Anda di halaman 1dari 7

http://mylittlefairy.blogspot.co.

id/2010/11/pengawasan-dan-pengujian-
peraturan.html

PENGAWASAN DAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI


BAWAH UNDANG-UNDANG

Untuk menjaga agar kaidah-kaidah konsitusi yang termuat dalam


Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan konstitusional
lainnya tidak dilanggar atau disimpangi (baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan maupun dalam bentuk tindakan-tindakan
pemerintah lainnya), perlu ada badan serta tata cara mengawasinya.
Dalam literatur yang ada terdapat tiga kategori besar pengujian peraturan
perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu:
1. Pengujian oleh badan peradilan (judicial review);
2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review); dan
3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative
review).

Menurut Cappeletti membedakan dua sistem pengawasan yang


lazim dilakukan, yaitu pengawasan secara yudisial (judicial review)
maupun pengawasan secara politik (political review). Pengawasan secara
yudisial artinya pengawasan yang dilakukan oleh badan atau badan-
badan yudisial. Sedangkan pengawasan secara politik artinya
pengawasan yang dilakukan oleh badan-badan non yudisial (lazimnya
adalah badan politik). Baik pengawasan (secara) politik atau pun
pengawasan (secara) yudisial dilakukan dengan cara menilai atau
menguji, apakah suatu undang-undang atau peraturan perundang-
undangan lainnya atau tindakan-tindakan pemerintah yang adaatau akan
diundangkan (akan dilaksanakan) bertentangan atau tidak dengan
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar atau ketentuan-ketentuan
lain yang lebih tinggi dari pada peraturan perundang-undangan atau
tindakan pemerintah yang sedang dinilai. Wewenang menilai tersebut
dalam kepustakaan disebut sebagai hak menguji.
Istilah hak menguji berbeda dengan judicial review. Kalau berbicara
mengenai hak menguji, maka orientasinya ialah ke kontinental Eropa
(Belanda), sedangkan judicial review, orientasinya ialah ke Amerika
Serikat. Walaupun tujuannya sama, namun dalam perkembangan
selanjutnya apa yang dilaksanakan oleh negara-negara Eropa yang
menganut sistem civil lawberbeda dengan negara-negara yang menganut
sistem common law.
Judicial review atau controle juridictionale adalah pengawasan
kekuasaan kehakiman (judicial power) terhadap kekuasaan legislatif dan
eksekutif. Brewer-Carrias memandangnya sebagai tugas yang melekat
dari pengadilan untuk menjamin tindakan hukum legislatif dan eksekutif
sesuai dengan hukum tertinggi.
Menurut Maurice Duverger, judicial control adalah penting agar
undang-undang atau peraturan perundang-undangan tidak menyimpang
dari undang-undang dasar atau konstitusi. Undang-undang dasar akan
kehilangan asas-asasnya dan akan menjadi rangkaian kata-kata yang
tidak ada artinya sama sekali kalau tidak ada lembaga-lembaga yang
mempertahankan dan menjaga kehormatan hukum tersebut. Selain itu,
kontrol terhadap tindakan badan eksekutif bertujuan agar tindakan badan
eksekutif tidak melanggar hukum.
Di beberapa negara yang menganut sistem civil law kewenangan ini
hanya diberikan kepada satu lembaga tertinggi saja yang dikenal
dengan constitutional court atau Mahkamah Konstitusi. Oleh karena tata
cara pengujian dilakukan hanya oleh satu Mahkamah saja, maka sistem
tersebut dikenal dengan nama sistem sentralisasi, sedangkan metode
pengujiannya disebutprincipaliter.
Di beberapa negara lainnya yang menganut sistem common
law, judicial review diberikan kepada para hakim yang bertugas untuk
menguji apakah peraturan yang dipermasalahkan dalam kasus yang
sedang diperiksa bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena prosedur
pengujian tersebut dapat dilakukan oleh para hakim dalam pemeriksaan
perkara secara konkrit, maka sistem ini disebut sistem desentralisasi dan
metode pengujiannya disebut incidenter. Atas putusan hakim rendahan
dapat dimintakan banding sampai ke Pengadilan Tertinggi di negara
tersebut (Mahkamah Agung-Supreme Court).
Perancis yang mengikuti sistem sentralisasi dengan mendirikan
Mahkamah Konstitusi yang disebut Counseil Constitutional yang
merupakan badan yang dapat mengontrol tindakan Parlemen.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi ini antara lain didasarkan kepada
ajaran Montesqieu, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga
kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagai akibat dari
penerapan asas trias politika yang teguh, setiap kekuasaan tidak boleh
mencampuri kekuasaan lainnya. Ini menyebabkan
peradilan/judiciary tidak boleh melakukan tindakan/putusan yang
mencampuri kekuasaan legislatif dan eksekutif, misalnya menguji undang-
undang terhadap konstitusi.
Sedangkan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan
yang bukan undang-undang dan begitu pula terhadap tindakan
pemerintahan dilakukan oleh Conceil dEtat. Pengujian yang dilakukan
oleh Conceil dEtat terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
eksekutif dan tindakan-tindakan administratif lainnya, tidak hanya
terbatas pada sesuai tidaknya dengan undang-undang, tetapi juga sesual
tidaknya dengan general principle of lawyang digali dari Undang-
Undang Dasar dan deklarasi tentang hak-hak (dasar) manusia.
Alasan atau dasar yang dapat digunakan untuk mohon pembatalan
suatu beschikking(akta administratif) adalah bahwa beschikking yang
bersangkutan bersifat illegal atau tidak berdasar hukum.
Masalah illegalitas ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaituillegalitas ekstern dan illegalitas intern. Kriterium illegalitas
ekstern meliputi penilaian tentang syarat formal untuk sahnya
suatu beschikking (dari segi bentuk luarnya). Sedangkan
kriteriumillegalitas intern meliputi penilaian tentang syarat material untuk
sahnya suatu beschikidng (dari segi isi atau materi beschikking yang
bersangkutan).
Alasan pembatalan yang didasarkan pada kriterium illegalitas
ekstern ini meliputi: Pertama, tanpa kewenangan (kompetensi); Kedua,
kekeliruan bentuk dan kekeliruan prosedur. Pengertian tanpa
kewenangan diartikan terhadap suatu beschikking yang dikeluarkan oleh
seorang pejabat yang tidak mempunyai kewenangan (kompetensi) sama
sekali untuk mengeluarkan beschikkingyang bersangkutan, atau
kewenangan itu sesungguhnya ada pada pejabat yang lain. Kriteria tanpa
kewenangan ini dapat dibedakan lagi dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Tanpa kewenangan yang bersifat material, artinya pejabat yang
mengeluarkan suatubeschikking tentang materi (masalah) yang
sebetulnya materi tersebut menjadi wewenang dari pejabat lainnya.
2. Tanpa kewenangan yang ditinjau dari segi wilayah atau tempat di
mana wewenang itu seharusnya dapat diperlakukan.
3. Tanpa kewenangan yang ditinjau dari segi waktu berlakunya atau
dikeluarkannya suatubeschikking yang menyimpang dari waktu yang
seharusnya diperhatikan.

Adapun pengertian kekeliruan dalam bentuk atau prosedur


diartikan bilamana suatubeschikking itu dikeluarkan secara bertentangan
dengan formalitas yang telah ditentukan sebelumnya dalam peraturan
yang menjadi dasarnya, atau telah terjadi penyimpangan dari prosedur
yang sebenarnya.
Alasan pembatalan yang didasarkan pada kriterium illegalitas
intern, meliputi: (1) bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
hukum lainnya (2) adanya penyalahgunaan kekuasaan (detournement de
pouvoir). Illegalitas atas dasar bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan hukum lainnya merupakan alasan yang sangat penting
dalam permohonan/gugatan pembatalan suatu beschikking. Alasan ini
terdapat bilamana pejabat yang mengeluarkan beschikking yang
bersangkutan tidak memperhatikan atau tidak bertindak sesuai dengan
undang-undang atau peraturan hukum lainnya yang seharusnya menjadi
dasar dikeluarannya beschikking tersebut. Sifat pertentangan ini tidak
hanya diartikan bahwabeschikking itu bertentangan secara
langsung/tegas dengan suatu undang-undang atau peraturan hukum,
tetapi diartikan juga sebagai bertentangan dengan jiwa dan rasio dari
Undang-undang dan peraturan hukum yang bersangkutan.

Pengujian Oleh Mahkamah Agung


Mahkamah Agung dalam sistem hukum dihampir setiap negara
merupakan pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman dengan fungsi
peradilan dan fungsi pengawasan terhadap pengadilan-pengadilan di
bawahnya.
Sebelum perubahan UUD 1945 Mahkamah Agung merupakan satu-
satunya pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman, namun setelah
perubahan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Tugas dan fungsi yang diberikan kepada Mahkamah Agung
berdasarkan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung serta berbagai peraturan perundang-undangan yang
lain yang berlaku saat ini adalah:
1. Tugas yudisial, yaitu tugas untuk menyelenggarakan peradilan yang
meliputi:
a. memeriksa dan memutus perkara kasasi;
b. sengketa yurisdiksi;
c. permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Tugas pengujian material terhadap peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang
3. Tugas pengawasan terhadap peradilan di bawahnya
4. Tugas penasihatan
5. Tugas administratif
6. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

Terkait dengan pengaturan pengujian materiil oleh Mahkamah


Agung selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Pasal 11 ayat (2) huruf b dan ayat (3) yang menegaskan, Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Pernyataan tidak
berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian, dapat
diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Kemudian kewenangan
Mahkamah Agung tersebut juga diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004, menyatakan sebagai berikut:
1. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil
hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
2. Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang-
undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi
3. Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-
undangan tersebut diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam
tingkat kasasi
4. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak
sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.

Kemudian melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, ketentuan


mengenai wewenang pengujian peraturan perundang-undangan ditambah
satu pasal yakni Pasal 31 A, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh
pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara
tertulis dalam bahasa Indonesia
2. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama dan alamat pemohon
b. Uraikan mengenai perihal yang menjadi dasar permohon dan wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
i. Materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau
ii. Pembentukan peraturan perundang-undangan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
c. Hal-hal yang diminta untuk diputus
3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau
permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan
permohonan tidak diterima
4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
6. Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak
bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung.

Pengaturan lebih lanjut tentang hukum acara pengujian materiil


dimuat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). PERMA No. 1 Tahun
1993 merupakan hukum acara pengujian materiil pertama yang
dikeluarkan Mahkamah Agung. Untuk menyesuaikan dengan berbagai
perkembangan yang terjadi PERMA No. 1 Tahun 1993 kemudian diganti
dengan PERMA No. 1 Tahun 1999 yang pada akhirnya juga diganti dengan
PERMA No. 1 Tahun 2004.
Pengajuan hak uji materiil ke MA menurut PERMA No. 1 Tahun 1999
dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni gugatan dan permohonan
keberatan. Gugatan adalah tuntutan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan
keputusan. Sementara dalam PERMA No. 1 Tahun 2004 pengajuan hak uji
materiil ke MA hanya dapat dilakukan melalui permohonan keberatan.
Permohonan keberatan diajukan ke MA dengan cara (a) langsung ke
MA, dan (b) melalui pengadilan negeri yang membawahi wilayah hukum
tempat kedudukan pemohon. Permohonan keberatan diajukan dalam
tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
Putusan terhadap pengajuan hak uji materiil ke MA dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam :
1. jika MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan,
karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan
peraturan yang tingkatnya lebih tinggi, MA mengabulkan permohonan
keberatan tersebut
2. MA dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-
undangan yang dimohonkan keberatan tersebut tidak sah dan tidak
berlaku umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan
segera mencabutnya
3. dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak
beralasan, MA menolak permohonan keberatan tersebut.

PERMA No. 1 Tahun 2004 juga menentukan bahwa dalam jangka


waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan tersebut dikirim kepada
Badan atau Pejabat Tata

Kesimpulan
Terdapat dua sistem pengawasan yang lazim dilakukan, yaitu
pengawasan secara yudisial (judicial review) maupun pengawasan secara
politik (political review). Pengawasan secara yudisial artinya pengawasan
yang dilakukan oleh badan atau badan-badan yudisial. Sedangkan
pengawasan secara politik artinya pengawasan yang dilakukan oleh
badan-badan non yudisial (lazimnya adalah badan politik). Baik
pengawasan (secara) politik atau pun pengawasan (secara) yudisial
dilakukan dengan cara menilai atau menguji (review), apakah suatu
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya atau
tindakan-tindakan pemerintah yang ada atau akan diundangkan (akan
dilaksanakan) bertentangan atau tidak dengan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Dasar atau ketentuan-ketentuan lain yang lebih tinggi
daripada peraturan perundang-undangan atau tindakan pemerintah yang
sedang dinilai. Wewenang menilai tersebut dalam kepustakaan disebut
sebagai hak menguji.
Di negara yang menganut sistem civil law kewenangan judicial
review terhadap Undang-Undang hanya diberikan kepada satu lembaga
tertinggi saja yang dikenal dengan constitutional court atau Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena tata cara pengujian dilakukan hanya oleh satu
Mahkamah saja, maka sistem tersebut dikenal dengan nama sistem
sentralisasi, sedangkan metode pengujiannya disebut principaliter. Di
negara yang menganut sistem common law,judicial review diberikan
kepada para hakim yang bertugas untuk menguji apakah peraturan yang
dipermasalahkan dalam kasus yang sedang diperiksa bertentangan
dengan konstitusi. Oleh karena prosedur pengujian tersebut dapat
dilakukan oleh para hakim dalam pemeriksaan perkara secara konkrit,
maka sistem ini disebut sistem desentralisasi dan metode pengujiannya
disebutincidenter.
Dengan demikian, hakim harus memiliki integritas dengan
pemahaman ilmu hukum secara komprehensif, sebab ditangan hakim ini,
sebuah undang-undang di uji konstitusionalitasnya dengan ukuran
konstitusi. Undang-undang akan menjadi lebih responsif, progresif jika
secara prosedurasinya, maupun secara substansinya tidak
menciderai nurani keadilan masyarakat. Bilama suatu ketika terdapat
Undang-Undang yang demikian, maka hakim konstitusi dengan hak dan
kewenangan yang dimandatkan oleh konstitusi berhak mengujinya.

Referensi
Huda, Nimatul, 2005. Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial
Review, Yogyakarta: UII Press.
H.Moh. Yuhdi, S.H., M.H, Peran Fungsi Pengawasan Dalam Proses
Pembuatan Hukum Yang
Berkeadilan. http://fh.wisnuwardhana.ac.id.diakses tanggal 26 Juni 2010
Pukul 20.00 WIB.

Qomaruddin, 2009. Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan


Perundang-Undangan, http://www.legalitas.org.diakses tanggal 26 Juni
2010 Pukul 20.00 WIB.

Produk Hukum
1. UUD Negara Republik Indonesia 1945
2. UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
3. UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.
4. PERMA No. 1 Tahun 1999 Tentang Hak Uji Materiil
5. PERMA No. 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil

D ipos ka n ole h Kukuh Dwi Ku rn ia wa n di Thurs da y, N ove mbe r


11 , 20 10

Anda mungkin juga menyukai