GGK 4
GGK 4
Latar Belakang
Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan
tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal,
reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai
kemih. Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstra sel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
gomerulus, reabsorbsi ginjal dan sekresi tubulus. Ginjal dilalui oleh sekitar 1.200 ml darah
per menit, suatu volume yang sama dengan 20 sampai 25 persen curah jantung (5.000 ml per
menit). Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks, sedangkan sisanya
dialirkan ke medulla. Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-
communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan
penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases)
sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan
kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini
sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung
koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. Pada penyakit ginjal kronik
terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya
yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit
kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot
serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis
dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal
kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah
menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat
dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang
harus dilaksanakan adalah diagnosis dini, pencegahan, dan pengobatan yang efektif terhadap
penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit
ginjal kronik dapat dikendalikan.
2.Tujuan
3.Manfaat
BAB II PEMBAHASAN 1.
Definisi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal
yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (KMB, Vol 2 hal 1448). Penyakit gagal
ginjal kronis bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi uremia karena kegagalan tubuh
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit (SmeltzerC,
Suzanne, 2002 hal 1448). Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan
fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
2.
Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
Nefropati toksik
Nefropati obstruktif (batu saluran kemih) (Price & Wilson, 1994)
Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam
2 kelompok : a.
Pengobatan
Tujuan terapi adalah untuk memperlambat atau menghentikan perkembangan CKD ke tahap
5. Pengendalian tekanan darah dan pengobatan penyakit asli, kapanpun layak, adalah prinsip-
prinsip yang luas dari manajemen. Umumnya, angiotensin converting inhibitor enzim
(ACEIs) atau angiotensin II reseptor antagonis (ARB) yang digunakan, karena mereka telah
ditemukan untuk memperlambat perkembangan CKD ke tahap5. Meskipun penggunaan
penghambat ACE dan ARB merupakan standar saat ini perawatan untuk pasien dengan CKD,
pasien semakin kehilangan fungsi ginjal sedangkan pada obat-obat ini, seperti yang terlihat
dalam RENAAL studi, yang melaporkan penurunan dari waktu ke waktu diperkirakan laju
filtrasi glomerulus pada pasien yang diobati oleh metode konvensional. Saat ini, beberapa
senyawa dalam pembangunan untuk CKD. Ini termasuk, tetapi tidak terbatas
pada, bardoxolone metil, olmesartan medoxomil, sulodexide, dan avosentan.
Penggantian eritropoietin dan calcitriol, dua hormon diproses oleh ginjal, sering diperlukan
pada pasien dengan CKD maju. Fosfat binder juga digunakan untuk mengontrol serum fosfat
tingkat, yang biasanya meningkat pada penyakit ginjal kronis lanjut. Ketika seseorang
mencapai tahap 5 CKD, terapi penggantian ginjal diperlukan, dalam bentuk baik dialisis
atau cangkok. Normalisasi hemoglobin belum ditemukan menjadi manfaat apapun. Orang
dengan CKD berada pada risiko nyata terhadap penyakit kardiovaskular, dan sering memiliki
faktor risiko lain untuk penyakit jantung, seperti hiperlipidemia. Penyebab paling umum
kematian pada orang dengan CKD karena penyakit kardiovaskular daripada kegagalan ginjal.
Pengobatan agresif hiperlipidemia dibenarkan.
Daftar Pustaka
Mubin, Halim. 2007. Panduan
Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi Edisi 2
. EGC. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 4
. Balai Penerbitan Dep. IPP. FKUI. Jakarta Sukandar, Enday. 2006.
Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis
. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung
1.1
LATAR BELAKANG
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh manusia. Akan tetapi pengetahuanmasyarakat
tentang ginjal masih jauh dari memadai. Organ yang memiliki besar sepertitelapak tangan
fungsinya banyak sekali. Bukan hanya sebagai alat penyaring dan pembersihdarah seperti
yang sudah luas terkenal.Akan tetapi ginjal memiliki fungsi
fungsi lainnya.Tidak perlu ditutupi,kenyataan bahwa cukup banyak dari masyarakat awam
tidak mengetahui secara tepat dimana letak ginjalnya . Apalagi mengenai besarnya,
sistemkerjanya, dan darimana datangnya air seni. Ginjal merupakan bagian utama dari
sistemsaluran kemih yang terdiri atas organ
organ tubuh yang berfungsi memproduksi maupunmenyalurkan air seni ke luar tubuh.Tanda
adanya gangguan ginjal sangat bervariasi. Ada yang lama tidak menampakkantanda atau
gejala sama sekali ,baru belakangan timbul keluhan. Pada dasarnya, adanyakeluhan yang
tidak begitu menonjol pada seseorang harus dipikirkan kemungkinan hal itudisebabkan oleh
gangguan pada ginjalnya. Pemeriksaan laboratorium penyaring untuk melihat baik tidaknya
fungsi ginjal sangat sederhana dan mudah dilakukan diberbagailaboratorium, yaitu mengukur
kadar urea dan kreatinin plasma darah,endapan air seni(apakah sel darah merah, sel darah
putih berlebihan).
. PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada
gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Insiden PGK meningkat diseluruh dunia,
baik di negara berkembang maupun di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi
pengganti ginjal meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa PGK
tahap akhir meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor yang
dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia,
dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan
asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat
memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti
hemodialisis atau CAPD.
II. MANIFESTASI GAGAL GINJAL KRONIK
1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
Homeostasis natrium dan air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan natrium
dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan. Penyebabnya adalah terganggunya
keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses
pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi
CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien
dengan penyakit ginjal kronik yang belum didialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES,
maka pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan
sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme
ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.1
Homeostasis kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan
ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karena konstipasi,
katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented
dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat kalium masuk
ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefron bagian distal. Hipokalemia jarang
terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium
dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.1
Asidosis metabolik
Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi
penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Pada
kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat
atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan
perhatian yang seksama terhadap status volume.1
2.Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada PGK dapat diklasifikasikan sebagai high
bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau
normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidisme
berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan
menimbulkan retensi PO43-.
(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel kelenjar
para tiroid. .
(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi
PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi
oleh kalsiferol ).
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah dapat
menimbulkan hiperparatiroidisme melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol
diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan
kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu
pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gasrto interstinal,
yang kemudian menimbulkan hipokalsemia dan selanjutnya meningkatkan sekresi dan
produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis
kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang
menimbulkan hiperparatiroid sekunder.1,2
Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu
osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa
penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas.
Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau
peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan
deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai
kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan ini
biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.1,2
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi
fosfat di saluran cerna.1,2
III. PENATALAKSANAAN PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V PRE-
DIALISIS
Penatalaksanaan konservatif penyakit ginjal kronik meliputi1:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3.Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebih
lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus.1
Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah:
1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
2. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
4. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Beberapa prinsip terapi konservatif antara lain adalah1:
1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik
Hindari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi
Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
2. Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal yang progresif lambat (slowly progresif)
Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular
Mengendalikan infeksi jika terjadi
Diet protein yang proporsional
Mengendalikan hiperfosfatemia
Terapi terhadap hiperurisemia
Terapi keadaan asidosis metabolik
Mengontrol kadar gula darah
3. Terapi alleviative gejala azotemia
Pembatasan konsumsi protein hewani
Terapi gatal-gatal pada kulit
Terapi terhadap keluhan gastrointestinal
Terapi terhadap keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot
Terapi kelainan tulang dan sendi
Terapi anemia
Penatalaksanaan anemia
Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%.
Penyebab anemia adalah multifaktorial antara lain defisiensi besi,
defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang memendek, perdarahan
kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid, keracunan
aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai
dampak negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola dengan
baik.20
Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika
penyebab anemia adalah karena defisiensi besi, maka terapinya adalah
dengan memberikan preparat besi. Terapi besi pada PGK menurut
rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi besi, terlebih
dahulu dilakukan test dose, dimana terapi besi fase koreksi bertujuan
untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional sampai
status besi cukup, yaitu feritin serum >100g/L dan saturasi transferin
>20%. Cara pemberian:
Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi
100 mg, diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling
cepat 15 menit.
Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%.
Dosis besi fase koreksi:
bila serum feritin 30g/L : 6x100 mg dalam 4 minggu
bila serum feritin 31 sampai 100 g/L : 4x100 mg dalam 4 minggu
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi
dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup,
dilanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.20
Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan
dosis 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu.
Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi EPO.
Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht <
30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat
pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu
diperhatikan pada terapi EPO :
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan
untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 %
dalam 2-4 minggu.
c. Hb,Ht dipantau tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
g. Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO.
Terapi EPO fase pemeliharaan:
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali 2000
IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3 bulan.
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka
dosis EPO diturunkan 25%.
Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
iv.20
Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan pengobatan terpenting untuk mencegah timbulnya
hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan
pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis,
yaitu
yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat
dan kalsium asetat.
yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate binder) seperti lantanum
karbonat.
Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan peristiwa yang
dapat mengarah pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi
keterlibatan tulang yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan
agen pengikat fosfat, maka diindikasikan terapi vitamin D atau
paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah osteomalasia maka perlu
harus dimulai terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.2,21
Neuropati Perifer
Biasanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal
ginjal mencapai tahap yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang
diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut kecuali dengan dialisis
yang dapat menghentikan perkembangannya.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung.
Penerbit ITB: 2006;465-514.
2. Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD. Serum phosphate levels and mortality risk
among people with chronic kidney disease. Kidney Int 2005;95:S21-7
3. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik, diunduh
dari:
http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf
4. Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease (CKD)
Patients, diunduh dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/should_we_still_prescribe_a_reductio
n.pdf
5. Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal Disease:
A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual meeting of
Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas Diponegoro: 2010;81-
89.
6. Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD: Kongres
Nasional X Pernefri Annual Meeting;57-63.
7. Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in
chronic renal failure, long term study. Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
8. Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein
diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
9. Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood pressure
control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
10. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic
kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
11. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction.
Kidney Int 2005;67:1739-42
12. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J
Am Soc Nephrol 2006;17:165-168
13. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of
Renal Nutrition 2005;15(1):28-33
14. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with
chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
15. Mitch WE, Klahr S. Handbook of nutrition and the kidney, Lippincot,
William&Wilkins, Philadelphia, 5thed;2005:115-137
16. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidney
disease: evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Quality
Initiative. Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
17. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in chronic
renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
18. Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik
predialisis: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
19. Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:249-255
20. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri,
Annual Meeting:37-40
21. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum
Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual
meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit Universitas
Diponegoro:133-136.
22. Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC
2007.
candesartan
Farmakodinamik ARB
ARB merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS dengan cara
menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara
spesifik. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan
volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan
cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler
ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl
dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin
dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang
terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja
pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion
natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan ribu kali
lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1. Akibat
penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1, yang secara
langsung memberikan efek vasodilatasi, penurunan vasopressin, dan penurunan aldosteron,
selain itu, penghambatan tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na dan
penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II
yang terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi,
antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik
dengan efek hambatan pada reseptor AT1.
Candesartan
Candesartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Prodrug
candesartan dipasarkan dalam bentuk candesartan cileksil, dengan nama Blopress, Atacand,
Amias, dan Ratacand.
Farmakokinetika Candesartan
Absorpsi: Setelah pemberian oral, bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15% hingga
40%. Setelah konsumsi tablet, konsentrasi serum puncak (Cmax) tercapai setelah 3-4 jam.
Makanan tidak mempengaruhi bioavailabilitas candesartan setelah pemberian candesartan.
Distribusi: Volume distribusi candesartan adalah 0,13 L / kg. Candesartan sangat terikat pada
protein plasma (> 99%). Pasien diabetic nefropati dengan proteinuria, dan mengalami
penurunan kadar protein plasma, beresiko efek toksik apabila diberikan dengan dosis tinggi.
Metabolisme: Candesartan dengan cepat dan lengkap diaktifasi melalui hidrolisis ester
selama absorpsi dari saluran pencernaan. Candesartan mengalami metabolisme minor di hati
oleh O-deethylation menjadi bentuk metabolit tidak aktif. Penelitian secara in vitro
menunjukkan bahwa sitokrom P450 isoenzim CYP 2C9 terlibat dalam biotransformasi
candesartan menjadi metabolit tidak aktif.
Absorpsi, bioavailabilitas, distribusi dan metabolisme candesartan tidak berbeda pada
pasien diabetes dan CKD
Ekskresi: Total klirens plasma candesartan adalah 0,37 mL / menit / kg, dengan klirens ginjal
0,19 mL / menit / kg. Candesartan terutama diekskresikan tidak berubah dalam urin dan feses
(melalui empedu). Ekskresi renal candesartan menurun seiring dengan menurunnya fungsi
ginjal. Hal ini menyebabkan perpanjangan waktu paruh obat.
Interaksi obat
Keuntungan Candesartan
Terhadap insulin
Sel lemak mengeluarkan sitokin (adipositokin) seperti angiotensin, TNF , resistin dan
leptin yang berhubungan dengan penurunan resitensi terhadap insulin. Sitokin ini
menyebabkan resistensi dengan cara menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor
insulin dan menurunkan ekspresi glucose transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot.
Resistensi insulin dan hiperinsulinema ini pada gilirannya akan menyebabkan perubahan
metabolik, sehingga timbul hipertensi, dislipidemia, peningkatan respon inflamasi dan
koagulasi, melalui mekanisme yang komplek; diantaranya mekanisme disfungsi endotel dan
oksidatif stres. Resistensi insulin semakin lama semakin berat dan sekresi insulin akhirnya
menurun, sehingga terjadi hiperglikemia dan manifestasi DM type 2.
Pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi yang menerima ARB, aktifitas angiotensin
akan terhambat sehingga tidak mengganggu aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan
menurunkan ekspresi glucose transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot, sehingga tidak
memperberat resistensi insulin dan penurunan seksresi insulin.
Diabetic Nefropati
Beberapa uji klinis menunjukkan manfaat obat-obat antihipertensi pada pasien
diabetes yang mengalami proteinuria. Dengan terapi ARB pada pasien diabetes tipe II dan
nefropati, pergerakan nefropati menunjukkan berkurang secara signifikan.
Terapi antihipertensi bisa mengurangi proteinuria, memperlambat penurunan fungsi
ginjal, dan menurunkan risiko gagal ginjal tahap akhir, serta meningkatkan angka
kelangsungan hidup. Semakin besar penurunan proteinuria sejak dini, maka semakin baik
outcome untuk ginjal dalam jangka panjang. Kedua, proteinuria residual selama terapi
dengan antihipertensi sebanding dengan hilangnya kekuatan filtrasi ginjal.
Terhadap renal
Efek ARB dalam proteksi ginjal sudah banyak diketahui terutama pada pasien
diabetes. Dalam hal mencegah progresivitas mikroalbuminuria dan meningkatkan hasil akhir
terhadap ginjal. Dalam hal ini antihipertensi yang memiliki mekanisme kerja menghambat
renin-angiotensin system (RAS) melalui reseptor antagonis angiotensin II. Pada studi-studi
ini, manfaat proteksi ginjal dari angiotensin II reseptor antagonis atau angiotensin reseptor
blocker (ARB) tidak terkait dengan efek terhadap penurunan darah. Dan ARB ini lebih
superior dibandingkan agen antihiperteni konvensional yang tidak menghambat RAS dalam
menurunkan albuminuria serta gabungan end point termasuk gagal ginjal dan kematian.
Angiotensin II mempengaruhi GFR (Glomerular Filtration Rate) dengan beberapa
mekanisme : kontriksi pada arteriol aferen, yang mengurangi tekanan intraglomerular dan
cenderung mengurangi GFR dan Kontraksi sel mesangial, yang mengurangi area permukaan
kapiler dalam glomerulus unuk filtrasi sehingga mengurangi GFR. Oleh karena itu apabila
diberikan ARB, efek Angiotensin II terhambat dan GFR meningkat. ARB memperlambat
deteriorasi pada GFR dan perburukan albuminuria.ARB mengurangi tekanan intraglomerular,
yang secara teori dapat memberikan manfaat pada mengurangi penurunan fungsi ginjal lebih
jauh. ARB memperlihatkan efeka mengurangi progres penyakit CKD.
Candesartan cilexetil berbentuk serbuk putih dengan berat molekul 610,67. Praktis
tidak larut dalam air dan sedikit larut dalam metanol. Candesartan cilexetil merupakan
campuran racemat yang mempunyai satu pusat khiral pada grup cyclohexyloxycarbonyloxy
ethyl ester. Setelah pemberian oral candesartan cilexetil mengalami hidrolisis pada
sambungan ester menjadi bentuk aktif candesartan yang akhiral.
Mekanisme Kerja
Candesartan termasuk kelompok Angisotensin Reseptor Bloker (ARB). ARB
merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan
angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara spesifik. Angiostensin
Iidibentuk dari angiostensin I melalui reaksi yang dikatalis oleh angiostensin converting
enzyme (ACE, kinase II). Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan
tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II
menaikkan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak
kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk
menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan mengurangi jumlah garam dan air yang
diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah
(Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang
terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja
pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion
natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan ribu kali
lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1. Akibat
penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1, yang secara
langsung memberikan efek vasodilatasi, penurunan vasopressin, dan penurunan aldosteron,
selain itu, penghambatan tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na dan
penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II
yang terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi,
antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik
dengan efek hambatan pada reseptor AT1.
Blokade reseptor angiostensin II menghambat umpan balik negatif angiostensin II
terhadap sekresi renin, tetapi menyebabkan meningkatnya aktivitas renin plasma dan jumlah
angiostensin II dalam sirkulasi tidak menghambat aktivitas candesartan terhadap tekanan
darah.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi: Setelah pemberian oral, bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15% hingga
40%. Setelah konsumsi tablet, konsentrasi serum puncak (Cmax) tercapai setelah 3-4 jam.
Makanan tidak mempengaruhi bioavailabilitas candesartan setelah pemberian candesartan.
Distribusi: Volume distribusi candesartan adalah 0,13 L / kg. Candesartan sangat terikat pada
protein plasma (> 99%). Pasien diabetic nefropati dengan proteinuria, dan mengalami
penurunan kadar protein plasma, beresiko efek toksik apabila diberikan dengan dosis tinggi.
Metabolisme: Candesartan dengan cepat dan lengkap diaktifasi melalui hidrolisis ester
selama absorpsi dari saluran pencernaan. Candesartan mengalami metabolisme minor di hati
oleh O-deethylation menjadi bentuk metabolit tidak aktif. Penelitian secara in vitro
menunjukkan bahwa sitokrom P450 isoenzim CYP 2C9 terlibat dalam biotransformasi
candesartan menjadi metabolit tidak aktif.
Ekskresi: Total klirens plasma candesartan adalah 0,37 mL / menit / kg, dengan klirens ginjal
0,19 mL / menit / kg. Candesartan terutama diekskresikan tidak berubah dalam urin dan feses
(melalui empedu). Ekskresi renal candesartan menurun seiring dengan menurunnya fungsi
ginjal. Hal ini menyebabkan perpanjangan waktu paruh obat.
Karena ARB dapat meningkatkan konsentrasi kalium dalam darah, menggabungkan
candesartan dengan obat lain yang dapat meningkatkan konsentrasi kalium dalam darah,
seperti hydrodiuril (Dyazide), spironolakton (aldactone), dan suplemen kalium, dapat
menyebabkan peningkatan berbahaya pada kalium darah. Menggabungkan candesartan atau
ARB lain dengan obat anti-inflammatory drugs (NSAID) pada pasien yang sudah lanjut usia,
volume cairan kurang (termasuk yang pada terapi diuretik), atau dengan fungsi ginjal yang
buruk dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal, termasuk gagal ginjal. Efek ini biasanya
reversibel
Farmakokinetik pada Populasi khusus
Dewasa
Candesartan cilextil secara cepat dan lengkap diaktifkan secara biologi melalui
hidrolisis ester selama absorbsi di saluran gastrointestinal. Candesartan terutama dieksresikan
di urin dan feses. Candesartan mengalami metabolime hepatic oleh O-deethylation menjadi
metabolit yang tidak aktif. Waktu paruh candesartan adalah sekitar 9 jam. Setelah pemberian
tunggal dan berulang, farmakokinetik candesartan berbentuk linier dan untuk dosis oral
sampai 32 mg candesartan cilexetil. Candesartan dan metabolit yang tidak aktif tidak
terakumulasi dalam serum ketika diberikan dosis satu kali sehari berulang.
Pediatrics
Pada anak-anak umur 1-17 tahun, kadar plasma lebih tinggi 10 kali lipat lebih tinggi
pada puncaknya (tepatnya 4 jam) dibandingkan 24 jam setelah dosis tunggal diberikan. Anak-
anak umur 1 sampai kurang dari 6 tahun, diberikan 0.2 mg/kg sama dengan pemberian dosis
dewasa 8 mg. anak yang lebih dari 6 tahun diberikan dosis yang sama dengan dewasa.
Farmakokinetik (Cmax dan AUC) tidak dimodifikasi oleh usia, jenis kelamin atau
berat badan. Farmakokinetik Candesartan cilixetil belum diteliti pada pasien pediatric yang
usianya kurang dari 1 tahun.
Farmakokinetik candesartan telah diteliti pada geriatric (lebih dari 65 tahun) pada
kedua jenis kelamin. Konsentrasi plasma candesartan lebih tinggi pada lanjut usia
(koncentrasi maksimal sekitar 50% lebih tinggi, dan AUC 80% lebih tinggi) dibandingkan
dengan subjek yang lebih muda yang diberikan dosis yang sama. Farmakokinetik berbentuk
linier pada lanjut usia, dan candesartan dan metabolit inaktifnya tidak terakumulasi di serum
pada subjek ini walaupun pada pemberian berulang satu kali sehari. Penyesuaian dosis awal
tidak diperlukan. Tidak ada perbedaan farmakokinetik candesartan antara subjek laki-laki dan
wanita.
Renal Insufficiency
Pada pasien gagal jantung dengan gangguan ginjal, AUC 0-72 jam adalah 36% dan
65% lebih tinggi pada gangguan ginjal ringan dan sedang, secara keseluruhan. Cmax 15%
dan 55% lebih tinggi pada pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang.
Hepatic Insufficiency
Farmakokinetik candesartan pada pasien dengan gangguan hati ringan dan sedang
dibandingkan dengan orang normal pada pemberian dosis tunggal oral 16 mg candesartan.
Peningkatan AUC candesartan 30% pada pasien dengan gangguan hati ringan (Child-Pugh A)
dan 45% pada pasien dengan gangguan hati sedang (Chid-Pugh B). Peningkatan Cmax
candesartan 56% pada pasien dengan gangguan hati ringan dan 73% pada pasien dengan
gangguan hati sedang.
Heart Failure
Farmakokinetik candesartan linear pada pasien dengan gagal jantng (NYHA kelas I
dan III) setelah pemberian candesartan dengan dosis 4,8 dan 16 mg. Setelah pemeberian
berulang, AUC menjadi dua kali lipat pada pasien ini dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda dan sehat. Farmakokinetik pada pasien dengan gangguan jantung sama dengan pasien
geriatri yang sehat.
FARMAKODINAMIK
Hypertension
Uji multiple dosis pada pasien hipertensi, tidak ada perubahan yang signifikan secara klinik
dalam fungsi metabolic, termasuk tingkat kolesterol total, trigliserida, glukosa atau asam urat
serum. Dalam 12 minggu penelitian dari 161 pasien diabetes tipe 2 dan hipertensi, tidak
terjadi perubahan kadar HbA1c.
Heart Failure
Pada pasien gagal jantung, pemberian candesartan lebih besar atau sama dengan 8 mg
menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan tekenan kapiler pulmonary.
Dosis
Tekanan Darah
dosis yang memberikan respon terhadap tekanan darah adalah 2-32 g. dosis umum
yang direkomendasikan adalah dimulai dengan dosis 16 mg satu kali sehari ketika diberikan
sebagai terapi tunggal pada pasien yang tidak mengalami penurunan volume tubuh.
Candesartan bisa diberikan satu atau dua kali sehari dengan total dosis harian 8 sampai 32
mg. dosis yang lebih besar tidak menunjukkan efek yang lebih besar. Kebanyakan efek
antihipertensiv diperoleh dalam 2 minggu, dan penurunan tekanan darah maksimal terjadi
dalam 4-6 minggu.
Range dosis adalah 0.05 sampai 0.4 mg/kg per hari. dosis awal yang
direkomendasikan adalah 0.20 mg/kg (suspense oral).
INTERAKSI OBAT
Tidak ada interaksi obat yang signifikan yang dilaporkan pada terapi dengan
candesartan cilexetil yang diberikan bersama obat lain seperti glyburide, nifedipine, digoxin,
warfarin, hydrochlortiazide dan kontrasepsi oral pada volunteer yang sehat, atau pemberian
bersama enalapril pada pasien gagal jantung( NYHA kelas II dan III). Karena candesartan
tidak dimetabolisme secara signifikan oleh system enzim cytochrom P450 dan pada
konsentrasi terapi tidak memberikan pengaruh pada enzim P450, maka interaksi dengan obat
yang menghambat atau dimetabolisme oleh enzim tersebut tidak diharapkan.
Pada pasien geriatric, kekurangan cairan (termasuk terapi dengan diuretic), pemberian NSIDs
termasuk pemberian penghambat COX2 yang selektif, bersama dengan angiostensinII
reseptor antagonis, termasuk candesartan, bisa mengakibatkan penurunan fungsi ginjal,
dengan kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut, efek ini biasanya bersifat reversible.
Monitor secara berkala fungsi ginjal pasien yang menerima candesartan bersama dengan
NSID. Efek anti hipertensi angiostensin II reseptor antagonis, termasuk candesartan akan
dilemahkan oleh NSID termasuk COX2 selektif.
Peningkatan kosentrasi serum litium secara reversible dan terjadinya toksisitas dilaporkan
selama penggunaan litium besama dengan ACE inhibitor, dan hal yang sama terjadi dengan
angiostensin II reseptor antagonis.
PERINGATAN
1. Toksisitas pada janin
Kategori pada kehamilan : D
Penggunaan obat yang bekerja terhadap system rennin angiostensin selama trimester 2 dan 3
kehamilan akan mengurangi fungsi ginjal pada janin dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada janindan bayi baru lahir. Pembentukan oligohydramnios dihubungkan dengan
terjadinya hipoplasia pada janin dan deformasi otot. Efek samping yang potensial terjadi pada
bayi yang baru lahir adalah hipoplasia, anuria, hipotensi, gagal ginjal dan kematian. Jika
kehamilan terdeteksi dianjurkan untuk penghentian konsumsi obat golongan ini.
KEUNTUNGAN
1. Pencegahan stroke
ARB memperlihatkan efek positif terhadap pencegahan stroke, walaupun hasil studi dalam
area ini masih terbatas. Dalam suatu studi ACCESS ( Acute Candesartan Cilexetil therapy in
Stroke Survivors) memperlihatkan bahwa candesartan cilexetil, dengan dosis yang dititrasi
sampai dosis maksimum 16 mg/hari, memiliki toleransi yang baik pada pasien dengan
serangan stroke akut. ACCESS di design secara random, double-blind, dikontrol dengan
placebo untuk menilai keamanannya untuk menurunkan tekanan darah pada awal serangan
stroke. Candesartan cilexetil diberikan sebagai terapi selama minggu pertama setelah
serangan stroke iskemik secara signifikan akan memperbaiki morbiditas dan mortalitas
dibandingkan dengan placebo.
2. Hipertensi
Pada terapi prehipertensi, pemberian obat ini dapat mengurangi risiko hipertensi yang
dibuktikan dalam studi 4 tahun yang dinamakan Trial of Preventing Hypertension
(TROPHY). Dalam setting studi tersebut, selama 2 tahun terapi, pasien yang diberi
candesartan cilexetil 16 mg sekali sehari ternyata dapat menunda terjadinya onset hipertensi
tahap 1 setelah obat tersebut dihentikan. Secara substansial, juga didapatkan hasil bahwa
candesartan cilexetil menekan onset hipertensi tahap 1 selama dua tahun terapi dan
memperpanjang periode bebas hipertensi selama studi. Hasil studi ini telah dipublikasikan di
New England Journal Medical Maret 2006.
Pada terapi hipertensi, inilah data yang didapat dari studi Candesartan Antihypertensive
Survival Evaluation in Japan (CASE-J). Studi ini mengungkapkan efikasi obat dalam
mengurangi mortalitas dan morbiditas kardiovaskular pada pasien hipertensi berisiko tinggi
dengan membandingkan candesartan dan amlodipine, antihipertensi golongan kalsium
antagonis yang banyak digunakan. Studi dilakukan di Jepang selama 3 tahun atau lebih.
Subjek dalam studi ini memiliki lebih dari satu faktor risiko berikut : memiliki tekanan darah
sistolik > 180 dan/- atau 110 mmHg, memiliki diabete tipe 2, risiko serebrovaskular, risiko
penyakit ginjal dan vaskular. Hasilnya, candesartan dan amlodipine secara ekual dapat
mengurangi kejadian kardiovaskular pada pasien hipertensi dengan risiko tinggi
dengan manajemen tekanan darah yang ketat yaitu <140 b="b" mmhg.="mmhg.">
Candesartan ternyata lebih menekan progresi disfungsi ginjal pada pasien yang
mengalami gangguan ginjal, mengurangi mortalitas total pada pasin obesitas dan
mencegah onset diabetes dibanding amlodipine. Penurunan yang lebih besar secara
signifikan pada nilai left ventricular mass index (LVMI) juga ditemui pada kelompok
candesartan dibanding kelompok amlodipine. Candesartan lebih efektif dibandingkan
amlodipine dalam mencegah perburukan fungsi ginjal pada pasien CKD.
Diantara ARB, candesartan bersifat poten, selektivitas tinggi, (AT1). Karena ikatannya yang
kuat, dan disosiasi lama dari reseptor, candesartan memiliki efek antihipertensif yang kuat,
tergantung dosis, dan efek antihipertensifnya lama. Candesartan tidak mempengaruhi
homeostasis glukosa atau profil lipid serum dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dan
microalbuminuria pada pasien hipertensi dengan diabetes tipe 2 (Ramzi,2007).
3. Nefropati diabetes
Peningkatan tekanan darah sistolik berubungan dengan komplikasi dari DM, dan juga
terdapat hubungan antara perkembangan penyakit ginjal dengan tekanan darah pada pasien
dengan DM tipe II. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan keuntungan secara klinik
pemberian ARB secara monoterapi atau kombinasi dengan obat antihipertensi lainnya untuk
mengurangi mikroalbuminuria dan proteinuria serta memperlambat terjadinya nefropati.
Pada diabetes akan terjadi pelebaran membran basal glomerulus, mungkin akan mencapai 3
sampai 4 kali lipat dari ukuran normal. Ini berhubungan dengan berkurangnya integritas
membrane glomerulus dan terganggu kemmpuannya bekerja sebagai saringan protein.
Mikroalbuminuria merupakan tanda kerusakan ginjal pada pasien dengan atau tanpa diabetes
dan memprediksikan kerusakan cardiovaskular serta terjadinya resiko kematian. Hubungan
antara eksresi albumin dan resiko cardiorenal merupakan bagian dari rangkaian dan adanya
hubungan respon-dosis antara derjat albuminuria dan risiko cardiovascular. Peningkatan laju
dari ekresi albumin di urin memprediksikan adanya kerusakan organ target, tidak hanya
terjadinya nefropati pada ginjal tapi juga kerusakan ventrikel kiri jantung dan infark
miokardium, dan stroke pada otak. Terapi hipertensi dengan ACE inhibitor dan ARB
merupakan landasan utama dalam menangani mikroalbuminuria, sama baiknya pada tahap
lanjut albuminuria klinik pada pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2. Ada penurunan albuminuria
dan tekanan darah secara signfikan pada penerima candesartan dalam 3 dosis berbeda
dibandingkan plasebo. Rata-rata penurunan albuminuria adalah 33% untuk candesartan 8 mg,
59% untuk candesartan 16 mg, dan 52% untuk candesartan 32 mg, dibandingkan plasebo.
Albuminuria berkurang secara signifikan pada dua dosis tertinggi candesartan dibandingkan
dosis terendah. Kemampuan system renin angiostensin untuk menghambat, mencegah atau
menunda perkembangan nefropati dan disfungsi ginjal cukup baik, karena system renal
angiostensin memainkan peranan kritis pada perkembangan penyakit ginjal kronis. Karena
itu, dalam sebuah guideline, ARB merupakan terapi yang tepat dan efisien pada pasien
dengan hipertensi dan DM dari tahap awal penyakit. Penghambatan reseptor angiotensin II
oleh AT1-receptor blocker bisa memberikan penekanan yang besar terhadap efek angitensin
II yang disebabkan oleh reseptor angiotensin I dan ini juga mungkin dilakukan oleh ACE
inhibitor. Angiotensin II mempengaruhi pertumbuhan sel dan apoptosis, inflamasi, fibrosis
dan koagulasi. Penghambatan system renin angiotensin akan menghambat efek patofisiologi
dan memberikan keuntungan pada DM dengan nefropati diabetes untuk menurunkan tekanan
darah.
4. Retinopati diabetes
Retinopati merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes dan bisa menyebabkan
kebutaan. Studi DIRECT (diabetic retinopathy Candesartan Trials) yang dirancang untuk
melihat apakah terapi candesartan cilexetil efektif untuk mencegah perkembangan retinopati
diabetes. Sebanyak 5000 pasien diikuti selama 3 tahun pada satu dari 3 kelompok acak,
double blind, menggunakan placebo sebagai control pada pasien dengan DM tipe I tanpa
diabetes retinopati, pasien dengan DM tipe I dan tipe II dengan retinopati diabetes. Pasien
secara random akan menerima candesartan cilexetil 16-32 mg/hari atau placebo. Hasil yang
positif pada studi DIRECT akan menjadi perkmbangan yang sangat bernilai pada penanganan
pasien dengan diabetes