Anda di halaman 1dari 9

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Keterkaitan Penanganan Permukiman Kumuh dan Tingkat


Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi
(1) (2)
Fany Nur Alqowy W , Harkunti P. Rahayu
(1)
Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.
(2)
Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.

Abstrak

Salah satu bahaya yang dapat mengancam Kota Bandung yang memiliki permukiman kumuh adalah
gempa bumi. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pengurangan risiko salah satunya melalui
kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan akan berbeda menurut populasi dengan perbedaan karakteristik dan
budaya. Permukiman kumuh memiliki karakteristik yang unik dan membutuhkan penanganan
sehingga penelitian yang meninjau kesiapsiagaan masyarakat permukiman kumuh dengan
karakteristik yang dimilikinya serta keterkaitannya dengan alternatif penanganan dalam menghadapi
bencana gempa bumi perlu dilakukan. Kelurahan Kebon Jayanti merupakan salah satu kelurahan
yang teridentifikasi sebagai kawasan permukiman kumuh, termasuk dalam zona III dengan potensi
intensitas gempa 8.25 MMI dan kerusakan bangunan 80%. Studi ini menilai 100 responden di
wilayah studi berkaitan dengan kesiasiagaan dan keterkaitannya dengan karakteristik permukiman
kumuh. Berdasarkan uji korelasi didapatkan hasil bahwa karakteristik non-fisik merupakan
karakteristik yang paling berpengaruh dalam kesiapsiagaan. Artikel ini merekomendasikan bentuk
penanganan permukiman kumuh dengan meninjau keterkaitan karakteristik permukiman kumuh
dengan kesiapsiagaan.

Kata-kunci : gempa bumi, kesiapsiagaan, penanganan permukiman kumuh

Pendahuluan merespon secara cepat dan benar terhadap


situasi bencana (Carter, 1991; UNISDR, 2009)
Kota Bandung merupakan kota urutan ke-14
dari 20 kota dunia yang berisiko tinggi terhadap Untuk mengetahui keterkaitan antara
bencana gempa bumi (GHI, 2001). Terdapat kesiapsiagaan permukiman kumuh maka perlu
empat faktor utama yang mempengaruhi risiko diketahui definisi dan karakteristik permukiman
gempa bumi di Kota Bandung menurut IUDMP kumuh terlebih dahulu. UU No.1 Tahun 2011
(2000) yaitu: 1. Terletak di sistem sesar utama tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
menerangkan bahwa permukiman kumuh
Jawa Barat; 2. Tanah bekas danau purba; 3.
merupakan permukiman yang tidak layak huni
Pertumbuhan dan kepadatan; dan 4. Kurangnya karena ketidakteraturan bangunan, tingkat
kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan merupakan kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas
aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan bangunan serta sarana dan prasarana yang
kemampuan dalam merespon secara cepat tidak memenuhi syarat. Permukiman kumuh
terhadap akibat yang ditimbulkan suatu kejadian muncul akibat ketidakmampuan untuk
bencana (Schwab et al., 2007; Tierney et al., memenuhi kebutuhan dalam bidang perumahan.
2001) atau langkah-langkah yang Selain itu adanya keterbatasan lahan serta gap
memungkinkan pemerintah, organisasi, antara permintaan dan ketersediaan perumahan
masyarakat dan individu-individu untuk dapat secara legal turut serta berpengaruh dalam
terbentuknya permukiman kumuh (Permana,

Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3| 681


Keterkaitan Penanganan Permukiman Kumuh dan Tingkat Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi

2012; Chaucan,1996 dalam Sheth, Velaga dan 2. Aspek non-fisik


Price, 2009; Erick, 2010). Aspek ini terdiri dari tingkat pendapatan,
Masing-masing Negara memiliki tipologi serta tingkat pendidikan, status kepemilikan
karakteristik permukiman kumuh yang beragam rumah, legalitas tanah serta karakteristik
berdasarkan persepsi lokal, deskripsi dan definisi non-fisik lain yang umumnya berhubungan
dari permukiman kumuh (Lemma, 2005). dengan kesiapsiagaan yaitu jenis kelamin
Menurut UN-HABITAT (2006) permukiman dan umur.
kumuh memiliki karakteristik yang mencakup Studi mengenai kebencanaan di permukiman
akses terhadap air dan sanitasi, kualitas strukutr kumuh dalam menghadapi bencana gempa bumi
bangunan, kepadatan dalam satu hunian dan serta keterkaitannya dengan bentuk
keamanan dalam bermukim. Adapun menurut penanganan permukiman kumuh masih belum
Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman banyak dilakukan. Oleh karena itu, studi ini
Kumuh Daerah Penyangga Kota Metropolitan fokus pada kesiapsiagaan dan keterkaitannya
oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya-Kementrian dengan karakteristik permukiman kumuh serta
Pekerjaan Umum Tahun 2006 yang bentuk penanganannya. Lokasi studi yang dipilih
membedakan karakteristik permukiman kumuh adalah Kelurahan Kebon Jayanti di Kecamatan
berdasarkan vitalitas ekonomi dan non-ekonomi, Kiara Condong yang teridentifikasi sebagai
status kepemilikan tanah, kondisi prasarana- kawasan permukiman kumuh menurut SK
sarana, komitmen pemerintah Kabupaten/Kota Walikota Nomor 648/Kep.286-DisTaRCip/2015
dan prioritas penanganan. Sedangkan menurut tentang Penetapan Lokasi Lingkungan
Erick (2010) karakteristik penghuni permukiman Perumahan dan Permukiman kumuh di Kota
kumuh berkaitan dengan pendapatan, pekerjaan Bandung dan termasuk dalam zona III dengan
dan tingkat pendidikan; karakteristik hunian potensi intensitas gempa sebesar 8.25 MMI dan
seperti jenis konstruksi bangunan, luas kerusakan bangunan sebesar 80% (RADIUS,
bangunan dan jarak antar bangunan; serta 1999). Untuk itu terdapat pertanyaan dalam
karakteristik spasial yaitu jarak ke tempat penelitian ini adalah Bagaimana keterkaitan
bekerja, status dan kepemilikan lahan. antara kesiapsiagaan dan karakteristik
Kesiapsiagaan akan berbeda menurut jenis masyarakat permukiman kumuh serta bentuk
bencana dan lokasi terutama pada populasi penanganannya dalam menghadapi bencana
dengan perbedaan karakteristik dan budaya gempa bumi?
(Basolo et al., 2008). Beberapa penelitian
menemukan hubungan antara keberagaman Gambaran Wilayah Studi
karakteristik sosiodemografi dengan tindakan
kesiapsiagaan yang mencakup di dalamnya Kelurahan Kebon Jayanti memiliki luas wilayah
antara lain jenis kelamin, umur, tingkat 27.5 Ha dengan jumlah penduduk pada bulan
pendidikan, tingkat pendapatan, kepemilikan Januari 2015 sebanyak 13.949 jiwa dan
rumah dan lainnya (Basolo et al., 2008; kepadatan 508 jiwa/Ha. Terdiri dari 14 RW dan
Forthergill, 1996; Kirschenbaum, 2006; Phillips, 89 RT merupakan kelurahan terpadat di
1993; Takao, 2003; Tornio et al., 2014). Adanya
Kecamatan Kiara Condong. Menurut SK Walikota
keberagaman karakatersitik tersebut menjadikan
tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi tentang Penetapan Lokasi Lingkungan
bencana untuk satu individu atau lokasi dengan Perumahan dan Permukiman kumuh di Kota
karakteristik tertentu akan berbeda dengan yang Bandung, RW 1 hingga RW 12 merupakan
lainnya. Berdasarkan hasil studi tersebut maka kawasan permukiman kumuh. Namun dalam
dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa studi ini RW 10 tidak disertakan sebagai sampel
karakteristik masyarakat permukiman kumuh karena hasil observasi menunjukkan
yang berkaitan dengan kesiapsiagaan. permukiman yang tidak kumuh. Selain itu alasan
Karakteristik tersebut terbagi dalam dua aspek pemilihan wilayah studi berdasarkan potensi
yaitu aspek fisik dan non-fisik antara lain risiko akibat gempa, dominasi RW kumuh
sebagai berikut:
terbanyak , aksesbilitas tinggi, lokasi yang
1. Aspek fisik
Untuk aspek fisik yang berkaitan dengan strategis dan kepemilikan lahan yang beragam
kesiapsiagaan adalah bangunan berdasarkan yaitu milik warga, PT. KAI dan KODAM.
jenis konstruksinya

682 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3


Fany Nur Alqowy W 1
dan kapasitas. Setiap parameter terdiri dari
beberapa indikator yang dikelompokkan ke
dalam bentuk variabel. Tabel 1 menunjukkan
parameter, variabel dan indikator yang
digunakan dalam penilaian kesiapsiagaan hasil
studi literatur.

Merode Analisis Data

Metode penelitian yang digunakan adalah


deskriptif kuantitatif dan kualitatif, analisis
skoring untuk menilai kesiapsiagaan dan analisis
Gambar 1. Peta Wilayah Studi Kelurahan Kebon korelasi untuk mengidentifikasi hubungan antara
Jayanti karakteristik permukiman kumuh dengan
kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan masyarakat
Metode Penelitian dihitung dengan cara skoring yaitu setiap
jawaban benar atau ya diberikan skor 1 dan
Metode pengumpulan data
jawaban tidak atau tidak tahu diberikan skor 0.
Setiap indikator pada variabel yang sama
Untuk mendapatkan gambaran mengenai
kemudian jumlahkan untuk mendapatkan skor
karakteristik permukiman kumuh baik secara
variabel dan dihitung performanya. Hasil
fisik dan non-fisik serta kesiapsiagaan dilakukan
perhitungan performa variabel selanjutnya
penyebaran kuesioner, dengan penentuan
digunakan untuk menghitung performa setiap
jumlah sampel menggunakan Rumus Slovin
parameter, untuk kemudia dihitung performa
dengan tingkat kepercayaan 90% dan
kesiapsiagaan secara keseluruhan. Nilai batas
didapatkan 100 sample sebagai perwakilan
minimal untuk tergolong siap dalam menghadapi
setiap rumah untuk masing-masing RW dari
bencana gempa adalah 55% yang diambil dari
jumlah populasi 2.233 KK. Proporsi kuesioner
untuk setiap RW dibedakan menurut kepadatan majority rule (Hastie & Kameda, 2005;
penduduknya. Kuesioner memuat data Najmilah, 2014). Hasil perhitungan dari
karakteristik fisik dan non-fisik, selain itu kuesioner selanjutnya akan diuji normalitasnya
diidentifikasi pula kesiapsiagaan dari ketiga menggunakan SPSS 18 begitupun dengan data
parameter yang digunakan untuk menilai karakteristik permukiman kumuh. Hasil uji
kesiapsiagaan. Konten karakteristik masyarakat normalitas menyatakan bahwa sebagian besar
permukiman kumuh mengacu pada Dirjen Cipta data tdak terdistribusi normal sehingga teknik
Karya (2006), UN-HABITAT (2006), dan Erick korelasi yang digunakan adalah Analisis korelasi
(2010) serta dilengkapi wawancara dengan Spearman sebagai alternatif pengganti teknik
aktor kunci. Selain itu juga dilengkapi dengan korelasi Pearson jika syarat uji Pearson tidak
observasi langsung untuk melihat kondisi terpenuhi (Nisfiannoor, 2009; Santoso, 2008).
lingkungan dan bangunan fisik hunian Ketentuan yang digunakan untuk menentukan
responden. Sedangkan perangkat untuk menilai ada tidaknya hubungan antara lain yaitu:
kesiapsiagaan mengacu pada literatur yang H0: Tidak ada hubungan antara kedua
bersumber dari Basolo et al (2008), Edwards variabel
H1: Ada hubungan antara kedua variabel
(1993), FEMA (2004), LIPI-UNESCO ISDR
Sig.(p) > 0.05 atau Sig 2-tailed > 0.025
(2006), Kelley (2010), Kirschenbaum (2002),
maka Ho diterima
Paton dan Johston (2008), Schwab et al (2008), Sig.(p) < 0.05 atau Sig 2-tailed < 0.025
Sendai Framework of Action (2015) dan maka Ho ditolak
Quarantelli (1982). Berdasarkan hasil studi Sedangkan untuk mengetahui tingkat kekuatan
literatur, untuk perangkat penilaian hubungan antara kedua variabel digunakan
kesiapsiagaan dibagi kedalam tiga parameter ketentuan pada tabel 2 menurut Sugiyono dan
yaitu parameter pengetahuan, rencana evakuasi Wibowo (2002).
Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3 | 683
Keterkaitan Penanganan Permukiman Kumuh dan Tingkat Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi

Tabel 1. Parameter dan Variabel Penilaian Kesiapsiagaan Masyarakat

Parameter Variabel Indikator Sumber


Pengetahuan Pemahaman 1. Menyebutkan pengertian mengenai bencana alam (K1) Edwards (1993)
/ Knowledge tentang 2. Mengetahui penyebab gempa (K2) FEMA (1995,2004)
(K) bencana alam 3. Mengetahui dampak fisik bencana gempa (K3) Paton et al (2006)
(Ka) 4. Mengetahui dampak non-fisik bencana gempa (K4) Kelley (2010)
5. Kepercayaan untuk dapat mengatasi bencana gempa LIPI
(locus of control) (K5) UNESCO/ISDR
6. Pengalaman kejadian gempa masa lalu (K6) (2006)
Sendai Framework
Pemahaman 7. Pemahaman mengenai kerentanan Kota Bandung
(2015)
tentang terhadap gempa (K7)
kerentanan 8. Pemahaman mengenai kondisi lingkungan sekitar dalam
lingkungan menghadapi gempa (K8)
dan bangunan 9. Mengetahui ketahanan bangunan tempat tinggal
fisik (Kb) terhadap gempa (K9)
Rencana Tindakan 10. Mengetahui tindakan penyelamatan saat terjadi gempa Basolo et al (2008)
Evakuasi / respon (EPa) (EP1) FEMA (2004)
Evacuation 11. Akses terhadap materi kesiapsiagaan bencana melalui LIPI
Planning (EP) beragam jenis media dan sumber lainnya (EP2) UNESCO/ISDR
(2006)
Schwab et al (2007)
Sendai Framework
(2015)
Ketersediaan 12. Tersedianya ruang terbuka terdekat sebagai lokasi Kirschenbaum
Lokasi evakuasi (EP3) (2002)
Evakuasi 13. Adanya kerabat/keluarga/teman yang menyediakan LIPI
(EPb) tempat pengungsian sementara dalam keadaan darurat UNESCO/ISDR
(EP4) (2006)
14. Kemudahan mencapai lokasi evakuasi keluarga (EP5) Quarantelli (1982)
Family 15. Mengetahui pihak berwenang dalam kondisi tanggap FEMA (2004)
Survival Kit darurat (EP6) Kirschenbaum
(EPc) 16. Mengetahui atau menyimpan nomor fasilitas penting (2002)
(nomor telpon rumah sakit, pemadam kebakaran, polisi, LIPI
PAM, PLN, atau Telkom) (EP7) UNESCO/ISDR
17. Tersedianya obat-obatan penting untuk pertolongan (2006)
pertama keluarga (EP8)
18. Tersedinya alat/akses komunikasi dan informasi
alternatif keluarga (EP9)
19. Tersedianya alat penerangan alternatif untuk keluarga
pada saat darurat (EP10)
20. Adanya penyiapan dokumen pribadi (EP11)
21. Kemudahan menjangkau dokumen pribadi saat keadaan
darurat (EP12)
Kapasitas / Sumber daya 22. Adanya anggota keluarga yang mengikuti latihan dan FEMA (2004)
Capacity (C) manusia (Ca) keterampilan evakuasi (C1) LIPI
23. Adanya anggota keluarga yang mengikuti pelatihan UNESCO/ISDR
pertolongan pertama atau P3K (C2) (2006)
Jaringan sosial 24. Keterlibatan secara aktif dalam kelompok masyarakat Paton et al (2006)
(Cb) yang ada (C3) Schwab et al (2007)
25. Keikutsertaan pada kegiatan yang diadakan rutin di Kirschenbaum
lingkungan sekitar (C4) (2002)
26. Saling mengenal dengan tetangga yang tinggal di
lingkungan sekitar (C5)
Sikap dalam 27. Adanya keinginan untuk berpartisipasi dalam latihan dan Paton et al (2006)
kesiapsiagaan simulasi evakuasi bencana gempa jika diadakan (C6) Sendai Framework
(Cc) 28. Pemahaman akan kebutuhan untuk membentuk (2015)
kelompok tanggap darurat (C7)

684 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3


Fany Nur Alqowy W 1
KK dalam satu hunian 76% dan 25% responden
Interval Tingkat Hubungan
Koefisien memilki jumlah penghuni rumah sebanyak 4
0.00 0.199 Sangat Rendah (SR) orang dan 22% sebanyak 5 orang. Apabila
0.20 0.399 Rendah (R) ditinjau dari status bangunan hunian sebanyak
0.40 0.599 Sedang (S) 77% rumah pribadi dengan status tanah milik
0.60 0.799 Kuat (K) sebanyak 55%, sewa 24%, PT. KAI 11% dan
0.80 1.00 Sangat Kuat (SK) KODAM 7%. Sedangkan bukti kepemilikan
Tabel 2. Nilai Koefisien Korelasi Penentu lahan dengan sertifikat hak milik terdapat 55%
dan Tidak ada sama sekali 39%, sisanya adalah
Tingkat Hubungan
akte jual beli.
Diskusi
Penilaian Performa Kesiapsiagaan
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai hasil
Hasil analisis skoring pada kuesioner dilakukan
kuesioner yang terdiri dari karakteristik
dengan cara memberi skor pada setiap indikator.
responden secara fisik dan non-fisik di 11 RW
Hasil skoring pada indikator selanjutnya
yang menjadi wiayah studi. Selain itu akan
dijumlahkan menurut kelompok variabelnya
dijelaskan juga mengenai kesiapsiagaan dan
untuk kemudian dihitung performa masing-
keterkaitannya dengan karakteristik permukiman
masing variabel. Hasil perhitungan performa
kumuh.
variabel kemudian digunakan untuk
Karakteristik Responden mendapatkan nilai performa setiap parameter
kesiapsiagaan dan performa kesiapsiagaan
Karakteristik responden dibedakan berdasarkan secara keseluruhan. Tabel 3 menunjukkan nilai
fisik dan non-fisik. Secara fisik jenis bangunan performa variabel, parameter dan kesiapsiagaan.
berdasarkan konstruksinya 76% merupakan
rumah permanen, 22% semi permanen dan 4% Parameter Performa Variabel Performa
non-permanen. Umur bangunan beragam Ka 41.43%
K 50.21%
dengan dominasi berumur kurang dari 30 tahun Kb 59%
sebanyak 52%. Luas bangunan rata-rata adalah EPa 46.36%
16-45 m2 61% dan kurang dari 15 m2 13% EP 48.05% Epb 42.33%
dengan jarak antar bangunan 95% kurang dari EPc 55.45%
1.5 m dan lebar jalan 0.5-1 m sebanyak 66%. Ca 10.5%
C 47.7% Cb 54.67%
Untuk karakteristik responden secara non-fisik Cc 78%
sebanyak 67% responden adalah wanita, 85% Kesiapsiagaan 48.65%
usia reponden merupakan usia kerja antara 17- Tabel 3. Penilaian performa kesiapsiagaan
60 tahun, 64% berasal dari Kota Bandung dan
40% merupakan lulusan SMA, meskipun ada 7% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat
diantaranya yang berpendidikan miniminal D1 disimpulkan bahwa masyarakat permukiman
hingga S2. Sedangkan dari tingkat pendapatan kumuh di Kelurahan Kebon Jayanti tidak siap
keluarga per bulan 71% mberpendapatn di dalam menghadapi bencana gempa bumi. Nilai
bawah UMR Kota Bandung tahun 2015 yaitu Rp performa kesiapsiagaan secara keseluruhan dan
2.310.000 dengan 49% memiliki pengeluaran setiap parameter tidak mencapai batas minimal
keluarga per bulan sebesar 1-2 juta. Sebanyak 55%. Sedangkan variabel yang sudah baik
53% dari kepala keluarga responden bekerja di antara lain variabel family survival kit (EPc) dan
sektor informal, 34% responden memiliki 1 sikap dalam kesiapsiagaan (Cc). Variabel lain
anggota lain yang bekerja selain kepala keluarga yang tidak mencapai batas minimal terutama
dengan jarak ke tempat bekerja 44% berjarak variabel sumber daya manusia (Ca) yang
lebih dari 10 Km. 40% dari responden merupakan variabel dengan nilai performa
merupakan penerima bantuan dengan jumlah terendah perlu diintervensi dengan tepat.
anggota keluarga 3-5 orang 64%, terdiri dari 1
Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3| 685
Keterkaitan Penanganan Permukiman Kumuh dan Tingkat Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi

Keterkaitan Karakteristik Permukiman usia, pendapatan dan pengeluaran, status


Kumuh dengan Kesiapsiagaan Masyarkat bangunan dan tanah, lama tinggal, anggota lain
yang bekerja, jarak ke tempat bekerja,
Setiap karakteristik permukiman kumuh di penerima bantuan, jumlah anggota keluarga
masing-masing RW diuji korelasinya denga dan KK. Sedangkan variabel lain yang paling
setiap variabel dari ketiga parameter banyak berhubungan dengan karakteristik non-
kesiapsiagaan. Hasil uji korelasi menghasilkan fisik permukiman kumuh, secara berurutan dari
nilai koefisien korelasi sebesar 0.581 hingga 1. yang terbanyak adalah family survival kit (EPc),
Artinya tingkat hubungan antara kedua variabel sikap dalam kesiapsiagaan (Cc), sumber daya
yang diuji memiliki hubugan yang sedang manusia (Ca), pemahaman tentang kerentanan
hingga sangat kuat. Hasil uji korelasi dapat lingkungan dan bangunan fisik (Kb), tindakan
dilihat pada Tabel 4. Masing-masing variabel respon (EPa) dan pemahaman tentang bencana
diberikan warna yang berbeda dan disusun alam (Ka).
dengan baris yaitu karakteristik permukiman
kumuh secara fisik dan non-fisik pada kolom di Variabel family survival kit (EPc) berhubungan
setiap RW. Hasil uji korelasi menunjukkan dengan tingkat pendidikan, pendapatan dan
bahwa karakteristik permukiman kumuh yang pengeluaran, bukti kepemilikan lahan, lama
berhubungan dengan kesiapsiagaan tinggal, asal daerah, penerima bantuan dan
berdasarkan hipotesis dari studi literatur adalah jumlah KK. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bangunan berdasarkan jenis konstruksinya dari dalam penyediaan peralatan keselamatan
segi fisik, sedangkan dari segi non-fisik antara keluarga dipengaruhi oleh karakteristik tersebut,
lain tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, misalnya responden di RW 11 yang merupakan
status kepemilikan rumah, legalitas tanah, jenis penerima bantuan cenderung tidak dapat
kelamin dan umur. Namun karakteristik menyediakan peralatan keselamatan karena
permukiman kumuh diluar hipotesis pun saling adanya keterbatasan finansial. Sedangkan
berhubungan dengan keisiapsiagaan. responden di RW 4 dan RW 12, semakin tinggi
pendapatan dan pengeluaran maka semakin
Keterkaitan Karakteristik Fisik baik pula penyediaan peralatan keselamatan
keluarga mereka, hal tersebut ditunjukan oleh
Karakteristik fisik permukiman kumuh seperti nilai koefisien korelasi yang positif.
bangunan berdasarkan jenis konstruksinya, luas
bangunan dan lebar jalan berhubungan dengan Variabel lainnya yaitu sikap dalam kesiapsiagaan
variabel ketersediaan lokasi evakuasi (EPb) (Cc) berhubungan dengan tingkat pendidikan,
seperti di RW 1, RW 9 dan RW 11 serta variabel lama tinggal, anggota lain yang bekerja, asal
jaringan sosial (Cb) seperti di RW 4, RW 5, dan daerah, penerima bantuan, jumlah anggota
RW 11. Ada pun hubungan antara umur keluarga dan KK. Contohnya berdasarkan hasil
bangunan dan luas bangunan dengan variabel uji korelasi, responden di RW 3 dengan
tindakan respon seperti di RW 5 dan 12 serta pendidikan yang lebih tinggi memiliki sikap
sikap dalam kesiapsiagaan seperti di RW 7 dan dalam kesiapsiagaan yang lebih baik,
RW 9. Sedangkan di RW 12 variabel ditunjukkan oleh hasil korelasi dengan nilai yang
pemahaman tentang bencana alam (Ka) positif. Sedangkan responden di RW 11 yang
berhubungan dengan umur bangunan dan di berasal dari luar Kota Bandung cenderung tidak
RW 11 variabel pemahaman tentang kerentanan ingin mengikuti kegiatan kesiapsiagaan,
lingkungan dan bangunan fisik (Kb) ditunjukkan oleh hasil korelasi yang memiliki
berhubungan dengan luas bangunan. Namun di nilai negatif.
lokasi lain, karakteristik fisik tidak berhubungan
sama sekali dengan kesiapsiagaan seperti di RW Sedangkan variabel sumber daya manusia (Ca)
2, RW 3, RW 6 dan RW 8. berhubungan dengan jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pendapatan dan pengeluaran, jarak
Keterkaitan Karakteristik Non-Fisik ke tempat bekerja, dan jumlah anggota
keluarga. Salah satu contohnya, jenis kelamin
Semua karakteristik non-fisik berhubungan responden di RW 3 dan RW 7 mempengaruhi
dengan kesiapsiagaan terutama variabel variabel sumber daya manusia yang terdiri dari
jaringan sosial (Cb) di semua RW kecuali RW 1. indikator keterampilan kesiapsiagaan dan P3K.
Variabel Cb berhubungan dengan karakteristik responden pria cenderung memiliki keterampilan
686 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3
Keterkaitan Karakteristik Fisik
Tabel 4 Hasil Uji Korelasi Karakteristik Permukiman Kumuh dan Variabel Kesiapsiagaan
Keterangan:

Ka Pemahaman tentang bencana alam

Kb Pengetahuan tentang kerentanan lingkungan dan bangunan fisik

EPa Tindakan respon

EPb Ketersediaan lokasi evakuasi

EPc Family survival kit

Ca Sumber daya manusia

Cb Jaringan sosial
Fany Nur Alqowy W 1

Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3 | 687


Cc Sikap dalam kesiapsiagaan
Keterkaitan Penanganan Permukiman Kumuh dan Tingkat Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi

kesiapsiagaan dan P3K yang lebih baik jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan,
dibandingkan dengan responden pria, hal penerima bantuan, dan jarak ke tempat bekerja.
tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi Variabel kesiapsiagaan yang banyak
yang negatif. berhubungan antara lain jaringan sosial (Cb),
family survival kit (EPc), sikap dalam
Untuk variabel yang paling banyak berhubungan kesiapsiagaan (Cc), sumber daya manusia (Ca),
selanjutnya adalah variabel kerentanan serta pemahaman tentang kerentanan
lingkungan dan bangunan fisik (Kb), lingkungan dan bangunan fisik (Kb).
berhubungan dengan status bangunan, bukti
kepemilikan tanah, lama tinggal, asal daerah, Oleh karena itu, rekomendasi yang dapat
anggota lain yang bekerja, penerima bantuan diberikan terkait peningkatan kesiapsiagaan
dan jumlah penghuni rumah. Pada responden di antara lain pembentukan komunitas siaga
RW 11 dan bukan merupakan pemilik rumah bencana (KSB) untuk meningkatkan
yaitu hanya sebagai penyewa, tidak memiliki pengetahuan dengan melibatkan peran aktif
pemahaman tentang kerentanan lingkungan dan wanita, pembuatan panduan kesiapsiagaan
bangunan fisik yang baik. Hal tersebut komunitas dan penilaian risiko berbasis
ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang bernilai komunitas dan peningkatan partisipasi
negatif. masyarakat dalam kelompok masyarakat dan
kegiatan rutin bersama di lingkungan sekitar.
Sedangkan variabel lain yang berhubungan yaitu
tindakan respon (EPa) dengan jarak ke tempat Sedangkan untuk penanganan permukiman
bekerja dan jumlah KK serta pemahaman kumuh rekomendasri yang dapat diberikan
tentang bencana alam (Ka) dengan status berdasarkan hasil studi adalah penyediaan
bangunan. Semakin jauh jarak ke tempat ruang terbuka hijau maupun non-hijau dengan
bekerja maka semakin baik tindakan respon metode land sharing (penggunaan lahan
yang dimiliki oleh responden di RW 8 karena bersama) antara PT. KAI dan KODAM,
mereka yang bekerja di tempat lebih jauh pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
mendapatkan pelatihan kesiapsiagaan dan P3K kesejahteraan karena berkaitan dengan
di tempat mereka bekerja. kesiapsiagaan dan pembuatan rencana
penanggulangan bencana dengan kerja sama
Kesimpulan dan rekomendasi antara Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya dan
Dinas Permukiman atau dinas lain yang terkait.
Pada penjelasan sebelumnya sudah dipaparkan
mengenai karaktersitik permukiman kumuh di
Kelurahan Kebon Jayanti, tingkat kesiapsiagaan,
dan keterkaitannya dengan kesiapsiagaan.
Berdasarkan hasil studi tersebut dapat
disimpulkan bahwa masyarakat tidak siap dalam
mengadapi bencana gempa ditinjau dari ketiga
parameter yaitu pengetahuan, rencana evakuasi
dan kapasitas. Sedangkan hasil uji korelasi
menunjukkan bahwa karakteristik non-fisik
merupakan karakteristik paling banyak
berhubungan dengan kesiapsiagaan antara lain

Daftar Pustaka

Asian Urban Disaster Mitigation Program. (2000). Project Completion Report of The Indonesian Urban Disaster
Mitigation Project.Bangkok. Asian Disaster Preparedness Center .
Building Seismic Safety Council For The Federal Emergency Management Agency, (1995). Seismic Considerations
For Communities At Risk, Washington, D.C. Building Seismic Safety Council
Burby, R. J., Steinberg, L. J., & Basolo, V. (2003). The tenure trap: The vulnerability of renters to joint natural
and technical disasters. Urban Affairs Review, 39, 32-57.

688 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3


Fany Nur Alqowy W 1
Carter, W. Nick. 1991. Disaster management: A disaster managements handbook. Mandaluyong City, Phil.: Asian
Development Bank, 2008.
Direktorat Pengembangan dan Permukiman. (2014). Panduan Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh. Jakarta :
Direktorat Jendral Cipta Karya.
Edwards, Marge L. (1993). Social Location and Self-Protective Behaviour: Implications for Earthquake
Preparedness. International Journal of Mass Emergencies and Disasters. November 1993, Vol. 11, No. 3, pp.
293-303
Forthergill, Alice. 1996. Gender, Risk, and Disaster. International Journal of Mass Emergencies and Disasters. Vol.
14, No. 1, pp. 33-56
GeoHazards International.( 2001). Global Earthquake Safety Initiative (GESI) Pilot Project. s.l. : United Nation
Centre for Regional Development, 2001. Final Report.
Hastie, R. Kameda, T. (2005). The Robust Beauty Of Majority Rules In Group Decisions. Physiological Review,
Vol. 112, No. 2, 494-508.
Kirschenbaum, A. (2002). Disaster preparedness: A conceptual and empirical reevaluation. International Journal
of Mass Emergencies and Disasters, 20(1), 5-28.
Lemma, Tsion. (2005). Monitoring Slum Conditions within. Millennium Development Goals: The case study of
Addis Ababa, Ethiopia.Enschede, The Netherlands. International Institute For Geo-Information Science and
Earth Observation.
LIPI, UNESCO/ ISDR. (2006), Kajian Kesiapsiagaan masyarakat dalam Menghadapi Ancaman
Muhammad Nisfiannoor. (2009). Pendekatan Statistika Modern Untuk Ilmu Sosial, Jakarta, Salemba Humanika
Peacock WG, Dash N and Zhang Y (2006) Sheltering and housing recovery following disaster. In: Rodrguez H,
Quarantelli EL and Dynes RR (eds) Handbook of Disaster Research. New York: Springer, 258274.
Permana, Asep Yudi.(2012). Eco-architecture Sebagai Konsep Urban Development di Kawasan Slums dan
Squatters Kota Bandung. Semarang. Universitas dipenogoro semarang
Phillips, B. (1993). Cultural diversity in disaster: Shelter, housing, and long-term recovery. International Journal
of Mass Emergencies and Disasters, 11(1), 99-110.
Singgih Santoso. (2008). Panduan Lengkap Meguasai Spss 16.Pt Elex Media Komputindo, Jakarta
SHETH, A.Z., VELAGA, N.R. and PRICE, A.D.F., (2009). Slum rehabilitation in the context of urban sustainability:
a case study of Mumbai, India. IN: Proceedings of SUE-MoT: 2nd International Conference on Whole Life
Urban Sustainability and its Assessment, 22-24th April, Loughborough, UK.
Sulestianson, Erick and Indrajati, Petrus Natalivan. (2014). Penanganan Permukiman Kumuh Dengan Pendekatan
Karakteristik dan Faktor Penyebab Kekumuhan (Studi Kasus: Permukiman Kumuh di Kelurahan Tamansari
dan Kelurahan Braga): Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N2, pp. 261-270.
Sutton, J dan Tierney, K, 2006. Disaster Preparedness : Concepts, Guidance, and Research,California : Fritz
Institute.
Tomio, J. et al. (2014). Household and Community Disaster Preparedness in Japanese Provincial City: A
Population-Based Household Survey. Advances in Anthropology, 4, 68-77.
UNISDR. 2009. Terminology on disaster risk reduction. Geneva. United Nation International Strategy for Disaster
Reduction.
Waluya, Fany N. A. (2015). Kajian Penanganan Permukiman Kumuh Dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi.
Studi Kasus Kelurahan Kebon Jayanti, Kota Bandung. Tugas Akhir. Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut
Teknologi Bandung.

Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4N3 | 689

Anda mungkin juga menyukai