Anda di halaman 1dari 21

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

A. UNDANG UNDANG PAJAK PENGHASILAN


Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Penjelasan Pasal 1 (UU No. 36 Tahun 2008)
Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-Undang ini adalah tahun
kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12
(dua belas) bulan.
https://drive.google.com/file/d/0B1YgKjfTiarIUDVhc1BXckdhWVE/edit
B. 4 KELOMPOK PENGHASILAN
Penghasilan yang menjadi objek pajak dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu :
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta takgerak seperti bunga,
deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk
usaha, dan lain sebagainya;
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan sebagainya.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UU PPh, definisi penghasilan yang terutang atau dikenakan PPh
mempunyai unsur sebagai berikut :
1. Tambahan kemampuan ekonomis
2. Yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak
3. Baik yang berasal dari Indonesia maupunyang berasal dari luar Indonesia
4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk menambah kekayaan
5. Dengan nama dan bentuk apapun
http://binajasakonsultanpajak.blogspot.co.id/2012/11/pajak-penghasilan-objek-
pajak-dan-bukan.html

C. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah :


a. 1. orang pribadi;

2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

b. badan; dan

c. bentuk usaha tetap.

(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan.

(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:

a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah


Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

(4) Subjek pajak luar negeri adalah :

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia; dan

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :

a. tempat kedudukan manajemen;

b. cabang perusahaan;

c. kantor perwakilan;

d. gedung kantor;

e. pabrik;

f. bengkel;

g. gudang;

h. ruang untuk promosi dan penjualan;

i. pertambangan dan penggalian sumber alam;

j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;


k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

m. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;

o. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan

p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.

(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

D. TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN (PASAL 3)

(1 Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
)

a. kantor perwakilan negara asing;

b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat :

1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan

2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;

d pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,


. dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

(2 Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

E. PENGHASILAN YANG TERMASUK OBJEK PAJAK PENHASILAN

(1 Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,


pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

m selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;


.

n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;


r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

F. Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final :

(2
)

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;

b. penghasilan berupa hadiah undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya,

G. PEGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

(3 Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :


)

a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
dan

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat :

1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

h penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
. huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :

1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan

2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling
lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

H. PENGHASILAN KENA PAJAK

PKP (Penghasilan Kena Pajak) PPh Pasal 21 menurut Peraturan Direktorat Jenderal
Pajak No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:

Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar penghasilan
neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak / PTKP terbaru.
Pegawai tidak tetap dikenakan PKP sebesar penghasilan bruto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak / PTKP terbaru.
Bagi bukan pegawai seperti tercantum dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak
No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang dikenakan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.

PKP (PENGHASILAN KENA PAJAK) PEGAWAI TETAP


Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
Biaya jabatan, sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp
500.000,- sebulan atau Rp 6.000.000,- setahun;
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana
pensiun atau jaminan hari tua yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.

PKP (PENGHASILAN KENA PAJAK) PENERIMA PENSIUN


BERKALA

Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh
Pasal 21 adalah:
Seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun.
Sebesar 5% dari penghasilan bruto.
Setinggi-tingginya Rp 200.000,- sebulan atau Rp 2.400.000,- setahun.

PKP (PENGHASILAN KENA PAJAK) BUKAN PEGAWAI /


KONSULTAN

Bila bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal
Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c namun ia memberikan jasa kepada
pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, maka:
Bila pemotong PPh Pasal 21 mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya,
maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah
pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai
yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
dapat dipisahkan dengan bagian gaji atau upah pegawai tersebut maka
besar penghasilan bruto adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
Bila ia hanya melakukan penyerahan material atau barang, maka besarnya
jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa
dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut
termasuk pemberian jasa dan material atau barang.
PKP (PENGHASILAN KENA PAJAK) JASA DOKTER

Untuk jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan kepada dokter yang melakukan
praktik di rumah sakit dan/atau klinik, maka jumlahnya adalah sebesar jasa dokter
yang dibayar oleh pasien sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah
sakit dan/atau klinik.

http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-
pasal-21/pkp-penghasilan-kena-pajak

I. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)


Pengertian PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
Pengertian PTKP adalah :
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang menjadi
batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila
penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau
pekerjaan bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25/29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima
penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan
dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
http://infopersada.com/nasional/ekonomi-dan-keuangan/perpajakan/ptkp-dan-tarif-
paajak/155-penghasilan-tidak-kena-pajak-ptkp.html

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tahun 2016 adalah sebesar Rp. 54,000,000 untuk wajib pajak
orang pribadi atau mengalami kenaikan dari Rp. 36,000,000 yang berlaku sebelumnya.

Hal ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
101/PMK.010/2016 tanggal 22 Juni 2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang diberlakukan mulai tahun pajak 2016 atau tanggal 1 Januari 2016.

Adapun besarnya PTKP selengkapnya adalah sebagai berikut:


Uraian PTKP (Rp)

Wajib pajak orang pribadi 54,000,000

Tambahan untuk wajib pajak kawin 4,500,000

Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya


54,000,000
digabung dengan penghasilan suami

Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah


atau keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan 4,500,000
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk
setiap keluarga

Sehingga perhitungan PTKP dalam pelaporan pajak PPh Pasal 21 untuk wajib pajak selengkapnya
adalah sebagai berikut:
Status Wajib Pajak Kode PTKP (Rp)

Wajib pajak tidak kawin TK/0 54,000,000

Wajib pajak tidak kawin dengan satu


TK/1 58,500,000
orang tanggungan

Wajib pajak tidak kawin dengan dua


TK/2 63,000,000
orang tanggungan

Wajib pajak tidak kawin dengan tiga


TK/3 67,500,000
orang tanggungan

Wajib pajak kawin K/0 58,500,000

Wajib pajak kawin dengan satu orang


K/1 63,000,000
tanggungan

Wajib pajak kawin dengan dua orang


K/2 67,500,000
tanggungan

Wajib pajak kawin dengan tiga orang


K/3 72,000,000
tanggungan

Wajib pajak kawin dan penghasilan


istri digabung dengan penghasilan K/I/0 112,500,000
suami

Wajib pajak kawin dan penghasilan


istri digabung dengan penghasilan K/I/1 117,000,000
suami, dengan satu orang tanggungan

Wajib pajak kawin dan penghasilan


istri digabung dengan penghasilan K/I/2 121,500,000
suami, dengan dua orang tanggungan

Wajib pajak kawin dan penghasilan


istri digabung dengan penghasilan K/I/3 126,000,000
suami, dengan tiga orang tanggungan

J. TARIF PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN


TARIF PAJAK
Pemungutan pajak tidak terlepas dari unsur keadilan. Keadilan disini dapat
diartikan dalam prinsip (undang-undang), maupun adil dalam pelaksaannya
sehingga dapat menciptakan keseimbangan sosial untuk kesejahteraan masyarakat.
Salah satu unsur dalam mencapai keadilan melalui penetapan tarif pajak, yaitu
dengan memberikan tekanan yang sama kepada wajib pajak. Tarif pajak adalah
besarnya nilai yang digunakan untuk menentukan pajak terutang yang harus
dibayar wajib pajak kepada pemerintah sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. Jika dilihat dari sudut pandangan dasar penentuan tarif pajak secara
umum akan terbagi atas tiga bentuk, yaitu:
1. Tarif pajak proporsional ( proportional flat tax rate)
2. Tarif pajak progresif (progressive tax rate)
3. Tarif pajak regresif (regressive tax rate)
4. Tarif pajak tetap
5. Tarif pajak advolerem
6. Tarif pajak spesifik.
Berikut pembahasan masing-masing tarif pajak.
1. Tarif Pajak Proporsional (Proportional Flat Tax Rate)
Adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam persentase tertentu, dengan tidak
melihat perubahan pendapatan individu dengan kata lain berapa pun jumlah
kemampuan seorang wajib pajak, jumlah pengenaan tarif pajaknya sama. Misalnya,
jika pendapatan seseorang naik sebesar 100% maka jumlah pajak yag terutang
akan naik menjadi 100% dari pajak semula. Beberpa pajak yang menggunkan tarif
pajak proporsional adalah PPh UU no 36 tahun 2000 pasal 26 sebesar 20%, PBB
sebesar 0,5%, PPN sebesar 10%
2. Tarif Pajak Progresif (Progressive Tax Rate)
Adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring dengan peningkatan
pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah pendapatan yang lebih besar yang
diterima oleh wajib pajak, akan diterima tarif yang lebih besar pula. Sebagai
ilustrasi, jika kemampuan membayar seorang wajib pajak naik sebesar 100% jumlah
pajak yang terutang menjadi naik melebihi 100%.
Tarif pajak progresif sendiri terbagi menjadi 3,yaitu:
a) Tarif Pajak Progresif Progresif
Adalah tarif pemungutan pajak dengan prosentase yang naek dengan semakin
besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak dan kenaikan
prosentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.
b) Tarif Pajak Progresif Proporsional
Adalah tarif pemungutan pajak dengan prosentase yang naek dengan semakin
besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan
prosentase untuk setiap jumlah tertentu tetap.
c) Tarif Pajak Progresif Degresif
Adalah tarif pemungutan pajak dengan prosentase yang naek dengan semakin
besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan
prosentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali menurun.
3. Tarif Pajak Regresif (Regressive Tax Rate)
Adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan makin meningkatnya
pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan jumlah kemampuan
membayar seseorang wajib pajak, semakin menurun tarif yang dikenakan. Sebagai
ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat kenaikan pendapatan sebesar 100%,
maka jumlah kenaikan pajaknya kurang dari 100%. Tarif ini pernah berlaku untuk
Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif
bea atau pajak atas warisan makin kecil.

4. Tarif pajak tetap


Adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap berapapun
jumlahnya yang menjadi dasar pajak. Oleh karena itu, besarnya pajak terutang
tetap. Contoh dari jenis pajak yang menggunakan tarif tetap adalah bea materai
atas dokumen. Pajak yang ditetapkan dapat sebesar Rp 3000 atau pun Rp 6000.
5. Tarif pajak advolerem
Merupakan tarif dengan persentase tertent atas harga barang atau nilai suatu
barang. Misalnya tarif bea masuk sebesar 10% dari nilai impor.
6. Tarif spesifik
Merupakan tarif dengan jumlah tertentu atas satu jenis atau satuan jenis barang
tertentu, misalnya tarif bea masuk yang besar rupiahnya ditentuakan atas suatu
barang yang diimpor.
Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam persentase, dalam pajak penghasilan
persentase tarifnya dibedakan :
a. Tarif marginal
Persentase tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai
contoh dalam penghitungan PPh badan, tarif marginal untuk setiap tambahan
penghasilan kena pajak yang melebihi 0 Rp 50.000.000 sebesar 10 %, yang diikuti
pula untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak di atas Rp 50.000.000- Rp
100.000 dengan tarif marginal 15% dan seterusnya.
b. Tarif efektif
Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar
pengenaan dasar pajak terntentu. Sebagai contoh, apabila penghasilan kena pajak
sebesar Rp 80.000.000 PPh terutang dihitung:
10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000
15% x Rp 30.000.000 = Rp 4.500.000
Total = Rp 9.500.000
Tarif efektifnya = Rp 9.500.000 : Rp 80.000.000 x 100% = 11,87%
http://www.kabarpajak.com/2013/07/makalah-pajak-tarif-pajak.html
K. PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN
Menggunakan norma penghitungan, (2) melalui pembukuan. Wajib Pajak
OP yang diperkenankan menggunakan norma penghasilan neto adalah WP
yang memiliki omset atau peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun tidak
melebihi Rp 4.800.000.000.
Yang dimaksud dengan menjalankan kegiatan usaha disini adalah Wajib
Pajak yang bergerak dalam bidang usaha di berbagai bidang antara lain
pertanian, industri, perdagangan, atau lainnya. Sedangkan pekerjaan
bebas umumnya terkait dengan keahlian atau profesi yang dijalankan
sendiri oleh tenaga ahli yang bersangkutan anatara lain : pengacara,
akuntan, konsultan, notaris, atau dokter. Maksudnya, mereka yang
membuka praktek sendiri dengan nama sendiri. Jika mereka hanya
bekerja atau berstatus karyawan, misalnya seorang akuntan bekerja di
Kantor Akuntan Publik, maka mereka tidak termasuk WPOP yang
menjalankan pekerjaan bebas. Bagi WPOP yang tidak memilih untuk
menyeleggarakan pembukuan, tetapi melakukan pencatatan penghasilan
neto atau pekerjaan bebasnya dihitung dengan menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto. Untuk kepentingan itu, WPOP yang
bersangkutan wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto kepada Direktur Jenderall Pajak paling
lama tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
Pemberitahuan yang disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap
disetujui, kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata WPOP tersebut
tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Perhitungan
Penghasilan Netto. Jika WPOP tidak melakukan pemberitahuan, maka dia
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal WPOP
memilih menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netonya tidak
lagi dihitung menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
melainkan berdasarkan pembukuan. Ketentuan ini juga berlaku terhadap
WPOP yang tidak memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto kepada Direktur Jenderal Pajak sehingga dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Bagi sebagian orang pribadi yang memiliki usaha kewajiban membuat
pembukuan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan selain karena
kurangnya pengetahuan Wajib Pajak mengenai akuntansi juga kurang
efisien jika harus mempekerjakan karyawan hanya untuk membuat
pembukuan. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 memberikan
kemudahan bagi Wajib Pajak orang pribadi boleh menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sehingga tidak perlu membuat pembukuan tetapi cukup hanya membuat
pencatatan.
Aturan pelaksanaan mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto
adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-536/PJ./2000
tanggal 29 desember 2000.
Penghasilan netto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan
angka presentase Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengna
peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dalam satu tahun. Dalam menghitung besarnya PPh yang
terutang oleh WPOP, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih
dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan netto.
Bagi WPOP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan
bebas, penghitungan dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha
dengan memperhatikan pengelompokkan wilayah. Penghasilan netto
mereka ini merupakan penjumlahan penghasilan netto dari masing-
masing jenis usaha atau pekerjaan bebas.
Bentuk Dan Tata Cara Pencatatan
Bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat
(12) UU KUP diatur dengan Keputusan Dirjen pajak, yang sekarang berlaku
adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-4/PJ/2009. Pada
prinsipnya pencatatan harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung
dengan dokumen yang dijadikan dasar penghitungan peredaran atau
penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto, serta penghasilan yang
bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang
bersifat final. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu
12 (dua belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
Pencatatan harus dapat menggambarkan sejumlah peredaran bruto dan
atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan
atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga
dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Bagi WPOP yang
mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha,
pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran
atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat
usaha yang bersangkutan.
WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang boleh
menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma
Penghitungan penghasilan Netto harus mencatat peredaran atau
penerimaan bruto, penghasilan yang bukan objek pajak, dan penghasilan
yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Sedangkan WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan
objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat
final.
Pencatatan yang dilakukan akan menjadi dasar penyusunan SPT Tahunan
PPh, hal mana WPOP harus mencantumkan jumlah peredaran usaha atau
penerimaan bruto setiap bulan selama setahun. Dalam hal WPOP
menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, yang sudah
dipotong PPh-nya oleh pemberi kerja, menyimpan formulir 1721-A1 sudah
dianggap melakukan pencatatan, kemudian untuk SPT tahunan PPh-nya
wajib dilampirkan fotokopi formulir 1721-A1 tersebut.
Sanksi bagi WPOP yang tidak membuat pencatatan atau tidak
sepenuhnya membuat pencatatan, atau tidak menyimpan bukti
pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan dipersamakan
dengan sanksi bagi pengusaha yang wajib menyelenggarakan
pembukuan-termasuk WPOP yang dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan karena tidak melakukan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak-
tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan dengan baik.
Penghasilan netto bagi WP yang melanggar ketentuan pencatatan atau
pembukuan dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
penghasilan Netto ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
50% (lima puluh persen)dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
Seperti disinggung sebelumnya bagi WPOP yang tidak wajib
menyampaikan SPT Tahunan PPh tidak diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan maupun melakukan pencatatan. Merujuk pada keputusan
Menteri Keuangan No. 535/KMK.04/2000, WPOP yang tidak wajib
menyampaikan SPT Tahunan PPh adalah mereka yang penghasilan
nettonya tidak melebihi PTKP. Jadi yang tidak wajib pembukuan maupun
pencatatan adalah WPOP yang tidak wajib NPWP.
Orang Pribadi yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto sebesar Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar
delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib
menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan
pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih
menyelenggarakan Pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada butir (2) yang
tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung
penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Sesuai dengan UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36 tahun 2008 maka
sejak 1 Januari 2009 batasan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas yang boleh menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan berubah dengan peredaran bruto di bawah Rp.
1.800.000.000,00 menjadi Rp 4.800.000.000.
Kewajiban Bagi Penggunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan
kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun
pajak yang bersangkutan.
Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang
disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib
Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto.
Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sesuai dengan ketentuan diatas dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan.
Wajib Pajak yang menyelenggarakan Pembukuan
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan yang ternyata
tidak atau tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, penghasilan
netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
Besarnya Norma penghitungan Penghasilan Neto
Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah
sebagai berikut :
10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
ibukota propinsi lainnya;
daerah lainnya.
Daftar Persentase Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-
536/PJ./2000 tangal 29 Desember 2000.
Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan
bebas
Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari
satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing
jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah.
Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha
adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha
atau pekerjaan bebas.
Menghitung Penghasilan Neto
Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan
angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan
peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun.
Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib
Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih
dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan
Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto.

Anda mungkin juga menyukai