Anda di halaman 1dari 10

PANDUAN TUTOR

Seorang perempuan usia 17 tahun datang kedokter gigi bersama ibunya untuk mencabut
gigi molar 1 kiri bawah yang tinggal akar. Melihat gigi sebelahnya yang juga tinggal sisa akar
dan memungkinkan untuk dilakukan pencabutan sekaligus dua gigi. Dokter gigi mencabut gigi
sebelahnya tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada pasien dan ibunya. Selesai pencabutan,
dokter tersebut memberikan obat kepada pasien dengan suatu merk tertentu dan harus dibeli pada
apotek tertentu. Ketika sampai rumah ibunya ingin melihat gigi yang sudah dicabut. Setelah
mengetahui bahwa gigi sebelahnya juga dicabut, ibu dan pasien marah-marah dan melaporkan
dokter gigi tersebut kepada polisi.
Sebelum diskusi dimulai, mahasiswa mengumpulkan SLR ditulis tangan pada kertas folio
bergaris.
SLR berisi tentang:

a. Hubungan antara dokter gigi dengan pasien dan keluarga,


b. Hak dan kewajiban pasien, dokter gigi dan keluarga,
c. Mutu dan keselamatan pasien
d. Pembahasan dan analisa kasus secara mendalam.

A. Hubungan Antara Dokter Gigi dengan Pasien dan Keluarga

Hubungan Dokter dengan Pasien


Hubungan Karena Undang-Undang
Hubungan dokter dan pasien termasuk dalam wilayah hukum perdata. UU Pradoks
Bab II Pasal 2 Praktik kedokteran dilaksanakan berazaskan Pancasila dan didasarkan
pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan
keselamatan pasien
Azas Hubungan Terapeutik
a. Azas Konsensual
Para pihak menyatakan persetujuannya, dokter secara eksplisit dan implicit
b. Azas Itikad Baik
Azas utama hubungan kontraktual
Termasuk hubungan terapeutik
Merupakan keabsahan hubungan hukum
c. Azas Bebas
Kesepakatan dua pihak membawa dalam ikatan hokum hubungan
kontraktual
Ilmu kedokteran bersifat empiris, dokter hati-hati dalam memberikan
garansi
d. Azas Tidak Melanggar Hukum
Kesepakatan yang dibuat tidak boleh melanggar hukum
e. Azas Kepatuhan dan Kebiasaan
Dalam dunia kedokteran dokter dan pasien tidak harus tunduk dalam azas
ini
Bila salah satu pihak merasa tidak nyaman/ dirugikan, pemutusan bisa
dilakukan tanpa sepihak
Transaksi terapeutik bertumpu pada hak azasi manusia yaitu hak
menentukan nasibnya sendiri dan hak memperoleh informasi

Hubungan Karena Kontrak


Hubungan kontraktual (Teori 1972-1975). Dokter dan pasien mempunyai
kedudukan sejajar.
Dasar Hukum Kontraktual
Pasal 1320 KUH Perdata
1. Kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Hubungan dokter dan pasien dimulai saat :


Dokter menyampaikan secara langsung (Oral Statement)
Tersirat berupa registrasi, isi rekam medis, dll

Berakhirnya Hubungan Dokter dengan Pasien

Pasien sembuh dari penyakitnya


Dokter mengundurkan diri : pasien setuju, pasien dicarikan dokter lain
Pengakhiran oleh pasien
Meninggalnya pasien
Meninggalnya dokter atau tidak mampu menjalani profesinya
Kewajiban dokter suudah selesai seperti ditentukan dalam kontrak
Kasus gawat darurat-kegawatannya telah teratasi
Lewatnya jangka waktu, bila kontrak medic ditentukan dengan waktu
Persetujuan kedua belah pihak
B. Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter Gigi dan Keluarga
Pasien memiliki hak-haknya yang harus dihormati oleh para dokter. Hak-hak asasi
itu dapat dibatasii atau dilanggar apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku misalnya persetujuan untuk tindakan medik. Pada hakikatnya hak
pasien adalah sebagai berikut :

Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar
Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar
profesi kedokeran
Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang
mengobati
Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat
menarik diri dari kontrak terapeutik
Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya
Menolak atau menerima keikut sertaannya dlam riset kedokteran

Jika ada hak maka ada kewajiban dalam kontrak terapeutik antara pasien dengan dokter
memang dokter mendahulukan hak pasien karena tugasnya merupakan panggilan
perikemanusiaan. Namun, pasien yang teah mengikatkan dirinya dengan dokter, perlu
pula memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga hubungan dokter dan pasien yang
sifatnya saling hormat menghormati dan saling percaya terpelihara baik :

Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter atau dokter gigi


Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakit yang diderita
Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan perawatan
Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh
Melunasi biaya perawatan , biaya pemeriksaan dan pengobatan/perawatan serta
honorarium dokter

Dokter yang membaktikan hidupnya untuk perikemanusian tentulah akan selalu lebih
mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya dalam
menjalankan tugasnya bagi dokter berlaku keselmatan pasien adalah hokum yang
tertinggi yang utama. Kewajiban dokter terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap
pasien, dan diri sendiri. Dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran pasal 51 bahwa kewajiban dokter atau dokter gigi adalah
Memberikan pelayanan medis yang sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lainnnya yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahan juga
setelah pasien itu meninggal dunia
Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
pada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi

Sebagai manusia biasa dokter memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat karena itu
dokter juga memiliki hak yang harus dihormati dan dipahami oleh masyarakat sekitarnya.
Hak-hak dokter adalah sebagai berikut :

Melakukan praktik dokter setelah memperoleh surat izin dokter (SID) dan surat
izin Praktik (SIP)
Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien keluarga tentang
penyakitnya
Bekerja sesuai standar profesi
Menolak melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan etik, hokum,
agama dan hatu nurani
Mengakhiri hubugan dengan seorang pasien jika menurut penilaiannya kerja sama
pasien dengannya tidak berguna lagi kecuali dalam keadaan darurat
Menolak pasien yang bukan bidang spesialisnya, kecuali dalam keadaan darurat
atau tidak ada dokter yang mampu menanganinya
Hak atas kebebasan pribadi (privacy) dokter
Ketentraman bekerja
Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter
Menerima imbalan jasa
Menjadi anggota perhimpunan profesi
Hak membela diri

C. Mutu dan Keselamat Pasien


Peningkatan mutu secara menyeluruh adalah memperkecil (reduction) risiko pada pasien dan staf
secara berkesinambungan. Risiko ini dapat diketemukan baik diproses klinis maupun di
lingkungan fisik. Pendekatan ini meliputi :

memimpin dan merencanakan program peningkatan mutu dan program keselamatan


pasien;
merancang proses-proses klinis baru dan proses manajerial dengan benar;
mengukur apakah proses berjalan baik melalui pengumpulan data;
analisis data;
menerapkan dan melanjutkan (sustaining) perubahan yang dapat menghasilkan
perbaikan.

Perbaikan mutu dan program keselamatan pasien, keduanya adalah

digerakkan oleh kepemimpinan;


upaya menuju perubahan budaya rumah sakit;
identifikasi dan menurunkan risiko dan penyimpangan secara proaktif;
menggunakan data agar fokus pada isu prioritas;
mencari cara yang menunjukkan perbaikan yang langgeng sifatnya.
Mutu dan keselamatan pasien sebenarnya sudah tertanam dalam kegiatan pekerjaan sehari-hari
dari tenaga kesehatan profesional dan staf lainnya. Pada waktu dokter dan perawat menilai
kebutuhan pasien dan memberikan asuhan, bab ini dapat membantu mereka memahami
bagaimana perbaikan dapat benar-benar membantu pasien dan mengurangi risiko. Demikian
juga para manajer, staf pendukung dan lainnya, mereka dapat menerapkan standar pada
pekerjaan sehari-hari untuk memahami bagaimana proses bisa lebih efisien, penggunaan
sumber daya lebih arif dan risiko fisik dikurangi.
Pada pasal 29 UU tersebut dijelaskan bahwa rumah sakit berkewajiban memberi pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit dan pada Pasal 32 disebutkan
bahwa pasien berhak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional serta memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama
dalam perawatan di rumah sakit.

D. Perjanjian Terapeutik
Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis) Perjanjian merupakan hubungan timbal balik
yang dihasilkan melalui komunikasi, sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang
mengandung unsur atau nilai pengobatan.58 Secara yuridis, perjanjian terapeutik
diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis
secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan
tertentu di bidang kesehatan. Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti
dalam bidang pengobatan, Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti
pengobatan. 59 Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya di bidang
pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif rehabilitatif
maupun promotif, maka persetujuan ini disebut pejanjian terapeutik atau transaksi
terapeutik. Perjanjian Terapeutik juga disebut dengan kontrak terapeutik yang merupakan
kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan. 60 Dalam hal ini Salim
mengutip pendapat Fred Ameln yang mengartikan Kontrak atau Perjanjian terapeutik
dengan kontrak dimana pihak dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien
(inspaningsverbintenis) jarang merupakan kontrak yang sudah pasti
(resultastsverbintenis). 61 Perjanjian Terapeutik tersebut disamakan
inspaningsverbintenis karena dalam kontrak ini dokter hanya berusaha untuk
menyembuhkan pasien dan upaya yang dilakukan belum tentu berhasil. Harmien Hadiati
Koswadji mengemukakan bahwa :
Hubungan dokter dan pasien dalam transaksi teurapeutik (perjanjian medis) bertumpu
pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu :
(1) Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determinations)
(2) Hak atas dasar informasi (the right to informations).
Hal ini juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Veronica Keomalawati bahwa
perjanjian terapeutik itu pada asasnya bertumpu dua macam hak asasi manusia, yaitu (1)
Hak untuk menentukan nasib sendiri dan (2) Hak atas informasi. 63 Hak untuk
menentukan nasib sendiri merupakan hak manusia yang telah ditentukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa atas diri seseorang. Hak atas dasar informasi merupakan hak untuk
memperoleh keteranganketerangan yang berhubungan dengan kesehatan. Para pihak yang
terlibat dalam kontrak teurapeutik atau perjanjian medis ini adalah dokter dan pasien.
Hubungan hukum dalam kontrak terapeutik oleh undang-undang kita diintepretasikan
berbeda, walaupun secara prinsip hubungan hukum perjanjian terapeutik adalah sama
yaitu hubungan antara pasien dengan petugas tenaga medis. Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak terapeutik
adalah pasien dengan tenaga kesehatan, sedangkan dalam Undang-undang nomor 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak
teurapeutik adalah pasien dan dokter/dokter gigi. Pengertian perjanjian terapeutik di atas
oleh undang-undang dimaknai berbeda, karenanya Salim HS, menyempurnakan
pengertian Perjanjian Terapeutik, yaitu sebagai: Kontrak yang dibuat antara pasien
dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, di mana tenaga kesehatan
dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan
penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya
dan pasien berkewajiban membayar biaya penyembuhannya. Dalam pengertiannya
tersebut perjanjian terapeutik dapat ditarik beberapa unsur, yaitu: (1) Adanya subjek
perjanjian, meliputi pasien dengan tenaga kesehatan/ dokter/dokter gigi (2) Adanya objek
perjanjian, yaitu upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien (3)
Kewajiban pasien, membayar biaya penyembuhan. 65 Dalam pelaksanaanya perjanjian
teurapeutik ini harus didahului oleh adanya persetujuan tindakan tenaga
kesehatan/dokter/dokter gigi terhadap pasien yang lazim disebut Informed consent. Istilah
transaksi atau perjanjian Terapeutik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata, akan
tetapi dalam unsur yang terkandung dalam perjanjian teurapeutik juga dapat
dikategorikan sebagai suatu perjanjian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1319 KUH
Perdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus,
maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum
mengenai perikatan pada umumnya (Bab 1 buku III KUH Perdata). Selain itu juga dalam
ketentuan umum mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian (Bab II Buku III
KUH Perdata) khususnya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 jo.
Pasal 1320 KUH Perdata, dengan demikian untuk sahnya transaksi atau perjanjian
terapeutik harus pula dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUH Perdata
dan akibat yang ditimbulkannya yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang
mengandung azas pokok perjanjian.

E. Inform Consent

DASAR HUKUM INFORMED CONSENT


Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak
mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada
kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari
pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk
melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB.
IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir
sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis
yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan
medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada
persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun
1989, yang berbunyi semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam
Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1)
sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata
cara persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri
yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

BENTUK INFORMED CONSENT


Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3,
yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan
adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah
terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif
dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang
akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Anda mungkin juga menyukai