperseluler, dan hiperoksia. Dengan pemaparan
oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-, i-NOS dan VEGF. IFN- menyebabkan TH-1
meningkat yang berpengaruh pada sel sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan
meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Oksigen hiperbarik
meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, kemudian mengoksidasi protein dan lipid
membrane bakteri, menghancurkan DNA, dan menghambat fungsi metabolik bakteri. Enzim
superoksid dismutase, katalase, glutation, dan glutation reduktase menyebabkan penghambatan
pembentukan radikal bebas oksigen sampai nantinya kadar oksigen melebihi kadar konsentrasi
enzim-enzim tersebut. Sehingga pada akhirnya, oksigen akan mengaktifkan peroksidase yang
akan menghancurkan bakteri.
Banyak pemeriksaan Radiologi/Imaging yang dapat dilakukan untuk diagnosa :
1. Foto polos abdomen.
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu opak dikandung empedu atau di
duktus kholedekus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat keadaan
secara keseluruhan dalam rongga abdomen.
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan
kholestasis.meriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal
sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi atau ikterus non
obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus bilkiaris yang paling sering adalah bagian
distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti
pelebaran bagian proximal.
Untuk membedakan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dengan mudah dapat
dibedakan karena pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak tampak pelebaran dari
duktus biliaris komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal maka
ini dapat dikategorikan obstruksi letak rendah (distal). Pada dilatasi ringan dari duktus biliaris
maka kita akan melihat duktus biliaris kanan berdilatasi dan duktus biliaris daerah perifer belum
jelas terlihat berdilatasi. Gambaran duktus biliaris yang berdilatasi bersama-sama dengan vena
porta terlihat sebagai gambaran double vessel, dan imajing ini disebut double barrel gun sign
atau sebagai paralel channel sign. Pada potongan melintang pembuluh ganda tampak sebagai
gambaran cincin ganda membentuk shot gun sign.
Pada dilatasi berat duktus biliaris maka duktus biliaris intra hepatal bagian sentral dan perifer
akan sangat jelas terlihat berdilatasi dan berkelok-kelok.
Gambaran Ultrasonografi pada beberapa penyakit yang menyebabkan obstruksi duktus
biliaris :
Kista duktus kholedekus :
Kista duktus kholesdekhus adalah pelebaran kistik dari duktus biliaris yang biasanya
didapat secara kengenital. Kelainan ini bisa disertai oleh pelebaran duktus biliaris intra hepatal.
Pada USG akan terlihat banyangan masa kistik yang berhubungan dengan duktus biliaris dan
kenmungkinan akan terlihat bayangan batu atau infeksi kandung empedu. Pada caroli disease
yang meruipakan tipe V dari kista duktus kholesderkhus disini akan terlihat pelebaran duktus
billiaris intra hepatal saja yang berbentuk kistik, disini juga kemungkinan akan terlihat batu atau
proses peradangan.
Karsinoma pada saluran empedu intra hepatik.
Karsinoma saluran empedu intra hepatik yang biasanya disebut kholangio karsinoma intra
hepatik adalah tumor kedua terbanyak sesudah hepatoseluler karsinoma. Kholangio karsinoma
intra hepatik dikelompokan atas 2 jenis yaitu :
Periferal kholangiokarsinoma
Hilar kholangiokarsinoma atau biasa disebut tumor klatskin
Batu empedu.
Batu dalam empedu mungkin tunggal maupun multipel. Kadang-kadang akan didapatkan
batu yang bertindak sebagai katup sehingga akan timbul fluktuasi dalam intensitas ikterusnya.
Batu akan tampak sebagai struktur hiper ekhoik dengan bayangan akustik dibelakangnya. Batu
dibagian distal saluran empedu ekstra hepatik lebih sukar ditegakkan diagnosisnya dibandingkan
dengan batu dibagian proksimal saluran empedu ekstra hepatik. Bahkan kadang-kadang tidak
mungkin ditentukan secara USG dan memerlukan pemeriksaan konfirmatif misal ERCP.
Penghalang utama adalah gas pencernaan dan jalan anatomis saluran empedu ini. Batu bisa
timbul di saluran intra hepatik maupun di ekstra (duktus choledochus). Kholedokkholitiasis
adalah batu didalam duktus choledocchus. Batu ini bisa single maupun multiplr. Batu yang
tertanam biasanya terjadi di bagian bawah duktus diatas ampula vateri. Intensitas ikterus
biasanya fluktuasi/hilang timbul dimana batu bertindak sebagai katup (ball valve). Obstruksi
partial masih mengeluarkan cairan empedu ke dalam duadenum.
Secara sonografi terlihat Common Bile Duct (CBD) berdilatasi, tampak bayangan hiper
ekhoik dengan bayangan akustik. Batu akan mudah terlihat karena dikelilingi oleh cairan
empedu, diagnosis akan lebih sulit katika seluruh saluran empedu tertutup/terisi oleh batu,
dimana kontras antara cairan empedu dan batu menghilang. Serta tampak hanya sebagai akustik
shadow yang mungkin diduga sebagai gas echo dari duodenum. Hepatolitiasis adalah batu
didalam duktus intra hepatik. Batu ini lebih jarang dibandinghkan batu didalam duktus ekstra
hepatik. Menurut beberapa pengamat batu saluran empedu intra hepatik dijumpai kira-kira 2-3%
kasus batu empedu. Secara sonografi hepatolitiasis ini terlihat sebagai massa bergema tinggi
dengan batas tegas dan bayangan akustik dibelakangnya di jaringan parenkim hati. Tampak
pelebaran duktus biliaris intra hepatal sedangkan ekstra hepatal normal. Kandung empedu
terlihat normal, dan hepar biasanya normal.
CT-Scan
Pemeriksaan CT Scan mengenai tractus biliaris banyak dilakukan untuk melengkapi data
suatu pemeriksaan sonografi yang telah dilakukan sebelumnya. Secara khusus CT Scan
dilakukan guna menegaskan tingkat atau penyebab yang tepat adanya obstruksi/kelainan pada
saluran emkpedu. Dalam hal ini CT Scan dinilai untuk membedakan antara ikterus obstriktif,
apakah intra atau ekstra hepatik dengan meperhatikan adanya dilatasi dari duktus biliaris.
Kunci untuk menetapkan tingkat atau penyebab dilatasi duktus biliaris adalah evaluasi
yang cermat mengenai zona transisi pada tingkat dimana terjadi duktus yang melebar/dilatasi
kemudian terjadi penyempitan-penyempitan duktus buliaris dan kemudian duktus yang tidak
terlihat.
Dilatasi duktus biliaris dideteksi sebagai garis atenuasi yang rendah atau struktur sirkuler
yang tidak memberikan penyengatan dengan pemberian kontras melalui intravena. Dilatasi CBD
dideteksi sebagai suatu bulatan atau struktur tubuler dekat vena perta atau dekat daerah kaput
pankreas. Kandung empedu sering berdilatasi bila ada obstruksi duktus biliatis ekstra hepatik.
Adanya gambaran dilatasi CBD bagian caudal dari potongan yang berdampingan dengan vena
pora diduga adanya obstruksi bagian distas.
Batu empedu biasanya menimbulkan gejala-gejala sebagai akibat dari inflamasi atau
obstruksi karena migrasi ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Gejala yang paling
spesifik dan karakteristik adalah kolik bilier. Nyeri viseral ini bersifat nyeri yang hebat, menetap
atau berupa tekanan di epigastrium atau di abdomen kuadran kanan atas yang sering menjalar ke
daerah inter-skapular, skapula kanan atau bahu. Kolik bilier dimulai tiba-tiba dan menetap
dengan intensitas berat selama 1-4 jam dan menghilang pelahan-lahan atau dengan cepat.
Episode kolik ini sering disertai dengan mual dan muntah-muntah dan pada sebagian pasien
diikuti dengan ke naikan bilirubin serum bilamana batu migrasi ke duktus koledokus. Adanya
demam atau menggigil yang menyertai kolik bilier biasanya menunjukkan komplikasi seperti
kolesistitis, kolangitis atau pankreatitis. Kolik bilier dapat dicetuskan sesudah makan banyak
yang berlemak.
Lokasi
Lokasi batu empedu bisa bermacam-macam yakni di kandung empedu, duktus sistikus,
duktus koledokus, ampulla Vateri, di dalam hati. Batu di dalam kandung empedu yang tidak
memberikan keluhan atau gejalagejala (asimtomatik) dibiarkan saja. Bilamana timbul gejala,
biasanya karena batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau masuk ke duktus
koledokus, maka batu ini harus dikeluarkan. Migrasi batu ke leher kandung empedu akan
menyebabkan obstruksi duktus sistikus. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya iritasi kimiawi
mukosa kandung empedu oleh cairan empedu yang tertinggal sehingga terjadilah kolesistitis akut
atau kronis, tergantung dari beratnya perubahan pada mukosa. Pada pasien dengan batu kandung
empedu yang simtomatik ini dapat dilakukan kolesistektomi secara konvensional ataupun dengan
cara laparoskopi. Batu empedu yang terjepit di duktus sistikus, di muara duktus sistikus pada
duktus koledokus, dapat menekan duktus koledokus atau duktus hepatikus komunis sehingga
mengakibatkan obstruksi (sindroma Mirizzi). Batu ini harus dikeluarkan dengan cara operasi.
Bila tidak dikeluarkan akan menyebabkan obstruksi dengan penyulit seperti kolangitis atau
sepsis dan ikterus obstruktif yang bisa mengakibatkan gagal hati atau sirosis bilier. Batu
koledokus harus dikeluarkan karena akan mengakibatkan obstruksi bilier sehingga dapat
mengganggu fungsi hati sampai menimbulkan gagal hati.
Selain dari pada itu aliran bilier yang tidak lancar dapat menimbulkan penyulit kolangitis
- sepsis. Pengeluaran batu koledokus ini dapat dilakukan dengan operasi secara konvensional
atau dengan cara melalui endoskopi yakni dengan sfingterotomi endoskopik dan ekstraksi batu
dengan basket Dormia. Batu empedu intrahepatik atau hepatolitiasis adalah batu empedu yang
berada pada saluran empedu intrahepatik. Batu intrahepatik didapatkan pada 20% kasus dengan
batu empedu. Masalah batu intrahepatik berbeda sekali dengan batu empedu yang lain karena
penatalaksanaannya secara bedah sulit; kadang-kadang diperlukan operasi berulang-ulang karena
sering kambuh dan pada akhirnya pasien seringkali menderita karena kerusakan hati akibat
ikterus obstruktif yang lama, kolangitis, abses hati multipel dan sepsis. Bila batu intrahepatik
kecil dan jumlahnya 1 atau 2 buah saja dan terletak di distal, bisa dicoba dikeluarkan dengan
basket Dormia melalui endoskopi. Bila banyak diperlukan tindakan operasi yang berbeda dengan
operasi-operasi batu empedu yang lain.
Ukuran
Batu koledokus dengan diameter lebih dari 1 cm dipecah dulu agar lebih mudah
dikeluarkan dengan cara endoskopi. Ada beberapa cara untuk memecah batu ini, yaitu (i)
Litotriptor mekanik dari Suhendra: cara ini sudah lama, kini dapat dipakai litotriptor mekanik
BML dari Olympus. Pada prinsipnya pada teknik ini setelah batu terperangkap dalam basket
kemudian dengan alat khusus cengkeraman basket diperketat sehingga batu tersebut terpecah.
Cara lain adalah (ii) Litotriptor hidrolik, (iii) Litotriptor laser, (iv) Litotriptor ultrasonic, (v)
Litotriptor piezoceramic, (vi) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), ini yang
paling baik.
Setelah batu empedu yang besar tadi terpecah menjadi beberapa bagian kecil, dengan
basket Dormia batu tersebut diekstraksi dari duktus koledokus. Batu yang lebih kecil yang sukar
ditangkap dengan basket dikeluarkan dengan memakai kateter balon. Kateter dengan balon yang
belum ditiup dimasukkan ke saluran empedu sehingga sampai di atas batu-batu tersebut. Balon
kemudian ditiup dan ditarik kebawah sampai keluar dari papila Vateri. Dengan demikian
batubatu kecil beserta lumpur empedu dapat dikeluarkan.
Komposisi batu
Batu kandung empedu yang terdiri atas kolesterol mudah dipecah dengan ESWL. Di
Indonesia pada umumnya batu kandung empedu bukan batu kolesterol sehingga ESWL kurang
bermanfaat. Batu duktus koledokus di Indonesia juga pada umumnya bukan batu kolesterol
sehingga pemakaian ESWL untuk menghancurkan batu koledokus agaknya tidak banyak
menolong.
Bagian distal koledokus yang sempit dan memanjang akan menyulitkan pengeluaran batu
dengan cara endoskopi. Pada keadaan ini sebaiknya pengeluaran batu dilakukan melalui tindakan
bedah.
Bilamana gama glutamil transferase (GGT) atau fosfatase alkali sangat meningkat,
apalagi bila bilirubin juga meningkat, patut dicurigai adanya batu di koledokus. Pada batu
kandung empedu faal hati biasanya tidak terganggu. Dalam hal ini, ultrasonografi tidak selalu
dapat memvisualisaikan batu koledokus karena adanya udara di colon serta duktus koledokus
dan saluran empedu intrahepatik juga tidak selalu melebar pada batu koledokus. Pada umumnya
memang saluran empedu intra dan ekstrahepatik melebar pada batu koledokus. Dalam hal ini
perlu dilakukan kolangiografi misalnya Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreato graphy
(ERCP) untuk konfirmasi ada tidaknya obstruksi di saluran empedu. Kadang-kadang sesudah
operasi koledokotomi, pasien masih ikterus dan masih ada kolik yang disebabkan oleh adanya
batu yang tertinggal di duktus koledokus. Hal ini diketahui pada saat pasien belum pulang dari
Rumah Sakit bahkan kadang-kadang pasien masih di unit perawatan intensif atau di recovery
room beberapa saat sesudah operasi. Tentunya kurang dapat diterima bilamana pasien
dianjurkan untuk di laparotomi lagi untuk mengeluarkan batu yang tertinggal. Dalam hal ini
tindakan pengeluaran batu saluran empedu per endoskopi dapat mengatasi masalah tersebut.
Pada pasien dengan batu koledokus yang disertai batu kandung empedu bila kandung empedu
masih baik dan batu kandung empedunya asimtomatik maka kandung empedu dibiarkan saja
sedangkan batu koledokus dikeluarkan dengan cara endoskopi. Bila kadung empedu
menunjukkan tanda-tanda kolesistitis kronik, dilakukan pengeluaran batu koledokus per
endoskopi disusul dengan kolesistektomi pada kesempatan berikutnya melalui laparoskopi.
Fisiologi
Hepatosit pada liver secara terus menerus mengeksresikan empedu ke kanalikuli biliaris.
Normalnya diproduksi sebanyak 500-1000ml per hari. Sekresinya merupakan respon dari
stimulus neurogenic, humoral dan kimia. Stimulus vagal meningkatkan produksi empedu,
sedangkan stimulasi saraf splanik menurunkan aliran dari empedu. Asam hidroklorik, protein dan
lemak yang dicerna di duodenum menyebabkan sekresi sekretin yang meningkatkan produksi
dan aliran empedu.
Komposisi dari empedu adalah air, elektrolit, garam empedu, lemak, protein dan pigmen
empedu. Konsentrasi elektrolit berupa Na, K, Cl dan Ca pada empedu sama dengan konsentrasi
pada darah. pH dari cairan empedu adalah netral cenderung alkalis. Garam empedu pada cairan
empedu adalah Cholate dan Chenodeoxycholate yang disintesis dari kolesterol yang
dikonjugasikan dengan glisin dan taurin dan diseibangkan dengan Na. garam empedu disekresi
oleh hepatosit untuk mencerna lemak dan menyerap lemak. Delapan puluh persen faram empedu
diserap kembali pada ileum terminal. Sedangkan sisanya didekonjugasi oleh flora usus menjadi
deoxycholate serta lithocholate dan diserap di kolon. Sembilan puluh lima persen empedu
ditranspor ke hepar melalui vena porta (sirkulasi enterohepatik), dan sisanya dibuang ke feces.
Lemak pada cairan empedu sebagian besar adalah kolesteron dan phospolid. Warna dari
cairan empedu berasal dari bilirubin yang merupakan hasil metabolism Hb. Konsentrasi dari
bilirubin pada cairan empedu 1000 kali lebih banyak dari pada di plasma. Di intestim bilirubin
diubah menjadi urobilin oleh bakteri usus.
Kandung empedu, duktus biliaris dan spingter Oddi bekerja bersama dalam penyaluran
cairan empedu. Sedangkan fungsi utama dari kandung empedu adalah mengkonsentrasikan,
menyimpan dan mengeluarkan cairan empedu ke duodenum sebagai respon dari makanan.
Dalam keadaan puasa 80% empedu disekresikan dan disimpan di kandung empedu.
Fungsi penyimpanan ini bisa terjadi karena kemampuan absosrbsi yang besar dari mukosa
kandung empedu. Muka dapat menyerp elektrolit dan air sehingga konsentrasi garam empedu
meningkat 10 kali lipat. Menkanisme ini menyebabkan menurunan tekanan intraluminal
bersamaan dengan pengeluaran dan pengosongan bertahap dari kandung empedu.
Epitel dari kandung empedu mensekresikan 2 komponen penting yaitu glikoprotein dan
ion H, yang lebih banyak disekresi oleh bagian leher dan infundibulum dari kandung empedu.
Sekresi mukus glikoprotein memiliki fungsi proteksi terhadap reaksi litik dari cairan empedu.
Sedangkan transport ion H menyebabkan adanya peningkatan kelarutan Ca dan menurunkan
kemungkinan terbentuknya garam kalsium.
Akivitas motorik. Pengisian kandung empedu difasilitasi kontraksi tonik dari spingter
Oddi. Yang menyebabkan adanya perbedaan tekanan antara kandung empedu dengan duktus
biliaris. Pada keadaan puasa aktivitas motorik dari pegosongan cairan empedu difasilitasi oleh
adanya migrasi myoelektrik motoric dari fase II proses pencernaan dan hormone motilin.
Sedangkan pada saat makan pengosongan kandung empedu dan relaksasi spingter difasilitasi
oleh hormone Cholecystokinin (CCK) yang diskresikan oleh duodenum sebagai respon dari
adanya makanan. Stimulasi makanan menyebabkan ternjadinya pengosongan kandung empedu
sebanyak 50-70% dalam 30-40 menit. Sedangkan pengisian kembali terjadi dalam 60-90 menit
karena ada penurunan kadar CCK. Aktivitas ini dapat menurun sehubungan dengan adanya
nukleasi kolesterol dan pembentukan batu.
Regulasi neurohormonal. Stimulasi vagus meningkatkan kontraksi kandung empedu.
Sedankan stimulasi saraf splanik menurunkan aktivitas motoriknya, sehingga penggunaan obat
parasimpatomimetik menyebabkan adanya kontraksi kandung empedu dan penggunaan atropine
menyebabkan relaksasi. Distensi dari antrum gaster menyebabkana adanya peningkatan aktivitas
kandung empedu dan relaksasi spingter Oddi.
Reseptor hormonal pada kandung empedu terdapat pada otot polos, serabut saraf dan
epitelnya. CCK merupakan peptide yang dihasilkan oleh organ SCBA. Waktu paruh dari CCK
adalah 2-3 menit. Stimulasi CCK juga dimediasi stimulasi saraf vagus sehingga ornag yang
mendapatkan vagostomi memiliki respin terhadap CCK yang lebih rendah. Polipeptida yang
dikeluarkan intestine menyebabkan inhibisi kontraksi kandung empedu dan relaksasi spingter.
Contohnya adalah somatostatin, sehingga orang yang mendapat pengobatan dengan analog
somatostatin cenderung memiliki penyakit batu empedu.
Spingter Oddi. Spingter ini mengatur aliran dari cairan empedu dan getah pancreas ke
duodenum, mencegah regurgitasi dari duodenum dan meningkatkan tekanan balik ke kandung
empedu. Panjangnya berkisar 4-6 mm dan tekanan basalnya adalah 13 mmHg. Tekanan tersebut
bisa meningkat hingga 140 mmHg yang menyebabkan peredaan tekana dari duktus biliaris dan
duodenum sehingga bisa menyebabkan aliran balik cairan empedu ke kandung empedu.
Greenberger N.J., Paumgartner G. Disease of the gallbladder and bile ducts. Dalam: Dennis L.K.,
Anthony S.F., Dan L.L., Eugene B., Stephen L.H., J.Larry J., editors. Harrison's Principles of
Internal Medicine. 16" ed. New York: McGraw-Hill, 2005: 1880-91.
Guyton AC., Hall JE. Secretory function of the alimentary tract. Dalam: Texbook of medical
physiology l0'h ed. Philadelphia: WB Saunders Company 2000. h.738-s3.
Sherlock S., Dooley J. Gallstones and inflammatory gallbladder diseases. Dalam: Diseases of the
liver and biliary system. ll'n ed. Blackwell Publishing 2002.h.597-623.
Ahmed A., CheunB R.S., Keeffe E.B. Management of gallstone and their complications. Am
Fam Physician 2000;6 1:1 673-80, 1 687-8.
Subagyo B, Santoso NB. Diare Akut. In: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I,
Mulyani NS, editors. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Badan Penerbit IDAI; 2010. p. 87-
118.