Anda di halaman 1dari 20

Lemahabang

@2016

MITIGASI BENCANA ALAM

A. Pengertian Bencana
Berdasarkan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 mengelompokkan bencana
menjadi bencana alam, bencana nonalam, bencana sosial. Bencana alam
merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Bencana nonalam merupakan bencana yang diakibatkan oleh fenomena nonalam antara
lain berupa kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi dan epidemi atau wabah penyakit.
Bencana sosial merupakan bencana yang diakibatkan oleh interaksi antarmanusia yang
meliputi konflik sosial antarkelompok atau konflik antarkomunitas masyarakat dan terorisme.

B. Jenis-Jenis Bencana Alam


1. Bencana alam yang disebabkan oleh dinamika Litosfer
a. Letusan gunung api
Letusan gunung api merupakan proses keluarnya magma yang berada di
perut bumi ke permukaan bumi berupa material padat berupa bom, lavili dan
deb vulkanik, material cair berupa lahar dan material gas berupa awan
panas
b. Tanah longsor
Tanah longsor merupakan gerakan masa batuan atau tanah menuruni lereng
atau tebing.
c. Gempa bumi
Gempa bumi merupakan getaran pada permukaan bumi yang diakibatkan
oleh pergerakan dan/atau interaksi lempeng tektonik serta aktivitas vulkanik

2. Bencana alam yang disebabkan oleh dinamika Hidrosfer


a. Banjir
Fenomena banjir merupakan peristiwa meluapnya air dari sungai sehingga
menggenangi wilayah daratan yang normalnya kering. Banjir umumnya
terjadi ketika volume air pada sungai melebihi daya tampung sungai
tersebut.
b. Tsunami
Fenomena tsunami merupakan gelombang pasang yang terjadi akibat akibat
aktivitas tektonik dan letusan gunung api yang terdapat di dasar laut
3. Bencana alam yang disebabkan oleh dinamika Atmosfer
a. Badai tropis
Dalam meteorologi dikenal istilah Badai Tropis yang merupakan pusaran
angin tertutup pada suatu wilayah bertekanan udara rendah. Kekuatan angin
yang terjadi pada Badai Tropis dapat mencapai kecepatan lebih dari 128
km/jam dengan jangkauan lebih dari 200 Km dan berlangsung selama
beberapa hari hingga lebih dari satu minggu.
b. Tornado
Tornado adalah kolom udara yang berputar kencang yang membentuk
hubungan antara awan cumulonimbus atau dalam kejadian langka dari
dasar awan cumulus dengan permukaan tanah. Tornado muncul dalam
banyak ukuran namun umumnya berbentukcorong kondensasi yang terlihat
jelas yang ujungnya yang menyentuh bumi menyempit dan sering dikelilingi
oleh awan yang membawa puing-puing. Umumnya tornado memiliki
kecepatan angin 177 km/jam atau lebih dengan rata-rata jangkauan
75 m dan menempuh beberapa kilometer sebelum menghilang. Beberapa
tornado yang mencapai kecepatan angin lebih dari 300-480 km/jam memiliki
lebar lebih dari satu mil (1.6 km) dan dapat bertahan di permukaan dengan
lebih dari 100 km.

C. Pengertian Mitigasi dan Adaptasi Penanggulangan Bencana Alam


1. Pengertian Mitigasi Bencana
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi didefinisikan sebagai
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Beberapa tujuan utama mitigasi bencana alam yaitu:
1) Mengurangi resiko bencana bagi penduduk dalam bentuk korban jiwa,
kerugian ekonomi dan kerusakan sumber daya alam.
2) Menjadi landasan perencanaan pembangunan
3) Meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menghadapi serta mengurangi
dampak dan resiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup aman
Untuk melakukan penanggulangan bencana, diperlukan informasi sebagai
dasar perencanaan penanganan bencana yang meliputi:
1) Lokasi dan kondisi geografis wilayah bencana serta perkiraan jumlah
penduduk yang terkena bencana
2) Jalur transportasi dan sistem telekomunikasi
3) Ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi, tempat
penampungan dan jumlah korban
4) Tingkat kerusakan, ketersediaan obat obatan, peralatan medisserta tenaga
kesehatan
5) Lokasi pengungsian dan jumlah penduduk yang mengungsi
6) Perkiraan jumlah korban yang meninggal dan hilang
7) Ketersediaan relawan dalam berbagai bidang keahlian
Siklus manajemen bencana terdiri dari empat fase. Tiap fase tersebut saling
melengkapi dan tumpang tindih. Keempat fase tersebut adalah:
a. Mitigasi
Merupakan upaya meminimalkan dampak bencana. Fase ini umumnya terjadi
bersamaan dengan fase pemulihan dari bencana sebelumnya. Seluruh
kegiatan pada fase mitigasi ditujukan agar dampak dari bencana yang
serupa tidak terulang.
b. Kesiapsiagaan
Merupakan perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana. Dalam
fase ini perencanaan yang dibuat oleh lembaga penanggulangan bencana
tidak hanya berkisar pada bencana yang pernah terjadi pada masa lalu,
tetapi juga untuk berbagai jenis bencana lain yang mungkin terjadi.
c. Respon
Merupakan upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan oleh terjadinya
bencana. Fase ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana dan dimulai
dengan mengumumkan kejadian bencana serta mengungsikan masyarakat.

d. Pemulihan
Merupakan upaya pengembalian kondisi masyarakat sehingga menjadi
seperti semula. Pada fase ini pekerjaan utama yang dilakukan masyarakat
dan petugas adalah menyediakan tempat tinggal sementara bagi korban
bencana dan membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak. Selama
masa pemulihan ini, dilakukan pula evakuasi terhadap langkah-langkah
penanganan bencana yang telah dilakukan.
2. Adaptasi Penanggulangan Bencana Alam
Adaptasi bencana adalah penyesuaian sistem alam dan manusiaterhadap
stimulus bencana alam nyata atau yang diharapkan tidak ada dampak-
dampaknya, yang menyebabkan kerugian atau mengeksploitasi
kesempatan-kesempatan yang memberi manfaat.
Adapatsi bencana alam perlu dilakukan mengingat adanya ancaman-
ancaman bencana alam yang membahayakan manusia seperti:
1) Ancaman alamiah
Proses atau fenomena alam berupa tanah longsor, tanah bergerak yang bisa
menyebabkan hilangnya nyawa, cidera atau dampak-dampak kesehatan lain,
kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan
sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan.
2) Ancaman biologis
Proses atau fenomena bersifat organik atau yang dinyatakan oleh vektor-
vektor biologis termasuk keterpaparan terhadap mikroorganisme yang
bersifat patogen, toksin dan bahan-bahan bioaktif yang bisa menghilangkan
nyawa, cidera, sakit atau dampak-dampak kesehatan lainnya kerusakan
harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan
ekonomi atau kerusakan lingkungan.
3) Ancaman geologis
Proses atau fenomena geologis berupa gempa bumi dan gunung meletus
bisa mengakibatkan hilangnya nyawa, cidera atau dampak-dampak
kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan,
gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan.
4) Ancaman hidrometeorologis
Proses atau fenomena yang bersifat atmosferik, hidrologis atau oseanografis
berupa pemanasan global dan tsunami yang bisa mengakibatkan hilangnya
nyawa, cidera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda,
hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi atau
kerusakan lingkungan.
5) Ancaman sosial-alami
Fenomena meningkatnya kejadian peristiwa-peristiwa ancaman bahaya
geofisik dan hidrometeorologis tertentu seperti tanah longsor, banjir, dan
kekeringan, yang disebabkan oleh interaksi antara ancaman bahaya alam
dengan sumber daya lahan dan lingkungan yang dimanfaatkan secara
berlebihan atau rusak
Hal-hal penting dalam adaptasi dan ancaman bencana alam adalah:
- Kesadaran publik
- Kesiapsiagaan
- Ketangguhan/tangguh
- Langkah-langkah struktural/nonstruktural
- Manajemen resiko bencana
- Partisipasi
Adaptasi diperlukan untuk mengurangi dampak negatif dari bencana. Berikut
contoh adaptasi dalam berbagai bidang kehidupan manusia:
- Adaptasi dalam bidang ekonomi
- Adaptasi dalam bidang kesehatan
- Adaptasi dalam ketersediaan air
- Adaptasi terhadap wilayah perkotaan yang sering dilanda banjir
3. Usaha Pengurangan Resiko Bencana Alam
Usaha pengurangan resiko bencana alam di Indonesia dapat dilakukan
dengan cara:
1) Pembuatan peta risiko bencana
Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana atau suatu wilayah berangkat
dari pemahaman terhadap kondisi dan karakteristik suatu wilayah, baik dari
segi fisik maupun sosial. Proses kajian ini dilakukan oleh berbagai ahli
dengan berbagai bidang ilmu kemudian digabungkan dan dianalisis dengan
menggunakan pendekatan geografi. Hasil akhirnya adalah peta-peta yang
menggambarkan karakteristik suatu wilayah dari berbagai aspek.
Penggambaran resiko bencana yang terdapat di suatu wilayah dilakukan
dengan membuat peta resiko bencana. Secara umum, peta ini
menggambarkan tingkat resiko terjadinya suatu bencana tertentu di suatu
wilayah. Peta ancaman bencana dibuat berdasarkan beberapa indikator,
antara lain sebagai berikut:
- Zonasi wilayah rawan gempa bumi
- Arus laut
- Perkitaan ketinggian genangan tsunami
- Zonasi wilayah rawan banjir
- Zonasi wilayah rawan longsor
- Zonasi wilayah terkena dampak letusan gunung api
- Penggunaan lahan dan vegetasi
- Bentuk medan dan kelerengan
- Jenis hutan
- Jenis tanah
- Tipe iklim dan curah hujan tahunan
Peta kerentanan dibuat berdasarkan beberapa indikator yaitu:
- Kepadatan penduduk
- Rasio jenis kelamin
- Tingkat kemiskinan
- Jumlah difabel
- Rasio kelompok umur
- Luas lahan produktif
- Kontribusi pendapatan domestik regional bruto (PDRB)
- Jumlah bangunan, fasilitas umum, dan fasilitas darurat
- Kepadatan bangunan
- Jenis vegetasi
2) Sistem peringatan dini bencana alam
UNISDR mendefinisikan sistem peringatan dini adalah sekumpulan kapasitas
yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi
peringatan yang bermakna dan tepat waktu sehingga memungkinkan
individu, masyarakat dan organisasi yang terancam bencana untuk bersiap
dan bertindak dengan tepat dalam waktu yang cukup untuk mengurangi
kemungkinan bahaya atau kerugian.
Konsep sistem peringatan dini terdiri dari empat unsur yaitu:
a. pengetahuan tentang resiko bencana
b. layanan pengawasan dan peringatan
c. penyebaran informasi dan komunikasi
d. kemampuan merespon
Langkah mitigasi sesudah bencana meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. menginventarisasi data-data kerusakan akibat bencana dan kekuatan
bencana yang terjadi
b. mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terkena dampak bencana
berdasarkan tingkat kerusakan
c. membuat rekomendasi dan saran untuk penanggulangan bencana pada
masa depan
d. membuat rencana penataan ulang wilayah, termasuk rencana tata ruang
dan penggunaan lahan
e. memperbaiki dan mengganti fasilitas pemantauan bencana yang rusak
f. melanjutkan aktivitas pemantauan rutin dan simulasi tanggap bencana
3) Simulasi bencana alam
Simulasi bencana adalah kegiatan pemberian informasi tentang cara-
cara tentang penyelamatan diri kepada masyarakat oleh petugas/instansi
terkait pada wilayah rawan bencana dan/atau disertai simulasi
penyelamatan untuk mencegah atau meminimalkan dampak bencana alam
yang mungkin terjadi. Kegiatan ini idealnya diikuti oleh seluruh anggota
masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana dan seluruh pihak yang
terlibat dalam proses mitigasi dan penanggulangan bencana.
Salah satu tujuan utama dari pelaksanaan simulasi bencana adalah
menguji kesiapan seluruh sistem, prosedur, dan perangkat mitigasi serta
penangulangan bencana.

D. Sebaran Daerah Rawan Bencana Alam di Indonesia


Beberapa daerah sebaran rawan bencan alam di Indonesia yaitu:
1. Gempa bumi
Indonesia merupakan daerah rawan gempabumi karena dilalui oleh
jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, lempeng
Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Lempeng Indo-Australia bergerak relatip ke arah utara dan menyusup
kedalam lempeng Eurasia, sementara lempeng Pasifik bergerak relatip ke
arah barat.
Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila terjadi
gempabumi besar dengan kedalaman dangkal

2. Gunung meletus
Jumlah Gunung Api atau Gunung berapi di Indonesia yang masih aktif
129 buah yang tersebar di wilayah Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara,
Maluku, Sulawesi, dan Papua.
Daftar Gunung Berapi di Indonesia (disusun berdasarkan letak)
Gunung di Papua (14 buah - termasuk puncak-puncaknya)
Gunung Puncak Carstenz Pyramid(4,884 m.dpl) merupakan gunung tertinggi
di Indonesia.
Gunung Puncak Jaya(4,860 m.dpl)
Gunung Puncak Trikora(4,730 m.dpl)
Gunung Puncak Idenberg (4,643 m.dpl)
Gunung Dom (1,332 m.dpl)
Gunung Derabaro (4,150 m.dpl)
Gunung Yamin (4,595 m.dpl)
Gunung Yaramamafaka (3,370 m.dpl)
Gunung Redoura (3,083 m.dpl)
Gunung Togwomeri (2,680 m.dpl)
Gunung Mandala (4,640 m.dpl)
Gunung Ngga Pilimsit(4,717 m.dpl)
Gunung Foja (1,800 m.dpl)
Gunung Cyrcloop (2,034 m.dpl)
Gunung di Jawa (37 buah)
Gunung Anjasmara (2.277 m)
Gunung Argapura (3.088 m)
Gunung Arjuno (3.339 m)
Gunung Bromo (2.392 m)
Gunung Bukit Tunggul (2.208 m)
Burangrang (2.057 m)
Gunung Ciremay/Cereme (3.078 m)
Gunung Cikuray (2.818 m)
Gunung Galunggung (2.167 m)
Gunung Gede (2.958 m)
Gunung Guntur (2.249 m)
Gunung Karang (1.245 m) sekitar 40 KM selatan Pandeglang
Gunung Kembar I (3.052 m)
Gunung Kembar II (3.126 m)
Gunung Krakatau
Gunung Lasem (806 m) Rembang Jawa Tengah
Gunung Lawu (3.245 m)
Gunung Semeru (3.676m) gunung tertinggi di pulau Jawa dan gunung berapi
ketiga tertinggi di Indonesia
Gunung Malabar (2.343 m)
Gunung Masigit (2.078 m)
Gunung Merapi (2.911 m)
Gunung Merbabu (3.145 m)
Gunung Muria (1.602 m)
Gunung Pangrango (3.019 m)
Gunung Papandayan (2.665 m)
Gunung Patuha (2.386 m)
Gunung Penanggungan (1.653 m)
Gunung Raung (3.332 m)
Gunung Salak (2.211 m)
Gunung Slamet (3.432 m)
Gunung Sumbing (3.336 m)
Gunung Sundara (3.150 m)
Gunung Tangkuban Perahu (2.084 m)
Gunung Ungaran (2,050 m)
Gunung Wayang (2.181 m)
Gunung Welirang (3.156 m)
Gunung Wilis (2.552 m)
Gunung Kelud (1.350 m)
Gunung di Kalimantan (4 buah)
Gunung Palung (1.116 m) Kalimantan Barat
Gunung Raya (2.278 m) Kalimantan Tengah
Gunung Liangpran (2.240 m) Kalimantan Timur
Gunung Halau (1.892 m) Kalimantan Selatan
Gunung di Sulawesi (10 buah)
Gunung Awu (1.320 m) Kepulauan Sangihe
Gunung Lokon (1.689 m)
Gunung Klabat(1995 mdpl)
Gunung Mekongga (2.620 m)
Gunung Mahawu (1311 mdpl)
Gunung Bawakaraeng (2.705 m)
Gunung Latimojong (3.478 m)
Gunung Lokon (1580 mdpl)
Gunung Lompobattang (2871 m)
Gunung Soputan (1783 m)
Gunung di Sumatra (13 buah)
Gunung Dempo (3159 m) Sumatra Selatan
Gunung Kerinci (3.805 m) Jambi gunung tertinggi di Sumatra, kedua di
Indonesia dan gunung berapi tertinggi di Indonesia
Gunung Sinabung (2.475 m) Sumatra Utara
Gunung Sibayak (2.212 m) Sumatra Utara
Gunung Pesagi (2.262 m) Lampung
Gunung Singgalang (2.877 m) Sumatra Barat
Gunung Marapi (2,891.3 m) Sumatra Barat
Gunung Talamau (2,912 m) Sumatra Barat
Gunung Tandikat (2438 m) Sumatra Barat
Gunung Leuser (3172 m) NAD
Gunung Perkison (2300 m) NAD
Gunung Talang (2600 m) Sumatra Barat
Gunung Sago (2500 m) Sumatra Barat
Bali & Nusa Tenggara (20 buah)
Gunung Agung (3.142 m) di Bali
Gunung Ebulolobo (2,123)
Gunung Inielika (1,559)
Gunung Kondo (2,947)
Gunung Nangi (2,330)
Gunung Rinjani (3.726 m) di Lombok, gunung berapi kedua tertinggi di
Indonesia
Gunung Sangeang (1,949)
Gunung Tambora (2.850 m) di pulau Sumbawa
Gunung Anak Ranakah (2,402)
Gunung Ebulabo (2,123)
Gunung Egon (1,703)
Gunung Iliboleng (1,659)
Gunung Iliwerung (1,486)
Gunung Inerie (2,230)
Gunung Keknemo (2,070)
Gunung Kelimutu (1,385)
Gunung Lewotobi Laki-laki (1,584)
Gunung Lewotobi Perempuan (1,703)
Gunung Lewotolo (1,319)
Gunung Loreboleng (1,117)
3. Tanah longsor
4. Banjir
5. Arus laut dan ombak besar
6. Tsunami
7. Kekeringan
8. Kebakaran hutan
9. Bencana angin: badai tropis dan puting bliung
10. Gas beracun

E. Usaha-Usaha Penanggulangan Risiko Bencana Alam


Kerusakan lingkungan semakin hari semakin terlihat jelas. Perlu
kitanya kita memikirkan upaya apa saja yang akan kita lakukan untuk
memperbaiki lingkungan kita agar terciptanya K3 (ketertiban, kebersihan,
dan keindahan). Langkah awal melakukan perbaikan dapat dilakukan dengan
cara memperhatikan keadaan lingkungan sekitar kita dahulu, baru kemudian
lingkup nasional.
a. Upaya-upaya Penanggulangan Bencana Alam
Mitigasi
Mitigasi dapat juga diartikan sebagai penjinak bencana alam, dan pada
prinsipnya mitigasi adalah usaha-usaha baik bersifat persiapan fisik, maupun
non-fisik dalam menghadapi bencana alam. Persiapan fisik dapat berupa
penataan ruang kawasan bencana dan kode bangunan, sedangkan persiapan
non-fisik dapat berupa pendidikan tentang bencana alam.

Menempatkan Korban di Suatu Tempat yang Aman

Menempatkan korban di suatu tempat yang aman adalah hal yang mutlak
diperlukan. Sesuai dengan deklarasiHyogo yang ditetapkan
pada Konferensi Dunia tentang Pengurangan Bencana, di Kobe,
Jepang,pertengahan Januari 2005 yang lalu. Berbunyi : Negara-negara
mempunyai tanggung jawab utama untuk melindungi orang-orang dan harta
benda yang berada dalam wilayah kewenangan dan dari ancaman dengan
memberikan prioritas yang tinggi kepada pengurangan resiko bencana
dalam kebijakan nasional, sesuai dengan kemampuan mereka dan sumber
daya yang tersedia kepada mereka.

Membentuk Tim Penanggulangan Bencana

Memberikan Penyuluhan-penyuluhan

Merelokasi Korban Secara Bertahap

Akibat kompleknya permasalahan pascabencana, maka dibuatlah


panduan internasional mengenai prinsip-prinsip perlindungan pengungsi.
Sebagai contoh, misalnya pasal 18 ayat (2) , Pasal 23 dinyatakan setiap
manusia memiliki hak atas pendidikan ayat (1) dan pada ayat (2) dan masih
banyak lagi pasal lain yang menekankan perlunya ditindaklanjuti pemberian
perlindungan terhadap para pengungsi, baik yang disebabkan oleh bencana
alam atau ulah manusia, termasuk konflik bersenjata atau perang.

b. Upaya-Upaya Pencegahan Bencana Alam


Membuat Pos Peringatan Bencana
Salah satu upaya yang keudian dapat diupayakan adalah dengan
mendirikan pos peringatan bencana, pos inilah yang nantinya menentukan
warga masyarakat bisa kembali menempati tempat tinggalnya atau tidak.
Membisaakan Hidup Tertib dan Disiplin
Perlu pola hidup tertib, yaitu dengan menegakkan peraturan-peraturan
yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan hidup. Asal masyarakat
menaatinya, berarti setidaknya kita telah berpartisipasi dalam melestarikan
lingkungan. Masyarakat juga harus disiplin.
Memberikan Pendidikan tentang Lingkungan Hidup
Faktor ini telah dipertegas dalam Konferensi Dunia tentang Langkah
Pengurangan Bencana Alam, yang diselenggarakan lebih dari stu dasawarsa
silam, 23-27 Mei 1994 di Yokohama, Jepang. Forum ini, pada masa itu
merupakan forum terbesar tentang bencana alam yang pernah
diselenggarakan sepanjang sejarah. Tercatat lebih dari 5.000 peserta hadir
yang berasal dari 148 negara.

F. Kelembagaan Penanggulangan Bencana Alam


Kelembagaan dapat ditinjau dari sisi formal dan non formal. Secara
formal, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan focal
point lembaga pemerintah di tingkat pusat. Sementara itu, focal point
penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Dari sisi non formal, di dalam penyelenggaraan PB juga dikenal adanya
jejaring dari para pemangku kepentingan untuk mengurangi risiko bencana.
Walaupun tidak secara khusus diatur dalam UU 24/2007 tapi dalam praktik
jejaring tersebut diakomodasi dan dilaksanakan dengan membentuk forum
(platform) baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, masyarakat
basis, dan tematik. Di tingkat nasional, terbentuk Platform Nasional (Planas)
yang terdiri unsur masyarakat sipil, dunia usaha, perguruan tinggi, media
dan lembaga internasional. Selain itu terdapat Forum Masyarakat Sipil,
Forum Lembaga Usaha, Forum PerguruanTinggi PRB (FPT PRB), Forum Media,
Forum Lembaga Internasional. Di tingkat provinsi ada Forum PRB NTT, Forum
PRB Yogyakarta, Forum PRB Sumatera Barat. Saat ini sudah terbentuk
sebanyak 10 Forum PRB tingkat provinsi di Indonesia. Selain itu ada forum
yang bersifat tematik, seperti Forum Merapi, Forum Slamet, Forum
Bengawan Solo, dan lain-lain.
Pendanaan
Saat ini kebencanaan bukan hanya isu lokal atau nasional, tetapi
melibatkan internasional. Komunitas internasional mendukung Pemerintah
Indonesia dalam membangun manajemen penanggulangan bencana menjadi
lebih baik. Di sisi lain, kepedulian dan keseriusan Pemerintah Indonesia
terhadap masalah bencana sangat tinggi dengan dibuktikan dengan
penganggaran yang signifikan khususnya untuk pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana dalam pembangunan.
Berikut beberapa pendanaan yang terkait dengan penanggulangan
bencana di Indonesia:
1. Dana DIPA (APBN/APBD)
2. Dana Kontijensi
3. Dana On-call
4. Dana Bantual Sosial Berpola Hibah
5. Dana yang bersumber dari masyarakat
6. Dana dukungan komunitas internasional
a. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Sejarah dan Visi Misi BNPB
Sejarah Lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
terbentuk tidak terlepas dari perkembangan penanggulangan bencana pada
masa kemerdekaan hingga bencana alam berupa gempa bumi dahsyat di
Samudera Hindia pada abad 20. Sementara itu, perkembangan tersebut
sangat dipengaruhi pada konteks situasi, cakupan dan paradigma
penanggulangan bencana. Melihat kenyataan saat ini, berbagai bencana
yang dilatarbelakangi kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis
mendorong Indonesia untuk membangun visi untuk membangun
ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana.
Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia.
Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan
Hindia dan Pasifik ini memiliki 17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan
alam dan keindahan pulau-pulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu
menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, atau
dikenal dengan ring of fire, serta terletak pada pertemuan tiga lempeng
tektonik aktif dunia yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Ring of fire dan berada di pertemuan tiga lempeng tektonik
menempatkan negara kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana
alam. Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi
hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting
beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Tidak hanya
bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana non alam sering
melanda tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan, konflik sosial, maupun
kegagalan teknologi.
Menghadapi ancaman bencana tersebut, Pemerintah Indonesia
berperan penting dalam membangun sistem penanggulangan bencana di
tanah air. Pembentukan lembaga merupakan salah satu bagian dari sistem
yang telah berproses dari waktu ke waktu. Lembaga ini telah hadir sejak
kemerdekaan dideklarasikan pada tahun 1945 dan perkembangan lembaga
penyelenggara penanggulangan bencana dapat terbagi berdasarkan periode
waktu sebagai berikut.
1945 - 1966
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang
(BPKKP). Badan yang didirikan pada 20 Agustus 1945 ini berfokus pada
kondisi situasi perang pasca kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas
untuk menolong para korban perang dan keluarga korban semasa perang
kemerdekaan.
1966 - 1967
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana
Alam Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966.
Penanggung jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial. Aktivitas
BP2BAP berperan pada penanggulangan tanggap darurat dan bantuan
korban bencana. Melalui keputusan ini, paradigma penanggulangan bencana
berkembang tidak hanya berfokus pada bencana yang disebabkan manusia
tetapi juga bencana alam.
1967 - 1979
Frekuensi kejadian bencana alam terus meningkat. Penanganan bencana
secara serius dan terkoordinasi sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada
tahun 1967 Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor
14/U/KEP/I/1967 yang bertujuan untuk membentuk Tim Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).
1979 - 1990
Pada periode ini Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam
(TKP2BA) ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk
dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1979. Aktivitas manajemen
bencana mencakup pada tahap pencegahan, penanganan darurat, dan
rehabilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari Keputusan Presiden
tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun 1979
membentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam
(Satkorlak PBA) untuk setiap provinsi.
1990 - 2000
Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi juga non alam serta
sosial. Bencana non alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan
teknologi, dan konflik sosial mewarnai pemikiran penanggulangan bencana
pada periode ini. Hal tersebut yang melatarbelakangi penyempurnaan Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menjadi Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Melalui
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB
diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam
dan sosial. Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor
106 Tahun 1999. Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas
sektor, lintas pelaku, dan lintas disiplin yang terkoordinasi.
2000 - 2005
Indonesia mengalami krisis multidimensi sebelum periode ini. Bencana sosial
yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan permasalahan
baru. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan khusus karena
terkait dengan pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB kemudian
dikembangkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Kebijakan tersebut tertuang
dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian diperbaharui
dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
2005 - 2008
Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada
tahun 2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia dan
dunia internasional dalam manajemen penanggulangan bencana.
Menindaklanjuti situasi saat iu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional
Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi koordinasi
yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana
penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma
pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama.
2008
Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah
Indonesia sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting.
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan
bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki
fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Metamorfosa terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana dari
tahun 1945 sampai sekarang

VISI
Ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana.

MISI
a. Melindungi bangsa dari ancaman bencana melalui pengurangan risiko
b. Membangun sistem penanggulangan bencana yang handal
c. Menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinir, dan menyeluruh

TUGAS BNPB
a. Memberikan pedoman dan pengarahan usaha penanggulangan bencana
b. Menetapkan standardisasi dan kebutuhan PB
c. Menyampaikan informasi kepada masyarakat
d. Melaporkan penyelenggaraan PB kepada Presiden setiap bulan
e. Menggunakan dan mempertanggungjawaban sumbangan/bantuan nasional
& internasional
f. Mempertanggungjawaban penggunaan anggaran
g. Melaksanakan kewajiban lain sesuai peraturan perundangan
h. Menyusun pedoman pembentukan BPBD

b. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah lembaga pemerintah non-


departemen yang melaksanakan tugas penanggulangan bencana di daerah baik Provinsi maupun
Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan oleh Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana. BPBD dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8
Tahun 2008, menggantikan Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Bencana (Satkorlak) di
tingkat Provinsi dan Satuan Pelaksana Penanganan Bencana (Satlak PB) di tingkat
Kabupaten/Kota, yang keduanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005

Anda mungkin juga menyukai