Anda di halaman 1dari 25

1

TINJAUAN PERBEDAAN ANTARA


SISTEM HUKUM CIVIL LAW (EROPA
KONTINENTAL) DENGAN COMMON LAW (ANGLO
SAXON)

TUGAS MATA KULIAH : BUSINESS LAW

DOSEN :
Prof. MARWAH M. DIAH, SH. MPA
Dr. GATOT SOEMARTONO, SH. SE. MBA. LLM.

Oleh :
JIMMY BUDI HARIYANTO
NIM : 08/281794/PEK/13503

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
2009
2

TINJAUAN PERBEDAAN ANTARA


SISTEM HUKUM CIVIL LAW (EROPA
KONTINENTAL) DENGAN COMMON LAW (ANGLO
SAXON)

Pemikiran negara hukum di negara barat dimulai sejak Plato


dengan konsepnya "bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah
yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya
dengan istilah nomoi. Kemudian ide tentang negara hukum populer
pada abad ke-17 sebagai akibat dari situas politik di Eropa yang
didominasi oleh absolutisme.
Konsep negara hukum tersebut selanjutnya berkembang dalam
dua sistem hukum yaitu sistem Eropa Kontinental dengan istilah
Rechtsstaat dan sistem Anglo-Saxon dengan istilah Rule of Law.
Sistem Hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut dengan "Civil
Law" berkembang di negara-negara Eropa daratan (Barat), pertama
kali di Perancis, kemudian diikuti oleh nega negara Eropa Barat lainnya
seperti Belanda, jerman, Belgia, Sw dan Italia selanjutnya berkembang
ke Amerika Latin dan Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan
Belanda dulu). Sedangkan sisten Anglo-Saxon dengan istilah Rule of
Law berkembang di negara-negara Anglo-Saxon seperti USA dan
negara-negara bagiannya, serta di negara-negara bekas jajahan
Inggris
Seorang Pakar Hukum Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan bahwa fungsi hukum itu adalah sarana untuk
menjamin ketertiban dan kepastian hukum, serta sarana untuk
pembaharuan masyarakat. Bertolak dari konsep tentang hukum dan
fungsi hukum tersebut, ia berpendapat bahwa pembinaan hukum
nasional di Indonesia harus diarahkan pada usaha-usaha:
1. Memperbaharui peraturan-peraturan hukum termasuk penciptaan
3

yang baru dengan menyesuaikannya pada tuntutan perkem-


bangan jaman tanpa mengabaikan kesadaran hukum dalam
masyarakat;
2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum sesuai proporsinya
masing-masing;

3. Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan para penegak


hukum;
4. Membina kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina
sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah
penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Komponen sistem hukum itu, yakni keseluruhan kaidah-kaidah


hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat atau negara tidaklah
terlepas yang satu dari yang lainnya, melainkan saling berkaitan
sehingga mewujudkan suatu kesatuan yang utuh yang dipandang
sebagai suatu sistem, dan dinamakan sistem hukum positif.
Sistem hukum positif adalah suatu keseluruhan kaidah-kaidah
hukum yang saling bertautan dan yang tertata berdasarkan asas-asas
tertentu sehingga mewujudkan suatu kesatuan yang utuh. Unsurunsur
(komponen, sub-sistem) dari sistem hukum positif itu adalah kaidah-
kaidah hukum dan asas-asas hukum. Ilmu hukum bertugas untuk
mensistemisasi unsur-unsur itu, yakni berdasarkan asas-asas tertentu
menata dan menyusun unsur-unsur itu sehingga keseluruhannya
mewujudkan sebuah sistem yang dapat dipelajari dan dipahami secara
sistematis-rasional.
Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam sumber untuk
menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral, dan sosial
masyarakatnya. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas
bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-
peraturan hukum pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas
4

tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas hukum


atau prinsip hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar
belakang peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam dan di
belakang setiap sistem hukum.
Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk
peraturan yang konkrit atau pasal-pasal, akan tetapi tidak jarang pula
asas hukum dituangkan dalam peraturan konkrit. Untuk menemukan
asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaidah atau peraturan
yang konkrit. lni berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang
terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu.

Beberapa contoh di bawah ini merupakan asas hukum yang


penting:
1. NuIlum crime, noela poena sine lege, tidak ada kejahatan, tidak
ada hukuman, tanpa undang-undang;
2. In dubio pro ero, jika ada keraguan maka harus diberlakukan
ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa;
3. Unus testis nullus testis, kesaksian satu orang bukanlah
kesaksian.
4. Pacta sund servanda, janji pengikat para pihak; dan sebagainya.

A. SISTEM HUKUM CIVIL LAW (EROPA


KONTINENTAL)

Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa


kontinental adalah, bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat
karena diwujudkan. Sistem hukum Eropa Kontinental Rechtsstaat
dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut
Stahl konsep sistem hukum ini ditandai oleh empat unsur pokok :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asas manusia;
5

2. Negara didasarkan pada teori trias politika;


3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang
(wetmatig bertuur); dan
4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh penerintah.

Prinsip utama dari sistem hukum ini adalah hukum memperoleh


kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan
yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematis di
dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Hal ini semata-mata untuk
menciptakan kepastian hukum. Dan kepastian hukum hanya dapat
diwujudkan kalau pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur
dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Hakim menurut
sistem Eropa kontinental ini tidak leluasa untuk menciptakan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat. Putusan hakim
dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja
poktrins (doktris Res Ajudicata].
Sejalan dengan pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa,
yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty), termasuk
untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum di
dalam sistem Eropa Kontinental meliputi:
1. Undang-Undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan
legislative;
2. Peraturan-peraturan yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif
berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang--
undang; dan
3. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum
oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-
undang.

Berdasarkan sumber-sumber hukum yang digunakan, maka


sistem hukum Eropa Kontinental dibagi dalam dua golongan yaitu
penggolongan ke dalam bidang hukum publik dan penggolongan ke
dalam bidang hukum privat. Hukum publik mencakup peraturan-
6

peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa


negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat di negara.
Sedangkan hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang
mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam
memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Termasuk dalam hukum
publik adalah hukum tatanegara, hukum administrasi negara, hukum
pidana dan lain-lain. Dan yang termasuk hukum privat meliputi hukum
sipil dan hukum dagang.
Namun demikian sejalan dengan perkembangan Reradaban
manusia sekarang, batas-batas yang jelas antara hukum ublik dan
hukum privat semakin sulit ditemukan, karena:
1. Terjadinya proses sosialisasi di dalam hukum sebagai akibat dari
makin banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat,
walaupun pada dasarnya memperlihatkan adanya unsur
"kepentingan umum", yang perlu dilindungi dan dijamin.
Misalnya, bidang hukum perburuhan dan hukum agraria.
2. Makin banyaknya ikut campur negara di dalam bidang
kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan
perorangan. Misalnya, bidang perdagangan, bidang perjanjian
dan sebagainya.

Kodifikasi hukum menurut Sistem Hukum Eropa Kontinental


merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mewujudkan
kepastiam hukum. Karena negara-negara yang menganut sistem
hukum ini akan selalu berusaha menciptakan kodifikasi-kodifikasi
hukum sebagai kebutuhan masyarakat. Kodifikasi Hukum Eropa
Kontinental bersumber pada kodifikasi Hukum Yang berlaku di
Kekaisaran Romawi yaitu "Corpus Juries Civilize" pada pertengahan
abad VI Masehi dari Kaisar justhinianus yang setelah revolusi Perancis
(1789-17951 dijadikan sebagai "Code Civil" yang mulai berlaku pada
21 Maret 1804. Oleh Belanda Code Civil Perancis dijadikan sebagai
KUHPer. [1838], begitupun dengan Code de Commerce Perancis [1807]
7

dijadikan sebagai KUHD Belanda [1811-1838]. Berdasarkan asas


konkordansi keduanya dijadikan sebagai BW dan WvK bagi negara-
negara jajahan Belanda, termasuk di Indonesia [1848]. erdasarkan
aturan peralihan UUD 1945 BW (KUHPer.) dan WvKl(KUHD) masih
berlaku di Indonesia hingga sekarang.
Sistem hukum Romawi Jerman adalah sistem yang dipakai di
Indonesia. Sistem ini lebih dikenal dengan nama Civil Law System.
Sistem hukum ini tidak dapat dilepaskan dari hukum Romawi yang
muncul pada abad ketiga belas dan setelah itu mengalami berbagai
evolusi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari masyarakat yang
selalu berubah.
Ciri khas dari Hukum Romawi Jerman adalah dibaginya hukum
menjadi dua kelompok hukum adalah:
a. Hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepen-
tingan umum;
b. Hukum yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur
hubungan orang.

Selain pembagian dalam dua kelompok hukum, hukum Romawi


Jerman memiliki kesamaan struktur dalam:

a. Pembagian dalam bidang hukum.


Ciri berikutnya dalam sistem hukum Romawi Jerman adalah
pembagian dalam berbagai bidang hukum seperti Hukum Tata
Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Agraria, Hukum
Perdata Internasional, dan sebagainya.

b. Unifikasi hukum.
Pengertian unifikasi atau unificatie96 adalah merupakan
penyatuan. Artinya satu hukum yang diberlakukan untuk seluruh
penduduk berdasarkan teritorial negara dan tidak menurut
perbedaan golongan, mendapatkan perlakuan yang sama, tidak
8

diskriminatif dan memandang setiap orang berkedudukan sama


dimuka hukum.
c. Kodifikasi hukum.
Kodifikasi atau codificatie adalah pengitaban undang-undang atau
pengitaban hukum. Kansil memberikan pengertian kodifikasi
adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap. Unsurunsur
kodifikasi adalah jenis-jenis hukum tertentu (misalnya Hukum
Perdata), sistematis dan lengkap. Adapun tujuan dari kodifikasi
adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan
hukum dan kesatuan hukum. Selanjutnya beberapa contoh
kodifikasi hukum adalah:
1) Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus luris Civilis
(mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar
Justianus dari Kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565
dan dan Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang
diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis pada tahun
1604.
2) Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (1 Mei 1848) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (1 Januari 1918).
d. Kesamaan dalam struktur hukum privat dan hukum publik.
Struktur Hukum Romawi yang membagi dalam dua kelompok
hukum publik dan hukum perdata. Sebagai contoh untuk Hukum
Perdata dijumpai baik dalam Code Civil Perancis, Burgelijk
Wetboek (BW) Belanda atau pun dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata di Indonesia.

Sedangkan sumber hukum Romawi Jerman terdiri atas:


a. Undang-undang.
Undang-undang merupakan sumber hukum formal yang utama.
Dalam kelompok ini terbagi atas:
9

1) Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya


berlaku atau mengikat secara umum dan karenanya tidak
ditujukan pada orang-orang tertentu. Pada dasarnya
peraturan itu mengatur keadaan pada waktu sekarang dan
yang akan datang; jadi tidak mengatur keadaan pada masa
lampau, dan karena itu pada dasarnya tidak dapat berlaku
surut.
2) Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan
pemerintah yang hanya berlaku bagi orang atau orang-orang
tertentu raja; jadi tidak dimaksudkan untuk berlaku bagi
umum atau mengikat umum.
3) Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang
menetapkan apa hukumnya bagi kasus konkret tertentu
untuk menyelesaikannya.
b. Kebiasaan.
Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua, sumber
darimana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum diluar
Undang-Undang, tempat kita dapat menemukan atau menggali
hukumnya. Yang dimaksud adalah perulangan perilaku yang sama
di dalam masyarakat setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan
yang sama. Kebiasaan baru menjadi hukum kebiasaan apabila
kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban
hukum karena dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. Di
samping itu, suatu kebiasaan juga dapat menjadi hukum
kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim dalam putusannya.
Persyaratan untuk menjadi hukum kebiasaan adalah:
1) Syarat materiil; adanya kebiasaan atau tingkah laku yang
tetap atau diulang, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang
sama, yang berlangsung untuk beberapa waktu lamanya.
Harus dapat ditunjukkan adanya perbuatan yang
berlangsung lama; harus ada apa yang dinamakan longa et
inventerata consuetudo.
2) Syarat intelektual; kebiasaan itu harus menimbulkan opini
10

necessitatis (keyakinan umum) bahwa perbuatan itu


merupakan kewajiban hukum. Keyakinan ini tidak hanya
merupakan keyakinan bahwa selalu ajeg berlaku demikian,
tetapi keyakinan bahwa memang seharusnya demikian.
Keyakinan ini disebut opinio necessitatis (=pendapat bahwa
demikian. seharusnya). Kebiasaan itu harus dilakukan karena
keyakinan, bahwa hal itu patut secara objektif dilakukan,
bahwa dengan melakukan itu berkeyakinan melakukan suatu
kewajiban hukum.
3) Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu di
langgar.

Secara umum dapat dibedakan adanya tiga jenis hukum


kebiasaan yaitu:
1) Hukum Kebiasaan Umum yang berlaku untuk seluruh wilayah
negara.dalam suatu negara dengan wilayah seluas negara
Republik Indonesia dengan penduduknya yang banyak,
praktis tidak mungkin atau sulit sekali akan terbentuknya
hukum kebiasaan umum ini.
2) Hukum kebiasaan setempat yang berlaku dalam wilayah
lingkungan yang lebih kecil, misalnya dalam satu propinsi
atau kabupaten, yang seringkali pula memperlihatkan
perbedaan dari tempat ke tempat, meskipun memperlihatkan
ciri-ciri pokok yang sama.
3) Kebiasaan khusus atau kebiasaan kelompok yang berlaku
dalam lingkungan kelompok orang-orang tertentu, misalnya
hukum kebiasaan di kalangan profesi tertentu (hukum,
kedokteran, jurnalistik) atau lingkungan dunia perdagangan
dan kerajinan, seperti hukum kebiasaan di kalangan
pedagang efek atau komoditi pertanian, perusahaan
bangunan dan sebagainya. Pada masa sekarang, hukum
kebiasaan kelompok ini yang paling penting.
c. Traktat.
11

Traktat adalah perjanjian antarnegara, dibedakan antara


perjanjian antarnegara yang penting yang dinamakan Traktat
(Treaty), dan perjanjian antarnegara yang tidak begitu penting
yang dinamakan perjanjian atau persetujuan saja. Selain itu
dibedakan pula antara perjanjian bilateral dan perjanjian
multilateral. Perjanjian bilateral adalah perjanjian antara dua
negara saja, sedangkan perjanjian multilateral melibatkan lebih
dari dua negara. Perjanjian multilateral ada yang bersifat kolektif
(terbuka) yakni setelah traktat itu berlaku, masih terbuka bagi
negara-negara lain yang tidak turut serta dalam
pembentukkannya untuk menjadi peserta dari traktat tersebut;
ada juga yang bersifat tertutup, yakni negara lain yang tidak
terlibat dalam pembentukkannya tidak dapat menjadi peserta
pada traktat termaksud.
Yang dapat mengadakan traktat adalah subjek-subjek hukum
Hukum Internasional dan yang saat ini yang diakui sebagai subjek
Hukum Internasional hingga sekarang adalah:
1) Negara yang berdaulat.
2) Badan Internasional, seperti PBB, ILO, WHO.
3) Tahta Suci (Sri Paus).
d. Yurisprudensi.
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature
rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terjadi
tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri
sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa
atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan berwibawa. Yurisprudensi merupakan produk
yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang
mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. jadi
putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja
dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang--
undang. Bedanya dengan undang-undang adalah putusan
pengadilan berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkret
12

karena mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan undang-


undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak karena
mengikat setiap orang.

Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan


dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian had.
Biasanya hal ini akan terjadi jika telah terjadi beberapa kali kasus
yang serupa, dan untuk kasus-kasus itu hakim selalu memberikan
keputusan dengan cara yang kurang lebih sama. Perulangan itu
menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara
yang sama setiap kali kasus yang serupa terjadi. Dengan
demikian terbentuk hukum melalui keputusan hakim (hukum
hakim, rechterrecht, judge made law). Dalam sistem kontinental,
hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah
dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi
asas kesamaan tersebut dalam sistem kontinental hakim diikat
oleh undang-undang. Di sini Hakim berpikir secara deduktif dari
undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus.

Yang dapat menjadi yurisprudensi adalah keputusan (vonis) dari


Badan Peradilan Tertinggi (Mahkamah Agung), juga vonis dari
Badan Peradilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) dan vonis
dari Badan Peradilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi).

e. Penemuan hukum.
Negara-negara yang menganut sistem hukum Romawi Jerman
menganut sistem pengaturan sumber hukum pada prinsipnya
bersifat tertulis, di mana sumber yang utama adalah perundang-
undangan. Akan tetapi tidak selalu perundang-undangan itu
memadai untuk mengadili suatu perkara. Dalam Pasal 14 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa:
Seorang Hakim tidak dapat menolak mengadili perkara
yang diajukan kepadanya, dengan alasan bahwa peraturan
13

perundang-undangan/hukum yang ada ternyata tidak jelas


atau tidak lengkap, melainkan is harus tetap mengadili
perkara tersebut.

Ketentuan di atas menegaskan bahwa hakim harus bertindak atas


inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan,
artinya hakim harus berperan menetapkan atau menentukan apa
yang akan merupakan hukum walaupun peraturan undang-
undang yang ada tidak dapat membantunya. Tindakan hakim
dalam situasi semacam itu dimaksudkan dengan pengertian
Penemuan Hukum atau Rechtvinding. Penemuan hukum lazimnya
diartikan sebagai proses pembentukkan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Metode
dalam penemuan hukum, dibedakan dalam dua bentuk yaitu
penafsiran hukum (rechtinterpretatie) dan konstruksi atau
komposisi hukum (rechtsconstructie).
1) Penafsiran Hukum.
Penafsiran atau interpretasi adalah menentukan arti atau
makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada
kaitannya.
Penafsiran atau interpretasi merupakan salah satu metode
penemuan hukum yang memberi penjelasan yang jelas
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Metode Penafsiran atau interpretasi adalah sarana untuk
mengetahui makna Undang-Undang. Pembenarannya
terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan
yang konkret dan bukan untuk kepentingan metode itu
sendiri. Yang memerl.ukan penafsiran atau interpretasi
terutama perjanjian dan undang-undang. Baik undang-
undang atau perjanjian mernc:Inkan penafsiran atau
penjelasan karena seringkali tidak jelas atau tidak lengkap.
Terdapat beberapa macam penafsiran, yaitu:
14

a) Penafsiran tata bahasa (gramatikal) yaitu cara


penafsiran berdasarkan penjelasan dari segi bahasa,
dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan
dalam hiihungannya satu sama lain dalam kalimat-
kalimat yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut
adalah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa
atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian
sehari-hari. Di sini arti dan makna ketentuan undang-
undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang
umum.
b) Penafsiran Sejarah (Historische Interpretatie).
Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan
juga dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran
ini dikenal sebagai penafsiran sejarah.
Terdapat dua macam penafsiran sejarah yaitu penafsiran
sejarah perundang-undangan (Wet historische
Interpretatie) dan penafsiran sejarah hukum (Recht
historische Interpretatie). Yang dimaksud dengan
penafsiran sejarah perundang-undangan (Wet
historische Interpretatie) adalah menemukan apa yang
menjadi kehendak dari pembuat undang-undang.
Caranya dengan menyelidiki dan mempelajari
dokumentasi atau laporan-laporan yang pernah dibuat
dan yang menyangkut proses penetapan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Sedangkan
yang dimaksud dengan penafsiran sejarah hukum
(Recht historische Interpretatie) adalah dengan
menyelidiki asal-usul suatu peraturan perundang-
undangan dikaitkan dengan suatu sistem hukum yang
pernah berlaku atau masih berlaku. Penafsiran ini
hendak memahami hukum dalam konteks seluruh
sejarah hukum.
c) Penafsiran Sistematis (Systernatische Interpretatie).
15

Yang dimaksud adalah penafsiran terhadap suatu


peraturan perundang-undangan dengan cara
menyelidiki atau menilik dalam suatu sistem tertentu
yang terdapat di dalam suatu tata hukum. Suatu
peraturan hukum umumnya merupakan bagian dari
keseluruhan sistem yang tidak berdiri sendiri. Contoh:
lembaga hukum perjanjian, perkawinan dan sebagainya.
d) Penafsiran Sosiologis (Sociologische atau Teleologische
interpretatie).
Penafsiran sosiologis sering juga dinamakan sebagai
penafsiran teleologis (teleo= tujuan). Yang dimaksud
adalah penafsiran terhadap maksud dan tujuan undang-
undang itu. Hal ini penting untuk mencari tujuan sosial
baru dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan dengan cara mendekatkan perbedaan
yang ada di antara sifat-sifat positif dari undang-
undang atau hukum dengan kenyataan-kenyataan
hukum. Hal ini dikarenakan kebutuhan-kebutuhan
berubah menurut masa sedangkan undang-undang
tetap sama.
e) Penafsiran resmi atau otentik (Authentieke atau Officiele
Interpretatie).
Yang dimaksud adalah penafsiran terhadap kata, isti!ah
atau pengertian di dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
pembuat Undang-Undang sendiri. Dengan diberikan
penafsiran oleh pembuat undang-undang, berarti hakim
atau pihak lain tidak diperkenankan membuat
penafsiran dengan cara lain.
2) Konstruksi atau Komposisi Hukum.
Dalam usaha menyelesaikan, suatu perkara adakalanya
hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan
perundang- undangan yang dapat langsung digunakan untuk
16

menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua


metode penafsiran telah dilakukan. Sebagai jalan keluar,
hakim dapat melakukan konstruksi hukum
a) Konstruksi analogi.
Memberikan tafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberikan analog pada kata-kata tersebut
sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu
dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Misalnya menyambung aliran listrik dianggap sama
dengan mengambil aliran listrik.
b) Konstruksi penghalusan hukum (Rechtsverfijning).
Adakalanya suatu peraturan hukum yang seharusnya
dipergunakan untuk menyelesaikan perkara ternyata
peraturan tersebut tidak dapat dipergunakan. Menurut
pandangan hakim, jika peraturan ini digunakan justru
akan menimbulkan ketidak-adilan atau menciptakan
pertentangan dengan kenyataan-kenyataan sosial yang
ada. Karena itu hakim mengeluarkan masalah yang
dihadapinya sebagai perkara dari lingkup peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Tindakan
mengeluarkan suatu perkara dari lingkup berlaku
undang-undang atau yang seharusnya berlaku,
dinamakan tindakan menghaluskan hukum
(rechtsverfijning). Jenis konstruksi ini sebenarnya
merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi,
sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup
berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka
dipihak lain penghalusan hukum justru mempersempit
lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan.
(bersifat restriltif).
Ketentuan pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata menetapkan
bahwa:
17

untuk benda-benda bergerak (yang bukan


berbentuk piutang), maka orang yang menguasai
barang-barang itu akan dianggap sebagai
pemiliknya.

Ketentuan di atas dikenal sebagai asas Bezit geldt als


volkomen titel, atau Bezit berlaku sebagai titel yang
sempurna. Jadi bagi undang-undang, seseorang akan
dianggap telah cukup membuktikan bahwa dirinya
mempunyai hak milik atas suatu benda, dengan
menunjukkan bahwa ia menguasai (bezitter) benda itu
seperti seorang pemilik.
Ketentuan undang-undang ini bertujuan untuk
memperlancar lalu-lintas perdagangan, khususnya untuk
melindungi kepentingan pembeli tanpa harus
menyelidiki status kepemilikan benda yang dikuasai oleh
penjual. Yang menjadi masalah adalah, apakah tujuan
memperlancar arus lalu-lintas barang itu juga berlaku
juga di dalam hubungan-hubungan hukum yang lainnya.
c) Argumentum A Contrario.
Adakalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur
oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa itu
diatur. Caranya adalah dengan melakukan penafsiran
kebalikannya. ini merupakan cara penafsiran atau
menjelaskan Undang-Undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang
dihadapi dan peristiwa yang diatur oleh undang-undang.
Contoh: pasal 340 KUHPerdata menetapkan:
seorang wanita tidak boleh menikah lagi sebelum
lewat jangka waktu 300 hari setelah perceraiannya
dari suami yang pertama.

Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam jangka waktu


300 hari tersebut tidak dilahirkan seorang anak dari
18

wanita tersebut, yang mungkin akan menimbulkan


masalah terhadap status anak yang bersangkutan.

B. SISTEM HUKUM COMMON LAW (ANGLO-


SAXON)

Sistem ini dikenal pula dengan istilah "Anglo Amerika", mulai


berkembang di Inggris pada abad XI yang disebut sebagai sistem
"Common Law" dan "Uri Written Law". Sistem "Anglo Amerika"
melandasi hukum positif di negara-negara Amerika Utara, seperti
Kanada dan negara-negara persemakmuran Inggris dan Australia serta
USA.
Konsep negara hukum Anglo-Saxon Rule of Law dipelopori oleh
A.V Dicey (Inggris). Menurut A.V Dicey, konsep rule of law ini
menekankan pada tiga tolok ukur:
1. Supremasi hukum (supremacy of law);
2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law);
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the
constitution based on individual rights).

Sumber hukumnya Sistem Hukum Anglo Saxon antara lain:


1. Putusan-putusan pengadilan atau hakim (judicial decision), yaitu
hakim tidak hanya berfungsi sebagai pihak yang bertugas
menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum,
tetapi juga membentuk seluruh tata kehidupan dan menciptakan
prinsip-prinsip hukum baru (yurisprudensi).
2. Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis Undang-
Undang dan peraturan administrasi negara.
19

Dengan demikian sistem hukum Anglo Saxon lebih


mengutamakan pada Common Law, yaitu kebiasaan dan hukum adat
masyarakat, sedangkan undang-undang hanya mengatur pokok-
pokoknya saja dan kehidupan masyarakat. Dengan adanya common
law, kedudukan kebiasaan dalam masyarakat lebih berperan, dan
selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang
semakin maju.
Sumber-sumber dalam sistem Anglo Saxon (putusan hakim,
kebiasaan dan peraturan administrasi) tidak tersusun secara
sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa
Kontinental. Selain itu peranan hakim dalam sistem Anglo Saxon
berbeda dengan peranan hakim pada sistem Eropa Kontinental. Pada
sistem Anglo Saxon, hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang
bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum
saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh
tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang
sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan
menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan
bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis.
Dalam sistem common law hakim di pengadilan menggunakan
prinsip "pembuat hukum sendiri" dengan melihat kepada kasus-kasus
dan fakta-fakta sebelumnya [case law atau judge made law]. Pada
hakekatnya hakim berfungsi sebagai legislative, sehingga hukum lebih
banyak bersumber pada putusan-putusan pengadilan yang melakukan
kreasi hukum."
Lebih jauh dari itu dengan dianutnya ajaran "the doctrine of
precedent atau stare decists" pada common law, maka dalam
memutuskan suatu perkara, seorang hakim hams mendasarkan
putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan
hakim lain dari perkara yang sejenis sebelumnya [preceden). Tetapi
dalam hal belum ada putusan hakim lain yang serupa, atau putusan
pengadilan yang sudah ada tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan
20

nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat [common sense] dengan


pertimbangan yang rasa penuh tanggungjawab.
Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Saxon Amerika
mengenal juga pembagian "Hukum Publik dan Hukum Privat".
Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan
pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental.
Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak berbeda dengan
pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental.
Sistem hukum Eropa Kontinental lebih menekankan hukum privat
sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang
dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu. Tetapi pada sistem
hukum Anglo Saxon, hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-
kaidah hukum tentang hak milik [law of property], hukum tentang
orang [law of persons], hukum perjanjian [law oc contract], dan hukum
tentang perbuatan melawan hukum [law of torts] yang tersebar di
dalam peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum
kebiasaan.
Kronologis sejarah hukum Common Law yang dimulai dari tahun
1066 berdampak terhadap sistem pemerintahan yang bersifat
feodalistis dengan melakukan pembagian wilayah-wilayah yang
dikuasakan ke tangan Lord dan rakyat harus menyewa tanah terhadap
Lord tersebut. Kekuasaan Lord yang semakin besar sehingga ia dapat
mendirikan pengadilan sendiri yang dinamakan dengan minoral court
yang menjalankan tugasnya berdasarkan hukum kebiasaan setempat
dan hukum yang ditetapkannya sendiri.
Kekuasaan Lord yang demikian besar menimbulkan berbagai
penyelewengan dan akhirnya tercium juga oleh Raja Henry II (1154-
1180) dan mengambil beberapa kebijaksanaan, yaitu:
a. Disusunlah suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu
itu. Agar mendapatkan kepastian hukum kitab tersebut ditulis
dalam bahasa latin oleh Glanvild chief justitior dari Henry II
dengan judul Legibus Angliae.
b. Diberlakukannya sistem writ yakni surat perintah dari raja kepada
21

tergugat agar membuktikan bahwa hak-hak dari penggugat itu


tidak benar. Dengan demikian tergugat mendapat kesempatan
untuk membela diri.
c. Diadakan sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak lagi
mendasarkan pada hukum kebiasaan setempat melainkan pada
Common Law yang merupakan suatu unifikasi hukum kebiasaan
yang sudah diputus oleh hakim (yurisprudensi). Hal ini merupakan
suatu kemajuan yang semula hanya ada minorial court yang
didirikan oleh para Lord.'

Dalam periode tahun 1485 sampai tahun 1832, timbul sistem


hukum equity yaitu sistem hukum yang didasarkan pada hukum
alam atau keadilan yang timbulnya memiliki sejarah tersendiri.
Awalnya pengadilan yang ada yaitu Royal Court dan sistem Writ yang
diberlakukan sangat terbatas dalam mengadili perkara sehingga orang
mencari keadilan kepada pimpinan gereja atau Lord of Chancellor.
Pengadilan yang dilakukan oleh pimpinan gereja menurut sistem
hukum Inggris tidak bertentangan di mana pada saat itu terdapat
pengadilan Royal Court yang didasarkan kepada Common Law dan
hakim-hakimnya bertindak atas nama raja, sedangkan pengadilan
Court of Chancery didasarkan Dada hukum gereja atau kanonik dan
hakimnya adalah seorang rohaniawan. Dengan semakin banyaknya
minat dari masyarakat untuk mencari keadilan kepada Lord of
Chancellor sehingga pada akhirnya terbentuk pengadilan tersendiri
yaitu Court of Chancerry di samping Royal Court yang telah ada.
Akhirnya pengadilan Inggris dilakukan reorganisasi (judicature act
pada tahun 1873-1875) di mana pengadilan Royal Court dan Court of
Thancerry diletakkan di bawah satu atap. Tugas dalam penyelesaian
perkara tidak berbeda lagi, artinya baik perkara-perkara Common Law
(cases at Common Law) dan perkara-perkara Equity (cases at Equity)
sama-sama diajukan ke salah satu pengadilan tersebut. Namun
demikian di dalam Draktek masyarakat tetap tidak mematuhinya, dan
mengajukan tuntutan masing-masing sesuai dengan jenis perkaranya.
22

Sumber hukum dalam sistem hukum Common Law terdiri atas:


a. Yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan sumber hukum yang utama dan
terpenting dalam sistem Common Law. Dalam sistem ini,
hakim terikat pada precedent atau putusan mengenai
perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Hakim harus
berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu
apabila dihadapkan pada suatu kasus. Oleh karenanya di sini
hakim berpikir secara induktif. Asas keterikatan hakim pada
precedent disebut stare decisis et quieta non movere,
yang lazimnya disingkat stare decisis atau disebut juga
the binding force of precedent. Hakim hanya terikat pada
isi putusan pengadilan yang esensial yang disebut ratio
decidendi yaitu yang dapat dianggap mempunyai sifat yang
menentukan atau bagian yang berkaitan dengan hukum.
Putusan yang bersifat binding precedent berarti putusan
tersebut memiliki kekuatan yang meyakinkan.

Dalam putusan hakim menurut sistem common law putusan


seorang hakim yang diikuti oleh hakim lainnya adalah yang
berhubungan langsung dengan pokok perkara (ratio
decidendi), sedangkan dalam hal yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan pokok perkara yakni yang
merupakan tambahan dan ilustrasi (obiter dicto) hakim dapat
menilai sebagai suasana yang meliputi pokok perkara
menurut pandangan hakim itu sendiri.

b. Statuta Law.
Pandangan masyarakat Inggris terhadap hukum dalam arti
sebenarnya masih tertuju terhadap Common Law karena
telah, berkembang selama berabad-abad lamanya. Statuta
23

Law diakui sebagai hukum Inggris setelah diterapkan oleh


hakim beserta interpretasi nya.
Statuta law adalah peraturan yang dibuat oleh parlemen
Inggris seperti layaknya undang-undang dalam sistem
kontinental. Statuta Law merupakan sumber hukum kedua
setelah yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statuta Law
dibuat perangkat peraturan pelaksanaan oleh instansi-
instansi pemerintah yang bersangkutan.
Fungsi Statuta Law sebagai penambah terhadap Common
Law yang terkadang belum lengkap dan tidak ditujukan
untuk mengatur suatu permasalahan secara menyeluruh.
Pembentukkan melalui Statuta Law menjadi penting setelah
Perang Dunia II karena diperlukan perubahan peraturan-
peraturan secara cepat, dibandingkan dengan yurisprudensi
yang dirasakan lamban. Dengan demikian pembentukkan
melalui Statuta merupakan cara pembentukkan hukum yang
lain karena dilakukan oleh Parlemen yakni berupa undang-
undang (written law).
Pembentukkan hukum oleh Parlemen dirasakan lebih cepat
karena:
1) Tidak terikat kepada banyaknya perkara yang masuk
pengadilan dan banyaknya keputusan hakim;
2) Karena dapat menyimpang dari hukum yang telah
diputuskan oleh hakim. Parlemen dapat merubah
putusan pengadilan dengan suatu undang-undang. Jadi
Undang-Undang dapat merubah yurisprudensi. Meskipun
Undang-Undang dengan bebas dapat menyatakan apa
yang merupakan hukum, tetapi di dalam kenyataan
tidaklah demikian. Ada hal-hal yang membatasi tindakan
parlemen untuk mengubah yurisprudensi yaitu pendapat
umum. Di camping pendapat umum yang membatasi
kebebasan parlemen tersebut adalah pendapat para
sarjana hukum, sehingga terdapat pembatasan secara
24

obyektif. Oleh karenanya dalam sistem hukum Inggris,


kekuasaan pembentuk undang-undang dipergunakan
agak hati-hati.
Dari uraian di atas tampak pembentukkan hukum secara
tradisional melalui yurisprudensi dirasakan lamban dan tidak
mampu untuk mengikuti perubahan-perubahan secara cepat.
Untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat modern,
pembentukkan hukum secara cepat harus dibantu dengan
pembentukkan hukum melalui undang-undang.
c. Custom
Custom merupakan sumber hukum yang ketiga. Yang
dimaksud dengan custom adalah kebiasaan yang sudah
berlaku selama berabad-abad di Inggris dan merupakan
sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta
membentuk norma-norma hukum. Custom ini kemudian
dituangkan dalam putusan pengadilan.
Kebiasaan ada dua macam yaitu local custom (kebiasaan
setempat) dan commercial custom (kebiasaan yang
menyangkut perdagangan). Kedua custom (kebiasaan) ini
merupakan sumber darimana hakim menggali nilai-nilai
untuk dapat dituangkan dalam putusan pengadilan di dalam
menghadapi suatu perkara.
d. Reason (akal sehat).
Reason merupakan sumber hukum keempat dalam hukum
Inggris. Reason berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber
hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap
perkara yang sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak
didapatkan norma hukum yang mampu memberikan
penyelesaian mengenai perkara yang sedang diperiksa.
Reason berfungsi sebagai pelengkap dan merupakan cara
penemuan hukum di dalam menghadapi masalah-masalah
hukum yang tidak ditemukan norma-norma hukumnya dari
sumber-sumber hukum yang lain. Dengan reason, para hakim
25

dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk


memberikan keputusan.

Daftar Pustaka

1. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Memahami Prinsip


Keterbukaan Dalam hukum perdata, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2006.
2. Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2006.
3. Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis : Dalam
Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2004.
4. Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di
Indonesia, HuMa, Jakarta, 2006
5. Mariam Darus Badruzzaman, Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Alumni, Jakarta, 1995.
6. Sri Rini Masjhcoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda,
Liberty, Yogyakarta, 1974.
7. Gatot P. Soemartono, Kuliah Business Law, Program Pascasarjana
Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, 2009.
8. Marwah M. Diah, Kuliah Business Law, Program Pascasarjana
Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, 2009.

Anda mungkin juga menyukai