Anda di halaman 1dari 14

http://muba-blogger.blogspot.co.

id/2009/04/pengujian-undang-undang-
dalam-tata.html

Oleh : Mr. Mudatsir*

Wacana tentang pengujian undang-undang dalam kehidupan berbangsa


dan bernegara dalam konteks ke-Indonesia-an bukanlah suatu barang
baru. Ketika membahas tentang rancangan UUD 1945, Muh. Yamin pernah
mengusulkan tentang ketentuan Mahkamah Agung berhak menetapakan
bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD.

Namun, usulan antispatif dari Muh. Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo
dengan beberapa alasan, diantaranya adalah : a) tidak ada kebulatan
pendapat antara ahli tata negara pada waktu itu; b) Pada dasarnya
perselisihan tentang suatu undang-undang bertentangan dengan UUD
adalah bersifat politis, bukan yuridis; c) Kewenangan Mahkamah Agung
untuk melakukan judicial review merupakan buah hasil dari konsep trias
politica yang tidak dianut dalam UUD yang telah dipersiapkan dalam
BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai); d) Para pakar hukum sama sekali
mempunyai pengalaman dalam hal seperti itu dan tenaganya belum
begitu banyak, jadi belum waktunya negara yang seumur jagung
melakukan itu. Banyak penilaian dari para ahli yang mengatakan
bahwasanya Konstitusi RI pra-amandemen adalah sebuah konstitusi yang
lugu dan kurang antisipatif.

Berbicara tentang pentingnya Pengujian UU di Indonesia, tidak boleh lepas


dri latar belakang sejarah, politik, dan gejala sosial lainnya. Tulisan ini
berusaha mencoba menguraikan semua itu semaksimal mungkin.

Dalam bukunya, Modern Constitution, K.C. Wheare menyebutkan


setidaknya ada 2 makna ketika kita menyebut kata Konstitusi. Pertama,
kata ini digunakan untuk menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan
suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang memebentuk dan
mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Peraturan ini bersifat legal
(dalam arti pengadilan umum mengakui dan menerapkan peraturan
tersebut) dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra-legal, yang berupa
kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi yang tidak diakui oleh
pengadilan, namun tidak kalah efektif dalam mengatur ketatanegaraan
dibandingkan apa yang secara baku disebut dengan hukum. Kata
konstitusi di setiap negara (kecuali Inggris dan Israel) dalam
pengertiannya yang lain mempunyai arti yang lebih sempit dari apa yang
telah dikemukakan. Kata ini digunakan untuk menunjuk sebuah
sekumpulan peraturan yang biasanya dihimpun dalam sebuah dokumen
atau dalam beberapa dokumen yang berkaitan sangat erat. Tidak hanya
itu, dokumen ini merupakan hasil seleksi dari pereaturan-peraturan
hukum. Pengertian yang kedua inilah adalah yang paling umum digunakan
dalam literatur.

Brian Thompson, secara sederhana mengemukakan, bahwa pertanyaan:


what is a constitution? dapat dijawab bahwa a constitution is a
document which contains the rules for the operation of an organization.
Negara sebagai sebuah organisasi kekuasaan, pada umumnya (kecuali
Inggris dan Israel) memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau
UUD. Inggris dan Israel tidak mempunyai konstitusi tertulis dan tidak
pernah dibuat. Namun, para ahli tetap bersikukuh dengan pendapatnya
tentang adanya eksistensi sebuah konstitusi dlam konteks hukum
ketatanegaraan di Inggris. Berlakunya konstitusi dalam suatu negara
sebagai kekuatan hukum dasar yang mengikat didasarkan atas prinsip
kedaulatan yang dianut oleh negara itu. Jika negara tersebut berfaham
kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi utama atas konstitusi tersebut
adalah rakyat. Jika kedaulatan rajalah yang berlaku, maka berlaku atau
tidaknya sebuah konstitusi adalah raja yang menentukannya. Hal inilah
yang kemudian disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang
merupakan kewenangan yang berada di atas semua sistem yang
diaturnya.Constituent power selalu mendahului konstitusi, dan semua
organ pemerintahan yang ada diatur berdasarkan atas sebuah konstitusi.

Konstitusionalisme dan Negara

Pembuatan Undang-Undang dasar didorong oleh motif kesadaran politik


yang tinggi mengenai keperluan pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan negara sebaik mungkin. Baik sebagai kaidah hukum
maupun sebagai pernyataan prinsip dan cita-cita, UUD sebagaimana juga
UU yang lain- adalah the resultant paralellogram of force political,
economic, and social which operate at the time of this adoption.
Perbedaan pandangan politik, ekonomi, dan sosial yang mempengaruhi
pembentukan UUD, tidak akan terlepas dari perbedaan latar sejarah,
kebudayaan serta keyakinan yang hidup dalam masyarakat tertentu.

Bryce , mengemukakan bahwa motif politik yang menonjol dalam


penysunan UUD adalah:

1.Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dalam mengatur tingkah laku


penguasa.

2.Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang ada dalam


rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenang-
wenang dari penguasa di masa yang akan datang.

3.Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau


mengamankan berlakunya cara pemerintahan dalam bentuk yang
permanen dan daat dipahami oleh warga negara.

4.Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah untuk menjamin aksi


bersamayang efektif, dan bersamaan dengan itu berkeinginan tetap
mempertahankan hak seta kepentingan sendiri-sendiri.

Berangkat dari asumsi Bryce tersebut, dapat kita simpulkan bahwa


Undang-Undang Dasar (UUD) dibuat secara sadar sebagai perangkat
kaidah fundamental yang mempunyai nilai politik tinggi dibandingkan
jenis kaidah yang lain karena menjadi dasar bagi bagi seluruh tata
kehidupan negara. Asumsi demikian mempertegas teori norma berjenjang
(hierarchi of norm / stufenbau des recht) Hans Kelsen yang melahirkan
asas lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Dengan arti kata lain,
bagian-bagian dari tata hukum harus sesuai atau tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Gezetsze prevail over
verodnungen.

UUD 1945 Pra-Amandemen

Salah seorang hakim agung RI, Prof. Dr. Bagir Mannan, menyimpulkan
pendapat K.C Wheare bahwa amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar (UUD) tidak terutama dientukan oleh ketentuan hukum yang
mengatur cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan
politik atau sosial yang dominan pada saat-saat tertentu. Sepanjang
kekuatan poitik yang dominan merasa puas terhadap sebuah Undang-
Undang Dasar (UUD), maka tidak akan ada perombakan atau
amandemen. Wcana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
telah dibahas oleh pembuatnya dulu, para founding fathers. Ir. Soekarno
sebagai ketua perancang Undang-Undang Dasar (UUD), pada 18 Agustus
1945, pernah berkata:

Undang-Undang Dasar (UUD) yang dibuat sekarang ini adalah Undang-


Undang Dasar (UUD) sementara. Kalau boleh sya memakai perkataan ini:
ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita bernegara pada suasana yang lebih
tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat
membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna.

Kesadaran akan tidak sempurnanya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945


dapat kita baca dari pelaksanaannya. Kurang lebih dua bulan dari
penetapannya, telah terjadi beberapa perubahan. Status KNIP yang
semula sebagai badan yang hanya membantu presiden telah beralih
fungsi menjadi badan legislasi.Dalam sistem pemerintahan juga terjadi
perubahan, dari presidensiil menjadi parlementer.Selanjutnya, sebagai
dampak dari Konferensi Meja Bundar (KMB), selain bentuk negara
kesatuan berubah menjadi negara serikat (Republik Indonesia Serikat),
juga terjadi perubahan dalam Undang-Undang Dasar (UUD). RIS sebagai
satuan negara yang meliputi seluruh wilayah RI-Proklamasi menggunakan
Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hanya berlaku di
Negara Bagian RI saja yang berpusat di Yogyakarta. Pada saat perubahan
kembali menjadi negara kesatuan, Konstitusi RIS diubah menjadi UUD
Sementara (UUDS-50).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan, para penyelenggara Undang-


Undang Dasar (UUD) waktu itu tidak pernah sekalipun mensakralkan UUD.
Namun, pada tanggal 5 Juli 1959, Ir. Soekarno (dengan pengaruh berbagai
kekuatan politik) mengeluarkan dekrit yang memberlakukan kembali UUD
1945. Kembali pada UUD 1945 sama saja dengan jalan mundur pada
konstitusi yang tidak lengkap dan dibuat secara terburu-buru yang mana
hanya mengatur hal-hal yang pokok-pokok saja. Dilhat menggunakan kaca
mata manapun, UUDS 50 lebih lengkap dan lebih sempurna daripada
UUD 45. Namun, hanya saja masih terdapat kelemahan di UUDS 50.
sistem parlementer yang dimulai dengan Kabinet Sjahrir berjalan tidak
stabil, hal ini yang kemudian dijadikan alasan untuk kembali pada UUD 45
yang notabene tidak lengkap, dan lebih parah kelemahannya daripada
UUDS 50.

UUD 1945 Pra-Amandemen : Lugu

Pada periode kepemimpinan berikutnya (Orde Baru), UUD 45 menjadi


sesuatu yang sangat sakral dan tidak dapat disentuh. Rezim otoriter
yang mengubah rechtstaat menjadi machtstaat telah memanfaatkan
keluguan ini. Terlalu banyak sekali bukti tentang penyalahgunaan ini,
dan tulisan ini tidak akan selesai jika bicara hal itu. Pada perode ini, UUD
45 gagal menjalankan tugasnya sebagai rumah bangsa dengan baik, dan
sangat jauh dari kata sempurna.

Ketidakberhasilan UUD 1945 pra-amandemen sebagai penjaga dan dasar


dalam upaya menegakkan tonggak demokrasi, negara berdasar atas
hukum, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terjadi karena
beberapa faktor:

Pertama, struktur (sebelum amandemen dikenal dengan sebutan batang


tubuh) UUD 45 terlalu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada
eksekutif (pemerintah). Presiden tidak hanya menjadi pemegang
kekuasaan pemerintahan, namun juga kekuasaan perundang-undangan
(Pasal 5 ayat 2 (1) UUD 45), disamping itu juga punya hak konstitusional
khusus (yang biasa disebut sebagai hak prerogratif) seperti hak memberi
amnesti, abolisi, dan grasi.

Kedua, struktur UUD 45 pra-amandemen tidak cukup memuat sistem


cheks and balances antara cabang-cabang pemerintahan. Pemberian
kekuasaan yang terlalu luas pada Presiden dapat dilihat dari tidak adanya
peraturan penyeimbang yang membatasi ruang lingkup Perpu dalam
menghindari penyalahgunaannya. Kekuatan pihak eksekutif menjadi lebih
dominan daripada cabang kekuasaan yang lain karena tidak adanya
mekanisme yang cukup untuk mengontrol dan mengimbangi kekuasaan
eksekutif.

Ketiga, terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague), yang


membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara
berbagai konstitusi. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan tentang
pemilihan presiden kembali di Pasal 7 yang menyatakan: dan
sesudahnya dapat dipilih kembali. Sesuai dengan pernyataan Lord Acton,
power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely,
ketentuan ini berpotensi menumbuhkan praktek Presiden yang sama
dapat dipilih secara terus-menerus tanpa mengindahkan sistem
pembatasan kekuasaan, dan ironisnya hal ini betul-betul terjadi,
Almarhum Jendral Soeharto telah menjadi presiden selama lima periode
berturut-turut. Berikutnya dapat kita lihat pada Pasal 1 Ayat (2) yang
berbunyi: kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh MPR. Empat kata terakhir dalam kalimat tersebut memandang DPR
seolah-olah hanya menjadi pelengkap (komplemen) dalam menjalankan
kedaulatan rakyat. Pemahaman ini bertentangan dengan proses
demokratisasi.

Keempat, UUD 45 pra-amandemen banyak mengatur ketentuan-


ketentuan organik dengan tanpa arahan tertentu yang harus diiukti.
Dengan kata lain, segala sesuatunya dipasrahkan sepenuhnya pada
pembuat UU. Dimana banyak terjadi benturan UU yang mengatur obyek
yang sama. Kita lihat saja, seorang menteri dapat menjadi anggota MPR,
namun di sisi lain MPR harus memeriksa pertanggungjawaban Presiden.
Entah kata apa yang tepat untuk mengungkapkan keanehan ini.

Kelima, sebuah konstitusi jika memiliki penjelasan resmi maka adalah


sebuah ketidaklaziman. Dan dalam prakteknya, penjelasan dibelakukan
sama seperti batang tubuh UUD. Ironisnya lagi, penjelasan UUD 45 bukan
hasil kerja BPUPKI dan PPKI, melainkan hanya sebuah coretan tangan
pribadi Soepomo yang kemudian dimasukkan dalam batang tubuh ke
dalam Berita Republik tahun 1946, dan selanjutnya ke Lembaran Negara
RI tahun 1959 (dekrit).

Konstitusi 2002 dan Perubahan Kelembagaan Negara

Setelah tembok romantisme dan sakralisme orde baru berhasil


dirobohkan, gelombang amandemen terhadap naskah Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 terus bergulir, sampai yang terakhir (keempat) pada
tahun 2002. Setelah terjadi empat kali amandemen, terjadi perubahan
besar dan mendasar dalam Undang-Undang Dasar (UUD). Sebelum
perubahan, UUD 1945 terdiri dai 71 butir ketentuan, sedangkan setelah
amandemen menjadi 199 butir atau bertambah 141 %. Dari 199 butir
tersebut, naskah yang tidak tersentuh amandemen hanya sebanyak 25
butir ketentuan (12 %), adapun selebihnya, 174 butir ketentuan (88 %)
merupakan materi yang baru sama sekali.12 Dapat disimpulkan
bahwasanya bangsa ini telah memiliki konstitusi baru. Hanya nama dan
pembukaan (preambule) saja yang masih tidak tersentuh. Paradigma
pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pasal-pasal
UUD pasca-amandemen terakhir itu benar-benar berbeda dari pokok
pikiran yang terkandung pada teks asli ketika UUD ini pertamakali
disahkan pada 18 Agustus 1845.

Perubahan besar-besaran ini tentu saja otomatis bepengaruh pada sistem


kenegaraan Republik Indonesia. Penjelasan berikut ini mencoba
memberikan gambaran tentang perubahan mendasar UUD 1945.

Pertama, supremasi konstitusi. Pasal 1 ayat (2) berbunyi: Kedaulatan


berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Ketentuan ini memberikan tempat terhormat pada sebuah
konstitusi (gerundgesetz). Berdasarkan ketentuan ini, konstitusi menjadi
dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Konsekwensinya,
tidak ada lagi istilah lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi.
Lembaga-lembaga yang merupakan organ konstitusional kedudukannya
tidak lagi seluruhnya hirarkis berada dibawah MPR, tetapi sejajar dan
saling berhubungan sesuai dengan kewenangannya masing-masing
berdasar UUD.

Kedua, sistem presidensiil. Sebelum adanya amandemen terhadap UUD,


sistem ketatanegaraan kita masih gado-gado. Jika dilihat dari hubungan
antara presiden dengan DPR sebagai parlemen yang sejajar
kedudukannya serta adanya masa jabatan presiden yang ditentukan
memang menunjukkan ciri sistem presidensiil. Namun, jika dilihat dari
keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, dan dapat
memberhentikan presiden, maka sistem tersebut adalah ciri dari sistem
parlementer. Dalam amandemen terakhir UUD 1945, jelas terlihat adanya
upaya menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga
eksekutif dan legislatif yang dilakukan dengan pengaturan mekanisme
pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Sedangkan mekanisme
pemberhentian presiden dalam masa jabatan diatur juga (Pasal 6, 6A, 7,
7A, dan 8 UUD 1945). Presiden yang telah memperoleh legitimasi kuat
dari rakyat tidak mudah diberhentikan begitu saja, kecuali ada
pelanggaran hukum yang dilakukan sebagaimana yang telah diatur pada
pasal tersebut.

Ketiga, Perimbangan Kekuasaan (checks and balances). Pra-amandemen


UUD, sistem kelembagaan yang di anut negara kita bukanlah pemisahan
kekuasaan (separation of power), tetapi apa yang sering disebut dengan
pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden bukan hanya
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, namun juga sebagai
pembuat UU bersama-sama DPR sebagai co-legislatornya. Sedangkan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan
beberapa badan kehakiman menurut UU. Dengan adanya amandemen,
keadaannya menjadi terbalik, yakni sebelumnya DPR adalah co-legislator
presiden, maka sekarang menjadi Presiden menjadi co-legislator DPR.
Walaupun dalam proses pembuatan UU harus ada persetujuan dari
presiden, namun fungsi presiden tidaklah berperan sebagai legislator
utama. Jadi dengan ini, semakin jelas mana yang legislatif mana yang
eksekutif. Dalam ranah yudikatif, pada amandemen ke-tiga, lahirlah
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai yurisdiksi
dengan permasalahan yang terkait erat dengan masalah-masalah
ketatanegaraan, dan kehidupan politik yang diatur dalam pasal 24C UUD
1945 jo UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Selain
MK, amandemen UUD melahirkan lembaga kehakiman baru, yaitu Komisi
Yudisial (KY) yang wewenang dan pelaksanaannya diatur dalam Pasal 24B
UUD 1945. Komisi Yudisisal berwenang mengawasi perilaku para hakim
demi mewujudkan lembaga kehakiman yang mandiri, bebas, dan tidak
memihak.

Pengujian Undang-Undang

Tedapat beberapa istilah yang digunakan dalam hal pengujian UU. Yaitu
istilah toetsingsrecht, judicial review, dan constitutional review.
Ketiga istilah ini sering disalahkaprahkan dan dicampuradukkan
penggunaannya satu sama lain. Ketiga istilah tersebut sesungguhnya
berasal dari dua sistem yang berbeda dengan makna yang berbeda pula.
Toetsingsrecht berasal dari Belanda yang sesungguhnya lebih berdasarkan
pada supremasi parlemen sehingga tidak mengenal konsep judicial review
apalagi constitutional review. Sedangkan konsep judicial review dan
constitutional review berasal dari negara-negara yang menganut prinsip
supremasi konstitusi.
Toetsingsrecht secara harfiah adalah hak uji. Istilah ini digunakan pada
saat membicarakan hak atau kewenangan untuk menguji peraturan
perundang-undangan. Hak atau kewenangan tersebut dapat saja dimiliki
oleh hakim, pemerintah, atau legislatif. Hak atau kewenangan yang
dimiliki oleh lembaga tertentu tersebut juga dapat meliputi keseluruhan
jenis peraturan perundang-undangan dalam hirarki tata urutan peraturan
perundang-undangan, atau tertentu saja.

Judicial review adalah pengujian peraturan perundang-undangan tertentu


oleh hakim (yudikatif). Hal ini berarti hak atau kewenangan menguji
(toetsingsrecht) dimiliki oleh hakim. Pengujian tersebut dilakukan atas
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau terhadap konstitusi sebagai
hukum tertinggi. Kewenangan judicial review dapat dimiliki oleh hakim di
semua tingkat, atau diberikan secara terpusat kepada Mahkamah Agung
atau Mahkamah Konstitusi. Jika hak atau kewenangan tersebut ada pada
hakim pengadilan biasa, kewenangan tersebut biasanya terbatas pada
mengesampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak
sampai membatalkan atau menyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Agung atau
Mahkamah Konstitusi.

Constitutional review merupakan pengujian suatu ketentuan perundang-


undangan terhadap konstitusi. Parameter pengujian dalam hal ini adalah
konstitusi sebagai hukum tertinggi. Hal ini berbeda dengan judicial review
yang dari lingkup materinya lebih luas karena menguji suatu peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, jadi tidak terbatas pada konstitusi sebagai parameter
pengujian. Namun dari sisi lembaga yang dapat melakukan pengujian,
istilah constitutional review dapat dimiliki oleh yudikatif, eksekutif, atau
legislatif.

Telah dikemukakan di depan, bahwasanya konstitusi adalah hukum


tertinggi (gerundgesetz) suatu negara dan peraturan yang berada
dibawah UUD tidak boleh menyalahinya. Untuk menjaga agar kaidah-
kaidah yang dimuat dalam suatu konstitusi dan perundang-undangan
konstusional lainnya tidak dilanggar dan disimpangi (baik dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah maupun dalam bentuk
tindakan pemerintah yang lain), maka diperlukan adanya suatu badan dan
tata cara yang mengawasi. Dalam ranah tata hukum Indonesia, yang
berwenang melakukan judicial review adalah Mahkamah Agung (MA). MA
selain menangani perkara-perkara konvensional, juga mempunyai menguji
peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap aturan perundang-
undangan yang derajatnya lebih tinggi. Sedangkan MK berwenang
menguji UU terhadap UUD (constitutional review).

Pemisahan wewenang judicial review dan constitutional review pada


sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi, yang lepas dari lembaga
Mahkamah Agung, merupakan suatu bentuk kerinduan dari seluruh rakyat
Indonesia atas hukum yang adil, adanya kepastian hukum, dan dijaminnya
hak-hak konstitusional mereka. Jika wewenang pengujian dan fungsi the
interpreter of constitution ini diserahkan kepada Mahkamah Agung,
dikhawatirkan kerinduan itu tidak segera dapat terobati, sebab tradisi
yang berkembang sebelumnya, Mahkamah Agung identik dengan
penumpukan perkara, dan jamak dengan perilaku-perilaku korup, yang
banyak melibatkan person-person dalam institusi ini. Akibatnya, apabila
wewenang menguji tersebut dipaksakan berada di Mahkamah Agung,
maka yang muncul kemudian malah pelanggengan kejumbuhan hukum
yang sudah mengakar terlalu lama. Oleh karenanya, tepatlah kiranya
pembagian kekuasaan kehakiman ke dalam dua lembaga peradilan,
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Agung berfungsi untuk memutus perkara-perkara kasasi dan


melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah
Konstitusi menjalankan fungsi uji konstitusionalitas/constitutional review,
yang terkait dengan penegakkan konstitusi sebagai hukum dasar. Jadi
Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai the guardian and the interpreter
of constitution.

Urgensi Judicial Review

Adanya pengujian UU merupakan sebuah keniscayaan bagi suatu negara


yang memberlakukan sistem checks and balances dan supremasi
konstitusi seperti Indonesia. Setelah kita telah banyak berbicara tentang
sejarah dan dinamika perjalanan bangsa, tentunya penulis mengharapkan
agar pembaca dapat memetik sebuah arti penting diadakannya pengujian
UU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perubahan UUD 1945 telah membawa dampak yang sangat luas
khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. UUD 1945
menegaskan bahwa negara berdasarkan atas hukum. Prinsip ini semula
dimuat dalam Penjelasam, yang berbunyi: negara Indonesia berdasar
atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(machtsstaat). Disamping itu, ada prinsip lai nyang erat kaitannya dengan
prinsip negara hukum yang dimuat dalam penjelasan, yaitu: Pemrintahan
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Prinsip ini mengandung makna adanya
pemisahan kekuasaan dan pembatasan kekuasaan.

Seorang teoritisi asal Austria yang juga menjadi imam madzhab


positivisme hukum, Hans Kelsen, mengidentifikasi empat syarat negara
demokratis yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Keempat unsur
yang harus dipenuhi tersebut adalah:

1.Negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang-


undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen, yang mana
parlemen tersebut dipilh langsung oleh rakyat.

2.Negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap


tidakan dan kebijakan yang dilakukan oleh elit negara.

3.Negara yang menjamin kemerdekaan keuasaan kehakiman.

4.Negara yang melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).

Reformasi yang dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru, telah membuka
peluang terciptanya iklim pemerintahan yang memberi jaminan terhadap
hak-hak konstitusional warga negara. Pada awal-awal masa transisi dari
orde baru ke reformasi, bangsa ini terjebak pada keserbatidakpastian
dan keserbamungkinan. Pada salah satu sisi, bisa saja rezim otoriter
mengalami reinkarnasi, namun pada sisi yang lain era transisi ini
merupakan sebuah golden moment untuk melakukan reformasi konstitusi.

Reformasi di bidang hukum dilakukan dengan melakukan perubahan


terhadap UU No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU
No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No.14 1970 Tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan telah dicabut dengan UU No.4
tentang Kekuasaan Kehakiman.

Cabng kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem


yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sesuai
dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi
legislatif,eksekutif dan yudikatif dikembangkan sebagai cabng-cabang
kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislatif
berpuncak pada MPR yang tediri dari dua kamar, yaitu DPR dan DPD,
maka kekuasaan kehakiman atau yudikatif juga berpuncak pada
kekuasaan kehakiman yang juga dapt dipahami mempunyai dua pintu,
yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Judicial Review oleh Mahkamah Agung (MA)

Perubahan UUD 1945 Pasal 24A (1) menegaskan: Mahkamah agung


berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang. Ketentuan wewenang MA diatur
dalam UU No.5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Wewenang MA untuk melakukan judicial
review peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang selama
ini diatur dalam UU No.14 Tahun 1970 Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi:
Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang
dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Selanjutnya, Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 dan
Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 Pasal 11 ayat (4) kembali mempertegas
yurisdiksi Mahkamah Agung dalam wewenangnya melakukan judicial
review, yang berbunyi: Mahkamah agung mempunyai wewenang
menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang. Kewenangan Mahkamah agung menguji secara
materiil perundang-undangan di bawah undang-undang diatur kembali
dalam UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Constitutional Review oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

Jika pada masa orde baru dimana suatu UU (apalagi UUD) tidak boleh
diperesoalkan apalagi disentuh, yang tercermin dengan keadaan
Mahkamah Agung yang tidak mempunyai yurisdiksi dalam menguji UU
terhadap UUD, maka pada orde reformasi tembok sakralisasi ini
dirobohkan dengan lahirnya amndemen ketiga UUD 1945 Pasal 24C.
Lahirnya sebuah organ negara baru yang senantiasa mempertahankan
supremasi konstitusi membuka gerbang checks and balances terhadap
masing-masing lembaga negara dengan selebar-lebarnya.

Pasal 24C UUD 1945 ayat (1) mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai empat kewenangan, pasal tersebut berbunyi: Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai
wewenang (kewajiban) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
mengenai pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal yang
istimewa bagi putusan Mahkamah Konstitusi yang lain adalah putusannya
bersifat erga omnes, artinya tidak hanya mengikat pada pihak-pihak yang
berperkara, namun berlaku bagi seluruh rakyat. Dengan kata lain, yang
menjadi pemohon dalam constitutional review di Mahkamah Konstitusi
pada hakikatnya adalah semua rakyat.

Memang, kalau kita amati, ada ketidakkhusyukan dalam pengaturan


yurisdiksi Mahkamah agung dan Mahkamah Konstitusi. Prof. Jimly
Ashshiddiqie mengusulkan format yang ideal tentang pengaturan
yurisdiksi ini. Semula, yang Jimly usulkan adalah seluruh kegiatan judicial
review dan constitutional review diserahkan pada Mahkamah Konstitusi,
sedangkan Mahkamah Agung sebagai pengadilan konvensional
seharusnya mempunyai yurisdiksi masalah pidana dan sengketa pemilu
yang sekarang ada pada Mahkamah konstitusi. Dengan kata lain,
Mahkamah Agung tetap diberikan kewenangan sebagai court of law
disamping fungsi utamanya sebagai court of justice. Sedangkan
Mahkamah Konstitusi tetap menjadi court of justice disamping fungsi
utamanya sebagai court of law. Artinya meskipun meskipun keduanya
tidak dapat dibedakan seratus persen, tetapi pada hakikatnya, penekanan
fungsi hakiki antar keduanya berbeda. Senada dengan Prof. Jimly, Prof.
Mahfud MD juga mengatakan hal yang substansinya sama pada
kesempatan yang lain.(Lihat dalam Jurnal Konstitusi Vol.5 Juni 2008).

Kembali pada permasalahan utama, setiap UU yang telah disahkan pada


pokoknya telah mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia,
karena DPR dan Presiden yang secara bersama-sama membuat undang-
undang memang mendapatkan mandat langsung dari rakyat untuk itu.
Akan tetapi, undang-undang hanya mencerminkan kehendak politik DPR
dan Presiden yang belum tentu sama dengan apa yang dikehendaki oleh
seluruh rakyat yang berdaulat. Kehendak rakyat semuanya tertuang
dalam konstitusi (UUD) sebagai produk MPR sebagai lembaga
permusyawaratan rakyat, bukan hanya tercermin dalam UU yang
merupakan kehendak politis Presiden dan DPR. Hasil kesepakatan dalam
forum politik DPR yang ditentukan berdasarkan rule of majority tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai norma keadilan yang lebih tinggi
derajatnya yang termaktub dalam konstitusi. Karena hal itulah, meskipun
mayoritas rakyat menghendaki sesuatu norma hukum yang mengikat
untuk umum diatur dalam suatu undang-undang, jika lembaga pengawal
konstitusi menilainya dalam proses peradilan sebagai norma yang
bertentangan dengan konstitusi (gerundgesetz), maka norma hukum yang
bersangkutan dapat dinyatakan tidak boleh mengikat untuk umum. Suara
mayoritas berdasarkan prinsip demokrasi betapapun juga tidak boleh
mengabaikan prinsip-prinsip nomokrasi, meskipun hanya didukung oleh
minoritas suara. Karena pada akhirnya, suara minoritas keadilan itulah
yang sungguh-sungguh mencerminkan suara seluruh rakyat berdaulat.

* Alumnus PP. Mambaul Ulum Bata-bata, Mahasiswa Fakultas Hukum


Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai