STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
ORANGTUA / WALI
Ayah
Nama Lengkap : Tn. MS Agama : Islam
Umur : 47th Pendidikan : SMP
Suku bangsa : Bugis Pekerjaan : Buruh Bangunan
Alamat : Malinau
Ibu
Nama Lengkap : Ny. J Agama : Islam
Umur : 45 th Pendidikan : SMP
Suku bangsa : Bugis Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Malinau
1
RIWAYAT PENYAKIT
2
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 100 x/menit, kuat angkat, isi cukup, irama reguler
Tekanan darah : 110/70mmHg
Frekuensi nafas : 21 x/min
Suhu : 36,6oC
Data Antropometri
Berat badan : 43 kg
Panjang badan : 149 cm
Lingkar lengan atas : 14 cm
Status Gizi : IMT = 19,1 (Normal)
PEMERIKSAAN SISTEM
Kepala
Bentuk : Normocephali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, pertumbuhan rambut merata, rambut
tidak mudah dicabut
Mata : Mata cekung (-), konjungtiva pucat (+), sklera
ikterik (-)
Telinga : Normotia, lapang, serumen -/- , secret -/-, darah -/-
Hidung : Septum nasi ditengah, saddle nose (-), cavum nasi
lapang, concha eutrofi, serumen (-), secret (-), darah (-)
Mulut :
o Bibir : Sianosis (-), tidak kering
o Gigi geligi/Gusi : Lengkap, Karies (-), darah (-)
o Lidah : Ditengah, atrofi (-), coated tounge (-)
o Tonsil : T2-T2, kripta tidak melebar, detritus (-), hiperemis
(-)
o Faring : Uvula ditengah, hiperemis (-)
3
Leher : JVP Distended (-), KGB tidak teraba membesar
Thoraks
Dinding thoraks : Laterolateral>Anteroposterior, normochest
Paru
o Inspeksi : Pergerakkan dinding dada simetris
o Palpasi : Vocal Fremitus simetris
o Perkusi : Sonor - sonor
o Auskultasi : BND Vesikuler, Rh-/- , Wh -/-
Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : Batas jantung dextra : Linea sternalis dextra ICS 4
Batas jantung dextra: Linea midclavicula sinistra ICS 5
o Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
o Inspeksi : Tampak datar
o Auskultasi : BU 5x/min
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
o Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-)
4
KEHAMILAN
Perawatan Antenatal : Trimester I 1x/bulan di Bidan
Trimester II 1x/bulan di Bidan
Trimester III 2x/bulan di Bidan
KELAHIRAN
Tempat lahir : Rumah
Penolong Persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Penyulitan :-
Masa gestasi : Lebih bulan (12 bulan)
Berat badan lahir : 4000 gram
Panjang badan : 53 cm
Lingkar kepala : Ibu pasien tidak mengetahui
Tidak langung menangis
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak mengetahui
Kelainan bawaan : Tidak ada
Perkembangan pubertas
Rambut pubis : 11 tahun
Payudara : 11 tahun
5
Menarke : 11 tahun
RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin DASAR UMUM ULANGAN (UMUR)
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
POLIO 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
BCG 1 bulan
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan
CAMPAK 9 bulan
dT
Kesan : Riwayat imunisasi lengkap sesuai depkes
RIWAYAT MAKANAN
Umur 0 6 bulan : Pemberian ASI eksklusif dengan porsi semaunya
Umur 6 bulan 1 tahun : ASI + Bubur sumsum 3x/ hari, porsi kecil + selingan
biscuit
Umur 1 tahun sekarang : Nasi + sayur + ikan/ayam 3x/hari porsi sesuai kemauan,
selingan biscuit & buah
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan pasien baik, tahapan makan pasien sesuai umur
LABORATORIUM
19/12/2016
Darah Lengkap :
6
Hb : 8,6 g/dL Leukosit : 4,2rb/uL Ureum:22,4 g/dl
Eritrosit : 2,93 juta/uL Trombosit : 4rb/uL Kreatinin : 0,67 g/dl
HT : 23,2 % Limfosit : 68,9%
MCV : 79,2 fl Monosit : 5%
MCH : 29,4 pg Neutrofil : 25,1%
MCHC : 37.1 g/dL
Hapusan Darah Tepi :
Eritrosit : Hipokrom mikrositik, tidak ditemukan normoblast
Leukosit : Kesan jumlah normal, tidak ditemukan blast
Trombosit : Kesan sangat menurun, giant tromosit (-)
Kesimpulan :
1. Anemia Mikrositik Hipokrom e.c dd
a. Anemia defisiensi Fe
b. Anemia et chronic disease
2. Limfositosis ec dd
a. Lymphatic leukemia (acute&chronic) lymphoma
b. Viral or some bacterial infection
3. Neutropenia ec dd
a. Infection
b. Hematopoetik disease (anemia def fe)
c. Drugs
4. Trombositopenia ec dd
a. Bacterial or viral infection
b. Drugs (NSAID)
c. Multiple transfusion
RINGKASAN
Anamnesis:
Pasien an. S, perempuan, usia 16th, datang dengan keluhan gusi berdarah sejak 4
hari SMRS. Gusi berdarah terus-menerus setiap hari, namun hilang timbul. Darah yang
keluar berwarna merah kecoklatan dan menggumpal. Riwayat 2 bulan yang lalu
mengalami hal yang sama disertai mimisan sebanyak cangkir kopi, lemas dan
pusing. Lalu 4 hari SMRS saat pasien pulang dari sekolah timbul gusi berdarah disertai
dengan demam. Kemudian untuk mengurangi keluhan pasien belum pernah ke dokter dan
hanya diberi paracetamol kemudian demam berkurang.
7
Riwayat menstruasi memanjang dan bertambah banyak sejak periode 1 bulan lalu.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 100 x/menit, kuat angkat, isi cukup, irama reguler
Tekanan darah : 110/70mmHg
Frekuensi nafas : 21 x/min
Suhu : 36,6oC
Data Antropometri
Berat badan : 43 kg
Panjang badan : 149 cm
Lingkar lengan atas : 14 cm
Status Gizi : IMT = 19,1 (Normal)
Pemeriksaan Fisik
Mata : konjungtiva pucat
LABORATORIUM
19/12/2016
Darah Lengkap :
Hb : 8,6 g/dL() Leukosit : 4,2rb/uL()
Eritrosit : 2,93 juta/uL() Trombosit : 4rb/uL()
HT : 23,2 %() Limfosit : 68,9%()
MCV : 79,2 fl() Neutrofil : 25,1%()
MCH : 29,4 pg()
Hapusan Darah tepi :
1. Anemia Mikrositik Hipokrom e.c dd
a. Anemia defisiensi Fe
b. Anemia et chronic disease
2. Limfositosis ec dd
a. Lymphatic leukemia (acute&chronic) lymphoma
b. Viral or some bacterial infection
3. Neutropenia ec dd
a. Infection
8
b. Hematopoetik disease (anemia def fe)
c. Drugs
4. Trombositopenia ec dd
a. Bacterial or viral infection
b. Drugs (NSAID)
c. Multiple transfusion
DIAGNOSIS
Susp. Anemia Aplastik
DIAGNOSIS BANDING
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
Leukimia Limfoblastik Akut
PENATALAKSANAAN
Rawat inap
IVFD : NaCl 0,9% 25tpm jika habis lanjut Dextrose 5% 25tpm
Transfusi TC 8 kolf
PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad malam
Ad Sanationum : Dubia ad malam
Ad Fungsionum : Dubia ad malam
FOLLOW UP
Hari/ : Selasa, 20/12/16
tanggal
Bagian S O Laboratorium A P
Dokter ( Lemas (-) KU: TSS 19/12/2016 Anemia IVFD :
09: 00) Pusing (-) aplastik
KS:CM Hb:8,6g/dL - NaCl 0,9% 25tpm
PH : 1 Gusi berdarah
(-) Nadi:100x/min Leuko: 4,2rb/uL jika habis lanjut
Mimisan(-)
TD:110/70 Erit:2,93jt/uL Dextrose 5% 25tpm
Menstruasi H-
7 RR: 21 x/min Trombo: 4rb/uL - Tramsfusi TC 8 kolf
Suhu: 36,6oC HT: 23,2 % - Jika ada perdarahan
CA (+) MCV:79,2fl cek DL hasil lapor dr.
9
MCH: 29,4 pg Sigit Sp.A
10
Dokter ( Lemas (-) KU: TSS Anemia - aff infuse
09: 00) Pusing (-) aplastik - Obs ttv bila terjadi
KS:CM
PP: 4 Gusi berdarah perdarahan pasang
(-) Nadi:76x/min infuse + cek DL
Mimisan(-) - rencana rujuk
TD:110/70
Menstruasi H-
10 RR: 19 x/min
Suhu: 37,1oC
CA (+)
11
Dokter ( Lemas (+) KU: TSS - Gum - Transfusi TC 9
09: 00) Pusing (-) bleeding kantong (lanjutkan) +
KS:CM
PP: 7 Gusi berdarah pada PRC 200cc/4jam
(-) Nadi:84x/min rombositope (lanjutkan)
Mimisan(-) nia - pre transfusi
TD:90/60
Menstruasi H- - Anemia dexamethasone 1 amp
13 RR: 20 x/min gravis (IV)
- cek DL post transfusi
Suhu: 36,3oC
CA (+)
Hari/ : Selasa, 27/12/16
tanggal
Dokter ( Lemas (-) KU: TSS 27/12/2016 - Gum - Transfusi PRC (kolf
09: 00) Pusing (-) bleeding terakhir)
KS:CM Hb:13,5g/dL
PP: 8 Gusi berdarah pada - cek DL post transfusi
(-) Nadi:72x/min Leuko: 4,3rb/uL rombositope (6jam post transfusi)
Mimisan(-) nia - obs ttv
TD:100/70 Erit:4,56jt/uL
Menstruasi (-) - Anemia
RR: 20 x/min Trombo: 36rb/uL gravis
perbaikan
Suhu: 36,6oC HT: 36,3 %
CA (-) MCV:79,6fl
MCH: 29,6 pg
Hari/ : Rabu, 28/12/16
tanggal
Dokter ( Lemas (-) KU: TSS Anemia Boleh pulang
09: 00) Pusing (-) aplastik
KS:CM
PP: 9 Gusi berdarah
(-) Nadi:76x/min
Mimisan(-)
TD:110/70
Menstruasi (-)
RR: 20 x/min
Suhu: 36,4oC
CA (-)
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
13
Pada tujuh puluh persen kasus penyebab anemia aplastik didapat tidak dapat
diterangkan, sedangkan sisanya diduga akibat radiasi, bahan kimia termasuk obat-obatan,
infeksi virus, dan lain-lain. Gejala-gejala yang timbul pada pasien anemia aplastik
merupakan gejala pansitopenia seperti pucat, perdarahan, dan infeksi. Etiologi penyakit
ini kebanyakan tidak diketahui maka tata laksananya juga belum optimal dan seringkali
menimbulkan masalah-masalah baru pada pasien, bukan hanya memperburuk kondisi
pasien atau bahkan dapat mengancam jiwa pasien.3
2.2. Definisi
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum
tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia
pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk
aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat
hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia
hipoplastik. Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat
anemia, granulositopenia, dan trombositopenia.4
2.3. Epidemiologi
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan di dunia. Angka
kejadian di Asia termasuk Cina, Jepang, Thailand dan India lebih tinggi dibandingkan
dengan Eropa dan Amenika Serikat.5 Insidens penyakit ini bervariasi antara 2 sampai 6
kasus tiap 1 juta populasi.1 Penelitian yang dilakukan The International Aplastic Anemia
and Agranulocytosis Study di Eropa dan Israel awal tahun 1980 mendapatkan 2 kasus tiap
1 juta populasi. Perbandingan insidens antara laki-laki dan perempuan kira-kira 1:1,
meskipun dari beberapa data menunjukkan laki-laki sedikit Iebih sering terkena anemia
aplastik. Perbedaan insidens yang mungkin terjadi di beberapa tempat mungkin karena
14
perbedaan risiko okupasional, variasi geografis dan pengaruh lingkungan.4,8 Anemia
aplastik terjadi pada semua umur, dengan awitan klinis pertama terjadi pada usia 1,5
sampai 22 tahun, dengan rerata 6-8 tahun.6 Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI
RSCM, dalam kurun satu tahun (Mei 2002-Mei 2003) terdapat 9 kasus anemia aplastik, 4
anak perempuan dan 5 anak laki-laki.3
2.4. Etiologi
Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan faktor
kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara
lain : sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan kelainan
bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal;
diskeratosis kongenital; sindrom Shwachman-Diamond; dan trombositopenia
amegakaryositik. Kelainan kelainan ini sangat jarang ditemukan dan juga jarang
berespons terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter
biasanya muncul pada usia sepuluh tahun pertama dan kerap disertai anomali fisik
(tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik caf-au-lait pada
anemia Fanconi (sindroma Fanconi). Beberapa pasien mungkin mempunyai
riwayat keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit yang
paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi) merupakan
kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan
memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada pasien anemia
Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif langka dengan
prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia sumsum tulang,
dan perubahan warna kulit yang berbercak bercak coklat akibat deposisi
melanin (bintik bintik caf-au-lait).1,2
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku,
dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi
klinik yang beragam. Terdapat bentuk bentuk X-linked recessive, autosomal
15
dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh
mutasi pada gen DKC1, yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk
stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya
pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini
(premature aging). Diskeratosis kongenital autosomal dominan disebabkan oleh
mutasi gen TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada
akhirnya mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal.
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia aplastik
memiliki mutasi TERC.1,2
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang ditandai
oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir.
Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense mutations pada gen C-
MPL. Banyak diantara penderita trombositopenia amegakaryositik diwariskan
mengalami kegagalan sumsum tulang multilineage.1,2
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai
dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum
tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi), penderita sindrom
Shwachman-Diamond juga mengalami peningkatan resiko terjadinya
myelodisplasia atau leukemia pada usia dini. Belum ditemukan lesi genetik yang
dianggap menjadi penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah
dikaitkan dengan penyakit ini. 1,2
16
influenza A, tuberkulosis milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat
menekan produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel sel
stroma sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS),
virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis.
Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik yang
disebabkan oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron akan
ditemukan virus dalam eritroblas dan dengan pemeriksaan serologi akan
dijumpai antibodi virus ini. DNA parvovirus dapat mempengaruhi progenitor
eritroid dengan mengganggu replikasi dan pematangannya.
- Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
- Faktor iatrogenik akibat transfusion associated graft-versus-host disease.1,2
Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka
pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik. 1,2
17
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh
destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons imun
tersebut kadang kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat tertentu
atau zat kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti toksisitas
langsung pada sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Dan
derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis secara kuantitatif
dan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan respons terhadap terapi
imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme
imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik. 2
1. Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah berkaitan erat dengan kosongnya sumsum
tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau
spesimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic
resonance imaging (MRI) vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang
oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel sel hematopoietik yang
imatur dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel sel tersebut mengekspresikan
protein cytoadhesive yang disebut CD34+. Pada pemeriksaan flow cytometry,
antigen sel CD34+ dideteksi secara fluoresens satu per satu, sehingga jumlah sel
sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ juga
hampir tidak ada yang berarti bahwa sel sel induk pembentuk koloni eritroid,
myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel sel
hematopoietik yang sangat primitif dan tenang (quiescent) yang sangat mirip
jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel sel asal, juga memperlihatkan
adanya penurunan jumlah sel. Pasien yang mengalami pansitopenia mungkin telah
mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau
kurang. Defisiensi berat ini mempunyai konsekuensi kualitatif yang dicerminkan
oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik. 2
2. Destruksi Imun
Banyak data pemeriksaan laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa
pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi
18
kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel sel ini memproduksi faktor
penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-. Adanya aktivasi respons
sel T-helper-1 (Th1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel T dan produksi
interferon, tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin-2 (IL2) yang berlebihan.
Deteksi interferon- intraselular pada sampel pasien secara flow cytometry
mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi
relaps. 2
Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ dan sel sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid
(granulositik, eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada
hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Dan pemulihan
hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif.
Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik akan tampak masih ada pada sebagian
pasien anemia aplastik. 2
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel
CD34+ yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang
menyebabkan penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel sel T dalam tubuh
pasien membunuh sel sel asal hemopoietik dengan aktivasi HLA-DR-restricted
melalui ligan Fas. Sel sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau
sedikit mengekspresikan HLA-DR atau Fas, dan ekspresi keduanya meningkat
sesuai pematangan sel sel asal. Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik
primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel sel CD34+ total, relatif
tidak terganggu oleh sel sel T autoreaktif; dan di lain pihak, sel sel asal
hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel sel imun.
Sel sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun
memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan lahan yang terjadi pada pasien
anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.2
19
Gambar 1 Destruksi Imun Pada Sel Hematopoietik
(http://www.pharmacy-and-drugs.com/illnessessimages/aplastic-anemia.jpg)
20
kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan. Adanya splenomegali dan
limfadenopati akan meragukan diagnosis anemia aplastik.2,8
Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70)
Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Perdarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
7
Hidung
6
Saluran cerna 3
Vagina 16
Demam 7
Hepatomegali 0
Splenomegali
21
Gambar 2 Apusan Darah Tepi Anemia Aplastik
(http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/hematology/HessImages/Aplastic-
Anemia-Pancytopenia-and-macrocytes-40x-website.jpg)
22
Gambar 3 Sumsum Tulang Normal dan Aplastik
(http://www.uams.edu/m2008/notes/path2/Pathology%20disease
%20spreadsheet/bone/aplastic%20anemia.jpg)
Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka
pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya.
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV,
parvovirus, dan sitomegalovirus.2,8
Pemeriksaan Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat
diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas
sel T.2
2.8. Klasifikasi
23
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas dan
mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia daripada selularitas
sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk
pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80% dengan infeksi jamur dan
sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang
mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.2
2.9. Tatalaksana
2.9.1. Tatalaksana Supportif
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan
pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat diberikan
transfusi leukocyte-poor red cells yang bertujuan mengurangi sensitisasi terhadap
HLA (human leukocyte antigen), menurunkan kemungkinan transmisi infeksi
hepatitis, virus sitomegalo dan toksoplasmosis, pada beberapa kasus mencegah
graft- versus host disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-
ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti
reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan
penimbunan zat besi.9 Perdarahan yang terjadi sering menyebabkan kematian.
Untuk mencegah perdarahan terutama pada organ vital dapat dilakukan dengan
mempertahankan jumlah trombosit di atas 20.000/uL. 10 Hal ini dapat dilakukan
dengan transfusi suspensi trombosit. Perlu diingat bahwa pemberian suspensi
24
trombosit dapat menyebabkan keadaan isoimunisasi apabila dilakukan lebih dari
10 kali, dan keadaan ini dapat mempengaruhi keberhasilan terapi. 10 Isoimunisasi
dapat dicegah dengan pemberian trombosit dengan HLA yang kompatibel dengan
pasien. Bila perdarahan tetap terjadi dapat ditambahkan antifibrinolisis. 9 Untuk
mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia, dapat diberikan
pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi. Kebersihan kulit dan
perawatan gigi yang baik sangat penting karena infeksi yang terjadi biasanya
berat dan sering menjadi penyebab kematian.10 Pada pasien anemia aplastik yang
demam perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau
perlu cairan serebrospinalis. Bila dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan
antibiotik spektrum luas dengan dosis tinggi secara intravena dan kalau penyebab
demam dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil
kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotic
secara empiris dapat diberikan anti jamur.3
25
CsA merupakan terapi imunosupresan lini pertama untuk pasien dengan anemia
aplastik berat.3
26
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien an. S, perempuan, usia 16th, datang dengan keluhan gusi berdarah sejak 4
hari SMRS. Gusi berdarah terus-menerus setiap hari, namun hilang timbul. Darah yang
keluar berwarna merah kecoklatan dan menggumpal. Riwayat 2 bulan yang lalu
27
mengalami hal yang sama disertai mimisan sebanyak cangkir kopi, lemas dan
pusing. Lalu 4 hari SMRS saat pasien pulang dari sekolah timbul gusi berdarah disertai
dengan demam. Kemudian untuk mengurangi keluhan pasien belum pernah ke dokter dan
hanya diberi paracetamol kemudian demam berkurang. Riwayat menstruasi memanjang
dan bertambah banyak sejak periode 1 bulan lalu.
Faktor faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada pasien ini:
1. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menimbulkan efek depresi
sumsum tulang seperti kloramfenikol, antikonvulsan disangkal
2. Riwayat kontak dengan senyawa yang mengandung benzene atau insektisida
disangkal
3. Tidak didapatkan adanya tanda-tanda penyakit infeksi virus yang menyertai
4. Riwayat terpapar radiasi dengan radioaktif disangkal
5. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium dapat didiagnosis
sebagai anemia aplastik sesuai dengan gejala klinis yang dialami yaitu adanya riwayat
perdarahan seperti gusi berdarah, mimisan dan menstruasi yang memanjang disertai
dengan adanya pansitopenia pada pemeriksaan laboratorium yang ditandai oleh anemia,
leukopenia dan trombositopenia. Disamping itu pada hitung jenis juga didapatkan
keadaan limfositosis relative. Diagnosis pasti anemia aplastik ditentukan berdasarkan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, sehingga dianjurkan dirujuk agar dapat melakukan
pemeriksan lebih lanjut yang dapat menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang,
terdapat banyak jaringan ikat dan jaringan lemak, dengan aplasi sistem eritropoetik,
granulopoetik dan trombopoetik. Namun dari anamnesis masih sulit untuk dapat
menentukan faktor resiko dari pasien tersebut sehingga dapat tergolong sebagai anemia
aplastik idiopatik
Sebagai tatalaksana pasien dilakukan transfusi TC sebanyak 8 kolf pada saat awal
masuk. Trasnfusi TC sesuai dengan indikasi bahwa trombosit < 10.000/uL tanpa demam,
dan terdapat perdarahan mukosa spontan. Volume transfusi yang diberikan 5-10ml/kgbb
diharapkan akan menaikkan trombosit 50rb-100rb/uL. Sehingga jika diambil 10ml/kgbb
akan menghasilkan 8 kantong TC. Pada hari ke-2 setelah dilakukan transfusi TC timbul
berupa gatal-gatal pada tubuh pasien. Reaksi tersebut merupakan salah satu reaksi
28
transfusi akut. Setelah itu transfusi di stop dan TC dianjurkan untuk ditukar. Perawatan
hari ke-6 pasien mengalami perdarahan kembali dari gusi dan setelah melakukan cek
darah lengkap didapatkan Hb 6,7g/dL dan trombosit 4rb/ul. Dilakukan transfusi TC 9
kantong dan PRC 200cc/4jam serta pemberian dexamethason 1 amp (IV) pre transfusi.
Pemberian transfusi PRC sesuai dengan indikasi transfusi Hb <7g/dL. Pemberian
premedikasi untuk pencegahan reaksi transfusi seperti antipiretik, antihistamin dan
kortikosteroid, menurut penelitian selama 10 tahun terakhir tidak terbukti efektif dalam
mencegah reaksi transfusi.
DAFTAR PUSTAKA
29
3. Isyanto, Abdusalam M. Masalah pada Tatalaksana Anemia Aplastik Didapat. Sari
Pediatri, Vol 7, No.1, Juni 2005:26-33
4. Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps TJ.
Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.
5. Gordon Smith EC. Epidemiology and aetiology of aplastic anemia. Disampaikan
pada kongres Intemasional society of haematology Asian Pasifik, Bangkok, 25-29
Oktober, 1999
6. Lanzkowsky P. Bone marrow failure. Manual of pediatric hematology and
oncology. Edisi ke-2. New york: Churchill Livingstone, 1995. h. 89-96.
7. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment.
1999;70:46-52. Diambil dari http://bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi
/reprint/103/11/46. Diakses Januari, 2017.
8. Bakhshi S. Aplastic Anemia. Diambil dari : http://emedicine.medscape.com
/article/198759. Diakses Januari, 2017.
9. Gatot D. Penatalaksanaan transfusi pada anak. Dalam Update emergencies
pediatrics. Jakarta : Balai Pustaka FKUI 2002. h. 28-47.
10. Munthe BG. Diagnostik dan penanggulangan anemia aplastik. Dalam: Pendidikan
tambahan berkala Ilmu Kesehatan Anak. FKUI-RSCM Jakarta 1991. h. 33-40.
30