Anda di halaman 1dari 49

BAB I PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang
Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan
tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal,
reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai
kemih. Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstra sel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
gomerulus, reabsorbsi ginjal dan sekresi tubulus. Ginjal dilalui oleh sekitar 1.200 ml darah
per menit, suatu volume yang sama dengan 20 sampai 25 persen curah jantung (5.000 ml per
menit). Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks, sedangkan sisanya
dialirkan ke medulla. Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-
communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan
penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases)
sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan
kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini
sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung
koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. Pada penyakit ginjal kronik
terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya
yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit
kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot
serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis
dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal
kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah
menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat
dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang
harus dilaksanakan adalah diagnosis dini, pencegahan, dan pengobatan yang efektif terhadap
penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit
ginjal kronik dapat dikendalikan.

2.Tujuan

3.Manfaat

BAB II PEMBAHASAN 1.

Definisi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal
yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (KMB, Vol 2 hal 1448). Penyakit gagal
ginjal kronis bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi uremia karena kegagalan tubuh
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit (SmeltzerC,
Suzanne, 2002 hal 1448). Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan
fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
2.

Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
Nefropati toksik
Nefropati obstruktif (batu saluran kemih) (Price & Wilson, 1994)
Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam
2 kelompok : a.

Penyakit parenkim ginjal i.


Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tbc ginjal ii.
Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal, Poliarteritis nodasa,
Sclerosis sistemik progresif, Gout, DM b.
Penyakit ginjal obstruktif : Pembesaran prostat, batu saluran kemih, refluks ureter. Secara
garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan infeksi yang berulang dan nefron yang
memburuk, obstruksi saluran kemih, destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi
yang lama, scar pada jaringan dan trauma langsung pada ginjal.
3.Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369) : a.
Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi b.
Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada
tapi mungkin juga sangat parah. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara
lain : Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin
aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan
perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual,
muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi)

peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan


urinalisis. Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi
insufisiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan
masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu
mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001).
7.

Pengobatan
Tujuan terapi adalah untuk memperlambat atau menghentikan perkembangan CKD ke tahap
5. Pengendalian tekanan darah dan pengobatan penyakit asli, kapanpun layak, adalah prinsip-
prinsip yang luas dari manajemen. Umumnya, angiotensin converting inhibitor enzim
(ACEIs) atau angiotensin II reseptor antagonis (ARB) yang digunakan, karena mereka telah
ditemukan untuk memperlambat perkembangan CKD ke tahap5. Meskipun penggunaan
penghambat ACE dan ARB merupakan standar saat ini perawatan untuk pasien dengan CKD,
pasien semakin kehilangan fungsi ginjal sedangkan pada obat-obat ini, seperti yang terlihat
dalam RENAAL studi, yang melaporkan penurunan dari waktu ke waktu diperkirakan laju
filtrasi glomerulus pada pasien yang diobati oleh metode konvensional. Saat ini, beberapa
senyawa dalam pembangunan untuk CKD. Ini termasuk, tetapi tidak terbatas
pada, bardoxolone metil, olmesartan medoxomil, sulodexide, dan avosentan.
Penggantian eritropoietin dan calcitriol, dua hormon diproses oleh ginjal, sering diperlukan
pada pasien dengan CKD maju. Fosfat binder juga digunakan untuk mengontrol serum fosfat
tingkat, yang biasanya meningkat pada penyakit ginjal kronis lanjut. Ketika seseorang
mencapai tahap 5 CKD, terapi penggantian ginjal diperlukan, dalam bentuk baik dialisis
atau cangkok. Normalisasi hemoglobin belum ditemukan menjadi manfaat apapun. Orang
dengan CKD berada pada risiko nyata terhadap penyakit kardiovaskular, dan sering memiliki
faktor risiko lain untuk penyakit jantung, seperti hiperlipidemia. Penyebab paling umum
kematian pada orang dengan CKD karena penyakit kardiovaskular daripada kegagalan ginjal.
Pengobatan agresif hiperlipidemia dibenarkan.

BAB III PENUTUP Simpulan

Daftar Pustaka
Mubin, Halim. 2007. Panduan
Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi Edisi 2
. EGC. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 4
. Balai Penerbitan Dep. IPP. FKUI. Jakarta Sukandar, Enday. 2006.
Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis
. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung
1.1

LATAR BELAKANG
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh manusia. Akan tetapi pengetahuanmasyarakat
tentang ginjal masih jauh dari memadai. Organ yang memiliki besar sepertitelapak tangan
fungsinya banyak sekali. Bukan hanya sebagai alat penyaring dan pembersihdarah seperti
yang sudah luas terkenal.Akan tetapi ginjal memiliki fungsi

fungsi lainnya.Tidak perlu ditutupi,kenyataan bahwa cukup banyak dari masyarakat awam
tidak mengetahui secara tepat dimana letak ginjalnya . Apalagi mengenai besarnya,
sistemkerjanya, dan darimana datangnya air seni. Ginjal merupakan bagian utama dari
sistemsaluran kemih yang terdiri atas organ

organ tubuh yang berfungsi memproduksi maupunmenyalurkan air seni ke luar tubuh.Tanda
adanya gangguan ginjal sangat bervariasi. Ada yang lama tidak menampakkantanda atau
gejala sama sekali ,baru belakangan timbul keluhan. Pada dasarnya, adanyakeluhan yang
tidak begitu menonjol pada seseorang harus dipikirkan kemungkinan hal itudisebabkan oleh
gangguan pada ginjalnya. Pemeriksaan laboratorium penyaring untuk melihat baik tidaknya
fungsi ginjal sangat sederhana dan mudah dilakukan diberbagailaboratorium, yaitu mengukur
kadar urea dan kreatinin plasma darah,endapan air seni(apakah sel darah merah, sel darah
putih berlebihan).
. PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada
gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Insiden PGK meningkat diseluruh dunia,
baik di negara berkembang maupun di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi
pengganti ginjal meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa PGK
tahap akhir meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor yang
dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia,
dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan
asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat
memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti
hemodialisis atau CAPD.
II. MANIFESTASI GAGAL GINJAL KRONIK
1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
Homeostasis natrium dan air
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan natrium
dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan. Penyebabnya adalah terganggunya
keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses
pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi
CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien
dengan penyakit ginjal kronik yang belum didialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES,
maka pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan
sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme
ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.1
Homeostasis kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan
ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karena konstipasi,
katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented
dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat kalium masuk
ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefron bagian distal. Hipokalemia jarang
terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium
dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.1
Asidosis metabolik
Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi
penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Pada
kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat
atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan
perhatian yang seksama terhadap status volume.1
2.Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada PGK dapat diklasifikasikan sebagai high
bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau
normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidisme
berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan
menimbulkan retensi PO43-.
(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel kelenjar
para tiroid. .
(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi
PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi
oleh kalsiferol ).
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah dapat
menimbulkan hiperparatiroidisme melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol
diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan
kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu
pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gasrto interstinal,
yang kemudian menimbulkan hipokalsemia dan selanjutnya meningkatkan sekresi dan
produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis
kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang
menimbulkan hiperparatiroid sekunder.1,2
Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu
osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa
penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas.
Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau
peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan
deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai
kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan ini
biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.1,2
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi
fosfat di saluran cerna.1,2
III. PENATALAKSANAAN PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V PRE-
DIALISIS
Penatalaksanaan konservatif penyakit ginjal kronik meliputi1:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3.Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebih
lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus.1
Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah:
1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
2. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
4. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Beberapa prinsip terapi konservatif antara lain adalah1:
1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik
Hindari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi
Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
2. Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal yang progresif lambat (slowly progresif)
Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular
Mengendalikan infeksi jika terjadi
Diet protein yang proporsional
Mengendalikan hiperfosfatemia
Terapi terhadap hiperurisemia
Terapi keadaan asidosis metabolik
Mengontrol kadar gula darah
3. Terapi alleviative gejala azotemia
Pembatasan konsumsi protein hewani
Terapi gatal-gatal pada kulit
Terapi terhadap keluhan gastrointestinal
Terapi terhadap keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot
Terapi kelainan tulang dan sendi
Terapi anemia

PEMBATASAN ASUPAN PROTEIN


Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah
sebagai berikut3:
1. Syarat Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30
kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
kebutuhan protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari
protein dengan nilai biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk
selingan pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah
sesuai anjuran. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai
pengganti susu sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah
mengandung phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan
banyak keuntungan pada PGK. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa protein dari kedelai dapat menurunkan proteinuria,
hiperfiltrasi, dan proinflamatory cytokines yang diperkirakan dapat
menghambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penelitian lain
mengenai diet dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat
menurunkan eksresi urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai
pencegah kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien PGK.
Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang diberi
casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu ternyata
dapat menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut.
Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet
ini biasa disebut diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .3,4,5
Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan
pemberian protein 0,3 gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian
asam amino esensial atau campuran asam amino esensial dan asam keto.
Kedua diet ini dapat mengurangi asupan nitrogen sekaligus memenuhi
kebutuhan fisiologis asam amino asensial dapat terpenuhi. Saat ini
dampak diet rendah protein disertai dengan pemberian asam keto
merupakan topik yang banyak dibicarakan maupun diteliti. Asam keto
dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino esensial dan dapat
mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan
protein tubuh tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.5,6
Teplan melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh jangka panjang
diet rendah protein ditambah asam keto dan ACE-inhibitor terhadap
metabolisme dan proteinuria pada pasien nefropati diabetik. Setelah 12
bulan dijumpai penurunan proteinuria yang signifikan terkait dengan
perbaikan parameter metabolisme protein dan dapat memperlambat
progresi penyakit ginjal terkait dengan penurunan klirens inulin.7
Dalam penelitian Walser, VLPD (0,3gr/kgBB) dengan suplementasi asam
keto dan dengan pengawasan yang ketat ternyata dapat menunda dialisis
dalam kurun waktu 1 tahun. 8
Pada penelitian Bellizi, faktor asupan diet protein sangat penting dalam
pencegahan progresifitas PGK. Dalam penelitian ini ternyata asupan VLPD
disertai suplemen ketoanalog menurunkan proteinuria serta tekanan
darah lebih terkontrol dibandingkan dengan grup yang mendapat asupan
LPD. Penelitian ini memperlihatkan bahwa rasio intake protein nabati pada
diet VLPD dengan ketoanalog lebih tinggi dibandingkan LPD dan ternyata
dijumpai efek vasodilatasi melalui respon dari kadar BCAA yang
mengakibatkan penurunan tekanan darah sehingga dapat menghambat
progresifitas PGK.9
Keuntungan suplementasi ketoanalog pada metabolism protein dan asam
amino antara lain6:
mencegah dekarboksilasi asam amino
mengalami konversi menjadi asam amino
meningkatkan sintesa protein dan mengurangi pembentukan nitrogen.
Dosis suplemen asam keto yaitu 1 tablet/5 kgBB/hari (0,1 gr/kgBB/hari)
Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan 30 % diutamakan
lemak tidak jenuh.
Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari
ditambah IWL 500 ml.
Garam <2 garam/hari
Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70
meq/hari
Fosfor yang dianjurkan 5-7 mg/kg BB/hari (<800 mg/hari)
Kalsium 1400-1600 mg/hari
Sumber Vitamin dan Mineral
Pasien yang mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur
tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam
sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman
dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk
buah dapat dimasak.3
Efek Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein
Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter
metabolisme nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi intoleransi protein ketika mereka
makan protein yang terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
metabolisme yaitu pertama, breakdown protein menghasilkan asam amino yang diperlukan
untuk cadangan sintesis protein tubuh yang baru. Kedua, protein menghasilkan nitrogen yang
merupakan sisa metabolime protein dan harus diekskresikan melalui ginjal , bila terakumulasi
akan menyebabkan gejala-gejala uremia. Sisa metabolisme protein lainnya seperti guanidine,
aromatic/aliphatic amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya tinggi dalam darah.
Urea merupakan metabolit nitrogen yang merupakan petanda adanya akumulasi dari toksin-
toksin yang lainnya. Jika seorang penderita PGK makan makanan yang banyak mengandung
protein, maka akan terakumulasi juga beberapa bahan yang lain seperti phenol, asam urat,
asid dan fosfat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hakim dkk tahun 1988
terhadap 911 penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl yang mendapat perhatian
nutrisi minimal memperlihatkan berbagai kelainan metabolisme antara lain > 30% penderita
dengan asidosis berat (bicarbonate serum < 15 mmol/l), hiperfosfatemia berat ( fosfat serum
> 7mg/dl) dan azotemia berat ( BUN > 120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat
menyebabkan hiperurisemia, tidak hanya meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat
menyebabkan sindroma metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan penyakit
vaskuler.10,11,12,13

Tabel 1. Alasan untuk mengontrol asupan protein pada penderita PGK(Fouque,2007)14


________________________________________________________________
Adaptasi adekuat terhadap asupan rendah protein
Menurunkan beban nefron yang masih tersisa
Memperbaiki resistensi insulin
Mengurangi stress oksidasi
Mengurangi proteinuria
Menurunkan kadar hormon paratiroid
Memperbaiki profil lipid
Efek aditif pada pemberian ACE inhibitor
Menurunkan angka kematian atau memperlambat inisiasi dialysis sampai
40%
Number needed to treat yang menguntungkan ( 1 pasien akan terhindar dari
kematian atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang
mendapat diet rendah protein )
Tidak adanya alasan objektif yang pasti untuk tidak merekomendasikan diet
rendah protein kepada kebanyakan penderita PGK
HAMBATAN IMPLEMENTASI ASUPAN RENDAH PROTEIN
Implementasi diet rendah protein pada pengelolaan PGK sering terlupakan dan nilainya pada
rencana pengelolaan penderita PGK sering diremehkan. Terdapat beberapa hambatan untuk
melaksanaan strategi diet rendah protein ini. Kesulitan pertama adalah hasil dari studi MDRD
yang menRekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis (K/DOQI,2002):
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis menurut K/DOQI 2002:
Untuk individu dengan PGK (LFG<25 ml/menit) yang belum menjalani hemodialisis regular,
harus dipertimbangkan pemberian diet rendah protein 0,6 gr/kg BB/hari.
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis berdasarkan K/DOQI 2002
yaitu: untuk individu dengan PGK (LFG < 25 ml/menit) yang tidak menjalani hemodialisis
regular, maka diberikan diet rendah protein 0,60 gr/kgBB/hari. Untuk individu yang tidak
dapat menerima jenis diet tersebut atau tidak dapat mempertahankan asupan diet yang
adekuat, perlu diberikan asupan protein hingga 0,75 gr/kg BB/hari.16
Bila dapat dilaksanakan dan dapat dimonitor, diet rendah protein, tinggi energi dapat
mempertahankan status nutrisi dan mengurangi potensi terbentuknya metabolik nitrogen yang
toksis, mengurangi gejala uremia dan menurunkan kejadian komplikasi metabolik.
Bukti menunjukkan diet rendah protein dapat menghambat progresifitas gagal ginjal dan
memperlambat kemungkinan terapi dialisis.
Paling sedikit 50% asupan protein harus mempunyai nilai biologis tinggi.
Bila penderita gagal ginjal mengkonsumsi nutrisi tidak terkontrol, penurunan asupan protein
dan indikator status nutrisi harus dilakukan16.

Diet rendah protein dan malnutrisi


Kita ketahui bahwa beberapa penderita PGK dapat kehilangan massa ototnya dan
protein, tetapi dari beberapa laporan hal ini terjadi hanya sebagian kecil saja yang disebabkan
oleh asupan protein yang rendah. Pada kenyataannya telah banyak penelitian yang
membuktikan kegunaan diet restriksi protein seperti yang telah dibahas diatas.3
Pada perencanaan yang baik pemberian asupan rendah protein diperlukan asupan
energi yang adekuat oleh karena pasien PGK tanpa komplikasi akan mengaktivasi mekanisme
protektif maupun adaptif yang sama dengan orang dewasa normal. Untuk alasan ini, pasien
PGK tanpa komplikasi membutuhkan nutrisi yang sama dengan orang dewasa sehat.
Malnutrisi didefinisikan sebagai kelainan yang disebabkan oleh berkurangnya asupan kalori,
protein atau adanya ketidak seimbangan diet, sehingga malnutrisi seharusnya diperbaiki
dengan cara meningkatkan asupan kalori atau diet protein. Kehilangan otot pada PGK adalah
suatu proses katabolisme yang terjadi karena teraktivasinya jalur seluler yang tidak
tergantung terhadap asupan nutrisi. Kesalahan digunakannya istilah malnutrisi pada PGK
disebabkan dua alasan yaitu keyakinan bahwa hipoalbuminemia disebabkan karena
insufisiensi asupan protein dan gambaran klinik PGK mirip dengan keadaan yang
dihubungkan dengan malnutrisi. Hipoalbuminemia sering terdapat pada pasien PGK.
Penurunan serum albumin ini disebabkan adanya sitokin-sitokin di sirkulasi darah dan
inflamasi , bukan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat (malnutrisi).4,17
Penurunan berat badan , kelemahan (fatigue) dan kehilangan massa otot yang terlihat
pada pasien PGK sering didiagnosis sebagai malnutrisi, padahal kelainan tersebut merupakan
konsekuensi proses metabolik yang terjadi pada PGK, bukan karena asupan nutrisi yang
kurang. Meningkatkan asupan protein pada penderita ini hanya akan menimbulkan gangguan
metabolik daripada meningkatkan massa otot. Asupan tinggi protein dapat menimbulkan
asidosis yang akan meningkatkan destruksi protein di otot melalui aktivasi sistim ubiquin-
proteasome proteolytic (UPP). UPP diidentifikasi sebagai sistim proteolitik yang
menyebabkan katabolisme protein di otot pada keadaan tubuh mengalami katabolisme seperti
luka bakar atau trauma. Asidosis metabolik juga menyebabkan keseimbangan nitrogen
negatif dan kehilangan cadangan protein. Koreksi asidosis dapat mensupresi sistim UPP dan
menyebabkan peningkatan berat badan.10,17
Monitoring Asupan Nutrisi
Asupan protein dapat diestimasi dengan memonitor nutrisi yang dimakan dan ekskresi
urea dalam urine pasien PGK predialisis atau memonitor protein nitrogen appearance pada
pasien PGK dengan dialisis. Untuk pasien PGK pre-dialisis dapat digunakan rumus berikut :
Asupan nitrogen (gr/hr) = UNA (gr/hr) + 0,031 X berat badan (kg)
Ket : UNA : urea nitrogen dalam urine 24 jam
asupan protein : 6,25 X asupan nitrogen
Compliance diet rendah protein didefinisikan sebagai asupan aktual (yang
sebenarnya) 20% asupan yang diresepkan. Pada penelitian-penelitian yang terkontrol baik,
asupan aktual cenderung lebih besar 10-20% dari asupan yang diresepkan, tetapi pada
penelitian dengan kontrol yang kurang baik asupan protein aktual 20-50% diatas diet protein
yang diresepkan. Oleh karena itu sangat penting dukungan nutrisi secara berkesinambungan
dan pemeriksaan kadar urea dalam urine secara teratur.4

Penanganan terhadap hiperkalemia


Hiperkalemia salah satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila K+ serum
mencapai kadar sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan juga henti jantung.
Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponetremia, dan asidosis.
Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek
hiperkalemia. Penanganan terhadap kondisi hiperkalemia yaitu:
1. Stop obat yang dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron, penyekat- non
selektif, ACE-I, dan ARB.
2. Stop makanan dan minuman yang mengandung kalium.
3. Jika kalium serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml secara
parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-3 menit untuk
mencegah gangguan ritme jantung.
4. Berikan Insulin Regular 10U bersamaan dengan pemberian glukosa 40% sebanyak 50 ml
atau hanya glukosa 40% sebanyak 50 ml secara parenteral dapat menurunkan kadar kalium
0,5-1,5 meq/L. Efek penurunan kalium dapat terlihat pada menit ke-15, mencapai puncak
pada menit ke-60 dan berakhir dalam beberapa jam.
5. Pemberian Beta2-agonis sepeti terbutalin 7 mikrogram/kgBB/subkutan, Albuterol 10-20 mg
secara nebulizer selama 10 menit dimana efek puncak dapat terlihat dalam 90 menit, atau
Albuterol 0,5 mg intravena efek puncak dapat terlihat dalam 30 menit.18
Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi glomerulus ialah
dengan pengggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari
kerusakan ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain
itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat
akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan
sistemik yang meningkat. Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan
proses perburukan fungsi ginjal. Dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses
perburukan fungsi ginjal pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat
enzim konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi
lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi
kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium
chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.19

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler


Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.19

Penatalaksanaan anemia
Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%.
Penyebab anemia adalah multifaktorial antara lain defisiensi besi,
defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang memendek, perdarahan
kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid, keracunan
aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai
dampak negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola dengan
baik.20
Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika
penyebab anemia adalah karena defisiensi besi, maka terapinya adalah
dengan memberikan preparat besi. Terapi besi pada PGK menurut
rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi besi, terlebih
dahulu dilakukan test dose, dimana terapi besi fase koreksi bertujuan
untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional sampai
status besi cukup, yaitu feritin serum >100g/L dan saturasi transferin
>20%. Cara pemberian:
Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi
100 mg, diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling
cepat 15 menit.
Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%.
Dosis besi fase koreksi:
bila serum feritin 30g/L : 6x100 mg dalam 4 minggu
bila serum feritin 31 sampai 100 g/L : 4x100 mg dalam 4 minggu
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi
dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup,
dilanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.20
Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan
dosis 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu.
Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi EPO.
Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht <
30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat
pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu
diperhatikan pada terapi EPO :
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan
untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 %
dalam 2-4 minggu.
c. Hb,Ht dipantau tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
g. Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO.
Terapi EPO fase pemeliharaan:
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali 2000
IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3 bulan.
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka
dosis EPO diturunkan 25%.
Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
iv.20
Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan pengobatan terpenting untuk mencegah timbulnya
hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan
pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis,
yaitu
yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat
dan kalsium asetat.
yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate binder) seperti lantanum
karbonat.
Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan peristiwa yang
dapat mengarah pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi
keterlibatan tulang yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan
agen pengikat fosfat, maka diindikasikan terapi vitamin D atau
paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah osteomalasia maka perlu
harus dimulai terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.2,21
Neuropati Perifer
Biasanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal
ginjal mencapai tahap yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang
diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut kecuali dengan dialisis
yang dapat menghentikan perkembangannya.1

Pengobatan segera pada infeksi


Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih
tinggi terhadap serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua
jenis infeksi dapat meningkatkan proses katabolisme dan mengganggu
nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga
infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih
lanjut. Petunjuk untuk pemberian antibiotik:
Hindari antibiotik yang bersifat nefrotoksik
Perhatikan golongan antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis.1,22

Penanganan terhadap dislipidemia


Gangguan metabolism lipid merupakan bagian integral untuk
modulasi kerusakan progresif glomerulus. Dari laporan meta analisis dari
13 studi yang telah dipublikasi, Fried dkk menyimpulkan koreksi
farmakologik dislipidemia memperlihatkan penurunan yang lambat fungsi
ginjal walaupun dengan efek minimal. Statin merupakan pilihan utama
untuk tujuan renoprotektif karena mempunyai efek pleiotropik pada
vaskuler, mempunyai efek anti inflamasi, anti oksidan, immunomodulasi,
proangiogenik dan anti trombotik. Efek renoprotektif statin telah didukung
dari data post-hoc dari studi CARE.1
KESIMPULAN
Penderita PGK dianjurkan untuk mengontrol kandungan protein pada nutrisinya,
berdasarkan penelitian-penelitian terdapat pengaruh yang menguntungkan terhadap metabolik
bila diberikan diet rendah protein atau diet sangat rendah protein ditambah dengan ketoanalog
seperti mengontrol tekanan darah, berkurangnya gejala uremia, asidosis metabolik,
hiperfosfatemia, serta PTH. Berkurangnya limbah nitrogen dan kadar PTH akan turut
memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, meningkatkan respon terhadap terapi eritropoietin
dan mengontrol anemia. Diet rendah protein juga menyebabkan penurunan tekanan kapiler
glomerulus dan proteinuria sehingga dapat memperlambat progresifitas PGK. Diet rendah
protein ini aman dan tidak menimbulkan kehilangan massa otot, fatigue dan malnutrisi.
Faktor-faktor yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes
mellitus, hiperurisemia, dislipidemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, gangguan
elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat
lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan
menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung.
Penerbit ITB: 2006;465-514.
2. Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD. Serum phosphate levels and mortality risk
among people with chronic kidney disease. Kidney Int 2005;95:S21-7
3. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik, diunduh
dari:
http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf
4. Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease (CKD)
Patients, diunduh dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/should_we_still_prescribe_a_reductio
n.pdf
5. Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal Disease:
A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual meeting of
Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas Diponegoro: 2010;81-
89.
6. Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD: Kongres
Nasional X Pernefri Annual Meeting;57-63.
7. Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in
chronic renal failure, long term study. Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
8. Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein
diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
9. Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood pressure
control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
10. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic
kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
11. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction.
Kidney Int 2005;67:1739-42
12. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J
Am Soc Nephrol 2006;17:165-168
13. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of
Renal Nutrition 2005;15(1):28-33
14. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with
chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
15. Mitch WE, Klahr S. Handbook of nutrition and the kidney, Lippincot,
William&Wilkins, Philadelphia, 5thed;2005:115-137
16. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidney
disease: evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Quality
Initiative. Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
17. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in chronic
renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
18. Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik
predialisis: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
19. Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:249-255
20. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri,
Annual Meeting:37-40
21. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum
Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual
meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit Universitas
Diponegoro:133-136.
22. Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC
2007.

candesartan

Candesartan Pada Gagal Ginjal Kronis


Pendahuluan

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan sasaran yang agresif untuk


tekanan darah adalah <130/80 mmHg pada pasien penyakit CKD dengan DM. ADA telah
merekomendasikan ACE Inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) untuk
penggunaan pada pasien diabetes tipe II dengan CKD (Chronic Kidney Disease).

Farmakodinamik ARB
ARB merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS dengan cara
menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara
spesifik. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan
volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan
cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler
ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl
dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin
dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang
terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja
pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion
natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah.

Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan ribu kali
lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1. Akibat
penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1, yang secara
langsung memberikan efek vasodilatasi, penurunan vasopressin, dan penurunan aldosteron,
selain itu, penghambatan tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na dan
penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II
yang terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi,
antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik
dengan efek hambatan pada reseptor AT1.
Candesartan
Candesartan merupakan salah satu ARB yang digunakan sebagai antihipertensi. Prodrug
candesartan dipasarkan dalam bentuk candesartan cileksil, dengan nama Blopress, Atacand,
Amias, dan Ratacand.
Farmakokinetika Candesartan
Absorpsi: Setelah pemberian oral, bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15% hingga
40%. Setelah konsumsi tablet, konsentrasi serum puncak (Cmax) tercapai setelah 3-4 jam.
Makanan tidak mempengaruhi bioavailabilitas candesartan setelah pemberian candesartan.
Distribusi: Volume distribusi candesartan adalah 0,13 L / kg. Candesartan sangat terikat pada
protein plasma (> 99%). Pasien diabetic nefropati dengan proteinuria, dan mengalami
penurunan kadar protein plasma, beresiko efek toksik apabila diberikan dengan dosis tinggi.
Metabolisme: Candesartan dengan cepat dan lengkap diaktifasi melalui hidrolisis ester
selama absorpsi dari saluran pencernaan. Candesartan mengalami metabolisme minor di hati
oleh O-deethylation menjadi bentuk metabolit tidak aktif. Penelitian secara in vitro
menunjukkan bahwa sitokrom P450 isoenzim CYP 2C9 terlibat dalam biotransformasi
candesartan menjadi metabolit tidak aktif.
Absorpsi, bioavailabilitas, distribusi dan metabolisme candesartan tidak berbeda pada
pasien diabetes dan CKD
Ekskresi: Total klirens plasma candesartan adalah 0,37 mL / menit / kg, dengan klirens ginjal
0,19 mL / menit / kg. Candesartan terutama diekskresikan tidak berubah dalam urin dan feses
(melalui empedu). Ekskresi renal candesartan menurun seiring dengan menurunnya fungsi
ginjal. Hal ini menyebabkan perpanjangan waktu paruh obat.

Dosis Candesartan pada CKD


Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis candesartan pada pasien dengan tingkat penurunan
fungsi ginjal sedang. Pada pasien dengan gangguan ginjal parah (creatinine clearance is > 30
mL/min/1.73 m2 BSA ) atau pasien yang menjalani dialisis, diberikan dosis inisial yang lebih
rendah yaitu 4 mg.

Interaksi obat

Karena ARB dapat meningkatkan konsentrasi kalium dalam darah, menggabungkan


candesartan dengan obat lain yang dapat meningkatkan konsentrasi kalium dalam darah,
seperti hydrodiuril (Dyazide), spironolakton (aldactone), dan suplemen kalium, dapat
menyebabkan peningkatan berbahaya pada kalium darah. Menggabungkan candesartan atau
ARB lain dengan obat anti-inflammatory drugs (NSAID) pada pasien yang sudah lanjut usia,
volume cairan kurang (termasuk yang pada terapi diuretik), atau dengan fungsi ginjal yang
buruk dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal, termasuk gagal ginjal. Efek ini biasanya
reversibel.

Keuntungan Candesartan
Terhadap insulin
Sel lemak mengeluarkan sitokin (adipositokin) seperti angiotensin, TNF , resistin dan
leptin yang berhubungan dengan penurunan resitensi terhadap insulin. Sitokin ini
menyebabkan resistensi dengan cara menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor
insulin dan menurunkan ekspresi glucose transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot.
Resistensi insulin dan hiperinsulinema ini pada gilirannya akan menyebabkan perubahan
metabolik, sehingga timbul hipertensi, dislipidemia, peningkatan respon inflamasi dan
koagulasi, melalui mekanisme yang komplek; diantaranya mekanisme disfungsi endotel dan
oksidatif stres. Resistensi insulin semakin lama semakin berat dan sekresi insulin akhirnya
menurun, sehingga terjadi hiperglikemia dan manifestasi DM type 2.
Pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi yang menerima ARB, aktifitas angiotensin
akan terhambat sehingga tidak mengganggu aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan
menurunkan ekspresi glucose transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot, sehingga tidak
memperberat resistensi insulin dan penurunan seksresi insulin.
Diabetic Nefropati
Beberapa uji klinis menunjukkan manfaat obat-obat antihipertensi pada pasien
diabetes yang mengalami proteinuria. Dengan terapi ARB pada pasien diabetes tipe II dan
nefropati, pergerakan nefropati menunjukkan berkurang secara signifikan.
Terapi antihipertensi bisa mengurangi proteinuria, memperlambat penurunan fungsi
ginjal, dan menurunkan risiko gagal ginjal tahap akhir, serta meningkatkan angka
kelangsungan hidup. Semakin besar penurunan proteinuria sejak dini, maka semakin baik
outcome untuk ginjal dalam jangka panjang. Kedua, proteinuria residual selama terapi
dengan antihipertensi sebanding dengan hilangnya kekuatan filtrasi ginjal.

Terhadap renal
Efek ARB dalam proteksi ginjal sudah banyak diketahui terutama pada pasien
diabetes. Dalam hal mencegah progresivitas mikroalbuminuria dan meningkatkan hasil akhir
terhadap ginjal. Dalam hal ini antihipertensi yang memiliki mekanisme kerja menghambat
renin-angiotensin system (RAS) melalui reseptor antagonis angiotensin II. Pada studi-studi
ini, manfaat proteksi ginjal dari angiotensin II reseptor antagonis atau angiotensin reseptor
blocker (ARB) tidak terkait dengan efek terhadap penurunan darah. Dan ARB ini lebih
superior dibandingkan agen antihiperteni konvensional yang tidak menghambat RAS dalam
menurunkan albuminuria serta gabungan end point termasuk gagal ginjal dan kematian.
Angiotensin II mempengaruhi GFR (Glomerular Filtration Rate) dengan beberapa
mekanisme : kontriksi pada arteriol aferen, yang mengurangi tekanan intraglomerular dan
cenderung mengurangi GFR dan Kontraksi sel mesangial, yang mengurangi area permukaan
kapiler dalam glomerulus unuk filtrasi sehingga mengurangi GFR. Oleh karena itu apabila
diberikan ARB, efek Angiotensin II terhambat dan GFR meningkat. ARB memperlambat
deteriorasi pada GFR dan perburukan albuminuria.ARB mengurangi tekanan intraglomerular,
yang secara teori dapat memberikan manfaat pada mengurangi penurunan fungsi ginjal lebih
jauh. ARB memperlihatkan efeka mengurangi progres penyakit CKD.
Candesartan cilexetil berbentuk serbuk putih dengan berat molekul 610,67. Praktis
tidak larut dalam air dan sedikit larut dalam metanol. Candesartan cilexetil merupakan
campuran racemat yang mempunyai satu pusat khiral pada grup cyclohexyloxycarbonyloxy
ethyl ester. Setelah pemberian oral candesartan cilexetil mengalami hidrolisis pada
sambungan ester menjadi bentuk aktif candesartan yang akhiral.
Mekanisme Kerja
Candesartan termasuk kelompok Angisotensin Reseptor Bloker (ARB). ARB
merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan
angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara spesifik. Angiostensin
Iidibentuk dari angiostensin I melalui reaksi yang dikatalis oleh angiostensin converting
enzyme (ACE, kinase II). Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan
tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II
menaikkan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak
kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk
menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan mengurangi jumlah garam dan air yang
diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah
(Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang
terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja
pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion
natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan ribu kali
lebih kuat dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1. Akibat
penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1, yang secara
langsung memberikan efek vasodilatasi, penurunan vasopressin, dan penurunan aldosteron,
selain itu, penghambatan tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na dan
penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II
yang terakumulasi akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi,
antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik
dengan efek hambatan pada reseptor AT1.
Blokade reseptor angiostensin II menghambat umpan balik negatif angiostensin II
terhadap sekresi renin, tetapi menyebabkan meningkatnya aktivitas renin plasma dan jumlah
angiostensin II dalam sirkulasi tidak menghambat aktivitas candesartan terhadap tekanan
darah.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi: Setelah pemberian oral, bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15% hingga
40%. Setelah konsumsi tablet, konsentrasi serum puncak (Cmax) tercapai setelah 3-4 jam.
Makanan tidak mempengaruhi bioavailabilitas candesartan setelah pemberian candesartan.
Distribusi: Volume distribusi candesartan adalah 0,13 L / kg. Candesartan sangat terikat pada
protein plasma (> 99%). Pasien diabetic nefropati dengan proteinuria, dan mengalami
penurunan kadar protein plasma, beresiko efek toksik apabila diberikan dengan dosis tinggi.
Metabolisme: Candesartan dengan cepat dan lengkap diaktifasi melalui hidrolisis ester
selama absorpsi dari saluran pencernaan. Candesartan mengalami metabolisme minor di hati
oleh O-deethylation menjadi bentuk metabolit tidak aktif. Penelitian secara in vitro
menunjukkan bahwa sitokrom P450 isoenzim CYP 2C9 terlibat dalam biotransformasi
candesartan menjadi metabolit tidak aktif.
Ekskresi: Total klirens plasma candesartan adalah 0,37 mL / menit / kg, dengan klirens ginjal
0,19 mL / menit / kg. Candesartan terutama diekskresikan tidak berubah dalam urin dan feses
(melalui empedu). Ekskresi renal candesartan menurun seiring dengan menurunnya fungsi
ginjal. Hal ini menyebabkan perpanjangan waktu paruh obat.
Karena ARB dapat meningkatkan konsentrasi kalium dalam darah, menggabungkan
candesartan dengan obat lain yang dapat meningkatkan konsentrasi kalium dalam darah,
seperti hydrodiuril (Dyazide), spironolakton (aldactone), dan suplemen kalium, dapat
menyebabkan peningkatan berbahaya pada kalium darah. Menggabungkan candesartan atau
ARB lain dengan obat anti-inflammatory drugs (NSAID) pada pasien yang sudah lanjut usia,
volume cairan kurang (termasuk yang pada terapi diuretik), atau dengan fungsi ginjal yang
buruk dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal, termasuk gagal ginjal. Efek ini biasanya
reversibel
Farmakokinetik pada Populasi khusus

Dewasa

Candesartan cilextil secara cepat dan lengkap diaktifkan secara biologi melalui
hidrolisis ester selama absorbsi di saluran gastrointestinal. Candesartan terutama dieksresikan
di urin dan feses. Candesartan mengalami metabolime hepatic oleh O-deethylation menjadi
metabolit yang tidak aktif. Waktu paruh candesartan adalah sekitar 9 jam. Setelah pemberian
tunggal dan berulang, farmakokinetik candesartan berbentuk linier dan untuk dosis oral
sampai 32 mg candesartan cilexetil. Candesartan dan metabolit yang tidak aktif tidak
terakumulasi dalam serum ketika diberikan dosis satu kali sehari berulang.

Bioavailabilitas candesartan diperkirakan 15%. Setelah pemberian tablet, konsentrasi


puncak (Cmax) dicapai setelah 3 sampai 4 jam. Makanan dengan kandungan lemak yang
tinggi tidak mempengaruhi bioavailabilitas candesartan setelah pemberian candesartan
cilextil.

Pediatrics

Pada anak-anak umur 1-17 tahun, kadar plasma lebih tinggi 10 kali lipat lebih tinggi
pada puncaknya (tepatnya 4 jam) dibandingkan 24 jam setelah dosis tunggal diberikan. Anak-
anak umur 1 sampai kurang dari 6 tahun, diberikan 0.2 mg/kg sama dengan pemberian dosis
dewasa 8 mg. anak yang lebih dari 6 tahun diberikan dosis yang sama dengan dewasa.

Farmakokinetik (Cmax dan AUC) tidak dimodifikasi oleh usia, jenis kelamin atau
berat badan. Farmakokinetik Candesartan cilixetil belum diteliti pada pasien pediatric yang
usianya kurang dari 1 tahun.

RAA memiliki peranan penting dalam perkembangan ginjal, RAA menyebabkan


perkembangan ginjal abnormal pada mencit yang sangat muda. Anak-anak yang kurang dari
1 tahun tidak boleh menerima candesartan. Pemberian obat-obat yang bekerja secara
langsung pada RAA dapat merubah perkembangan ginjal normal.

Geriatric and Sex

Farmakokinetik candesartan telah diteliti pada geriatric (lebih dari 65 tahun) pada
kedua jenis kelamin. Konsentrasi plasma candesartan lebih tinggi pada lanjut usia
(koncentrasi maksimal sekitar 50% lebih tinggi, dan AUC 80% lebih tinggi) dibandingkan
dengan subjek yang lebih muda yang diberikan dosis yang sama. Farmakokinetik berbentuk
linier pada lanjut usia, dan candesartan dan metabolit inaktifnya tidak terakumulasi di serum
pada subjek ini walaupun pada pemberian berulang satu kali sehari. Penyesuaian dosis awal
tidak diperlukan. Tidak ada perbedaan farmakokinetik candesartan antara subjek laki-laki dan
wanita.

Renal Insufficiency

Pada pasien hipertensi dengan gangguan ginjal, konsentrasi serum candesartan


mengalami peningkatan. Setelah pemberian dosis berulang, AUC dan Cmax menjadi dua klai
lipat pada pasien dengan gangguan ginjal berat (kreatinin kliren < 30 mL/min/1.73m2)
dibandingkan dengan pasien dengan fungsi ginjal normal. Farmakokinetik candesartan pada
pasien hipertensi yang mengalami hemodialisa sama dengan pasien hipertensi dengan
gangguan ginjal berat. Candesartan tidak dikeluarkan selama hemodialisa.

Pada pasien gagal jantung dengan gangguan ginjal, AUC 0-72 jam adalah 36% dan
65% lebih tinggi pada gangguan ginjal ringan dan sedang, secara keseluruhan. Cmax 15%
dan 55% lebih tinggi pada pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang.

Hepatic Insufficiency

Farmakokinetik candesartan pada pasien dengan gangguan hati ringan dan sedang
dibandingkan dengan orang normal pada pemberian dosis tunggal oral 16 mg candesartan.
Peningkatan AUC candesartan 30% pada pasien dengan gangguan hati ringan (Child-Pugh A)
dan 45% pada pasien dengan gangguan hati sedang (Chid-Pugh B). Peningkatan Cmax
candesartan 56% pada pasien dengan gangguan hati ringan dan 73% pada pasien dengan
gangguan hati sedang.

Heart Failure

Farmakokinetik candesartan linear pada pasien dengan gagal jantng (NYHA kelas I
dan III) setelah pemberian candesartan dengan dosis 4,8 dan 16 mg. Setelah pemeberian
berulang, AUC menjadi dua kali lipat pada pasien ini dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda dan sehat. Farmakokinetik pada pasien dengan gangguan jantung sama dengan pasien
geriatri yang sehat.

FARMAKODINAMIK

Candesartan menghambat efek angiostensin II tergantung pada dosis. Setelah


pemberian 1 minggu dosis 8 mg candesartan satu kali sehari, efek inhibisinya adalah sekitar
90% pada konsentrasi puncak, dengan inhibisi yang masih bertahan 50% selama 24 jam.
Konsentrasi plasma angisotensin I dan angiostensin II dan Plasma Rennin Activity (PRA),
meningkat tergantung dari dosis setelah pemberian oral dan pengulangan dosis candesartan
pada psubjek sehat, hipertensi, dan gagal jantung. Aktivitas ACE tidak berubah pada subjek
sehat setelah pemberian candesartan berulang. Pemberian dosis candesartan satu kali sehari
sampai 16 mg pada subjek sehat tidak mempengaruhi konsentrasi aldosteron plasma, tetapi
menurunkan konsentrasi plasma aldosteron ketika diberikan pada dosis 32 mg pada pasien
hipertensi. Disamping efek candesartan terhadap sekresi aldosteron, sedikit efek terhadap
Natirum serum juga ditemukan.

Hypertension

Uji multiple dosis pada pasien hipertensi, tidak ada perubahan yang signifikan secara klinik
dalam fungsi metabolic, termasuk tingkat kolesterol total, trigliserida, glukosa atau asam urat
serum. Dalam 12 minggu penelitian dari 161 pasien diabetes tipe 2 dan hipertensi, tidak
terjadi perubahan kadar HbA1c.
Heart Failure

Pada pasien gagal jantung, pemberian candesartan lebih besar atau sama dengan 8 mg
menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan tekenan kapiler pulmonary.

Dosis

Tekanan Darah

dosis yang memberikan respon terhadap tekanan darah adalah 2-32 g. dosis umum
yang direkomendasikan adalah dimulai dengan dosis 16 mg satu kali sehari ketika diberikan
sebagai terapi tunggal pada pasien yang tidak mengalami penurunan volume tubuh.
Candesartan bisa diberikan satu atau dua kali sehari dengan total dosis harian 8 sampai 32
mg. dosis yang lebih besar tidak menunjukkan efek yang lebih besar. Kebanyakan efek
antihipertensiv diperoleh dalam 2 minggu, dan penurunan tekanan darah maksimal terjadi
dalam 4-6 minggu.

Pediatric Hypertension 1 to < 17 Years of age


Bisa diberikan satu atau dua dosis terbagi. sesuaikan dosis berdasarkan respon
tekanan darah. Untuk pasien yangmengalami penurunan volume tubuh (seperti pasien yang
diterapi dengan diuretic, terutama pasien yang mengalami gangguan ginjal) pertimbangkan
untuk meberikan dosis yang lebih kecil.

Children 1 to < 6 years of age

Range dosis adalah 0.05 sampai 0.4 mg/kg per hari. dosis awal yang
direkomendasikan adalah 0.20 mg/kg (suspense oral).

Children 6 to < 17 years of age:


Untuk anak dengan berat kurang dari 50 kg, range dosisnya aldah 2-16 mg per hari.
dosis awal yang dianjurkan 4 sampai 8 mg. untuk yang beratnya lebih dari 50 kg, range
dosisnya adalah 4 sampai 32 mg per hari. dosis awal yang direkomendasikan adalah 8 sampai
16 mg. dosis di atas 0.4 mg/kg (1 sampai < 6 tahun) atau 32 mg (6 sampai <17 diuji="diuji"
pada="pada" pasien="pasien" pediatric.="pediatric." span="span" tahun="tahun"
telah="telah">
Dosing Considerations in Special Populations
Penggunaan pada wanita hamil
Data mengenai penggunaan Candesartan pada wanita hamil sangat terbatas. Data
tersebut tidak cukup untuk menyimpulkan mengenai risiko potensial pada fetus ketika
menggunakan Candesartan selama trimester pertama. Pada manusia, perfusi ginjal pada fetus,
yang tergantung pada perkembangan sistim renin-angiotensin-aldosteron, dimulai pada
trimester kedua. Oleh karenanya, risiko pada fetus meningkat jika Candesartan diberikan
selama trimester kedua dan ketiga kehamilan. Obat yang bekerja secara langsung terhadap
sistim renin-angiotensin ketika diberikan pada wanita hamil pada trimester kedua dan ketiga
dapat menyebabkan kelainan pada fetus dan neonatus (hipotensi, disfungsi ginjal, oliguria
dan/atau anuria, oligohidramnion, hipoplasia tengkorak, retardasi pertumbuhan intrauterin)
serta menyebabkan kematian.
Kasus seperti hipoplasia paru-paru, wajah yang abnormal dan kontraktur anggota
badan juga pernah dilaporkan. Studi terhadap binatang dengan candesartan cilexetil
memperlihatkan kelainan ginjal pada fetus dan neonatus. Mekanismenya dipercaya terkait
dengan efek farmakologi terhadap kerja sistim renin-angiotensin-aldosteron. Berdasarkan
informasi diatas, Candesartan tidak boleh digunakan selama kehamilan. Jika diketahui hamil
selama pengobatan maka hentikan penggunaan Candesartan.

Penggunaan selama masa menyusui :


Tidak diketahui apakah candesartan diekskresikan pada air susu ibu. Tetapi penelitian pada
tikus, candesartan diekskresikan melalui air susu tikus. Karena berpotensi untuk
menimbulkan efek samping pada bayi yang menyusu, maka Candesartan tidak boleh
diberikan selama menyusui.

INTERAKSI OBAT
Tidak ada interaksi obat yang signifikan yang dilaporkan pada terapi dengan
candesartan cilexetil yang diberikan bersama obat lain seperti glyburide, nifedipine, digoxin,
warfarin, hydrochlortiazide dan kontrasepsi oral pada volunteer yang sehat, atau pemberian
bersama enalapril pada pasien gagal jantung( NYHA kelas II dan III). Karena candesartan
tidak dimetabolisme secara signifikan oleh system enzim cytochrom P450 dan pada
konsentrasi terapi tidak memberikan pengaruh pada enzim P450, maka interaksi dengan obat
yang menghambat atau dimetabolisme oleh enzim tersebut tidak diharapkan.
Pada pasien geriatric, kekurangan cairan (termasuk terapi dengan diuretic), pemberian NSIDs
termasuk pemberian penghambat COX2 yang selektif, bersama dengan angiostensinII
reseptor antagonis, termasuk candesartan, bisa mengakibatkan penurunan fungsi ginjal,
dengan kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut, efek ini biasanya bersifat reversible.
Monitor secara berkala fungsi ginjal pasien yang menerima candesartan bersama dengan
NSID. Efek anti hipertensi angiostensin II reseptor antagonis, termasuk candesartan akan
dilemahkan oleh NSID termasuk COX2 selektif.
Peningkatan kosentrasi serum litium secara reversible dan terjadinya toksisitas dilaporkan
selama penggunaan litium besama dengan ACE inhibitor, dan hal yang sama terjadi dengan
angiostensin II reseptor antagonis.
PERINGATAN
1. Toksisitas pada janin
Kategori pada kehamilan : D
Penggunaan obat yang bekerja terhadap system rennin angiostensin selama trimester 2 dan 3
kehamilan akan mengurangi fungsi ginjal pada janin dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada janindan bayi baru lahir. Pembentukan oligohydramnios dihubungkan dengan
terjadinya hipoplasia pada janin dan deformasi otot. Efek samping yang potensial terjadi pada
bayi yang baru lahir adalah hipoplasia, anuria, hipotensi, gagal ginjal dan kematian. Jika
kehamilan terdeteksi dianjurkan untuk penghentian konsumsi obat golongan ini.

2. Morbiditas pada bayi


Pasien dengan usia dibawah satu tahun tidak boleh diberikan candesartan. Obat yang bekerja
langsung pada system rennin angiostensin dapat memberikan efek buruk pada perkembangan
ginjalnya.
3. Hypotensi
Pada pasien dewasa dan anak-anak dengan pengaktifan system rennin angiostensin atau
pasien yang rendah natrium ( pengobatan dengan diuretic) hipotensi simptomayik dapat
terjadi.
4. Gangguan fungsi hati
Berdasarkan data farmakokinetik, dimana peningkatan secara signifikan AUC (Area Under
Curva) Candesartan dan konsentrasi maksimum di dalam darah pada pasien dengan
kerusakan hati sedang, maka dosis wal yang lebih rendah harus dipertimbangkan pada pasien
dengan kerusakan hati.
5. Penurunan fungsi ginjal
Sebagai konsekuensi dari penghambatan system rennin-angiostensin-aldosteron, yaitu
perubahan fungsi ginjal, dapat diantisipasi pada beberapa individu dengan pemberian terapi
candesartan. Pada pasien yang fungsi ginjalnya bergantung pada aktivitas system rennin-
angiostensin-aldosteron (pasien gagal jantung berat), terapi dengan ACE dan angiostensin
reseptor antagonis bisa menimbulkan oliguria dan/atau azotemia progresif dan jarang terjadi
gagal ginjal akut atau kematian. Dalam kasus yang sama dapat diantisipasi pada pasien
dengan pemberian terapi candesartan. Pada pasien gagal jantung yang diterapi dengan
kandesartan, peningkatan serum kreatinin mungkin terjadi. Pengurangan dosis, penghentian
terapi antidiuretik atau candesartan mungkin diperlukan.
6. Hiperkalemia
Pada pasien gagal jantung yang diterapi dengan candesartan, hiperkalemia mungkin terjadi,
khususnya ketika diberikan bersamaan dengan ACE inhibitor atau diuretic hemat kalium
seperti spironolakton. Selama terapi dengan candesartan pada pasien yang gagal jantung perlu
dievaluasi peningkatan kalium secara periodic.

KEUNTUNGAN

1. Pencegahan stroke
ARB memperlihatkan efek positif terhadap pencegahan stroke, walaupun hasil studi dalam
area ini masih terbatas. Dalam suatu studi ACCESS ( Acute Candesartan Cilexetil therapy in
Stroke Survivors) memperlihatkan bahwa candesartan cilexetil, dengan dosis yang dititrasi
sampai dosis maksimum 16 mg/hari, memiliki toleransi yang baik pada pasien dengan
serangan stroke akut. ACCESS di design secara random, double-blind, dikontrol dengan
placebo untuk menilai keamanannya untuk menurunkan tekanan darah pada awal serangan
stroke. Candesartan cilexetil diberikan sebagai terapi selama minggu pertama setelah
serangan stroke iskemik secara signifikan akan memperbaiki morbiditas dan mortalitas
dibandingkan dengan placebo.

2. Hipertensi

Pada terapi prehipertensi, pemberian obat ini dapat mengurangi risiko hipertensi yang
dibuktikan dalam studi 4 tahun yang dinamakan Trial of Preventing Hypertension
(TROPHY). Dalam setting studi tersebut, selama 2 tahun terapi, pasien yang diberi
candesartan cilexetil 16 mg sekali sehari ternyata dapat menunda terjadinya onset hipertensi
tahap 1 setelah obat tersebut dihentikan. Secara substansial, juga didapatkan hasil bahwa
candesartan cilexetil menekan onset hipertensi tahap 1 selama dua tahun terapi dan
memperpanjang periode bebas hipertensi selama studi. Hasil studi ini telah dipublikasikan di
New England Journal Medical Maret 2006.
Pada terapi hipertensi, inilah data yang didapat dari studi Candesartan Antihypertensive
Survival Evaluation in Japan (CASE-J). Studi ini mengungkapkan efikasi obat dalam
mengurangi mortalitas dan morbiditas kardiovaskular pada pasien hipertensi berisiko tinggi
dengan membandingkan candesartan dan amlodipine, antihipertensi golongan kalsium
antagonis yang banyak digunakan. Studi dilakukan di Jepang selama 3 tahun atau lebih.
Subjek dalam studi ini memiliki lebih dari satu faktor risiko berikut : memiliki tekanan darah
sistolik > 180 dan/- atau 110 mmHg, memiliki diabete tipe 2, risiko serebrovaskular, risiko
penyakit ginjal dan vaskular. Hasilnya, candesartan dan amlodipine secara ekual dapat
mengurangi kejadian kardiovaskular pada pasien hipertensi dengan risiko tinggi
dengan manajemen tekanan darah yang ketat yaitu <140 b="b" mmhg.="mmhg.">
Candesartan ternyata lebih menekan progresi disfungsi ginjal pada pasien yang
mengalami gangguan ginjal, mengurangi mortalitas total pada pasin obesitas dan
mencegah onset diabetes dibanding amlodipine. Penurunan yang lebih besar secara
signifikan pada nilai left ventricular mass index (LVMI) juga ditemui pada kelompok
candesartan dibanding kelompok amlodipine. Candesartan lebih efektif dibandingkan
amlodipine dalam mencegah perburukan fungsi ginjal pada pasien CKD.
Diantara ARB, candesartan bersifat poten, selektivitas tinggi, (AT1). Karena ikatannya yang
kuat, dan disosiasi lama dari reseptor, candesartan memiliki efek antihipertensif yang kuat,
tergantung dosis, dan efek antihipertensifnya lama. Candesartan tidak mempengaruhi
homeostasis glukosa atau profil lipid serum dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dan
microalbuminuria pada pasien hipertensi dengan diabetes tipe 2 (Ramzi,2007).

3. Nefropati diabetes
Peningkatan tekanan darah sistolik berubungan dengan komplikasi dari DM, dan juga
terdapat hubungan antara perkembangan penyakit ginjal dengan tekanan darah pada pasien
dengan DM tipe II. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan keuntungan secara klinik
pemberian ARB secara monoterapi atau kombinasi dengan obat antihipertensi lainnya untuk
mengurangi mikroalbuminuria dan proteinuria serta memperlambat terjadinya nefropati.
Pada diabetes akan terjadi pelebaran membran basal glomerulus, mungkin akan mencapai 3
sampai 4 kali lipat dari ukuran normal. Ini berhubungan dengan berkurangnya integritas
membrane glomerulus dan terganggu kemmpuannya bekerja sebagai saringan protein.
Mikroalbuminuria merupakan tanda kerusakan ginjal pada pasien dengan atau tanpa diabetes
dan memprediksikan kerusakan cardiovaskular serta terjadinya resiko kematian. Hubungan
antara eksresi albumin dan resiko cardiorenal merupakan bagian dari rangkaian dan adanya
hubungan respon-dosis antara derjat albuminuria dan risiko cardiovascular. Peningkatan laju
dari ekresi albumin di urin memprediksikan adanya kerusakan organ target, tidak hanya
terjadinya nefropati pada ginjal tapi juga kerusakan ventrikel kiri jantung dan infark
miokardium, dan stroke pada otak. Terapi hipertensi dengan ACE inhibitor dan ARB
merupakan landasan utama dalam menangani mikroalbuminuria, sama baiknya pada tahap
lanjut albuminuria klinik pada pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2. Ada penurunan albuminuria
dan tekanan darah secara signfikan pada penerima candesartan dalam 3 dosis berbeda
dibandingkan plasebo. Rata-rata penurunan albuminuria adalah 33% untuk candesartan 8 mg,
59% untuk candesartan 16 mg, dan 52% untuk candesartan 32 mg, dibandingkan plasebo.
Albuminuria berkurang secara signifikan pada dua dosis tertinggi candesartan dibandingkan
dosis terendah. Kemampuan system renin angiostensin untuk menghambat, mencegah atau
menunda perkembangan nefropati dan disfungsi ginjal cukup baik, karena system renal
angiostensin memainkan peranan kritis pada perkembangan penyakit ginjal kronis. Karena
itu, dalam sebuah guideline, ARB merupakan terapi yang tepat dan efisien pada pasien
dengan hipertensi dan DM dari tahap awal penyakit. Penghambatan reseptor angiotensin II
oleh AT1-receptor blocker bisa memberikan penekanan yang besar terhadap efek angitensin
II yang disebabkan oleh reseptor angiotensin I dan ini juga mungkin dilakukan oleh ACE
inhibitor. Angiotensin II mempengaruhi pertumbuhan sel dan apoptosis, inflamasi, fibrosis
dan koagulasi. Penghambatan system renin angiotensin akan menghambat efek patofisiologi
dan memberikan keuntungan pada DM dengan nefropati diabetes untuk menurunkan tekanan
darah.

4. Retinopati diabetes
Retinopati merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes dan bisa menyebabkan
kebutaan. Studi DIRECT (diabetic retinopathy Candesartan Trials) yang dirancang untuk
melihat apakah terapi candesartan cilexetil efektif untuk mencegah perkembangan retinopati
diabetes. Sebanyak 5000 pasien diikuti selama 3 tahun pada satu dari 3 kelompok acak,
double blind, menggunakan placebo sebagai control pada pasien dengan DM tipe I tanpa
diabetes retinopati, pasien dengan DM tipe I dan tipe II dengan retinopati diabetes. Pasien
secara random akan menerima candesartan cilexetil 16-32 mg/hari atau placebo. Hasil yang
positif pada studi DIRECT akan menjadi perkmbangan yang sangat bernilai pada penanganan
pasien dengan diabetes

5. Pencegahan terhadap new onset DM


Penemuan terakhir terhadap perlambatan laju yang signifikan pada new-onset DM antara
penerima ARB pada beberapa penelitian yang menunjukkan efek ARB yang beragam
terhadap resistensi insulin. Candesartan mengurangi resiko new-onset DM pada studi SCOPE
dan 22% pada studi CHARM.
Dalam studi EURODIAB Controlled Trial of Lisinopril in Insulin-dependent Diabetes
Mellitus (EUCLID) menunjukkan hubungan antara system renin angiotensin dalam
terjadinya retinopati diabetes. Candesartan cilexetil merupakan antagonis reseptor
angiotensin II yang sangat poten yang memiliki efek menguntungkan terhadap hipertensi dan
jantung, ginjal dan penyakit serebrovaskular.
Anlisis pos hoc uji klinik telah menyarankan bahwa penghambatan system RAA bisa
menurunkan onset DM. penghambatan RAAS meningkatkan pengiriman insulin dan glukosa
ke otot skeletat peripheral atau meningkatkan pelepasan insulin atau insulin responsive,
kemungkinan kedua meningkatkan konsentrasi kalium plasma, yang menyebabkan
meningkatnya sensitivitas insulin. Candesartan mengurangi jumlah pasien yang berkembang
menjadi DM (Zeeshan,2011)

6. Memperbaiki resistensi insulin perifer


Terapi dengan ACE inhibitor dan ARBs dapat memperbaiki resistensi insulin perifer pada
hewan dan secara klinik. Mekanisme kenapa penghambatan system renin angiostensin
aldosteron mempunyai efek yang menguntungkan dan berespon terhadap insulin belum
secara utuh dimengerti. Perubahan sensitivitas insulin pada perifer setelah terapi dengan
ARBs atau ACEi kemungkinan terjadi karena perubahan aliran darah local menuju ketempat
pengambilan glukosa. Tetapi efek non hemodynamic juga dilaporkan. Pada tikus tipe Zucker
yang obesitas, menunjukkan bahwa pemberian ARBs yang lama akan menghasilkan
peningkatan yang signifikan dari kerja GLUT-4 pada otot polos, pengurangan asam lemak
plasma dan peningkatan respon terhadap insulin. Disamping itu, juga terjadi peningkatan
aktifitas heksokinase, enzim penting dalam metabolisme glukosa pada otot polos.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ARB menginduksi peroxisome proliferators-activated
receptor (PPAR) yang berperan dalam mekanisme insulin sensitizing/ antidiabetik efek dan
kemungkinan mencegah dan mengobati diabetes dan penyakit kardiovaskuler pada populasi
dengan resiko besar

Diposkan oleh NH2 di 06.22


Label: candesartan, farmakokinetik, farmakologi, hipertensi, indikasi, interaksi, jantung

Anda mungkin juga menyukai