Anda di halaman 1dari 21

Peranan Dokter dalam Pengambilan Keputusan Secara Etik dalam Tindakan

Militer

Isabella Regina Nikenshi Ganggut

102012417

F3

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat


ganggutnikenshi@yahoo.com

Pendahuluan

Pola pikir manusia dari tahun ke tahun terus berkembang. Hal ini terwujud dalam
berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf
dan kualitas hidup manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu dan teknologi mempengaruhi
perkembangan ilmu kedokteran dan profesi kedokteran.
Kemajuan tersebut selain menyebabkan peningkatan kualitas profesi kedokteran, juga
menyebabkan timbulnya aneka ragam permasalahan, antara lain mahalnya pelayanan medik.
Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi terjadi pula perubahan tata nilai dalam masyarakat,
misalnya hal-hal yang dulu dianggap wajar, dewasa ini dikatakan tidak wajar ataupun
sebaliknya.
Masyarakat pun semakin kritis dalam memandang maalah yang ada, termasuk pelayanan
yang diberikan di bidang kesehatan. Masyarakat kini menuntut agar seorang dokter atau suatu
instansi kesehatan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Tidak jarang masyarakat
merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang ada dan tidak tertutup kemungkinan seorang
dokter akan di tuntut di pengadilan.
Untuk menghindari hal-hal diatas, jelaslah bahwa profesi kedokteran membutuhkan
pedoman sikap dan perilaku tang harus dimiliki oleh seorang dokter. Pedoman yang demikian
dikenal dengan nama Kode Etik Kedokteran. Untuk menjalankan dan mengamalkan kode etik
tersebut seorang dokter juga harus sudah dibekali dengan wawasan keagamaan yang kuat karena

1
dalam ilmu agama sudah tercakup pengetahuan mengenai moral dan akhlak yang baik antara
sesama manusia.

PEMBAHASAN
Prinsip-Prisip Kaidah Dasar Bioetik
Pendekatan kedokteran forensik selain menjadi ahli klinik medikalisasi dan terapi, ilmu
forensicjuga berperan dalam hal non-terapi , yaitu pembuktian. Ilmu forensik sangat
komprehensifmencakup psikososial, yuridis. Ilmu kedokteran forensik mengutamakan prinsip
dasar etika kedokteran meliputi: prinsip tidak merugikan (non maleficence), prinsip berbuat baik
(beneficence), prinsip menghormati otonomi pasien (autonomy), dan prinsip keadilan (justice).Di
dalam kaidah dasar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang harus selalu
diperhatikan. Empat prinsip etik (beneficence, non-maleficence, auotonomy, dan justice) dapat
diterima di seluruh budaya, tetapi prinsip etik ini dapat bervariasi antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lainnya.1
Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan bioetik yang harus selalu dipegang oleh
seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah:
1 Beneficence
Seorang dokter melakukan suatu tindakan untuk kepentingan pasiennya dalam usaha
untuk membantu mencegah atau menghilangkan bahaya atau hanya sekedar mengobati
masalah-masalah sederhana yang dialami pasien.
Lebih khusus, beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik,
menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam
kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa
seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih bayak dampak baiknya
daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi.
2 Non-maleficence
Seorang dokter tidak melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk
pasien. Dokter haruslah memilih tindakan yang paling kecil resikonya. Do no harm
merupakan point penting dalam prinsip non-maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada
kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat.

3 Autonomy

2
Seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia, terutama hak untuk
menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat
keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus dihormati secara etik,
dan di sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa
dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah dewasa untuk dapat
menyetujui atau menolak tindakan medis.Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu
tindakan medis secara tertulis. Informed consent menyaratkan bahwa pasien harus terlebih
dahulu menerima dan memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka, jenis
tindakan medik yang diusulkan, resiko, dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut.
4 Justice
Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice
adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk
semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan
tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb.
Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar
ada kesamaan dalam perlakuan kepada pasien. Contoh dari justice misalnya saja: dokter
yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang untuk merawat orang
tersebut.
Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal dalam
memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dar seberapa penting masalah yang sedang
dihadapi oleh pasien. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari pasien, diharapkan
seorang dokter dapat berlaku adil.1

Seperti juga kajian moralitas etika mengakui keumumam pendekatan-pendekatan non-


rasional tersebut dalam pengambilan keputusan dan perilaku. Meskipun demikian etika lebih
terfokus kepada pendekatan-pendekatan rasional. Keempat pendekatan tersebut adalah
deontologi, konsekuensialisme, prinsiplisme, dan etika budi pekerti:
1. Deontologi
Melibatkan pencarian aturan-aturan yang terbentuk dengan baik yang dapat
dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan keputusan moral seperti perlakukan manusia
secara sama. Dasarnya dapat saja agama (seperti kepercayaan bahwa manusia sebagai
ciptaan Tuhan adalah sama) atau juga non-religius (seperti manusia memiliki gen-gen
yang hampir sama). Sekali aturan ini terbangun maka hal tersebut harus diterapkan dalam

3
situasi ilmiah, dan akan sangat mungkin terjadi perbedaan aturan mana yang diperlukan
(seperti apakah aturan bahwa tidak boleh membunuh orang lain atau hukuman yang
menjadi dasar larangan aborsi).
2. Konsekuensialisme
Mendasari keputusan etis yang diambil karena merupakan cara analsis bagaimana
konsekuensi atau hasil yang akan didapatkan dari berbagai pilihan dan tindakan.
Tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan hasil yang terbaik. Tentunya ada
berbagai perbedaan mengenai batasan hasil yang terbaik. Salah satu bentuk
konsekuensialisme yang sangat dikenal adalah utilitarianisme, menggunakan utility
untuk mengukur dan menentukan mana yang memberikan hasil yang paling baik diantara
semua pilihan yang ada. Ukuran-ukuran outcome yang digunakan dalam pembuatan
keputusan medis antara lain cost-effectiveness dan kualitas hidup diukur sebagai QALYs
(quality-adjusted life-years) atau DALYs (disablility-adjusted life-years).
Pendukung teori ini umumnya tidak banyak menggunakan prinsip-prinsip karena
sangat sulit mengidentifikasi, menentukan prioritas dan menerapkannya dan dalam suatu
kasus mereka tidak mempertimbangkan apakah yang sebenarnya penting dalam
pengambilan keputusan moral seperti hasil yang ingin dicapai. Karena mengesampingkan
prinsipprinsip maka konsekuensialisme sangat memungkinkan timbulnya pernyataan
bahwa hasil yang didapat akan membenarkan cara yang ditempuh seperti hak manusia
dapat dikorbankan untuk mencapai tujuan sosial.
3. Prinsiplisme
Seperti yang tersirat dari namanya, mempergunakan prinsip-prinsip etik sebagai
dasar dalam membuat keputusan moral. Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam kasus-
kasus atau keadaan tertentu untuk menentukan hal yang benar yang harus dilakukan,
dengan tetap mempertimbangkan aturan dan konsekuensi yang mungkin timbul.
Prinsiplisme sangat berpengaruh dalam debat-debat etika baru-baru ini terutama di
Amerika. Keempat prinsip dasar, penghargaan otonomi, berbuat baik berdasarkan
kepentingan terbaik dari pasien, tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti pasien
serta keadilan merupakan prinsip dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan
etik di dalam praktek medis. Prinsip-prinsip tersebut jelas memiliki peran yang penting
dalam pengambilaan keputusan rasional walaupun pilihan terhadap keempat prinsip
tersebut dan terutama prioritas untuk menghargai otonomi di atas yang lain merupakan
refleksi budaya liberal dari Barat dan tidak selalu universal. Terlebih lagi keempat prinsip

4
tersebut sering kali saling bergesekan di dalam situasi tertentu sehingga diperlukan
beberapa kriteria dan proses untuk memecahkan konflik tersebut.
4. Etika budi pekerti
Etika budi pekerti kurang berfokus kepada pembuatan keputusan tetapi lebih
kepada karakter dari si pengambil keputusan yang tercermin dari perilakunya. Nilai
merupakan bentuk moral unggul. Seperti disebutkan di atas, satu nilai yang sangat
penting untuk dokter adalah belas kasih. Yang lain termasuk kejujuran, bijak, dan
dedikasi. Dokter dengan nilai-nilai tersebut akan lebih dapat membuat keputusan yang
baik dan mengimplementasikannya dengan cara yang baik juga. Namun demikian, ada
juga bahkan orang yang berbudi tersebut sering merasa tidak yakin bagaimana bertindak
dalam keadaan tertentu dan tidak terbebas dari kemungkinan mengambil keputusan yang
salah.2
Tidak satupun dari empat pendekatan ini, ataupun pendekatan yang lain dapat mencapai
persetujuan yang universal. Setiap orang berbeda dalam memilih pendekatan rasional yang akan
dipilih dalam mengambil keputusan etik seperti juga orang yang lebih memilih pendekatan yang
non-rasional. Hal ini dikarenakan setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangannya
sendiri. Mungkin dengan mengkombinasikan keempat pendekatan tersebut maka akan
didapatkan keputusan etis yang rasional. Namun harus diperhatikan arturan dan prinsip-prinsip
dengan cara mengidentifikasi pendekatan mana yang paling sesuai untuk situasi yang baru
dihadapi dan juga dalam mengimplementsikan sebaik mungkin. Harus juga dipikirkan mengenai
konsekuensi dari keputusan altenatif dan konsekuensi mana yang akan diambil. Yang terakhir
adalah mencoba memastikan bahwa perilaku si pembuat keputusan tersebut dalam membuat dan
mengimplementasikan keputusan yang sudah diambil juga baik. Proses yang dapat ditempuh
adalah:
1. Tentukan apakah masalah yang sedang dihadapai adalah masalah etis.
2. Konsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan kebijakan ikatan
dokter serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana dokter biasanya berhadapan dengan
masalah tersebut.
3. Pertimbangkan solusi alternatif berdasarkan prinsip dan nilai yang dipegang serta
konsekuensinya.
4. Diskusikan usulan solusi anda dengan siapa solusi itu akan berpengaruh.
5. Buatlah keputusan dan lakukan segera, dengan tetap memperhatikan orang lain yang
terpengaruh.

5
6. Evaluasi keputusan yang telah diambil dan bersiap untuk bertindak berbeda pada
kesempatan yang lain.2

Interogasi Dan Penyiksaan


Interogasi adalah sebuah fungsi penyidikan. Tujuan interogasi adalah untuk mendapatkan
dan mengumpulkan semua informasi tentang kejadian yang diselidiki serta tentang pelaku
kejahatannya dan membuat si terdakwa mengakui kejahatannya. Semua kategori orang yang
dapat diinterogasi adalah korban, saksi, majikan, rekan kerja, teman, kerabat, dan lain-lain.
Interogasi bukanlah pengganti penyidikan melainkan sebagai alat bantu penyidikan. Ada
persyaratan legal yang melingkupi interogasi yang harus dipahami oleh penyidik. Kegagalan
memahami persyaratan ini akan menyia-nyiakan penggunaan informasi yang didapat sebagai
barang bukti.1
Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut
terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut, alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme
meliputi:1
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada : tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan,
foto, atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Hukum dan Hak Asasi Manusia

Di Indonesia system hukumnya banyak dipengaruhi oleh system hum Belanda, sisetem
Belanda sendiri adalah system hokum Eropa atau sering disebut hokum romawi Jerman yang
pada awalnya bersumber dari sistem hukum romawi kuno. Berkembangnya sistem hukum
Romawi Jerman adalah berkat dari usahaNapoleon Bonaparte yang berusaha menyusun code

6
civil atau code napoleon yang bersumber dari hukum romawi. Sistem hukum ini pertama kali
berkembang dalam hukum perdatanya ( private law) atau civil law, yaitu hukum yang mengatur
hubungan sesame anggota masyarakat, oleh karena itu sistem hukum Romawi Jerman ini lebih
dikenal dengan sebutan sistem hukum civil law. Rene Devid dan John E.C. Brierly, mengatakan
selain sistem hukum civil law juga dikenal sitem hukmum coomon law. Dan menurutnya di
dunia ini terdapat 3 sistem hukum yang dominan yiatu: civil law, common law, dan socialist law
system. Lain pendapat dikemukana oleh John Henry Merryman dan Ginting, menyatakan bahwa
dalam dunia konteporer ada tiga tradisi hukum sosial ( socialist law). Dalam perkembangan
sistem socialist law ini dipengaruhi sistem civil law, oleh karena itu dapat dikatekan sistem
hukum dominan hanya ada dua yaitu civil law(eropa continental) dan common law (aglon
saxon).1

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang semata-mata karena dia adalah
manusia. HAM didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dilahirkan setara dalam harkat dan
hak-haknya. Semua HAM sama pentingnya dan mereka tidak dapat dicabut dalam keadaan
apapun.

HAM penting karena mereka melindungi hak kita untuk hidup dengan harga diri, yang
meliputi hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan. Hidup dengan harga diri berarti
bahwa kita harus memiliki sesuatu seperti tempat yang layak untuk tinggal dan makanan yang
cukup. Ini berarti bahwa kita harus dapat berpartisipasi dalam masyarakat, untuk menerima
pendidikan, bekerja, dan mempraktekkan agama kita, berbicara dalam bahasa kita sendiri, dan
hidup dengan damai. HAM adalah alat untuk melindungi orang dari kekerasan dan kesewenang-
wenangan. HAM mengembangkan saling menghargai antara manusia. HAM mendorong
tindakan yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa hak-hak orang
lain tidak dilanggar. Misalnya, kita memiliki hak untuk hidup bebas dari segala bentuk
diskriminasi, tapi di saat yang sama, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak mendiskriminasi
orang lain.

Kesetaraan adalah prinsip dasar lainnya dari HAM. Kesetaraan memastikan bahwa semua
orang dilahirkan bebas dan setara. Kesetaraan memastikan bahwa semua individu memiliki hak
yang sama dan layak menerima tingkat penghormatan yang sama. Non-diskriminasi adalah
bagian yang tak terpisahkan dari kesetaraan. Non-diskriminasi memastikan bahwa tak

7
seorangpun ditolak hak asasinya karena faktor seperti usia, etnis asal, jenis kelamin, dan
sebagainya.

Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Penganiayaan

Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai
berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998.
Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil
dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna:

1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian


seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa
orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan),
2) menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu
wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya
diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak,
3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala
perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau kesaksian yang
mereka berikan,
4) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi
yang adil dan layak.

Secara historis pembentukan suatu konvensi, ditujukan untuk melindungi para


tahanan(detainess) yang diartikan sebagai orang yang menjalani hukuma penjara di institusi
negara dalam kaitanya dengan penegasan hukum yang dilakukan secara legal atau tidak atau
kepentingan keamanan atau tujuan tujuan lainya. Tapi dalam prakteknya konvensi ini tidak
memberlakukan batasan tersebut. Ini dibuktikan oleh pengertian yang diberikan oleh konvensi
itu sendiri, yaitu:2

Penganiayaan berarti perbuatan apa pun yang dengannya sakit berat atau penderitaan,
apakah fisik atau mental dengan sengaja dibebankan pada seseorang unutk tujuan tujuan
seperti memperoleh darinya atau orang ketiga informasi atau suatu pengakuan, menghukum dia

8
karena suatu perbuatan yang dia atau orang ketiga telah melakukanya atau disangka telah
melakukanya, atau mengintimidasi atau memaksa.

Dalam pembuatanya, CAT merujuk pada pasal 5 DUHAM dan 7 ICCPR, sebagai dasar
pembentuksanya disamping deklaraasi mengenai perlindungan semau orang dari dijadikan
sasarna penganiayaan dan perlakukan kejam lainyam tindak manusiawi atau hukuma yang
menhinakan. Untuk mencapai tujuan tujuan konvensi negara negara peserta diwajkan untuk
mengabil langkah langkah dalam bidang legislative, administratif, judikatif, atau lainya yang
ditujuan untuk pencegahan. Negara peserta diwabkan untuk tidak mengekstradisasi seseorang
yang diduga kuat akan dijadikan sebagai objek bagi tindakan penyiksaan.

Pasal 5 DUHAM berbunyi:

:Tidak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tak mengingat
kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan.

Pasal 7 ICCPR berbunyi:

Tidak seorang pun boleh dikenakan penganiayaan atau perlakukan lain yang kejam, tidak
manusiawi atau hukuma yang merendahkan harkatnya. Teristimewa, tidak seorang pun, tanpa
persetujuanya sendi yang diberikan secara bebas boleh dijadikan sasaran percobaan medis atau
ilmiah.

Pengambilan Jalan Keluar Dari Sudut Pandang Hukum

Diskriminasi adalah tindakan yang memperlakukan satu orang atau satu kelompok secara kurang
adil atau kurang baik daripada orang atau kelompok yang lain. Diskriminasi dapat bersifat langsung atau
tidak langsung dan didasarkan pada faktor-faktor yang sama seperti premanisme dan pelecehan.
Sedangkan yuridikasi sendi dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris Jurisdiction.
Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa Latin Yurisdictio, yang terdiri atas dua suku kata,
yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan,
firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti :

a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum.

9
b. Hak menurut hukum.
c. Kekuasaan menurut hukum.
d. Kewenanagan menurut hukum.

Suatu negara diberikan hak yuridiksi dalam hal: 2

a. Apabila kejahtan kejahatan dilakukan di wilayah mana pun yang bersda di bawah
yuridiksinya atau di atas sautu kapal atau pesawat terbang yang terdaftar di negara itu.
b. Apabila yang diduga keras sebagai pelaku pelanggran adalah seorang warga negara dari
negara itu.
c. Apabila si korba adalah seorang warga negara dari negara itu, jika negara itu
menganggapnya tepat.

Disamping itu negara peserta lain pun berkewajiban untuk mengadilinya apabila si terduga
ada di yuridiksinya. Melalui ketentuan tersebut tindak peniksaan dipandang menyebabkan
hadirnya yuridiksi universal. Dalam hal negara tersebut tidak mau mengekstradiksinya maka ia
harus mengadilinya ( prinsip aut prosequi aut dedere). Kejahatan ini secara otomatis masuk ke
dalam setiap perjanjian mengenai ekstradiksi yang dilakukan oleh para negara peserta, segala
pelatihan yang ditujukan kepada aparata negara harus memasukan ini sebagai bagian dari
materinya. 2

Perbedaan Sistem Civil law (Eropa Kontinental) dan Common law (Aglon Saxon)

Civil Law
Civil law adalah sistem hukum yang banyak dianut oleh negara negara eropa
continental yang didasarkan pada hukum romawi. Disebut demikian karena hukum romawi
pada mulanya bersumber pada karya agung kaisar Iustianus Corpus Iuris Civilis. Karena
banyak dianut negara eropa continental, civil law sering dinamakan sistem continental.3
Sistem civil law memiliki 3 karakteristik, yaitu: 3
a. Adanya kodifikasi.
b. Hakim tidak terikat pada presiden sehingga undang undang menjadi sumber hukum
yang terutama.

10
c. Sistem peradilan bersifat inkuisitorial, maksudnya bahwa sistem itu. Hakim mempunyai
peranan yang besar dalam mengarhkan dan memutuskan perkara, hakim aktif dalam
menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti, hakim dalam civil law berusaha
mendapatkan gambran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal.
Bentuk sumber sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum ini beruapa
peraturan perundang undangan, kebiasaan kebiasaan, dan yurisprudensi, yang dimaksud
yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu
perkara yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang
lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.
Negara negara penganut sistem hukum ini menempatkan konstitusi tertulis pada
urutan tertinggi dalam hiarki peraturan perundang undangan yang kemudian diakui dengan
undang undang dan beberapa peraturan dibawahnya. Di negara yang menganut sistem ini
juga, kebiasaan kebiasaan dijadikan sebagai sumber hukum yang kedua untuk memecahkan
berbagia persoalan. Pada kenyataanya undang undang tidak pernah lengkap. Kehidupan
masyarakat begitu kompleks sehingga undang undang tidak mungkin dapat menjangkau
semau aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini dibutuhkan hukum kebiasaan. Patut
dicermati, yang menjadi sumber hukum bukanlh kebiasaan melainkan hukum kebiasaan,
kebiasaan tidaklah mengikat. Agar kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan diperlukan 2
hal. Yaitu: 3
a. Tindakan itu dilakukan secara berulang ulang.
b. Adanya unsur psikologis mengenai pengakuan bahwa apa yang dilakukan secar terus
menerus dan berulang ulang itu adalah aturan huku. Unsur psikologis itu dalam Bahasa
latin disebut opinion necessitates, yang berarti pendapt mengenai keharusan bahwa orang
bertindak sesuasi dengan norma yang berlaku akibat adanya kewajiban hukum.
Dalam civil law, yurispudensi bukanlah sumber utama, hal ini didasari padangan
bahwa yurispudensi atau putusan putusan hakim pengadialn sifatnya konkret dan hanya
mengikat pihak pihak yang bersengketa saja. Bukankh aturan hukum harus bersifat umum
dan abstrak, dapatkah putusan hakim pengadilan yang bersifat konkret dan hanya hanya
mengikat pada pihak yang dijadikan sumber hukum. Selaim itu, di negara - negara civil law.
Yurisprudensi rawan utnuk di modifikasi dan dianulir setiap saat, yurisprudeensi juga
bukanlah sebuah hal yang mengikat. Ketika ada putusan hakim sebelumnya yang dipakai

11
utnuk memnutuskan sebuah kasus di kemudian hari maka hal itu bukanlah karena putusan
hakim yang sebelumnya mempunyai kekuatan mengikat melainkan kareana hakim yang
kemudian menganggap bahwa putusan sebelumnya itu dianggap tepat dan layak utnuk
diteladani. Namun demikian, yurisprudensi mempunyai peranan penting dalam
pengembangan hukum dan hal semacam itu tidak dapat dibantah oleh negara negara
penganut sistem ini. 3
Maka demikian, walaupun bukan menjadi sumber hukum yang utama, melalu
yurisprudensi. Hakim juga mempuyai tugas untuk membuat hukum, hal itu dalam praktik
penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala terminology yang digunaka undang
undang tidak mengatur masalah yang dihdapai atau undang undag yang ada bertentangan
dengan situasi yang dihadapai. Oleh karena itulah hakim dalam hal ini melakukan
pembentukan hukum, analogi, penghalusan atau penafsiran., kegiatan kegiatan semacam itu
dalam sistem hukum continental disebut sebagai penemuan hukum.

Common Law
Common lawa adalh sistem hukum yang dianut oleh suku suku anglika dan saksa
yang mendiami sebagian besar inggris sehingga disebut juga sistem anglo saxon. Negara
negara bekas jajahan Inggris menganut sistem common law, sistem common law sangat
berkembang di inggris terutama melalui pengadilan kerajaan yang dibentuk semasa raja
William dan penggatinya yang berkuasa. Di wilayah jajahan Inggris, pengadilan kerajaan
sangat kuar=t yang membawahi pengadilan pengadilan loka dan hanya sedikit yang
menangani masalah masalah kaum ningrat sednagkan di lain pihak pengadilan rakyat yang
lama tidak lagi digunaka. Hukum yang dikembangkan oleh pengadilan kerajaan secara cepat
menjadi suatu hukum yang umum(common) bagi semua orang. Itulah sebabnya sistem
hukum di inggris disebut sistem common law.
Pada sistem ini biasanya tidak mengenal suatu konstitusi tertulis, praktik
ketatanegaraan yang dijalankan berdasarkan kebiasaan kebiasaan (convetion). Sistem ini
mempuyai 3 karakteristik, yaitu: 3
a. Yuriprudensi dipandang sebagi sumber hukum yang terutama.

12
b. Dianutnya dokrin stare decisis(asas preseden) bahwa hakim tterikat untuk menerapkan
putusan pengadilan terdaulu baik yang ia buatu sendiri atau oleh pendeahulunya untuk
kasus serupa.
c. Adanya adversary system dalam proses peradilan, adversary system adlaah pandangan
bahwa didalam pemeriksaan peradilan selalu ada dua pihak yang saling bertentangan baik
perkara perdata atau pidana.
Yurisprudensi sebagai hukum yang terutama karena 2 hal, yaitu alasan psikologis dan
alasan praktis. Alasan psikologis maksudnya setiap orang yang ditugasi utnuk menyelesaikan
perkara, ia cenderung sedapat dpatnya mencari alasan pembenar atau putusan putusanya
merujuk kepada putusan yang telah ada sebelumnya daripada memilku tanggunga jawab atas
putusan yang dibuatanya sendiri, sedangkan alasan praktisnya adalah diharapkan adanya
putusan yang seragam karean sering dikumkakakn bahwa hukum harus mempunyai
kebiasaan dari pada menonjolkan keadailan pada setiap kasus. 3
Dengan menerapkan dokrin stare decisis maka otoritas pengadilan bersifat hierarkis,
yaitu npengadilan yang lebih rendah harus mengikuti pengadilan yang lebih tinggi untuk
kasus serupa. Preseden yang dimaksud disini bukanlah putusanya semata, tidak semua apa
yang dikatakan oleh hakim dalam menjatuhkan keputusa dapat menciptakn preseden, yang
berlaku sebgai preseden adalah pertimbangan pertimbgangan hukum yang relevan dengan
fakta yang dihadapkan kepadanya. Pertimbagan pertimbagan hukum dijadikan dasar
putusan tersebut dalam ilmu hukum disebut ratio decidendi, ratio decidendi inilah yang harus
diikuti oleh pengadilan berikutnya untuk perkara serupa, akana tetapi. Perlu juga dikemukana
bahwa dalam menjatuhkan suatu putusan hakim tidak hanya mengemukan pertimbangan
pertimbgan hukum melainkan juga pertimbangan pertimbagan lain yang tidak mempunyai
relevansi dan fakta yang dihadapi(obiter dicta). Akan tetapi dalam hal perkembangan saat ini,
dimukinkanterjadinya distinguish(tidak menggunakan sebagai pedoaman untuk memutuskan
kasus kasus serupa), hal ini terjadi karena adanya perubahan filosofi atas reasoning yang
melandasi putusan tersebut. 3
Berberda dengan sistem civil law, dalam sistem ini pengadilan menganut sistem
adversary. Sistem inkuisitorial seperti civil law sebenarnya juga ada, akan tetapi sistem
adversary leboh diutamakan. Dalam sistem ini kedua belah pihak yang bersengketa masing
masing menggunaka lawyernya berhdapan di depan seorang hakim. Masing masing pihak

13
menyusun strategi sedemikian ruapa dan mengemukaka sebanyak banyaknya alat bukti di
depan pengadilan. Hakim hany aduduk di kuris hakim layaknya seorang wasit sepakbola
yang hanya aturan main yang sekali kali juga memberikan kartu kuning atau kartu merah
bagi pihak yang tidak menjunjung tinggi aturan main. Apabila diperlukan juri hakim tidak
memberikan putusan mana yang menang dan mana yang kalah atau tertuduh bersalah atau
tidak bersalah, hakim memberi perintah kepada juri utnuk mengambil kepututsandan jurilah
yang mengambil keputusan. Putusan itu harus diterima oleh hakim terlepas ia setuju atau
tidak setuju terhadap putusan itu. Adversary sytem ini lebih banyak dijumpai di amerika
serikat. 3

Aspek Hukum

UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran4


o Pasal 3

Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:

1. Memberikan perlindungan kepada pasien.


2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi; dan
3. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

o Pasal 35
1. Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki,
yang terdiri atas
a. Mewancarai pasien;
b. Memeriksa fisik dan mental pasien;
c. Menentukan pemeriksaan penunjang;
d. Menegakan diagonosis;
e. Menetukan penalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. Melakukan tindakan kedokteran dan kedokteran gigi;
g. Menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. Menerbitkan surat keterangan dokter dan dokter gigi;
i. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil
yang tidak ada apotek

14
2. Selain kewenangan sebagiamna dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainya diatur dengan
peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
o Peraturn Konsil Kedokteran Indonesia no 4 tahun 2011 tentang disiplin professional dokter
dan dokter gigi di Indonesia4
1. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya,
tanpa alasan peme=benar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
2. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau
teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
3. Turut serta dalm perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan(torture) atau eksekusi
hukuman mati.
4. Ketidakjujuran dalam menentukan jsa medik.4
o Deklarasi Universal HAM resolusi 217 A(III) Oleh Majelis Umum PBB5
a. Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam
Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau
kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari
negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang
berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
b. Pasal 3
Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu.
c. Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di
mana saja ia berada.
d. Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang
sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap
bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan
yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.
e. Pasal 8
Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang
kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan
kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.
f. Pasal 10

15
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan
terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan
kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.
g. Pasal 11
1. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap
tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu
pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan
untuk pembelaannya.

2. Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan
atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang
nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak
diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari.4

Peran Dokter Dalam Kepolisian

Kedokteran Kepolisian atau lebih dikenal sebagai DOKPOL adalah penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk kepentingan tugas kepolisian. Banyak yang
mengira bahwa DOKPOL identik dengan Kedokteran Forensik, namun sebenarnya berbeda, oleh
karena Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang diterapkan di dalam
DOKPOL, sehingga Kedokteran Forensik merupakan bagian dari penerapan DOKPOL. Ilmu-
ilmu lain yang juga merupakan bagian terapan dari DOKPOL selain Kedokteran Forensik adalah
Forensik Klinik, Psikiatri Forensik, Kedokteran Gigi Forensik, Biomolekuler Forensik,
Medikolegal, Toksikologi Kedokteran Forensik, Kedokteran Gawat Darurat, Kesehatan
Lapangan, Kedokteran Lalu Lintas dan sebagainya.5

Adapun dasar hukum bahwa DOKPOL berperan dalam tugas kepolisian adalah tercantum
dalam Bab III Pasal 14 ayat 1 butir (h) UU No. 2 tahun 2002 yang berbunyi menyelenggarakan
identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian
untuk kepentingan tugas kepolisian. Disini berarti mengungkapkan bahwa DOKPOL
merupakan salah satu pengemban tugas atau fungsi teknis kepolisian harus dapat berperan dalam
penyelenggaraan tugas-tugas pokok Kepolisian sebagaimana yang diamanatkan pada UU No.2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut.6

16
Dampak Hukum Dari Keputusan Dokter
Dalam pasal 51 KUHP berisikan Tidak boleh diihukum barang siapa melakukan perbuatan
atau menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh pembesar yang berhak untuk itu. Pasa
ini terutama penting bagi seorang dokter yang mempunyai jabatan rangkap seperti dokter
TNI/Polri yang juga menjabat sebagai anggota majelis penguji kesehatan.

Sedangkan isi dari pasal 51 KUHP adalah5

a. Siapapun tak terpidana jika melakukan peristiwa untuk menjalnkan sesuatu perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang untuk itu.
b. Perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak membebaskan dari
keadaan terpidana, kecuali dengan ititkat baik pegaawai dibawahnya itu menyangka
bahwa penguasa itu berwenang untuk memberi perintah itu dan perintah menjalankan
terletak dalam lingkunga kewajiban pegawai yang diperintahkan.

Selaku seorang dokter, seorang dokter angktana bersenjata wajib menyimpan rahasia jabatan
dokter, namun di lain pihak sebagai seorang anggota TNI/Polri ia harus tunduk pada disiplin
TNI/Polri dan taat perintah atasanya. Apabila terjadi konflik tentang wajib simpan rahasia
jabatan, maka seorang dokter harus memilih antara dua jalan berikut:

a. Menjunjung tinggi rahasia jabaatan sebagai dokter tetapi tidak taat pada peritah militer;
atau
b. Taat kepada perintah militer tetapi melepaskan rahasia jabatan sebagai dokter.

Dalam hal yang demikian, yang dapat dijadikan pegangan ialah perhitungan dan
pertimbangan yang matang untuk menentukan apa yang harus diutamakan.

Berdasarkan pasal 19 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen, kerugian yang diderita pasien


akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dapat dituntut berupa sejumlah ganti rugi. Jika
dihubungkan dengan proses produksi di dunia usaha maka hubungan antara dokter dengan pasien
merupakan hubungan antara produsen dengan konsumen. Mengingat sifat khas dalam perjanjian
terapeutik yaitu bergerak dalam bidang pemberian jasa pelayanan kesehatan yang tidak pasti
hasilnya maka sebagai konsumen penerima jasa pelayanan kesehatan, pasien berhak untuk

17
menuntut dokter aras kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan yang dilakukan oleh dokter
berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. 85 84 Ibid 85 Ibid .,hal. 72. Ganti kerugian yang dapat
diminta oleh pasien menurut Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Dari aspek hukum ketentuan pasal 19 ayat 2 UU
Perlindungan Konsumen, sanksi berupa ganti kerugian merupakan sanksi di bidang hukum
perdata. Dengan demikian, jika diselesaikan menurut jalur hukum, maka mmekanisme
penyelesaiannya juga menurut hukum perdata.

Pemberian sejumlah ganti rugi akibat kesalahan dalam pelayanan kesehatan seperti
ditentukan dalam pasal 19 ayat 4 UU Perlindungan Konsumen, tidak secara langsung dapat
menghilangkan sifat dapat dituntutnya menurut hukum pidana terhadap dokter sebagai pelaku
usaha jasa. Dengan demikian, meskipun sejumlah ganti rugi yang dituntut oleh pasien telah
dipenuhi oleh dokter, tetapi dokter tetap dapat dituntut secara pidana.

Selengkapnya pasal 19 ayat 4 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pemberian


ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.86 Pasal
88 UU Praktik Kedokteran yang disahkan pada tanggal 6 Oktober 2004 menyatakan mulai
berlaku satu tahun setelah diundangkan. Sementara itu Meskipun demikian, dokter tidak dapat
dituntut untuk memberikan ganti rugi apabila dokter dapat membuktikan bahwa kerugian yang
diderta pasien bukan karena kesalahannya, melainkan karena kesalahan pasien. Hal ini diatur
dalam pasal 19 ayat 5 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. 7,8

Pada undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran tentang pelanggaran
disiplin kedokteran, berisikan.

1. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:


a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat ijin praktik; dan atau

18
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi.

Solusi

Tugas dan kewajiban dokter adalah melakukan pelayanan kedokteran yang baik dan
bertanggungjawab. Secara moral dokter diminta berpegang pada kaidah dasar moral:
beneficence, non maleficence, autonomy, justice. Pelaksanaan penilaian kesehatan tersangka dan
pemantauan jalannya pemeriksaan secara jelas bukanlah tugas etik dan hokum seorang dokter,
melainkan tugas seorang aparat Negara dalam menciptakan keamanan bagi seluruh warganya.

Konvensi internasional tentang penghapusan penganiayaan, deklarasi umum hak asasi


manusia dan undang-udang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia tidak mengijinkan
adanya penyiksaan dan kegiatan lain yang membantu penyiksaan. Di sisi lain, harus diingat
nyawa orang banyak ada di tangan para aparat dan sang dokter untuk memperoleh informasi
guna memnentukan lokasi dan menjinakan bom. Secara hukum perintah atasan, bukan
merupakan aturan yang lebih tinggi dari undang-undang di atas, perintah yang bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi dapat di abaikan.

Kesimpulan

Dalam sistem militer, sebagai seorang dokter apabila mengambil bagian dalam hal
tersebut maka akan membuat dokter itu sendiri akan terikat dengan aturan berlaku di sistem itu.
Sedangkan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan tindakan militer, seperti
penilaian kesehatan tersangka dan pemantauan jalannya pemeriksaan secara jelas bukanlah tugas
etik dan hokum seorang dokter, melainkan tugas seorang aparat Negara dalam menciptakan
keamanan bagi seluruh warganya. Dokter diharuskan untuk berpikir secara spesifik dan kritis
karena disini dia akan dituntut untuk mementingkan tugasnya sebagai seorang dokter yang
menanamkan kode profesinya dibawah status militernya ataupun sebaliknya.

19
Daftar Pustaka

1. Ginting B. Perbandingan sistem hukum sebagai alternatif metode pembahuruan hukum di


Indonesia. Edisi Februari 2005. Diunduh dari
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15226/1/equ-feb2005-6.pdf. 11 Januari 2016.
2. Iskandar A. Hukum ham internasional: sebuah pengantar konktekstual. Cianjur: IMR
Press; 2012.p.510-12.
3. Editorial. Bahan kuliah sistem hukum Indonesia dan sistem hukum di dunia. Edisi
Februari 2009. Diunduh dari http://mahendraputra.net/wp-
content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-SISTEM-HUKUM-INDONESIA-2.pdf. 11
Januari 2016.
4. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta:
FK UI;2014.p.66-7.99-101.
5. Editorial. Deklarasi universal hak hak asasi manusia. Edisi Desember 1948. Majelis
umum PBB. Diunduh dari www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf.
12 Januari 2016.
6. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007. p. 8-12,30-32,53-
5,62-7,77-9.
7. Williams JR. Medical ethics manual. Yogyakarta:FK Muhammadiyah; 2006. Di unduh
dari
http://www.wma.net/en/30publications/30ethicsmanual/pdf/ethics_manual_indonesian.pd
f. 11 Januari 2016.
8. Editorial. Kode etik kedokteran Indonesia dan pedoman pelaksanaan kode etik
kedokteran Indonesia. Diunduh dari luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/Kode-Etik-
Kedokteran.pdf. 12 Januari 2016.

20
21

Anda mungkin juga menyukai