Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. W

Jenis Kelamin : perempuan

Usia : 17tahun

Alamat : Jln cidadap, cempaka cianjur

Agama : Islam

Masuk rumah sakit (poli bedah) tanggal 8 Februari 2017.

B. Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan Utama
Benjolan pada pinggang kanan belakang sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan penyakit pasien pertama kali dirasakan 2tahun yang lalu. Saat pasien masih sekolah,
pasien sering merasakan nyeri pinggang kanan yang sering hilang timbul tanpa di serta nyeri
yang menjalar. Saat itu pasien tidak merasakan terlalu mengganggu aktifitasnya sehari-hari
sebagai siswa dan pasien tidak berobat untuk keluhannya saat itu. 1bulan yang lalu pasien
meraba adanya benjolan sebesar telur puyuh berbentuk bulat dan keras tanpa nyeri tekan
pada daerah pinggang kanan belakang. Pasien lalu memeriksakan diri ke dokter dan pada
hasil x-ray menunjukan ada massa di dalam perut. Benjolan semakin membesar hingga saat
ini dengan diameter 15cm, benjolan juga muncul di daerah perut bawah sebesar 3x6cm
dengan keluhan serupa. keluhan kadang di sertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi dan
hilang timbul dalam 1 bulan terakhir. Keluhan demam tidak di sertai dengan mimisan
maupun perdarahan gusi. Pasien juga mengeluh menjadi sesak. Keluhan sesak dirasakan
terus-menerus dan semakin lama semakin memberat walaupun pasien telah mengurangi
aktivitasnya berupa istirahat dan kegiatan sehari-hari menjadi terganggu. Keluhan sesak
muncul dan memberat tanpa dipengaruhi oleh aktivitas, perubahan cuaca ataupun emosi.

1
Pasien mengaku saat ingin tidur terlentang, pasien merasakan sesak dan tidak ada perubahan
saat diberikan bantal yang lebih tinggi ataupun duduk. Pasien justru mengaku lebih nyaman
memposisikan badannya miring ke sebelah kiri pada saat tidur. Pasien menyangkal sesaknya
tersebut diiringi dengan suara ngik-ngik. Pasien tidak mengalami gangguan buang air besar
maupun buang air kecil

Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan yang serupa dengan riwayat penyakit sekarang sebelumnya disangkal.

TB paru di sangkal

Riwayat darah tinggi disangkal


Riwayat gula darah disangkal
Riwayat sakit Jantung disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat Penyakit hati disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat penyakit saluran pencernaan disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit jantung, hipertensi dan DM dikeluarga disangkal
Riwayat Pengobatan

Sudah berobat ke dokter umum untuk konsultasi benjolan pada pinggal kanan belakang 1
bulan yang lalu dan melakukan x-ray.

Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat atau makanan, riwayat
atopik lain seperti dermatitis, maupun rhinitis juga disangkal.

Riwayat Psikososial
Pasien tidak dirumah dan saat ini tidak sekolah lagi dikarenakan sering sakit. Riwayat
gizi pasien baik. Pasien menyangkal pernah merokok dan mengkonsumsi alkohol.

2
C. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran: Composmentis

Keadaan Umum: baik

TTV

TD : 90/60 mmHg

Nadi : 80x/menit dan teratur,

Suhu : 36,9oC

Pernafasan : 20x/menit

Kepala : Tulang tengkorak normosefal. Rambut dengan tekstur yang rata.

Mata : Si -/-, Ca -/-, diameter pupil 3mm, isokor dan reaktif terhadap cahaya.

Hidung : Bentuk normal dengan septum berada di tengah. Tidak ditemukan


adanya pernafasan cuping hidung. Tidak ditemukan perdarahan, sekret
yang keluar dari hidung.

Mulut : Mukosa mulut dalam keadaan lembab, tidak ada lidah kotor faring dalam
keadaan tidak hiperemis dan terdapat eksudat, begitu pula dengan tonsil.

Telinga : Ketajaman baik terhadap suara. Tidak tampak adanya perdarahan


maupun pengeluaran sekret.

Leher : Trakea berada di tengah. Tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar


getah bening. Tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid. JVP
dalam batas normal. Tidak ada retraksi Suprasternal

3
Pulmo:

Inspeksi : Simetris. Penggunaan otot bantu napas(-), retraksi dinding


dada(-), bagian dada yang tertinggal (-) Retraksi intercostal
(-)

Palpasi : Vocal fremitus kanan menurun dri ICS 4 kebawah


sedangkan yang kiri normal, pelebaran sela iga (-)

Perkusi :Terdengar redup pada hemitoraks kanan ICS 4 kebawah


dan sonor pada hemitorax kiri.

Auskultasi : Vesikuler pada hemitorax kanan dan vesikuker


menurun pada hemitorax kiri. Rales -/-, Wheezing
-/-, Ronchi -/-.

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V Linea midclavicularis sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS III linea


parasternalis dextra, batas jantung atas pada ICS III
linea parasternalis sinistra, batas kiri bawah pada
ICS V , linea midclavicula sinistra

Auskultasi :S1 S2 normal, regular gallop (-), murmur (-)

Abdomen:

Inspeksi : Tampak datar, tidak nampak adanya spider nevi,


venektasis, caput medusa maupun luka bekas
operasi. Retraksi epigastrik (-)

Auskultasi : Bising usus masih terdengar dengan frekuensi


yang normal.

4
Palpasi : Teraba supel idak ada nyeri tekan, tidak terdapat
defans muskular. Hepar dan lien tidak membesar.

Perkusi :Terdengar timpani hampir di seluruh kuadran perut


pada perkusi.

Ekstremitas :Tidak tampak ke empat ekstremitas membengkak. Akral


teraba hangat dengan CRT< 2dtk pada ke empat
ekstremitas.

Status lokalis : Terdapat masa pada

- regio sacrospinalis dextra, berbentuk bulat dengan


diameter 15cm. Berbatas tegas, konsistensi keras mobile,
soliter dan nyeri tekan(-)
- regio suprapubik dextra, berbentuk lonjong dengan
ukuran 3x6cm berbatas tegas, konsistensi lunak, mobile,
soliter dan nyeri tekan(-)

5
D. Hasil Pemeriksaan laboratorium (7 Februari 2017)

6
7
E. Pemeriksaan Radiologi:

Kesan :

- Efusi pleura kanan


ditandai
perselubungan opak
homogeny di
hemithorax kanan

- Tidak tampak
kardiomegali

- Tidak tampak
gambaran
bronchitis/emfisema
pulmonum

Hasil analisis USG hemithoraks

Tampak efusi pleura minimal di hemithorax bawah kanan lainnya masih baik. Jarak kutis dengan
efusi ,1,5cm

Kesan: efusi pleura minimal kanan tidak aman untuk di drainase

8
F. gambaran EKG

Heart rate=1500/22=68(normal), irama sinus, axis normal

9
F. Follow-UP

10
H. Daftar Masalah
1. abses at regio sacrospinalis dextra & suprapubik dextra
2. Efusi Pleura

TINJAUAN PUSTAKA

11
Masalah I : efusi pleura

S : Nn. W, 17 tahun, terasa sesak tanpa dipicu oleh aktifitas cuaca dan emosi. Sesak tidak
berkurang walau tidur menggunakan 2-3bantal.

O : TD: 90/60 mmHg

HR: 80x/m

EKG : normal

Foto thorax: Efusi pleura kanan ditandai perselubungan opak homogeny di hemithorax
kanan

USG: Kesan: efusi pleura minimal kanan tidak aman untuk di drainase

Laboratorium: leukosit 15,9

EFUSI PLEURA

A. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum
pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau
cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-
20 ml.

B. ETIOLOGI
Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang
pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau
eksudat.

Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan
penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor

12
lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami
perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi
pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :

1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di dalam
serum.

Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura

13
Efusi pleura berupa:

a) Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Terjadinya
perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein yang
terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura eksudat dapat
disebabkan oleh :

1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan efusi
biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan
keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan
efusi.

2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal
dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat
merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus
aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium,
dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan
metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.

3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi


timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hematogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus
subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya
masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang
disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada

14
pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan
nyeri dada pleuritik.

5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada.
Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :

Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran
kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik
sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra pleural,
sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan
kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam
cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan
pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru atau
bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada
beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus
efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang
diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4
indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:

Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura


Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH
bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir
bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

15
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma

8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

b). Transudat,
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan kapiler
sistemik, (2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan koloid osmotic
dalam pleura, (4) Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi plura transudat dapat terjadi pada :

1. Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah


perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler
pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru
meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga
menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa
efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya.
Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga
segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak.

2. Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan
tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

3. Hidrothoraks hepatik

16
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang ada
pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup
besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat
mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat
dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt,
torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa
dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4. Meigs Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor
ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor
ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah
tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya
dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di
diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun
bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui
celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan
cairan dialisa.

Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat

17
c). Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada hemothoraks
selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak
membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya
darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.

C. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura berfungsi untuk
melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling bergerak karena pernapasan.
Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler
pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan kecepatan
yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.

18
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses
pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam
rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

19
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks. Bila
proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses
terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk
ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru
dan pneumothoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal
dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang
paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa
tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif.

D. DIAGNOSIS
a. Gejala dan Tanda.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru terganggu.
Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau
dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau
nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis
hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung

20
Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil pada
sisi yang sakit
Perkusi. Pekak pada perkusi
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. Nyeri dada pada
pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat
oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura
parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya
dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :

1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.

2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan
nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan
berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus
melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah redup, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah redup karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah
dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul. Pada
pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi.

21
2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah
paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).Bila


agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru, keganasan dan adanya
kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan
empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena amuba.
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel :
Tabel Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau
dominasi sel-sel tertentu.
Sel neutrofil: pada infeksi akut
Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna).
Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
Sel giant: pada arthritis rheumatoid

22
Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
Sel maligna: pada paru/metastase.
4. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung mikroorganisme
berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering Pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.
5. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada
dinding dada.

E. PENATALAKSANAAN
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga dapat
dikerjakan dengan tujuan terapetik. dilakukan pada hampir setiap pasien dengan efusi pleura
yang tidak diketahui asalnya. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam posisi
tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah sedikit
medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor dan
redup. Pemeriksaan fisik dada pasien yang paling penting dalam menentukan situs,
namun. Ketika cairan hadir antara paru-paru dan dinding dada, fremitus taktil hilang, dan
catatan perkusi cahaya menjadi kusam. Oleh karena itu, thoracentesis harus dicoba satu
sela bawah tempat di mana sentuhan fremitus hilang dan catatan perkusi menjadi kusam.
Thoracentesis biasanya harus dilakukan posterior beberapa inci dari tulang belakang, di
mana tulang rusuk mudah diraba. Lokasi yang tepat untuk upaya thoracentesis harus
hanya unggul tulang rusuk. Alasan untuk lokasi ini adalah bahwa arteri, vena, dan saraf
menjalankan hanya kalah dengan tulang rusuk (Gbr. 28,2), sehingga jika jarum hanya
unggul tulang rusuk, bahaya kerusakan struktur ini diminimalkan.

23
c. Anastesi lokal diperlukan untuk membius kulit, periosteum dari tulang rusuk, dan pleura
parietalis. Kulit dibius menggunakan jarum 25-gauge pendek dengan menyuntikkan
lidocaine, sekitar 0,5 mL. Jarum kecil kemudian diganti dengan jarum 22-gauge. Jarum
ini dimasukkan ke periosteum dari tulang rusuk yang mendasari dan digerakkan ke atas
dan melewati tulang rusuk dengan suntikan jumlah kecil (0,1-0,2 mL) lidocaine. begitu
jarum ini di superior tulang rusuk, perlahan-lahan maju ke arah rongga pleura dengan
aspirasi, diikuti oleh suntikan 0,1-0,2 mL lidokain setiap 1 sampai 2 m. Begitu cairan
pleural yang disedot melalui jarum ini ke dalam jarum suntik yang mengandung lidokain,
jarum harus ditarik dari rongga pleura dan disambungkan ke 50- 60-mL jarum suntik
yang berisi 1 ml heparin. Heparin ditambahkan ke dalam jarum suntik untuk mencegah
penggumpalan cairan pleura karena sulit untuk mendapatkan jumlah sel darah putih
diferensial atau penentuan pH jika cairan pleura adalah bergumpal.
d. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah
sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau
jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura parietalis
tebal.

24
Gambar Metode torakosentesis

e. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus yang
dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat
terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum
diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex
vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.. Komplikasi
torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, dan laserasi pleura
viseralis.
4. Pemasangan WSD.
25
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan dengan
WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman. Pemasangan WSD
dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di Disebelah kanan sela iga
VII/VIII. Sebelah kiri VIII/IX linea aksilaris posterior. atau kira2 sama tinggi dengan
angulus inferius skapula.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang lebih
2 cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura
parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa dan
plester.
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk
ke dalam rongga pleura.

Gambar Pemasangan jarum WSD

26
h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan
dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

Tabung masukkan cukup ditanamkan ke dalam botol sehingga ujung sedotan kaku adalah
sekitar 2 cm di bawah permukaan larutan garam. Tutup botol harus memiliki ventilasi untuk
mencegah tekanan dari bangunan ketika udara atau cairan yang berasal dari rongga pleura
memasuki botol.

Sistem ini bekerja sebagai berikut. Ketika tekanan pleura positif, tekanan dalam sedotan kaku
menjadi positif, dan jika tekanan di dalam sedotan kaku lebih besar dari kedalaman yang
sedotan dimasukkan ke dalam larutan garam, udara (atau cairan) akan memasuki botol dan
akan dibuang ke atmosfer (atau mengumpulkan dalam botol). Jika tekanan pleural negatif,
cairan akan diambil dari botol ke dalam sedotan kaku dan tidak ada udara ekstra akan
memasuki sistem rongga pleura dan jerami kaku. Sistem ini disebut segel air karena air
dalam botol segel rongga pleura dari udara atau cairan dari luar tubuh. Jelas, jika sedotan di
atas kadar cairan dalam botol, sistem akan tidak beroperasi dan pneumotoraks besar akan
berkembang. Sistem satu botol ini bekerja dengan baik dan tidak rumit pada pneumothorax.
Jika sejumlah besar cairan yang mengalir dari rongga pleura pasien, bagaimanapun, tingkat
cairan akan meningkat dalam sistem satu botol, dan karena itu, tekanan akan lebih tinggi dan
lebih tinggi dalam sedotan kaku untuk memungkinkan udara tambahan atau cairan untuk
keluar dari rongga pleura. Kelemahan lain dari sistem ini adalah bahwa jika botol secara
tidak sengaja ditempatkan di atas tingkat dada pasien, cairan dapat mengalir kembali ke
dalam rongga pleura.

5. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan penanganan
terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa,
bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi
dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang

27
waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil,
akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah
penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam
keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam faal,
kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan
garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk
mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum
pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama
6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian
rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang toraks dapat
dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri
pleuritik atau demam.

DAFTAR PUSTAKA

1 Papadakis, maxine A. 2013. Current Medical Diagnosis & Treatment: McGrawHill.


2 Longo, Dan L. 2013. Harrison Manual Of Medicine International Edition: 18 th Edition:
McGrawHill

3 Light, Richard W. 2007. Pleura Disease. 5th Edition. Wolters Kluwer.


4 Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc : New York. 2008
5 Guyton & Hall. 1999. buku Ajar Fisiologi Kedokteran disi 9. EGC. Jakarta.
6 Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2007.
Balai Penerbit FK UI Jakarta.
7 Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta : 2008.
8 Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua. EMS. Jakarta :
2008.

28
9 Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009
10 Rachmatullah, P. 1997. Seri Ilmu Penyalit Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru
(Pulmonologi), Semarang, Undip.
11 Litchman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT. Anemia of
chronic disease. In Williams Hematology. 7th ed. USA: Mc.Graw-Hill: 2009, chapter 43

29

Anda mungkin juga menyukai