id/2009/04/pengujian-undang-undang-
dalam-tata.html
Namun, usulan antispatif dari Muh. Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo
dengan beberapa alasan, diantaranya adalah : a) tidak ada kebulatan
pendapat antara ahli tata negara pada waktu itu; b) Pada dasarnya
perselisihan tentang suatu undang-undang bertentangan dengan UUD
adalah bersifat politis, bukan yuridis; c) Kewenangan Mahkamah Agung
untuk melakukan judicial review merupakan buah hasil dari konsep trias
politica yang tidak dianut dalam UUD yang telah dipersiapkan dalam
BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai); d) Para pakar hukum sama sekali
mempunyai pengalaman dalam hal seperti itu dan tenaganya belum
begitu banyak, jadi belum waktunya negara yang seumur jagung
melakukan itu. Banyak penilaian dari para ahli yang mengatakan
bahwasanya Konstitusi RI pra-amandemen adalah sebuah konstitusi yang
lugu dan kurang antisipatif.
Salah seorang hakim agung RI, Prof. Dr. Bagir Mannan, menyimpulkan
pendapat K.C Wheare bahwa amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar (UUD) tidak terutama dientukan oleh ketentuan hukum yang
mengatur cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan
politik atau sosial yang dominan pada saat-saat tertentu. Sepanjang
kekuatan poitik yang dominan merasa puas terhadap sebuah Undang-
Undang Dasar (UUD), maka tidak akan ada perombakan atau
amandemen. Wcana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
telah dibahas oleh pembuatnya dulu, para founding fathers. Ir. Soekarno
sebagai ketua perancang Undang-Undang Dasar (UUD), pada 18 Agustus
1945, pernah berkata:
Pengujian Undang-Undang
Tedapat beberapa istilah yang digunakan dalam hal pengujian UU. Yaitu
istilah toetsingsrecht, judicial review, dan constitutional review.
Ketiga istilah ini sering disalahkaprahkan dan dicampuradukkan
penggunaannya satu sama lain. Ketiga istilah tersebut sesungguhnya
berasal dari dua sistem yang berbeda dengan makna yang berbeda pula.
Toetsingsrecht berasal dari Belanda yang sesungguhnya lebih berdasarkan
pada supremasi parlemen sehingga tidak mengenal konsep judicial review
apalagi constitutional review. Sedangkan konsep judicial review dan
constitutional review berasal dari negara-negara yang menganut prinsip
supremasi konstitusi.
Toetsingsrecht secara harfiah adalah hak uji. Istilah ini digunakan pada
saat membicarakan hak atau kewenangan untuk menguji peraturan
perundang-undangan. Hak atau kewenangan tersebut dapat saja dimiliki
oleh hakim, pemerintah, atau legislatif. Hak atau kewenangan yang
dimiliki oleh lembaga tertentu tersebut juga dapat meliputi keseluruhan
jenis peraturan perundang-undangan dalam hirarki tata urutan peraturan
perundang-undangan, atau tertentu saja.
Reformasi yang dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru, telah membuka
peluang terciptanya iklim pemerintahan yang memberi jaminan terhadap
hak-hak konstitusional warga negara. Pada awal-awal masa transisi dari
orde baru ke reformasi, bangsa ini terjebak pada keserbatidakpastian
dan keserbamungkinan. Pada salah satu sisi, bisa saja rezim otoriter
mengalami reinkarnasi, namun pada sisi yang lain era transisi ini
merupakan sebuah golden moment untuk melakukan reformasi konstitusi.
Jika pada masa orde baru dimana suatu UU (apalagi UUD) tidak boleh
diperesoalkan apalagi disentuh, yang tercermin dengan keadaan
Mahkamah Agung yang tidak mempunyai yurisdiksi dalam menguji UU
terhadap UUD, maka pada orde reformasi tembok sakralisasi ini
dirobohkan dengan lahirnya amndemen ketiga UUD 1945 Pasal 24C.
Lahirnya sebuah organ negara baru yang senantiasa mempertahankan
supremasi konstitusi membuka gerbang checks and balances terhadap
masing-masing lembaga negara dengan selebar-lebarnya.
Pasal 24C UUD 1945 ayat (1) mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai empat kewenangan, pasal tersebut berbunyi: Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai
wewenang (kewajiban) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
mengenai pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal yang
istimewa bagi putusan Mahkamah Konstitusi yang lain adalah putusannya
bersifat erga omnes, artinya tidak hanya mengikat pada pihak-pihak yang
berperkara, namun berlaku bagi seluruh rakyat. Dengan kata lain, yang
menjadi pemohon dalam constitutional review di Mahkamah Konstitusi
pada hakikatnya adalah semua rakyat.