Anda di halaman 1dari 22

PENERAPAN SMART SYSTEM SEBAGAI METODE

PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN

Tugas Matakuliah
Metodologi Penelitian
PENDAHULUAN

Pengukuran kinerja perusahaan menjadi hal yang sangat penting bagi manajemen untuk
melakukan evaluasi terhadap performa perusahaan dan perencanaan tujuan di masa mendatang.
Berbagai informasi di himpun agar pekerjaan yang dilakukan dapat dikendalikan dan
dipertanggungjawabkan. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pada seluruh
proses bisnis perusahaan. Namun selama ini, pengukuran kinerja perusahaan cenderung
lebih memfokuskan terhadap sisi keuangan saja. Kecenderungan seperti ini
berdampak kurang baik terhadap sustainbilitas bisnis perusahaan. Sebab hasil pengukuran
kinerja secara parsial tersebut cenderung akan mengaburkan bahkan menyembunyikan
kemampuan perusahaan sebenarnya dalam mencapai nilai ekonomis di masa datang.
Banyak pimpinan perusahaan dinilai sukses jika berhasil mencapai suatu tingkat keuangan
tertentu. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang berusaha untuk meningkatkan
keuntungan dengan cara apapun. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan terjebak pada orientasi
jangka pendek dan mengabaikan kelangsungan bisnis jangka panjang dari perusahaan tersebut.

Sementara itu, metode pengukuran kinerja (performance measurement) telah


berkembang pesat. Para akademisi dan praktisi telah banyak
mengimplementasikan model-model baru dari sistem pengukuran kinerja perusahaan, antara lain
Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996), Integrated Performance Measurement
System (IPMS) (Bititci et al, 1997), dan SMART System (Galayani et al, 1997). Implementasi
sistem pengukuran kinerja dalam konteks perusahaan di Indonesia telah banyak dilakukan.
Akan tetapi aplikasi pengukuran kinerja pada perusahaan industri kecil dan menengah dirasa
kurang, padahal perusahaan industri kecil dan menengah di Indonesia sangat signifikan
jumlahnya dan memiliki tingkat kontribusi yang relatif besar dalam perekonomian Indonesia
serta daya tahan ketika guncangan krisis moneter, industri kecil dan menengah lebih baik
dibanding industri besar.
Pada umumnya, hingga saat ini di Indonesia masih banyak perusahaan berskala kecil
dan menengah (UKM) menjalankan bisnisnya tanpa memiliki visi, misi, dan strategi
manajemen yang jelas. Bahkan tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan tersebut tidak pernah
melakukan penilaian terhadap kinerja bisnisnya. Sehingga meskipun daya tahan terhadap
guncangan ekonomi terbukti kuat, tetapi daya saing bisnisnya di pasar domestik maupun
internasional tergolong rendah. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan bagi upaya
pengembangan UKM dan mewujudkan UKM sebagai pilar ekonomi yang kuat untuk
menunjang pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan kondisi itulah, perlu dilakukan upaya penelaahan terhadap strategi
bisnis UKM dalam kerangka pengembangan kinerja UKM yang berfokus pada
peningkatan daya saing di masa datang. Untuk itu perlu model pengembangan kinerja UKM
berdasarkan sistem penilaian kinerja yang sesuai dengan sifat dan karakteristik UKM.
Gambaran mengenai kinerja perusahaan bisa didapatkan dari dua sumber, yakni informasi
finansial dan informasi nonfinansial. Informasi finansial didapatkan dari penyusunan anggaran
untuk mengendalikan Biaya. Sedangkan informasi nonfinansial merupakan faktor kunci untuk
menetapkan strategi yang dipilih guna melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan. Kedua
informasi diatas dapat dianalisa menggunakan beberapa model pengukuran kinerja perusahaan,
salah satunya dengan menggunakan metode SMART ( Strategic Management Analysis and
Reporting Technique ) System dengan menggunakan strategi objektif sebagai titik awal
perancangannya. Perspektif berdasarkan strategi objektifnya diyakini mampu menunjang
operasional perusahaan. Susunan strategi objektif disusun sesuai tingkatan dalam
manajemen perusahaan manufaktur sehingga tersusun seperti piramida. Banyak perusahaan
kecil dan menengah tidak memiliki visi, misi dan strategi yang jelas, orientasi yang lebih
terfokus pada kinerja operasional lebih mendominasi. Oleh karena itu, model ini sering
dipakai oleh perusahaan kecil dan menengah untuk mengukur kinerja organisasinya.
Tidak adanya visi, misi dan strategi, serta sulitnya mengidentifikasi stakeholder
perusahaan dan lebih berorientasinya pihak manajer pada kinerja operasional adalah alasan
utama memilih SMART system sebagai metode pengukuran kinerja yang dipandang cocok
untuk UKM di Indonesia.
TELAAH PUSTAKA

Beberapa batasan / kriteria Usaha Kecil Menengah

Menurut Undang-undang No.20/2008, yang dimaksud dengan Usaha Kecil adalah


kegiatan ekonomi rakyat beskala kecil dengan kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
3. Milik warga negara Indonesia.
4. Berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha
menengah maupun usaha besar.
5. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan
usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Sedangkan Usaha Menengah adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala menengah yang
memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar
rupiah).
3. Milik warga negara Indonesia.
4. Berdiri sendiri dan bukan anak (cabang) perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi
langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar;
5. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum dan atau yang
berbadan hukum.
Pengertian Kinerja

Menurut Wibowo (2008), kinerja berasal dari pengertian performance. Adapun pengertian
performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai
makna luas, tidak hanya hasil kerja, tetapi bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Adapun
pendapat lain yang dikemukakan oleh Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2008), kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan tujuan strategis organisasi,
kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Venkatraman dan Ramanujam
(1986) menunjukkan bahwa kinerja perusahaan merupakan sebuah konstruk multidimensi.
Dalam hal ini, kinerja perusahaan terdiri dari kinerja keuangan, kinerja bisnis, dan kinerja
keorganisasian. Kinerja keuangan berada di pusat wilayah efektifitas keorganisasian. Ukuran
kinerja ini dinilai sangat penting , tetapi tidak cukup untuk mendefinisikan efektifitas
keseluruhan. Standar berbasis akuntansi seperti penerimaan atas aset (return on asset),
penerimaan atas penjualan (return on sales), dan return on equity mengukur keberhasilan
keuangan. Indikator-indikator tersebut menggambarkan profitabilitas saat ini. Ukuran kinerja
bisnis

berkaitan dengan pasar seperti pasar pangsa pasar, pertumbuhan, diversifikasi, dan
pengembangan produk. Terdapat dua dimensi dalam kinerja ini, yaitu (i) indikator yang berkaitan
dengan pertumbuhan dalam bisnis yang ada dan (ii) indikator yang berkaitan dengan posisi
perusahaan di masa datang (pengembangan produk baru dan diversifikasi). Ukuran efektivitas
keorganisasian berkaitan erat dengan stakeholder. Contoh ukuran tersebut adalah kepuasan
pelanggan, kualitas dan tanggung jawab sosial. Terdapat dua dimensi, yaitu (i) indikator
yang berkaitan dengan kualitas (kualitas produk, kepuasan pegawai), dan (ii) indikator yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial (lingkungan dan masyarakat).
Indikator Kinerja

KPI (singkatan bahasa Inggris : key performance indicators), atau indikator


kinerja kunci dalam bahasa Indonesia, adalah metrik finansial ataupun non-finansial yang
digunakan untuk membantu suatu organisasi menentukan dan mengukur kemajuan terhadap
sasaran organisasi. KPI digunakan dalam intelijen bisnis untuk menilai keadaan saat ini
suatu bisnis dan menentukan suatu kebijakan tindakan terhadap keadaan tersebut. KPI
digunakan untuk menilai aktivitas-aktivitas yang sulit diukur seperti keuntungan pengembangan
kepemimpinan, perjanjian, layanan, dan kepuasan. KPI umumnya dikaitkan dengan strategi
organisasi. Komponen KPI akan berbeda tergantung sifat dan strategi organisasi. KPI merupakan
bagian kunci suatu sasaran terukur yang terdiri dari arahan, indikator kinerja, tolok ukur, target,
dan kerangka waktu.

Model model Sistem Pengukuran Kinerja

Merancang sistem pengukuran kinerja organisasi dibutuhkan model yang mampu


memotret kinerja keseluruhan dari organisasi. Telah banyak model sistem pengukuran kinerja
terintegrasi berhasil dibuat oleh para akademisi dan praktisi. Tiga di antaranya adalah:
Balanced Scorecard Kaplan dan Norton, (1996), Integrated Performance Measurement System
(IPMS) Bititci et al, (1997), dan SMART System dari Wang Laboratory, Inc. Lowell,
Massachucets Galayani et al, (1997).
Sampai saat ini Balance Scorecard adalah model terpopuler untuk sistem
pengukuran kinerja baru yang telah dikembangkan. Kerangka kerja Balanced Scorecard
menggunakan empat perspektif dengan titik awal strategi sebagai dasar perancangannya. Adapun
keempat perspektif tersebut meliputi: financial perspective, customer perspective, internal
business process perspective, dan learning and growth perspective. Keterkaitan antar objektif
dan ukuran kinerja dinyatakan dengan cause-and-effect relationship, di mana terjadi
kulminasi kinerja pada financial perspective.
Berbeda dengan model Balanced Scorecard yang menggunakan strategi menjadi titik
awal dalam melakukan perancangannya, model Integrated Performance Measurement
System (IPMS) adalah model sistem pengukuran kinerja yang dikembangkan di Center
for Strategic Manufacturing dari University of Strathclyde, Glasgow. Tujuan dari model
IPMS agar sistem pengukuran kinerja lebih robust, terintegrasi, efektif, dan efisien.
Berbeda dengan model Balanced Scorecard, model ini menjadikan keinginan Stakeholder
menjadi titik awal dalam melakukan perancangan sistem pengukuran kinerjanya. Stakeholder
tidak berarti hanya pemegang saham (shareholder), melainkan beberapa pihak yang memiliki
kepentingan atau dipentingkan oleh organisasi seperti konsumen, karyawan, dll.
Model SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique)
System merupakan model yang dibut oleh Wang Laboratory dengan menggunakan strategi
objektif sebagai titik awal perancangannya. Perspektif berdasarkan strategi objektifnya
diyakini mampu menunjang operasional perusahaan. Susunan strategi objektif disusun sesuai
tingkatan dalam manajemen perusahaan manufaktur sehingga tersusun seperti piramida. Banyak
perusahaan kecil dan menengah tidak memiliki visi dan strategi yang jelas. Orientasi yang
lebih terfokus pada kinerja operasional lebih mendominasi. Oleh karena itu, model ini sering
dipakai oleh perusahaan kecil dan menengah untuk mengukur kinerja organsasinya.
Setelah dilakukan telaah teoritis dari ketiga model sistem pengukuran kinerja
yaitu : Balanced Scorecard, Integrated Performance Measurement System (IPMS), dan SMART
System, dalam konteks pengukuran kinerja UKM menunjukkan bahwa model SMART System
lebih dipilih dibanding dengan kedua lainnya. Tidak adanya visi, misi, dan strategi, sulitnya
mengidentifikasi stakeholder perusahaan, dan lebih berorientasinya pihak manajer pada kinerja
operasional adalah alasan utama memilih SMART System.
Model SMART System

Model SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique)


System merupakan sistem yang dibuat oleh Wang Laboratory , Inc. Lowell, yang mampu
mengintegrasikan aspek finansial dan non-finansial yang dibutuhkan manajer (terutama manajer
operasi). Model ini dibuat untuk merespon keberhasilan perusahaan menerapkan Just in Time,
sehingga fokusnya lebih mengarah ke operasional setiap departemen dan fungsi di perusahaan.
Tanpa adanya strategi yang jelaspun, kerangka kerja ini dapat digunakan, akan tetapi akan lebih
baik didasarkan atas visi dan strategi perusahaan.
Strategi objektif perusahaan diperoleh dari penjabaran visi dan fungsi bisnis unit yang
utama yaitu finansial (financial) dan pasar (market). Keberhasilan kinerja finansial dan pasar
perlu didukung kemampuan perusahaan untuk dapat memuaskan konsumennya (customer
satisfaction), fleksibilitas produknya (flexibility), dan kemampuan memproduksi yang efektif
dan efisien (productivity). Level terakhir yang perlu dilakukan oleh masing-masing
departemen dan stasiun kerja adalah bagaimana agar produk yang dihasilkan memiliki kualitas
yang baik (quality), kecepatan proses produksi dan pengiriman produk (delivery), waktu proses
yang semakin pendek (process time), dan biaya yang murah (cost). Keempat perspektif ini
diyakini akan dapat menunjang kemampuan perusahaan untuk memuaskan konsumen, memiliki
produk yang fleksibel, dan kemampau produksi dan karyawan yang produktif. Gambar 1
memperlihatkan level masing-masing perspektif pada kerangka kerja SMART System.
Piramid Kinerja

Visi

Objektivitas
Ukuran
Ukuran Ukuran Unit Bisnis
Pasar Keuangan
Unit
Operasi Bisnis
Kepuasan Fleksibi litas Produk
Pelanggan tivitas

Departemen
dan Pusat Kerja
Pengi riman Waktu Proses
Kualitas Biaya

Operasi

Gambar 1. Perspektif pada metode SMART System Sumber :


Vanany dan Sugianto, 2007

METODE PENELITIAN

Pengukuran Kinerja dengan SMART System


Langkah-langkah pengukuran kinerja dengan SMART system meliputi :
a. Identifikasi Strategi Objektif dan Key Performance Indicator (KPI)
Dengan menggunakan kerangka kerja SMART system, strategi objektif perusahaan
dilihat dari level bisnis perusahaan dan perspektif masing-masing level bisnisnya. Melalui data
perusahaan dan wawancara dengan para manajer perusahaan, strategi objektif perusahaan dapat
ditentukan.
b. Penstrukturan Key Performance Indicator (KPI)
Pihak manajemen telah menyimpulkan bahwa hasil KPI dianggap valid kemudian
dilakukan penstrukturan sesuai dengan jenis perspektif yang terdapat pada kerangka kerja
SMART system.

c. Pembobotan Key Performance Indicator


Pembobotan KPI dengan Proses Hierarkhi Analitik didasarkan pada strukturisasi
hierarkhi sistem pengukuran kinerja. Pembobotan diperlukan agar preferensi dari pihak
manajemen terhadap tingkat kepentingan kriteria (Perspektif, Strategi, dan KPI) dapat
diketahui. Desain kuesioner bersifat tertutup dan diberikan kepada pihak manajemen yang
mengerti terhadap kriteria-kriteria yang hendak ditanyakan. Hasil data dari kuesioner
kemudian diolah. Bobot yang didapatkan harus konsisten dengan syarat inconcistency
ratio harus kurang dari atau sama dengan 0,1. Bila tidak konsisten, maka dilakukan
konfirmasi kembali kepada pihak manajemen hingga tercapai tingkat konsistensi yang
disyaratkan.
Adapun proses hierarkhi analitik untuk melacak ketidakkonsistenan dalam
pertimbangan preferensi angka kepentingan kriteria/perspektif serta KPI. Pada dasarnya proses
hierarkhi analitik merupakan penyederhanaan suatu masalah yang kompleks yang tidak
terstruktur, strategik, dan dinamik kedalam bagian komponennya, serta menata bagian atau
variabel dalam suatu susunan hierarkhi, Iskandar (2009). Kemudian tingkat kepentingan setiap
variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara
relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari beberapa pertimbangan tersebut kemudian
dilakukan sinujia untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan
untuk mempengaruhi hasil pada sistem kinerja, Iskandar (2009).
Prinsip kerja proses hierarkhi analitik dimulai dengan mengidentifikasi sistem, lalu
diikuti dengan penyusunan hierarkhi, dan penyusunan matriks pendapat. Tahap identifikasi
sistem diperlukan untuk memahami permasalahan, menetapkan tujuan, dan kriteria alternatif.
d. Penilaian Kinerja
Proses pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah selama
pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah ditentukan, atau apakah
kinerja dapat dilakukan sesuai target yang ditetapkan atau diharapkan pada tahun
pengukuran (2007 dan 2008). Data yang di perlukan dalam pengukuran berupa data sekunder
dari pihak manajemen yang berkompeten. Data yang di peroleh tersebut dikonversikan dalam
bentuk angka atau skor. Adapun sistem penyekoran yang digunakan dalam penelitian ini adalah
OMAX (Objective Matrix) untuk setiap KPI. Skor OMAX terletak pada rentang 1 s.d. 10
dimana Nilai 1 menunjukkan bahwa kinerja KPI sangat jauh dibawah target atau dapat
dikatakan kinerja terjelek, nilai 7 menunjukkan kinerja KPI sama dengan yang telah ditargetkan,
dan nilai 10 menunjukkan KPI telah mencapai target dan jauh melampaui target.
Nilai 2,3,4,5, dan 6 merupakan nilai interpolasi dalam rentang 1 s.d. 7, dan nilai 8 dan 9
adalah nilai interpolasi antara nilai 7 dan 10. Nilai kinerja KPI perusahaan dapat dilihat pada
tabel-tabel di bawah ini untuk masing-masing KPI sesuai dengan level dan perspektif.
Pada saat pengukuran digunakan konsep Traffic Light System
dengan menggunakan tiga warna, yaitu warna hijau dengan ambang batas 7,1 s.d.
10 artinya kinerja KPI telah mencapai target bahkan melampaui target, warna kuning
dengan ambang batas 3,1 s.d. 7,0 artinya kinerja KPI belum mencapai target tetapi telah
mendekati target yang hendak dicapai, dan warna merah dengan ambang batas lebih kecil atau
sama dengan 3,0 artinya kinerja KPI benar-benar dibawah target dan KPI ini perlu dapat
perhatian khusus pada saat periode berikutnya.

Alat Bantu Pengolahan Data


Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student
Version membantu proses pengolahan data pada tahap pembobotan Key Performance
Indicators dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) didasarkan pada struktur hierarki
sistem pengukuran kinerja.
PEMBAHASAN
Dengan mengacu pada kerangka kerja SMART system, strategi objektif UKM Hentoro
Leather dilihat dari level bisnis dan perspektif masing-masing level bisnis. Melalui metode
wawancara dengan pihak manajer, maka strategi objektif dapat ditentukan. Strategi objektif
belum dapat menunjukkan seberapa berhasilnya mewujudkan tujuan. Oleh karena itu,
perlu metrik yang dapat diukur serta mampu mempresentasikan keberhasilan dari strategi
objektif, metrik yang dimaksud adalah key performance indicators (KPI), yang
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Identifikasi Strategi Objektif dan KPI UKM Hentoro Leather

Level Bisnis Perspektif Strategi Objektif Key


(Variabel Performan
Peningkatan Profit
Penelitian) JumlahceProfit
Ukuran Finansial Peningkatan Rasio perubahan
Unit Peningkatan Likuiditas pendapatan
Rasio Kas
Bisnis Peningkatan Pangsa Pasar Pangsa Pasar
Ukuran Pasar
Peningkatan pemesanan Persentase jumlah
hasil produksi pesanan

Peningkatan Jumlah Jumlah produk terjual


Produk Persentase produk cacat
Produktivitas Peningkatan Konsistensi hasil
Kemampuan produksi
Unit Produksi Jumlah produk
Operasi
tidak sesuai QC
Bisnis Pengembangan Inovasi Jumlah produk inovasi
Produk
Peningkatan Tingkat produktivitas
Produktivitas karyawan
Karyawan
Penggunaan Teknologi Volume penggunaan
Fleksibilitas teknologi
Persentase
pemeliharaan
Peningkatan Pemeliharaan
alat produksi
Persentase
pemeliharaan
alat non

Peningkatan produksi
Persentasi keluhan
Peningkatan pelanggan
Jumlah Jumlah pelanggan baru
Pelanggan Pelanggan
Mempertahankan Jumlah pelanggan tetap
Kesetiaan
PenurunanPelanggan
Harga Harga pokok produksi
Departement
dan Biaya Optimalisasi Pokok
Penggunaan Persentasi penggunaan

Work Center Peralatan Peralatan

Pengoptimalan Perputaran bahan baku /


material
penggunaan bahan baku / Kapasitas Produksi

Perbaikan Kemampuan Persentase produk tidak


Waktu Peningkatan
Proses terpenuhi
Jumlah Jumlah karyawan terlatih
Proses Karyawan Ketepatan waktu
Pengiriman Peningkatan Layanan pengiriman produk
Peningkatan Kualitas Banyaknya produk cacat
Distribusi
Kualitas Produk

Peningkatan Kualitas Ketersediaan data base


Sistem Informasi
Sumber : UKM Hentoro Leather
Langkah selanjutnya adalah pembobotan dari masing-masing KPI berdasarkan
struktur hierarki pengukuran kinerja. Langkah ini diperlukan untuk preferensi dari pihak
manajemen terhadap tingkat kepentingan kriteria dapat diketahui. Sifat dari kuesioner
yang berfungsi sebagai instrumen perolehan data adalah tertutup serta diberikan kepada
pihak yang kompeten dan memahami dari setiap kriteria yang akan ditanyakan. Pembobotan
diperoleh dari metode Analytical Hierarchy Process (AHP) didasarkan pada struktur hierarki
pengukuran kinerja.
Langkah-langkah yang di lalui pada proses pembobotan diantaranya, melakukan
pengajuan kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan kepada pihak internal maupun
eksternal perusahaan, pertanyaan yang diberikan untuk mengidentifikasi tingkat kepentingan
pada tiap-tiap perspektif dan KPI, misalkan KPI A dengan B, A dengan C, B dengan C, dan
seterusnya. Setelah itu di olah dengan software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student
Version dengan metode AHP. Apabila hasil pengolahan masih menunjukkan terdapat
inkonsistensi maka dilakukan konfirmasi ulang ke pihak internal maupun eksternal
perusahaan, dikarenakan pada metode AHP disyaratkan untuk nilai inconcistency ratio harus
kurang dari atau sama dengan 0,1. Prinsip kerja proses hierarkhi analitik dimulai dengan
mengidentifikasi sistem, lalu diikuti dengan penyusunan hierarkhi, dan penyusunan
matriks pendapat. Tahap identifikasi sistem diperlukan untuk memahami permasalahan,
menetapkan tujuan, dan kriteria alternatif.
Gambar 2. Output Proses Pembobotan Sembilan Perspektif dengan AHP
Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version

Gambar 3. Output Proses Pembobotan KPI pada level Unit Bisnis dengan AHP Sumber :
Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version

Gambar 4. Output Proses Pembobotan KPI Pada Level Business Operating Units dengan
AHP
Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version
Gambar 5. Output Proses Pembobotan KPI Pada Level Departements and Work Centers
Sumber: Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version
Tabel 2 Kombinasi Hasil Pembobotan dan Pengukuran Kinerja
Level Perspektif KeyPerformance Bobot Skor
Indicators (%)

Keuangan Jumlah Profit 10.0 5.0


Pendapatan 3.3 3.0
Cash Ratio 3.3 5.0
Ukuran Pangsa Pasar 13.8 4.0
Unit Bisnis pasar Persentase jumlah 50.8 5.0
pesanan
Jumlah produk terjual 18.7 3.0

Produktivitas %Pengurangan Produk 8.0 4.5


Cacat
Unit Operasi
Konsistensi Hasil 6.4 4.0
Bisnis
Produksi
Jumlah produk yang 1.8 6.0
tidak sesuai dengan QC

Jumlah produk inovasi 9.2 7.5


Tingkat produktivitas 8.0 5.0
karyawan
Fleksibilitas Volume penggunaan 3.4 5.0
tekhnologi
Persentase pemeliharaan 22.5 6.0

alat produksi
Persentase 7.5 7.0
pemeliharaan alat non
Pelanggan Persentas
produksi keluhan 20.5 7.5
e
Jumlah pelanggan baru 3.9 5.0
Jumlah pelanggan tetap 8.9 5.0
Biaya Penurunan Harga 10.2 4.0
pokok produksi
Persentas penggunaan 6.4 5.5
e
Perputaran bhn baku / 8.1 3.5
material
Waktu proses Kapasitas produksi 13.3 4.5
Persentase jumlah 3.0 4.0
produk tidak terpenuhi
% Kerusakan produk di 4.7 4.0
Departeme gudang
Jumla karyawan 3.7 5.5
n dan
h
Pengiriman Ketepatan waktu 10.5 7.5
Pusat Kerja
pengiriman
Ketepatan pesifikasi 10.5 5.0
order
Kualitas Banyaknya roduk 7.4 7.5
cacat
Ketersediaan data base 22.3 6.0
Sumber : Pengolahan AHP dengan software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student
Version dan pengukuran kinerja th. 2007-2008 UKM Hentoro Leather.
Tabel 2 menunjukkan besar pembobotan dan nilai kinerja dari setiap masing-masing KPI.
Pada sub bab ini penulis memfokuskan analisis pada KPI yang memiliki besar pembobotan
paling tinggi dan nilai kinerjanya, pada level yang berbeda. Level unit bisnis, di level ini
terdapat dua KPI yang memiliki besaran bobot paling tinggi diantaranya KPI persentase jumlah
pesanan dan jumlah produk terjual dengan bobot masing masing sebesar 50.8% dan 18.7%.
Kedua KPI tersebut tergabung dalam satu perspektif, yakni perspektif ukuran pasar. Nilai
kinerja KPI tersebut belum mencapai target karena masih dibawah angka 7 ( skore 7 ), untuk
KPI persentase jumlah pesanan masih berwarna kuning, sedangkan untuk KPI jumlah produk
terjual masih berwarna merah tetapi keduanya berpeluang untuk mencapai target di periode
berikutnya.
Level Unit Operasi Bisnis, untuk level ini perusahaan dapat dikatakan masih cenderung
mendekati target yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan oleh skore yang diperoleh KPI dari
setiap perspektif yang rata rata skorenya masih dibawah 7 (skore 7), dan berwarna kuning.
Pada level ini KPI yang mempunyai bobot paling tinggi adalah KPI persentase pemeliharaan
alat produksi dari perspektif fleksibilitas dengan bobot 22.5%. sedangkan untuk KPI jumlah
produk inovasi dan persentase keluhan pelanggan nilai kinerja KPInya sudah mencapai target
dengan skore diatas 7 ( skore 7 ) dan berwarna hijau, walaupun bobot yang dimiliki tidak
setinggi KPI persentase pemeliharaan alat produksi dari perspektif fleksibilitas
Level selanjutnya yaitu Level Department dan Pusat Kerja, dalam level ini KPI yang
memiliki besar bobot tertinggi adalah ketersediaan data base dengan bobot 22.3%. Namun
nilai kinerja KPI tersebut belum mencapai target karena masih dibawah angka 7 ( skore 7 ).
Sedangkan 2 KPI dari perspektif pengiriman dan perspektif kualitas yaitu KPI ketepatan
waktu pengiriman produk dan banyaknya produk cacat, kinerja KPInya sudah mencapai target
dengan skore 7.5 dan berwarna hijau. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa pada level ini
perusahaan menitikberatkan terhadap masalah kualitas produk dan pengiriman produk,
dikarenakan dengan kualitas sesuai standar dan pengiriman yang tepat waktu maka akan
meningkatkan kepuasan dari konsumen. Kemudian 8 KPI lainnya yang terdistribusi ke dalam
tiga perspektif yaitu perspektif biaya, perspektif waktu proses dan perspektif-
pengiriman, nilai kinerja KPInya belum mencapai target atau bisa juga dikatakan cenderung
mendekati target, karena skorenya masih di bawah angka 7 ( skore 7 ). KPI yang masih di
bawah target cukup sulit bila harus mencapai target, seperti misalnya KPI harga pokok
produksi dari perspektif biaya, dikarenakan harga-harga faktor produksi saat ini cenderung naik
dan fluktuatif.
Untuk memperbaiki kinerja perusahaan tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan dan
peningkatan strategi objektif pada setiap level, sehingga diharapkan KPI yang pencapaiannya
masih dibawah target (berwarna kuning dan merah) dapat ditingkatkan kinerjanya. Perbaikan
dan peningkatan strategi objektif tersebut ditentukan dengan mengkombinasikan hasil
pembobotan dan hasil pengukuran kinerja KPI (lihat tabel 4.9). Sebagai prioritas pertama,
perbaikan dan peningkatan strategi objektif dikonsentrasikan pada level departemen dan
pusat kerja. Level ini merupakan pondasi dari perspektif pada metode SMART System, yang
mengawali keberhasilan level unit operasi bisnis dan level unit bisnis. Pada level ini yang
menjadi prioritas utama adalah peningkatan kualitas sistem informasi, diikuti oleh peningkatan
kemampuan proses produksi, peningkatan layanan distribusi, penurunan harga pokok
produksi, pengoptimalan penggunaan bahan baku / material, peningkatan kualitas produk.
Prioritas kedua adalah perbaikan dan peningkatan strategi objektif dikonsentrasikan
pada level unit operasi bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah
peningkatan pemeliharaan peralatan produksi, diikuti oleh peningkatan kepuasan pelanggan,
pengembangan inovasi produk, mempertahankan kesetiaan pelanggan, peningkatan produktivitas
karyawan, peningkatan kemampuan produksi, peningkatan jumlah pelanggan, dan penggunaan
teknologi.
Prioritas ketiga adalah perbaikan dan peningkatan strategi objektif dikonsentrasikan
pada level unit bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan
pemesanan hasil produksi, diikuti oleh peningkatan jumlah produk terjual, peningkatan
pangsa pasar, peningkatan profit, peningkatan pendapatan penjualan dan peningkatan
likuiditas. Upaya perbaikan dan peningkatan strategi objektif pada setiap level dengan skala
prioritasnya sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, sebagai analisis terhadap pengukuran
kinerja perusahaan dengan metode SMART system.
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat di tarik beberapa
kesimpulan untuk penelitian ini, diantaranya :
1. Terdapat 22 strategi objektif, diantaranya: Peningkatan profit, Peningkatan pendapatan
penjualan, Peningkatan likuiditas, Peningkatan pangsa pasar, Peningkatan pemesanan
hasil produksi, Peningkatan jumlah produk terjual, Peningkatan kemampuan produksi,
Pengembangan inovasi produk, Peningkatan produktivitas karyawan, Penggunaan
teknologi, Peningkatan pemeliharaan peralatan, Peningkatan kepuasan pelanggan,
Peningkatan jumlah pelanggan, Mempertahankan kesetiaan pelanggan, Penurunan harga
pokok produksi, Optimalisasi penggunaan peralatan, Pengoptimalan penggunaan bahan
baku / material, Peningkatan kemampuan proses produksi, Peningkatan jumlah
karyawan terlatih, Peningkatan layanan distribusi, Peningkatan kualitas produk, dan
Peningkatan kualitas sistem informasi.
2. Hasil pengukuran menunjukan bahwa kinerja perusahaan dikatakan baik, terutama pada
level Departemen dan Pusat Kerja, dan level Unit Operasi Bisnis. Maka dari itu terdapat
kemungkinan diperiode mendatang level Unit Bisnis akan terjadi peningkatan kinerja.
3. Sebagai prioritas pertama, perbaikan dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada
level Departemen dan Pusat Kerja. Level ini merupakan pondasi dari perspektif pada
metode SMART System, yang mengawali keberhasilan level unit operasi bisnis dan level
unit bisnis. Pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan kualitas
sistem informasi. Prioritas kedua adalah perbaikan dan peningkatan strategi objektif
dilakukan pada level Unit Operasi Bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama
adalah peningkatan pemeliharaan peralatan produksi. Prioritas ketiga adalah perbaikan
dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada level Unit Bisnis, pada level ini yang
menjadi prioritas utama adalah peningkatan pemesanan hasil produksi.
Berdasarkan kesimpulan di tersebut, penulis memberikan saran-saran yang dapat
dimanfaatkan oleh UKM Hentoro Leather sebagai berikut :

1. Perusahaan agar mempertahankan hasil kinerja yang telah mencapai target, terutama pada
KPI-KPI yang termasuk di perspektif produktivitas, pelanggan, pengiriman, dan kualitas.
Serta merencanakan target-target yang berorientasi pada tujuan ataupun visi organisasi.
2. Mengimplementasikans setiap strategi objektif yang telah ditetapkan organisasi dan
tetap dalam konteks pengontrolan pihak-pihak internal organisasi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar Arif., dan Wibowo. 2005. Akuntansi untuk Bisnis Usaha Kecil dan Menengah.
PT Grasindo: Jakarta.
Antony, R & Vijay Govindarajan.2005. Sistem Pengendalian Manajemen. Salemba

Bititci, U.S., Carrie, A.S. McDevitt and Turner, T. 1997. Integrated Performance Measurement
Systems: A Reference Model. Proceeding of IFIP-WG5.7 1997 Working Conference,
Ascona Ticono-Switzerland, 15-18 September 1997.
Budiarti, Isniar. 2005. Balanced Scorecard Sebagai Alat Ukur Kinerja dan Alat Pengendali
Sistem Manajemen Strategis. Majalah Ilmiah Unikom, vol. 6, hlm. 51 59.
Cross, K.E. and Lynch, R.L. 1997. The SMART Way to define anda sustein success.
National Productivity Revies, New York.
Ghalayani, A.M. and Noble, J.S. 1998. The changing of performance Measurement
Univesity of Missouri, Columbia, USA.
Hill, Terry. 1994. Manuacturing Stretegy. Mc. Graw Hill, New York.
Kaplan, Robert S. And Norton, David P. 1996. Translating Stretegy Into Action The
Balanced Scorecard. Harvard Business Scholl Press. Boston, Massachusetts.
Mulyadi. 2000. Akuntansi Biaya. Aditya Media: Yogyakarta
Naniek Utami Handayani, Haryo Santoso, dan Rochmawati. 2005. Perancangan Sistem
Pengukuran Kinerja Menggunakan Metoda Performance Prism. Jurnal Tekhnik Industri ,
vol. 10, No. 4 : 295 303.
Putri, Vicky Rahma dan Lukviarman, Niki. 2008. Pengukuran Kinerja Bank Komersial
dengan Pendekatan Efisiensi : Studi Terhadap Perbankan Go-Public di Indonesia. JAAI,
vol. 12, No. 1 : 37 52.

Anda mungkin juga menyukai