Anda di halaman 1dari 7

KAJIAN TENTANG KEMAMPUAN BERNALA ILMIAH

(SCIENTIFIC REASONING ABILITY) PADA PEMBELAJARAN KIMIA


TOPIK TITRASI ASAM-BASA

Eni Mayasari1,*, Effendy2, Fauziatul Fajaroh2


12
Program Studi Pedidikan Kimia Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.5 Malang 65145

*Correspondence authors email: enimayasari18@gmail.com

ABSTRAK

Titrasi asam-basa merupakan satu diantara topik kimia yang sarat dengan konsep-
konsep dan membutuhkan pemahaman konseptual yang mendalam. Pemahaman
konseptual yang mendalam melibatkan kemampuan untuk melihat fenomena kimia baik
secara makroskopik, sub-mikroskopik maupun simbolik serta kemampuan untuk melihat
hubungan antara ketiga representasi tersebut. Namun, studi-studi terdahulu
mengindiasikan bahwa siswa kesulitan memahami representasi submikroskopik dan
simbolik sebab representasi tersebut bersifat abstrak. Untuk dapat memahami representasi
yang bersifat abstrak tersebut dibutuhkan kemampuan mengoperasikan pola-pola berpikir
tinggi, khususnya kemampuan bernalar ilmiah (KBI). Pada makalah ini dikaji peran KBI
dalam pembelajaran kimia, khususnya pada topik titrasi asam-basa. Siswa atau
mahasiswa yang belum mencapai tingkat operasi formal tidak dapat memecahkan
masalah-masalah konseptual karena kemampuan bernalar mereka tidak cukup
berkembang untuk memungkinkan mereka berhasil memecahkan masalah konseptual,
maka dari itu peneliti menyarankan perlunya studi lebih lanjut mengenai hubungan antara
KBI dengan pemahaman konseptual pada pembelajaran titrasi asam-basa khususnya.
Apabila ditemukan hubungan yang signifikan, maka perlu dikembangkan pembelajaran
kimia yang mengintegrasikan pengembangan KBI baik dari SMA hingga level
universitas.

Kata kunci: kemampuan bernalar ilmiah, pembelajaran kimia, topik titrasi asam-basa

ABSTRACT

The topic of acid-base titration is conceptually dense and requires deep


conceptual understanding. Deep conceptual understanding involves the ability to
represent chemical problems using three forms of representation (macroscopic,
submicroscopic and symbolic) and to see the link between them. However, several studies
indicate that students experience difficulty in understanding the submicroscopic and
symbolic representations because these representations are abstract. In order to
understand the abstract nature of these representations, the abilities to operate high
order thinking patterns are needed, especially scientific reasoning ability. This paper
discuss the role of scientific reasoning ability in chemistry learning, especially acid-base
titration. Students who have not develop their formal operation yet, can not solve
conceptual problems because their reasoning abilities are not sufficiently developed to
allow them to successfully solve conceptual problems. Thus we suggest that it is needed
to do further research about relationship between scientific reasoning ability and
conceptual understanding in acid-base titration learning. If there is significant
relationship found, we propose that an increased emphasis on the development of
reasoning abilities must be integrated into chemistry learning from high school through
college.

Keywords: scientific reasoning ability, chemistry learning, acid-base titration

PENDAHULUAN

Titrasi asam-basa merupakan topik kimia yang dibelajarkan baik di kurikulum


sekolah menengah atas (SMA) maupun di universitas. Titrasi asam-basa di SMA
dibelajarkan pada kelas XI semester genap (mengacu silabus K13, 2013), sedangkan di
level universitas dibelajarkan pada mata kuliah kimia dasar 2 dan dasar-dasar kimia
analitik (mengacu pada Kurikulum Jurusan Kimia Universitas Negeri Malang, 2016).
Titrasi asam-basa merupakan metode analisis kuantitatif volumetri (disebut juga
analisis titrimetri) yang menggunakan larutan asam dan basa sebagai titrat dan titrannya.
Titrasi asam-basa yang paling umum dilakukan adalah titrasi yang melibatkan netralisasi
asam kuat dengan basa kuat untuk menentukan konsentrasi dari zat yang tidak diketahui.
Pembelajaran titrasi asam-basa pada umumnya dibelajarkan dengan melakukan
praktikum di laboratorium baik pada pembelajaran kimia di SMA maupun di universtas.
Pekerjaan laboratorium tersebut melibatkan sejumlah pengetahuan terkait titrasi asam-
basa yang dibutuhkan untuk dapat merancang eksperimen, merumuskan hipotesis,
menganalisis hasil, dan mengaplikasikan temuan. Sayangnya, banyak siswa dan bahkan
mahasiswa yang tidak memiliki pengetahuan tersebut secara memadai.
Indikasi penyebab banyaknya siswa atau mahasiswa yang tidak memiliki
pemahaman konsep terkait titrasi asam-basa yang memadai yaitu karena topik titrasi
asam-basa membutuhkan pemahaman yang terintegrasi dari berbagai area pengantar
kimia, seperti sifat partikel materi, sifat dan komposisi larutan, struktur atom, ionisasi,
ikatan ionik dan kovalen, simbol-simbol, rumus dan persamaan-persamaan, serta
kesetimbangan dan teori tumbukan (Sheppard, 2006:41). Tidak hanya itu, pemahaman
topik titrasi asam-basa juga membutuhkan konsep-konsep prasyarat, seperti teori asam-
basa, indikator asam-basa, reaksi netralisasi, larutan penyangga dan hidrolisis.
Keterkaitan dan kekompleksan konsep-konsep tersebut menjadikan topik titrasi asam-
basa berpotensi sulit dipelajari. Sejalan dengan Herron (1975 dalam Sheppard, 2006:32)
yang menyatakan bahwa keterkaitan konsep-konsep prasyarat dan keabstrakan konsep
merupakan faktor kesulitan belajar kimia.
Karakteristik topik titrasi asam-basa yang sarat dengan konsep menjadikan topik ini
membutuhkan pemahaman konseptual yang mendalam. Untuk memperoleh pemahaman
konseptual mendalam dibutuhkan kemampuan untuk menggambarkan dan
menerjemahkan masalah kimia ke dalam bentuk representasi makroskopik, sub-
mikroskopik dan simbolik (Bowen & Bunce, 1997:1), serta kemampuan untuk melihat
hubungan antara satu representasi dengan repressentasi lainnnya.
Pengamatan yang dilakukan selama proses titrasi asam-basa dilakukan pada level
makroskopik. Idealnya, pengamatan pada level makroskopik selanjutnya diterjemahkan
secara mikroskopik dan kemudian dituangkan dalam simbol-simbol atau analogi yang
relevan. Sejalan dengan studi Prain dan Waldrip (2006:1843) yang menemukan bahwa
siswa yang mampu melihat hubungan antara representasi satu dengan yang lainnya
memiliki pemahaman konseptual lebih baik. Namun, tidak semua siswa memiliki
kemampuan tersebut dengan memadai, bahkan Gabel (1999:549) melaporkan bahwa
kesulitan dalam mengaitkan analogi dan model yang berhubungan dengan fenomena
kimia juga terjadi pada mahasiswa. Ditambah lagi representasi sub-mikroskopik
merupakan representasi yang bersifat abstrak sehingga menjadi kesulitan tersendiri untuk
memahaminya.
Mengingat keabstrakan dan kekompleksan konsep pada topik titrasi asam-basa,
maka kebutuhan untuk dapat mengoprasikan pola-pola berpikir tingkat tinggi tidak dapat
dihindari. Makalah ini bertujuan mengkaji peran kemampuan bernalar ilmiah (KBI)
dalam pembelajaran kimia, khususnya pada topik titrasi asam-basa. Kajian ini dirasa
perlu bagi pengajar agar memberikan perhatian yang lebih terhadap perkembangan KBI
baik dari SMA hingga level universitas sehingga topik-topik kimia yang bersifat abstrak
dan kompleks dapat dipahami dengan baik dan memberikan dampak jangka panjang pada
peningkatan prestasi akademik.

METODE
Kajian ini menggunakan analisis kritis mengenai kebutuhan KBI pada pembelajaran
kimia, khususnya pada topik titrasi asam-basa. Kajian dimulai dengan menelaah
karakteristik ilmu kimia khususnya topik titrasi asam-basa, mengkaji potensi-potensi
kesulitan yang mungkin dialami saat mempelajarinya, mengkaji KBI sebagai satu
diantara kebutuhan yang harus dipenuhi untuk memiliki pemahaman konseptual
mendalam dalam pembelajaran kimia. Hubungan antara KBI dan tingkat pemahaman
konseptual pada topik titrasi asam-basa belum diuji secara empirik, sehingga kajian ini
merupakan kajian teoritis hubungan KBI dengan tingkat pemahaman konseptual pada
pembelajaran kimia.

PEMBAHASAN
Pengembangan KBI telah lama menjadi menjadi sasaran utama pendidikan sains,
teknologi, engineering dan matematika (STEM). Studi mengenai KBI dalam bidang sains
telah banyak dilakukan, terutama pada bidang studi biology. Seiring waktu, studi
mengenai KBI berkembang luas ke bidang sains yang lain yaitu fisika dan kimia.

Apa itu Kemampuan Bernalar Ilmiah?


KBI (scientific reasoning ability), disebut juga sebagai penalaran formal oleh
Piaget. Penalaran formal ditandai dengan kemampuan mengoperasikan pola-pola berpikir
yang meliputi isolasi dan kontrol variabel, penalaran kombinasional, penalaran
korelasional, penalaran probabilitas, dan penalaran proporsional (Lawson, 1978:12).
Individu yang telah mencapai operasi formal sanggup melakukan operasi-operasi
proporsional yang tidak hanya terbatas pada objek-objek konkret, tetapi juga pada
proporsi-proporsi abstrak.
Tingkat operasi formal yang dijelaskan oleh Piaget, pada dasarnya adalah sama
dengan penalaran hipotetikal-deduktif (Inhelder & Piaget, 1958:251). Penalaran
hipotetikal-deduktif terjadi ketika seseorang mengobservasi suatu fenomena dan
membayangkan sebuah model hipotetikal untuk merepresentasikan fenomena tersebut
berdasarkan prediksi yang dideduksi dari keadaan aslinya. Selanjutnya, generalisasi data
dilakukan berdasarkan eksperimen yang kemudian digunakan untuk memeriksa apakah
prediksi yang telah dibuat cocok atau tidak.
Berdasarkan perspektif yang lebih operasional, KBI merupakan seperangkat
kemampuan bernalar dasar yang umumnya dibutuhkan untuk dapat berhasil melalui
tahapan inkuiri, yang mana termasuk mengeksplorasi masalah, merumuskan dan menguji
hipotesis, memanipulasi dan mengisolasi variabel, melakukan observasi dan
mengevaluasi. Lawson (2000) dalam Lawsons Classroom Test of Scientific Reasoning
(LCTSR) menjabarkan pola-pola berpikir yang mencirikan kemampuan bernalar ilmiah
(KBI) mencakup (1) konservasi materi dan volume, (2) penalaran proporsional, (3)
pengontrolan variabel, (4) penalaran probabilitas, (5) penalaran korelasional, dan (6)
penalaran hipotetikal-deduktif.
Menurut Piaget, tingkat perkembangan intelektual individu yang paling tinggi
adalah tingkatan operasi formal. Perkembangan intelektual individu antara usia 15 hingga
20 tahun, sebagian besar individu telah mencapai operasi formal, meskipun pada area
yang berbeda-beda tergantung pada kecakapan dan spesialisasi profesional individu
tersebut (Piaget, 1972:161). Studi lebih lanjut yang dilakukan Lawson et al. (2000a:996),
menunjukkan bahwa perkembangan intelektual tidak hanya sampai pada operasi formal
seperti yang dijabarkan oleh Piaget. Selama perkuliahan, perkembangan intelektual
berlanjut melampaui tingkatan operasi formal, setidaknya untuk beberapa mahasiswa
(Lawson et al., 2000a:996). Perkembangan dari tingkatan operasi formal tersebut dikenal
dengan tingkatan post-formal.

Mengapa Kemampuan Bernalar Ilmiah penting dalam Pembelajaran Sains?


Telah diketahui bahwa pembelajaran sains tidak terlepas dari proses inkuiri. Ketika
seseorang melakukan tahapan-tahapan proses inkuiri sangat didukung dengan KBI.
Kemampuan dasar dalam proses inkuiri adalah mengidentifikasi variabel dan
merumuskan hipotesis. Jika melibatkan eksperimen, maka diperlukan juga kemampuan
mengontrol variabel. Analisis dan pengambilan kesimpulan merupakan tahapan kompleks
yang memerlukan kemampuan memahami korelasi dan hubungan sebab-akibat
antarvariabel. Telah dijelaskan di depan bahwa kemampuan-kemampuan tersebut
terangkum dalam KBI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa KBI berperan penting
dalam berinkuiri. Terampil dalam berinkuiri akan memberikan dampak pada keberhasilan
seseorang dalam pembelajaran.
Lawson, (2004:333) menjelaskan bahwa kemampuan bernalar tingkat tinggi tidak
hanya diperlukan dalam membuat keputusan (decision making) dan memecahkan masalah
(problem-solving), tetapi juga untuk memahami konsep dan teori kompleks, serta untuk
menghindari terjadinya miskonsepsi. Schen (2007:8) menjelaskan bahwa KBI yang baik
akan membantu individu dalam membuat hubungan antarkonsep. Dengan demikian,
individu dengan KBI diharapkan memiliki pemahaman konseptual yang lebih baik.
Sejalan dengan studi Lawson, et al. (2000b); Cavallo (1996); Shayer & Adey (1993)
(dalam Abdullah & Shariff, 2008:388) yang menemukan bahwa siswa yang memiliki
kemampuan bernalar rendah memiliki pemahaman konseptual yang lebih rendah
dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan bernalar lebih tinggi.
Pemahaman konseptual merupakan pemahaman yang menggambarkan mental
seseorang tentang suatu konsep atau cara seseorang dalam mengungkapkan kembali
pemahamannya tentang suatu konsep. Pemahaman konsep yang benar sangat penting
sebab konsep tersebut memungkinkan terbentuknya landasan pemahaman tentang konsep
lain yang berkaitan. Pemahaman yang tidak benar tentang suatu konsep memungkinkan
terbentuknya miskonsepsi pada konsep-konsep lain yang berkaitan. Maka dari itu,
penting untuk memiliki KBI sebab KBI membantu proses pemerolehan pemahaman
konseptual yang benar sehingga miskonsepsi dapat dihindari.
Pemahaman konseptual yang benar dan terhindarinya miskonsepsi tentunya akan
berpengaruh pada prestasi akademik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa KBI yang
baik akan memberikan dampak jangka panjang pada peningkatan prestasi akademik.
Studi korelasi antara KBI dengan prestasi belajar sains baik pada siswa SMA maupun
pada mahasiswa telah banyak dilakukan. Studi yang dilakukan Coletta & Phillips
(2005:1175) menemukan adanya korelasi KBI terhadap hasil belajar mahasiswa pada
perkuliahan fisika dengan koefisien korelasi sebesar 0,51 (p< 0.0001). Coletta, Phillips &
Steinert (2007:237) juga melaporkan bahwa KBI memiliki korelasi terhadap hasil belajar
fisika pada dengan koefisien korelasi sebesar 0,53. Nnorom (2013:2012) juga melaporkan
bahwa siswa dengan KBI tinggi menunjukkan performa yang lebih baik pada bidang
studi biologi daripada siswa dengan KBI rendah.
Pentingnya dimiliki KBI tidak hanya terbatas karena membantu peningkatan
prestasi akademik saja, melainkan KBI juga berperan penting dalam pembuatan
keputusan (decision-making) dan pemecahan masalah (problem-solving) dalam
kehidupan sehari-hari. Penalaran kausal dan probabilitas misalnya, digunakan dalam
meramalkan cuaca berdasarkan gejala-gejala fenomena alam yang ditunjukkan. Penalaran
hipotetikal-deduktif misalnya, digunakan ketika seseorang mencoba memecahkan
masalah remote televisi tidak berfungsi. Hipotesis yang diajukan adalah karena baterai
remote tersebut telah mati dan dilakukan ekperimen dengan menggantinya dengan baterai
baru. Jika remote kembali berfungsi, maka eksperimen selesai. Akan tetapi, jika remote
tetap tidak berfungsi maka perlu dirumuskan hipotesis baru dan merancang eksperimen
yang baru pula. Mungkin tidak terpikirkan scecara sadar, namun ia menggunakan
penalaran hipotetikal-deduktif.

Mengapa Kemampuan Bernalar Ilmiah dalam Pembelajaran Kimia?


Studi mengenai korelasi KBI dengan prestasi akademik dalam pembelajaran sains
telah banyak dilakukan (Lawson, et al., 2000b:81; Coletta & Phillips, 2005:1175; Coletta,
Phillips & Steinert, 2007:237; Nnorom, 2013:2012). Telah diketahui bahwa kimia
merupakan satu diantara cabang ilmu sains, maka dapat diduga bahwa KBI juga
dibutuhkan dalam pembelajaran kimia.
Seperti dijelaskan sebelumnya, karakteristik ilmu kimia yang sarat dengan konsep
dan teori kompleks, melibatkan proses inkuiri, serta memerlukan pemahaman pada level
representasi yang bersifat abstrak maka akan sangat memerlukan KBI. Hal ini didukung
berdasarkan studi yang dilakukan Martin (1979 dalam Wiseman, 1981:484) yang
menemukan bahwa kimia merupakan bidang studi yang paling meuntut kesanggupan
operasi formal (rxy = 0,76) dibandingkan dengan fisika (rxy = 0,56) dan biologi (rxy =
0,26).
Lawson (1975 dalam Cracolice, Deming & Ehlert, 2008:873) menjelaskan
rendahnya KBI menyebabkan seseorang tidak dapat memecahkan masalah konseptual.
Pemecahan masalah konseptual memerlukan pemahaman dari suatu konsep dan aplikasi
dari konsep tersebut (bersifat kualitatif). Penggunaan KBI sangat diperlukan dalam
memecahkan masalah konseptual. Berikut contoh soal yang menuntut pemahaman
konseptual pada topik titrasi asam-basa.

Suatu asam kuat HA dititrasi dengan larutan NaOH. Manakah dari gambar berikut yang
merepresentasikan keadaan sebelum titik ekivalen? (ion Na+ dan molekul pelarut tidak
digambarkan)

: OH- : H+ : A- : HA

(a) (b) (c) (d)

Penyelesaikan soal tersebut membutuhkan pemahaman mengenai konsep titik


ekivalen. Sebelum titik ekivalen tercapai, jumlah OH- yang ditambahkan belum cukup
untuk bereaksi dengan semua H+ sehingga di dalam larutan jumlah OH- < H+ seperti pada
pilihan jawaban (d). Pilihan jawaban (b) menunjukkan bahwa jumlah OH- = H+ yang
berarti kondisi tepat pada titik ekivalen. Sedangkan pilihan jawaban (a) dan (c)
menunjukkan adanya asam HX yang tidak terionisasi, yang berarti bahwa HX merupakan
suatu asam lemah dengan harga derajat ionisasi sebesar 0 < < 1. Pilihan jawaban (a) dan
(c) tidak tepat sebab disoal disebutkan bahwa HX merupakan suatu asam kuat.
Gambaran partikulat dalam soal di atas merupakan gambaran representasi sub-
mikroskopik yang tidak dapat dilihat atau diamati secara langsung oleh panca indra.
Seseorang harus mampu membangun model mental untuk dapat memahami
model/analogi seperti yang digunakan dalam soal tersebut. Kemampuan ini
membutuhkan kesanggupan berpikir abstrak sebagaimana yang disebut sebagai operasi
formal.
Problematika yang terjadi adalah perkembangan KBI siswa dan bahkan mahasiswa
yang mengikuti pembelajaran kimia masih sangat kurang. Studi Cracolice, Deming &
Ehlert (2008:873) menemukan bahwa hanya 8% siswa SMA dan 22% mahasiswa tingkat
pertama yang memulai pembelajaran kimia dengan kemampuan bernalar yang memadai.
Ini berarti masih sangat banyak siswa dan mahasiswa yang tidak mengembangkan KBI
mereka hingga operasi formal. Keadaan ini menjadikan siswa atau mahasiswa tidak
punya pilihan lain selain menghafal algoritma untuk menyelesaikan masalah-masalah
kimia (algorithmic problem solvers) karena kemampuan bernalar mereka tidak cukup
berkembang untuk memungkinkan mereka berhasil memecahkan masalah konseptual
(Cracolice, Deming & Ehlert, 2008:877). Cracolice, Deming & Ehlert (2008:876)
menemukan bahwa perbedaan kemampuan bernalar menyebabkan kesenjangan antara
kemampuan memecahkan masalah konseptual dan algoritmik. Dengan kata lain, indikasi
penyebab kesenjangan antara kemampuan memecahkan masalah konseptual dan
algoritmik adalah karena kemampuan bernalar yang rendah. Bila perkembangan KBI
yang rendah tersebut berlanjut terus-menerus maka dikhawatirkan akan memberikan
dampak jangka panjang pada rendahnya pencapaian prestasi dalam pembelajaran kimia
baik. Oleh sebab itu, perlu dirasa perlu dilakukan usaha-usaha untuk mendorong
perkembangan KBI khususnya dalam pembelajaran kimia.

KESIMPULAN
Studi mengenai kecenderungan tertinggalnya pemahaman konseptual dibandingkan
dengan pemahaman algoritmik pada siswa SMA atau mahasiswa telah banyak dilaporkan
(Nakhleh, 1993; Zoller, et al., 1995; Smith dan Metz, 1996; Papaphotis & Tsaparlis,
2008). Berdasarkan uraian yang di atas, diindikasikan bahwa penyebab rendahnya
pemahaman konseptual yaitu karena KBI yang rendah pula. Studi mengenai
kecenderungan rendahnya pemahaman konseptual pada pembelajaran kimia yang ditinjau
dari KBI dirasa masih kurang, khususnya pada topik titrasi asam-basa. Oleh sebab itu,
Penulis menyarankan dilakukannya studi lebih lanjut mengenai pemahaman konseptual
yang ditinjau berdasarkan tingkat perkembangan KBI. Apabila ditemukan korealasi yang
signifikan antara keduanya, maka perlu dikembangkan pembelajaran kimia yang
mendukung pengembangan KBI baik dari SMA hingga level universitas.
Pengajar tidak hanya harus melaksanakan pembelajaran yang disesuaikan dengan
tingkat perkembangan KBI siswa yang diajarnya, tetapi juga harus mendorong siswa
untuk mengembangkan KBI mereka ke tingkatan yang lebih tinggi. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan masalah-masalah kepada siswa yang membutuhkan KBI
sedikit di atas tingkat perkembangan KBI mereka. Strategi ini dirasa efektif siswa akan
mengembangkan KBI mereka karena mereka terpaksa harus menggembangkannya.

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, S., & Shariff, A., 2008, Eurasia Journal of Mathematics, Science &
Technology Education, 4, 4, 387-398.
Bowen, C. W., & Bunce, D. M.,1997, The Chemical Educator, 2, 2, 1-17.
Coletta, V. P., & Phillips, J. A., 2005, American Journal of Physics, 73, 12, 1172-1182.
Coletta, V. P., Phillips, J. A., & Steinert, J. J., 2007, The Physics Teacher, 45, 235-238.
Cracolice, M. S., Deming, J. C., & Ehlert, B., 2008, Journal of Chemical Education, 85,
6, 873-878.
Gabel, D., 1999, Journal of Chemical Education, 76, 4, 548-554.
Inhelder, B. & Piaget, J., 1958, The growth of logical thinking from childhood to
adolescence, New York: Basic Books, 251.
Lawson, E.A., 1978, Journal of Research in Science Teaching, 15, 1, 11-24.
Lawson, E.A., 2000, Lawsons Classroom Test of Scientific Reasoning, Arizona State
University.
Lawson, E.A., 2004, International Journal of Science and Mathematics Education, 2,
307-338.
Lawson, E.A., Alkhoury, S., Benford, R. Clark, B. R., Falconer, K. A., 2000a, Journal of
Research in Science Teaching, 37, 9, 996-1018.
Lawson, E. A., Clark, B., Cramer-Meldrum, E., Falconer, K. A., Sequist, J. M., Kwon, Y.
J., 2000b, Journal of Research in Science Teaching, 37, 1, 81101.
Nakhleh, M. B, 1993, Journal of Chemical Education, 70, 1, 52-55.
Nnorom, N. R., 2013. International Journal of Scientific & Engineering Research, 4, 12,
2102-2104.
Papaphotis, G., & Tsaparlis, G., 2008, Chemistry Education Research and Practice, 9,
323331.
Piaget, J., 1972, Human Development, 15, 1, 157-164.
Prain, V., & Waldrip, B., 2006, International Journal of Science Education, 28, 15, 1843-
1866.
Schen, M. S., 2007, Scientific Reasoning Skills Development in The Introductory Biology
Courses for Undergraduates, Disertasi tidak diterbitkan.
Sheppard, K., 2006, Chemistry Education Research and Practice, 2006, 7, 1, 32-45.
Smith, K., J., & Metz, P. A., 1996, Journal of Chemical Education, 73, 3, 233-235.
Wiseman, F.L. Jr., 1981, Journal of Chemical Education, 58, 6, 484-488.
Zoller, U., Lubezky, A., Nakhleh , M. B., Tessier, B. & Dori, Y. J., 1995, Journal of
Chemical Education, 72, 11, 987-989.

Anda mungkin juga menyukai