Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan suatu organisasi antara lain ditentukan oleh

sejauhmana tujuan yang direncanakan telah tercapai. Untuk mencapai

tujuan itu perlu dilibatkan semua unsur dan sub-sistem yang ada serta

berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Seorang manajer

dalam sebuah organisasi hendaklah memberikan perhatian pada semua

unsur karena masing-masing unsur saling mempengaruhi.

Sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan dan salah satu

unsur yang memegang peranan penting dalam mencapai tujuan-tujuan

yang ditetapkan sekolah adalah guru. Karena itu betapapun rapinya

proses manajemen, baik dan lengkapnya kurikulum, cukupnya sarana

dan prasarana, maka semuanya itu belum akan efektif tanpa didukung

oleh partisipasi aktif dari guru melalui pelaksanaan tugas-tugasnya.

Intinya, pelaksanaan tugas guru merupakan salah satu faktor penentu

dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan secara umum.

Pelaksanaan tugas guru yang optimal sampai saat ini masih menjadi

harapan dan perlu dianalisis faktor-faktor apa yang menjadi penentunya.

Imbalan berupa gaji yang diterima secara rutin dan penghargaan atau

hadiah lainnya terkesan belum menjadi jaminan untuk terwujudnya

pelaksanaan tugas guru yang optimal tersebut.

1
2

Pelaksanaan tugas guru merupakan mata-rantai kegiatan dan

kerjasama yang tidak terputus di tengah-tengah personil lain dalam

organisasi, seperti kepala sekolah, staf administrasi, para siswa, dan

rekan sesama guru. Tugas guru khsususnya berkaitan dengan proses

pembelajaran yang meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan

proses pembelajaran, pelaksanaan evaluasi, dan pelaksanaan layanan

remedial dan pengayaan dalam rangka pengembangan secara optimal

potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Namun demikian, tugas guru

tersebut seringkali belum dapat dilaksanakan dengan baik.

Kondisi pelaksanaan tugas guru yang belum optimal sebagaimana

dipaparkan di atas juga dialami oleh guru-guru di Madrasah Aliyah Negeri

(selanjutnya disingkat MAN) Metro Lampung. Berdasarkan survei awal

yang penulis lakukan di sekolah ini, masih banyak guru yang masih

memakai perencanaan program pembelajaran yang dipakai beberapa

tahun lalu, tanpa melakukan perbaikan dan penyesuaian dengan

kurikulum yang dipakai sekarang. Pelaksanaan pembelajaran yang

dilaksanakan oleh guru juga masih banyak menerapkan metode

konvensional. Demikian juga halnya dengan pelaksanaan evaluasi

pembelajaran dan program remedial dan pengayaan belum sepenuhnya

mampu menjadi wahana internalisasi nilai-nilai agama Islam.

Guru MAN seharusnya memiliki kemampuan lebih dibandingkan

dengan guru Sekolah Menengah Atas lainnya baik dalam perencanaan

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, evaluasi dan program


3

remedial serta program pengayaan dengan mengintegrasikan unsur atau

nilai-nilai pendidikan Islamyang menjadi karakteristik khusus pendidikan di

Madrasah Aliyah. Namun ternyata, karakteristik yang menjadi kekhususan

ini belum nampak jelas mewarnai pelaksanaan tugas-tugas guru di MAN

Metro Lampung.

Hasil survei awal juga menunjukkan bahwa masih ada guru yang

belum memiliki program tahunan, program semester, program satuan

pelajaran dan rencana pembelajaran, atau beberapa di antara mereka

menggunakan perangkat mengajar yang telah dibuat beberapa tahun

sebelumnya tanpa ada pembaharuan atau modifikasi, walaupun tuntutan

kurikulum dan metode mengajar sudah mengalami perubahan. Hal ini

dapat dicontohkan dengan masih adanya guru yang menggunakan

rencana pembelajaran dengan mengacu pada kurikulum 2004, padahal

kurikulum telah mengalami perubahan menjadi kurikulum berbasis

kompetensi (KBK) dan bahkan kini sudah mulai diganti dengan kurikulum

tingkat satuan pendidikan (KTSP).

Melalui pengamatan terhadap kegiatan proses pembelajaran di MAN

Metro Lampung, penulis juga menjumpai adanya guru yang hanya

memberikan catatan tanpa diikuti penjelasan. Di sisi lain, ada juga guru

yang mengajar sepenuhnya dengan metode ceramah, terkesan kurang

berinisiatif untuk mencoba menerapkan metode-metode baru yang relevan

dengan materi pembelajaran sekaligus mengikuti perkembangan teknologi

dan informasi. Guru juga terkesan belum sepenuhnya menguasai teknik


4

evaluasi yang harus dilaksanakan, sehingga tindak lanjut hasil evaluasi

yang dilakukannyapun kurang terarah dan tidak sesuai dengan kondisi

kebutuhan siswa yang sebenarnya. Hal ini tentu mengindikasikan betapa

rendahnya kualitas pelaksanaan tugas guru yang dilatar-belakangi oleh

kurangnya kompetensi profesional bagi guru dalam bekerja.

Dari pengamatan yang telah penulis lakukan secara terbatas di MAN

Metro Lampung juga memberikan gambaran belum terciptanya iklim

komunikasi yang harmonis di MAN Metro Lampung. Kondisi ini

diindikasikan dengan kurang adanya keterbukaan yang ditandai dengan

tangapan kepala sekolah terhadap saran dan kritikan yang diberikan guru

untuk perbaikan proses pembelajaran belum direspon dengan baik.

Demikian juga halnya dengan pengambilan keputusan di sekolah,

terkesan kepala sekolah hanya meminta pendapat beberapa orang

tertentu saja. Selain fenomena tersebut juga terlihat adanya hubungan

yang kurang harmonis antar sesama guru, masing-masing acuh tak acuh

bila bertemu yang menandakan kurang akrabnya hubungan mereka.

Saling percaya dan menghargai antara kepala sekolah dan guru

maupun guru dengan guru juga belum terbina dengan baik. Hal ini

diindikasikan dengan kurangnya kepercayaan guru terhadap informasi

yang diberikan guru tentang prilaku siswa yang diajarnya, sebaliknya guru

juga banyak yang tidak mempercayai laporan keuangan yang

disampaikan kepala sekolah. Kondisi demikian ini, menimbulkan adanya

sikap kurang saling menghargai dan rendahnya empati baik dari unsur
5

kepala sekolah sebagai pimpinan dengan guru maupun antara guru yang

satu dengan yang lain. Kondisi ini diperparah dengan kurang adanya

sikap saling mendukung yang antara lain ditandai dengan kurangnya

dukungan moral yang diberikan kepala sekolah terhadap guru maupun

antar para guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran di kelas.

Berbagai upaya yang dapat meningkatkan pelaksanaan tugas guru

tampaknya sudah dilakukan melalui berbagai cara, namun hal itu terkesan

belum cukup untuk memperbaiki kualitas pengajaran di MAN Metro

Lampung. Oleh karena itu suatu program penelitian tentang faktor-faktor

apa yang ikut mempengaruhi pelaksanaan tugas mereka di sekolah

tersebut cukup penting untuk dilakukan. Dengan diketahuinya faktor-faktor

tersebut, maka mutu pendidikan terutama melalui proses pembelajaran

diharapkan dapat ditingkatkan.

B. Identifikasi Masalah

Pelaksanaan tugas guru dapat dijadikan bahan penelitian untuk

melihat keberhasilan proses pembelajaran. Kesempurnaan pelaksanaan

tugas guru itu dapat mendorong terciptanya suasana proses pembelajaran

yang optimal dan diperolehnya lulusan yang berkualitas.

Kesempurnaan pelaksanaan tugas guru dimaksud diduga

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain tingkat pendidikan, usia,

gaji/insentif, jenis kelamin, jabatan, pengalaman kerja, pelatihan yang

diikuti, kompetensi profesional yang dimiliki, iklim komunikasi dan


6

interaksi, dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan

tugas guru ini digambarkan sebagai berikut:

Tingkat Pendidikan

Kompetensi Profesional
Insentif

Iklim Organisasi Pelaksanaan Tugas Guru Kepemim-


pinan

Minat Pekerjaan
Fasilitas
Iklim Komunikasi

Gambar 1: Faktor-faktor yang Diduga Berpengaruh Terhadap


Pelaksanaan Tugas Guru

Tentang faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap

pelaksanaan tugas guru seperti terlihat pada gambar 1 di atas dapat

dikemukakan bahwa, secara umum pelaksanaan tugas guru dipengaruhi

oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan guru yang memadai diduga

akan mendorong guru untuk lebih bersemangat dalam bekerja. Hal ini

dikarenakan wawasan, pengetahuan dan ketrampilan guru akan lebih

tinggi dengan adanya pendidikan yang memadai sehingga menimbulkan

keyakinan yang kuat dalam melaksanakan tugas. Demikian juga halnya


7

dengan iklim organisasi. Iklim organisasi yang kondusif juga diduga akan

mendorong guru untuk lebih giat bekerja, karena kondisi tersebut

memberikan rasa aman dan nyaman dalam bekerja.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas guru

adalah fasilitas yang memadai. Fasilitas yang memadai diperkirakan akan

mendorong seseorang bekerja secara optimal karena mendukung

kelancaran dalam bekerja. Pelaksanaan tugas guru juga diduga

dipengaruhi oleh kompetensi profesional. Kompetensi profesional yang

dimiliki oleh guru tentu akan mendorongnya untuk bekerja dengan lebih

giat dan lebih baik serta sesuai dengan kaidah atau ketentuan-ketentuan

profesi. Kompetensi profesional akan membuatnya tidak mudah menyerah

dalam bekerja dan malah sebaliknya akan senantiasa berusaha untuk

berprestasi dengan lebih baik.

Kompetensi profesional merupakan syarat yang penting dimiliki oleh

guru yang berkualitas. Kompetensi ini akan menjadikan profesi guru

sebagai profesi yang profesional. Seorang guru yang profesional biasanya

berpikir dan bertindak sesuai dengan dasar-dasar profesi keguruan yang

berdasarkan teori-teori kependidikan. Karena itu pembelajaran yang

dilakukan oleh guru yang profesional diduga akan lebih efektif dan efisien

dalam mencapai tujuan pendidikan yang digariskan.

Kepemimpinan juga diduga merupakan faktor yang mempengaruh


pelaksanaan tugas guru. Pemimpin yang mampu membimbing,
mengarahkan, memberi perhatian serta menerima saran dan masukan
dari bawahan akan mampu menumbuhkan optimalisasi pelaksanaan
tugas guru. Peran pimpinan baik sebagai motivator, inovator, supervisor
yang benar dan tidak hanya mencari kesalahan guru, tetapi membantu
8

mencarikan solusi yang terbaik terhadap permasalahan yang dihadapi


guru, memberikan dorongan yang tinggi kepada guru dalam
melaksanakan tugasnya.
Gaji atau insentif yang diterima guru, juga merupakan faktor yang
diduga berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas guru. Gaji atau insentif
yang memenuhi rasa keadilan dan seimbang dengan beban kerja yang
dilakukan akan menumbuhkan rasa tanggung jawab dan semangat dalam
melaksanakan tugas.
Faktor iklim komunikasi dalam institusi pendidikan diduga
mendukung dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pendidikan
yang digariskan. Komunikasi yang harmonis antara personil akan
menciptakan interaksi yang baik sehingga memudahkan koordinasi kerja.
Minat guru terhadap pekerjaan, juga merupakan faktor yang diduga
berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas guru. Minat guru terhadap
pekerjaan yang kuat, akan menumbuhkan rasa senang terhadap
pekerjaan sehingga guru akan lebih bersemangat dalam bekerja.
Sebaliknya, apabila minat terhadap pekerjaan rendah, maka guru akan
cenderung kurang menyukai pekerjaannya, sehingga dorongan dan
semangat dalam melaksanakan tugas rendah.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah

dipaparkan di atas, terlihat banyak faktor yang diperkirakan turut

memberikan dampak terhadap pelaksanaan tugas guru. Penelitian ini

dibatasi hanya pada dua faktor saja yaitu kompetensi profesional dan iklim

komunikasi. Kedua faktor ini dipilih atas pertimbangan bahwa

keberhasilan pelaksanaan tugas guru tidak dapat tercapai dengan

mengabaikan faktor kompetensi profesional dan iklim komunikasi.

Kompetensi profesional dan iklim komunikasi diduga sebagai faktor

yang dominan dan memiliki dampak terhadap pelaksanaan tugas guru.

Diketahui demikian karena kompetensi profesional akan memberikan

landasan keilmuan yang kuat bagi guru dalam melaksanakan tugasnya.


9

Sedangkan iklim komunikasi dapat menciptakan situasi yang kondusif

bagi guru dalam melaksanakan tugas dengan baik dan optimal. Iklim

komunikasi antara pimpinan dan bawahan khususnya guru-guru dalam

berkomunikasi dan bekerjasama menjadi kurang harmonis, karena kurang

adanya rasa keterbukaan, guru jarang diminta sarannya dalam mengambil

keputusan, serta informasi yang diperlukan guru kurang tersedia. Adanya

hal tersebut di atas menjadikan perasaan guru-guru kurang nyaman

dalam bekerja.

Pelibatan semua variabel yang diduga berpengaruh terhadap


pelaksanaan tugas guru seperti disebutkan dalam penelitian ini tentu saja
akan membutuhkan bahasan yang relatif lebih banyak atau luas, tenaga
yang cukup banyak, dana yang besar, dan waktu yang relatif lama.
Karena keterbatasan, peneliti melibatkan hanya dua variabel: (1) variabel
kompetensi profesional dan (2) iklim komunikasi.
Pemilihan kedua variabel tersebut di atas juga didasari
pertimbangan bahwa kompetensi profesional dan iklim komunikasi
merupakan hal pokok dan dominan yang menentukan tinggi rendahnya
pelaksanaan tugas guru.
D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka masalah penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah dampak kompetensi profesional terhadap pelaksanaan

tugas guru?

2. Bagaimanakah dampak iklim komunikasi sekolah terhadap

pelaksanaan tugas guru?

3. Bagaimanakah dampak kompetensi profesional dan iklim komunikasi

secara bersama-sama terhadap pelaksanaan tugas guru?


10

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan seberapa besar:

1. Dampak kompetensi profesional terhadap pelaksanaan tugas guru.

2. Dampak iklim komunikasi sekolah terhadap pelaksanaan tugas guru.

3. Dampak kompetensi profesional dan iklim komunikasi sekolah secara

bersama-sama terhadap pelaksanaan tugas guru.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik dari aspek teoritis maupun

pada aspek praktis sebagai berikut:

1. Aspek Teoritis: penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran terhadap pengetahuan dan pengembangan

teori-teori yang berhubungan dengan kinerja pegawai khususnya

terkait dengan motivasi berprestasi dan pengetahuan manajemen.

2. Aspek praktis: diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi:

a. Kepala-kepala sekolah sebagai masukan untuk menetapkan

strategi pembinaan pelaksanaan tugas guru di sekolahnya.

b. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai

masukan untuk dijadikan pertimbangan dalam mempersiapkan

tenaga-tenaga pendidik dan guru yang baik dengan


11

memperhatikan faktor-faktor ikut mempengaruhi pelaksanaan

tugas bagi orang yang dipersiapkan untuk menjadi guru.

c. Peneliti sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan khususnya

tentang faktor-faktor yang berdampak terhadap pelaksanaan

tugas guru.

d. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian tentang pelaksanaan

tugas guru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan masukan proses penelitian yang diadakannya.


12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pelaksanaan Tugas Guru

a. Pengertian Pelaksanaan Tugas Guru

Pendidik dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

Nomor: 20 tahun 2003. Pasal 1, ayat 6. (2006:3) didefinisikan dengan

tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,

pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain


13

yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam

penyelenggaraan pendidikan.

Secara lebih terperinci disebutkan pada pasal 39 ayat 2 (2006:34)

tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan bahwa pendidik (temasuk

guru) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,

melakukan pembimbingan dan pelatihan. Dalam kegiatan sehari-hari guru

bertugas sebagai pendidik, pembimbing, pelatih, pembina bahkan juga

sebagai teman orang tua siswa (S. Nasution, 2004). Semua tugas yang

dilakukan guru tersebut secara umum sering dikatakan sebagai tugas

pengajar atau tugas pendidik saja. Tugas mendidik ini merupakan hal

yang berat bagi guru. Karena ia berkaitan dengan penanaman nilai, etika

dan moral bagi peserta didik dengan tujuan membentuk akhlak mulia baik

dengan Allah (khalik), atau dengan makhluk lain, bahkan dengan dirinya

sendiri atau seluruh isi alam. 12


E. Mulyasa (2007b:41-42) mengemukakan bahwa pelaksanaan

tugas guru merupakan tindakan nyata guru dalam rangka meningkatkan

prestasi sesuai dengan tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan melalui

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran dan tindak

lanjutnya. Tindakan nyata tersebut didukung dengan adanya pengetahuan

dan ketrampilan yang memadai. Pelaksanaan tugas guru juga

didefinisikan sebagai suatu perbuatan atau aksi nyata guru dalam

menjalankan pekerjaannya (Dimyati dan Mudjiono, 2006)


14

Pelaksanaan tugas guru menurut Ahmad Rohani (2004:69)

merupakan hasil kerja guru yang berkaitan dengan jabatan atau tugasnya

merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil pembelajaran dan

tindak lanjutnya. Pelaksanaan tugas guru tersebut menurut Sardiman

(2007) harus didasarkan pada wawasan, pengetahuan dan ketrampilan

serta kemampuan lain yang dipersyaratkan untuk tugas tersebut.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat dipahami bahwa

pelaksanaan tugas guru merupakan hasil dari suatu perbuatan atau

tindakan nyata guru dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang

sudah ditetapkan melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi proses pembelajaran serta tindak lanjutnya yang dapat diamati

dan diukur.

b. Pentingnya Pelaksanaan Tugas Guru

Sebagai tenaga pendidik, keberhasilan pelaksanaan tugas guru

dalam proses pembelajaran sangat penting dalam upaya pencapaian

tujuan pendidikan. Abu (1990) menyatakan bahwa betapapun baik dan

lengkapnya kurikulum, metode, media, sarana prasarana, namun

keberhasilan dan pencapaian tujuan pendidikan terletak pada

pelaksanaan tugas guru terutama dalam melaksanakan proses

pembelajaran. Mengingat pentingnya kinerja guru, maka dalam

melaksanakan tugasnya, guru dituntut memiliki kemampuan dan berbagai

ketrampilan sehingga ia dapat melaksanakan proses belajar-mengajar


15

dengan baik, lalu menghasilkan kualitas pengajaran sesuai dengan tujuan

yang sudah ditetapkan.

Pokja Pengembangan Peta Keilmuan Pendidikan (2005:22)

merumuskan bahwa tujuan pendidikan merupakan komponen situasi

pendidikan yang diturunkan dari tujuan kehidupan kemanusiaan sesuai

dengan harkat dan martabat manusia dan tujuan pendidikan yang bersifat

normatif. Di dalam tujuan pendidikan ini termuat segenap aspek

kehidupan manusia mengacu kepada harkat dan martabat manusia,

termasuk di dalamnya aspek sosio-kultural. Oleh karena itu, pelaksanaan

tugas guru menjadi sangat penting dalam pengembangan segenap

potensi yang dimiliki oleh peserta didik dengan seoptimal mungkin sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Tugas dan tanggungjawab guru yang utama menurut Imam

Barnadib (1996:58-59) adalah mengembangkan potensi peserta didik

melalui proses pembelajaran agar mampu berpikir secara kreatif dan

dinamis. Perwujudan pengembangan peserta didik tersebut harus

dilakukan dengan mempertimbangkan kedudukan peserta didik sebagai

makhluk yang utuh sebagai individu (pribadi) dan dalam kaitannya

dengan masyarakat.

Tujuan pendidikan hanya akan dapat dicapai apabila guru mau dan

mampu melaksaknakan tugas-tugasnya dengan baik. Nana Sudjana

(2002:15) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran selain

melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, guru juga bertugas


16

memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran

dan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya sehingga tujuan

belajarnya akan tercapai secara maksimal.

Tugas dan tanggung jawab guru juga dikemukakan Sardiman

(2007:137-143) bahwa tugas guru selain mengajar adalah sebagai

pendidik dan pembimbing. Guru diharapkan dapat memberikan bimbingan

kepada peserta didik melalui penjabaran kurikulum yang diinternalisasikan

dalam diri peserta didik dalam rangka pengembangan minat, bakat dan

potensi yang dimilikinya sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaannya.

Whitherington (1986:85) menyatakan bahwa pada hakekanya

pekerjaan mengajar bukanlah melakukan sesuatu bagi Si murid, tetapi

lebih berupa menggerakkan murid melakukan hal-hal yang dimaksudkan

dalam tujuan pendidikan. Tugas utama guru adalah mendorong,

memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing peserta

didik dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu guru harus

mengenal dan memperlakukan murid-muridnya sebagai manusia atau

person sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaanya.

Suke Silverius (2003:23) menyebutkan bahwa kegiatan

pembelajaran harus berorientasi kepada pengembangan dimensi-dimensi

kemanusiaan peserta didik. Hal ini antara lain dapat diwujudkan melalui

penerapan prinsip belajar yang berpusat pada peserta didik oleh guru.

Dengan penerapan prinsip ini, maka peserta didik dapat belajar dengan
17

melakukan, mengembangkan kemampuan social, mengembangkan

keingintahuan, imajinasi, dan fitrah bertuhan, mengembangkan

ketrampilan pemecahan masalah, mengembangkan kreativitas,

pengembangan kerjasama dan solidaritas.

Guru merupakan komponen situasi dan interaksi pendidikan yang

berada pada posisi aktif mengembangkan proses pembelajaran yang

memfasilitasi peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan. Pokja

Pengembangan Peta Keilmuan Pendidikan (2005:23) mengemukakan

bahwa pendidik merupakan pelaksana dan bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan tugas-tugasnya, khususnya proses pembelajaran.

Sedangkan menurut Syaiful Sagala (2003:61) pembelajaran mengandung

arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang

memperlajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru.

Demikian berat dan pentingnya pelaksanaan tugas guru tersebut,

Muhibbin Syah (1997) mensyaratkan dibekalinya guru dengan

kemampuan profesional dan didukung dengan iklim komunikasi yang

kondusif, sehingga dia mampu melaksanakan proses pembelajaran

sesuai dan berdasarkan standar kompetensi guru yang telah ditentukan.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa pelaksanaan tugas guru sangat penting dalam upaya

pencapaian tujuan pendidikan. Pelaksanaan tugas guru tersebut pada

dasarnya terkait dengan perilaku guru dalam melaksanakan dan


18

menyiapkan berbagai aktivitas yang harus dikerjakannya, terutama sekali

aktivitas yang terkait dengan proses pembelajaran.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Tugas Guru

Pelaksanaan tugas guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor

tersebut antara lain adalah: tingkat pendidikan, kompetensi profesional,

kepemimpinan, iklim komunikasi, minat pekerjaan, motivasi, supervisi dan

sebagainya. Tingkat pendidikan guru ikut menentukan tinggi rendanya

pelaksanaan tugas guru. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan, Bab VI tentang Standar Pendidikan dan

Tenaga Kependidikan (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang

Standar Isi dan Standar Kelulusan tahun 2006) sebagai berikut:

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi


sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional (ayat 1). Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksudkan
pada ayat 1 adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi
oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau
sertifikat keahlian yang relevan sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku ( ayat 2).

Peraturan pemerintah di atas mensyaratkan tingkat pendidikan

minimal yang harus dipenuhi oleh guru. Apabila persyaratan tingkat

pendidikan guru ini terpenuhi, maka guru akan memiliki kemampuan untuk

mewujudkan tujuan pendidikan melalui pelaksanaan tugasnya terutama

dalam proses pembelajaran.

Pelaksanaan tugas guru juga dipengaruhi oleh faktor

kepemimpinan dalam hal ini kepemimpinan kepala sekolah. E. Mulyasa


19

(2006:25) mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai pimpinan

bertanggungjawab terhadap berbagai aspek kehidupan sekolah seperti

disiplin, iklim budaya sekolah dan pembinaan guru dalam melaksanakan

tugasnya. Gustiar melakukan penelitian pada tahun 2006 dengan judul:

Kontribusi Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Insentif Terhadap

Pelaksanaan Tugas Guru di SMA Negeri Kota Padang yang dilakukan

dengan menggunakan metode kuantitatif dengan populasi berjumlah 959

orang dan sampel 70 orang guru. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa

kepemimpinan sekolah berkontribusi sebesar 14,4%, insentif sebesar

25,4% dan secara bersama-sama, kepemimpinan kepala sekolah dan

insentif, berkontribusi sebesar 34% terhadap pelaksanaan tugas guru.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pelaksanaan


tugas guru adalah iklim komunikasi. Pritchard dan Karasick (1973)
mengemukakan bahwa pelaksanaan tugas guru antara lain ditentukan
oleh iklim komunikasi yang baik dan lancar serta hubungan antar pribadi
yang harmonis dalam sebuah organisasi dan terpenuhinya kompetensi
secara professional. Demikian juga halnya dengan minat terhadap
pekerjaan, E. Mulyasa (2007b: 51-52) mengemukakan bahwa untuk
menjadi guru yang profesional dalam melaksanakan tugasnya, semua
kegiatan guru harus ditopang, dibimbing dan dibangkitkan oleh kesadaran
akan peranannya sebagai pendorong kreativitas dan pembangkit
pandangan positif siswa yang tentu saja hal ini sulit terwujud tanpa
adanya minat guru yang tinggi terhadap pekerjaannya.
Pelaksanaan tugas guru juga dipengaruhi oleh faktor motivasi

kerja dan supervisi. Penelitian yang dilakukan oleh Emi Zuarti pada tahun

2006 tentang kontribusi supervisi dan motivasi kerja guru terhadap

pelaksanaan tugas guru di sekolah dasar negeri di Kecamatan Tanjung

Mutiara, Kabupaten Agam, tahun 2006. Penelitian yang dilakukan dengan

metode kuantitatif, dengan populasi 157 orang dan sampel sebanyak 85


20

orang guru yang tersebar di 31 SD negeri tersebut menyimpulkan bahwa

supervisi berkontribusi sebesar 20,9%, dan motivasi kerja sebesar 10,9%,

dan secara bersama-sama keduanya berkontribusi sebesar 27,4%

terhadap pelaksanaan tugas guru.

Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas

guru adalah kompetensi profesional. E. Mulyasa (2007a:138)

mengemukakan bahwa guru yang memiliki kompetensi profesional akan

mampu melaksanakan tugasnya dalam proses pembelajaran sesuai

dengan standar yang telah ditentukan. Oleh karena itu peningkatan

kemampuan profesional guru sangat penting dan merupakan upaya untuk

membantu guru agar memiliki kualifikasi profesional.

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan

tugas guru antara lain dipengaruhi oleh pendidikan dan pelatihan yang

pernah diikuti dan ditempuhnya, kepemimpinan, iklim komunikasi,

kompetensi profesional dan sebagainya.

d. Karakteristik Pendidikan di Madrasah Aliyah

Penyelengaraan pendidikan di Madrasah Aliyah memiliki

perbedaan karakteristik tertentu dengan Sekolah Menengah Atas pada

umumnya. Karakteristik tersebut antara lain adalah mata pelajaran agama

Islamseperti: Al-Quran Hadist, Ibadah, Akidah, Tarikh dan sebagainya

yang diberikan dengan proporsi yang hampir sama dengan mata pelajaran

umum seperti Matematika, IPA, Fisika, Kimia dan sebagainya.


21

Penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Aliyah juga memiliki visi

dan misi yang kuat terhadap pembentukan akhlakul karimah dan manusia

yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Ini membawa konsekuensi

kepada perumusan tujuan pendidikan di Madrasah Aliyah sebagai

lembaga yang menyelenggarakan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan

Islampada dasarnya adalah pembentukan kepribadian yang seluruh

aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang berkepribadian muslim

dalam Al-Quran disebut dengan Muttaqin. Karena itu pendidikan

Islamjuga pembentukan manusia yang bertaqwa (Zakiah Daradjat,

1996:72). Ini sesuai benar dengan tujuan pendidikan nasional yang

dituangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20

Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yakni agar menjadi manusia yang beriman

dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa (Tim Pustaka Merah Putih,

2007:11).

Segala daya dan upaya pembelajaran harus dipusatkan pada

pencapaian tujuan itu. Bahan pelajaran, metode dan teknik pelaksanaan

kegiatan pembelajaran, sarana dan alat yang digunakan dalam pendidikan

Islam harus dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran dengan

efektif dan efisien. Zakiah Daradjat (1996:73) mengemukakan bahwa

tujuan pendidikan Islam bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Nabi.

Pengertian sumber di sini juga mengandung arti bahwa bagi orang Islam,

ajaran Islam merupakan falsafah dan pandangan hidup. Hasan

Langgulung (1995:31-37) juga mengemukakan bahwa sebagai falsafah


22

pendidikan, sudah seharusnya ajaran agama Islam memberikan corak

yang khas terhadap pendidikan apalagi yang diselenggarakan pada

lembaga Pendidikan Islam.

Lembaga pendidikan Islam sudah selayaknya menyelenggarakan

pendidikan yang berlandaskan Islam. Zakiah Darajat (1996:19)

mengemukakan bahwa setiap usaha dan tindakan yang disengaja untuk

mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang

baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagai suatu usaha

pengembangan potensi peserta didik harus berlandaskan kepada Al

Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kompetensi

dasar yang sudah ditentukan.

Kompetensi dasar pendidikan agama Islam untuk siswa Sekolah

Menengah Tim Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam (2003:48-

49) mencakup bidang: 1) Al-Quran yaitu mampu membaca, memahami

dan melaksanakan kandungan ayat-ayat Al-Quran, 2) Keimanan yaitu

beriman kepada Allah, Malaikat, Rasul , hari akhir serta kodlo dan kodar,

3) akhlak yaitu akhlak kepada Allah, kepada diri sendiri dan kepada

makhluk lain serta alam, 4) fiqh yaitu hukum Islam mencakup sholat,

zakat, puasa dan haji serta ekonomi Islam, dan 5) tarikh yaitu tentang

perkembangan Islam dari masa ke masa.

Hasan Langgulung (1995:65) mengemukakan bahwa penanaman

keimanan dan akhlak serta pembentukan sikap dan perilaku yang terpuji

sebagai bentuk kompetensi yang ingin dicapai melalui proses


23

pembelajaran, memerlukan bentuk pembelajaran yang mampu

memberikan peluang penghayatan atau internalisasi nilai. Oleh karena itu

para pendidik diharapkan dapat merencanakan, melaksanakan, dan

mengevaluasi serta melakukan tindak lanjut hasil evaluasi dengan baik.

Hal senada dikemukakan M Noor Syam (1986:57) bahwa

internalisasi dan integrasi nilai-nilai pendidikan agama khususnya akhlak

pada sistem persekolahan dapat dilakukan dalam proses pembelajaran.

Hal ini perlu dilakukan sebagai salah satu tugas profesional guru, yakni

mengajar dan sekaligus mendidik anak bangsa menuju kedewasaan

berpikir, bersikap dan berperilaku yang dilandasi dan dijiwai akhlak mulia

(akhlak al-karimah). Oleh karenanya, dalam praktek pembelajaran, tidak

monoton dilakukan dalam bentuk ceramah, melainkan lebih

mengutamakan kepada peneladanan diri dan pelatihan serta penanaman

akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Madrasah

Aliyah sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki karakteristik proporsi

yang seimbang antara mata pelajaran agama dan umum sebagai

konsekuensi terhadap visi dan misi serta tujuan yang diemban yaitu

pembentukan manusia yang memiliki akhlakul karimah dan bertaqwa

kepada Tuhan yang Maha Esa.

e. Tugas-Tugas Guru

Tugas guru telah tercantum secara jelas pada pasal 39 ayat 2 BAB

XI, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yaitu;


24

merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran,

mengevaluasi hasil proses pembelajaran dan menindaklanjutinya.

Guru merupakan tenaga profesional. Oleh karena itu, setiap guru

harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar dan ketentuan yang

ada. Oleh karena itu, guru harus merencanakan, melaksanakan dan

melakukan evaluasi hasil proses pembelajaran yang merupakan tugas

pokoknya (Muhammad Ali:4-6).

Hal yang tidak jauh berbeda dikemukakan Syaiful Bahri Djamarah

(1994:79) bahwa kemampuan yang harus dimiliki guru antara lain: (1)

merencanakan pembelajaran, (2) melaksanakan proses pembelajaran dan

(3) mengevaluasi/menilai pembelajaran. Nana Sudjana (2002:102) setuju

dengan pendapat Syaiful Bahri Djamarah di atas dan manambahkan

tugas guru dengan melaksanakan tindak lanjut hasil evaluasi berupa

layanan remedial dan pengayaan.

Secara lebih terperinci E. Mulyasa (2007b:41-42) mengemukakan

tugas pokok guru ialah (1) merencanakan pembelajaran dan

mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai, (2) guru harus melihat

keterlibatan siswa dalam kegiatan pelaksanaan pembelajaran, (3) guru

harus memaknai kegiatan belajar, dan (4) guru harus melaksanakan

penilaian.

Dari berbagai pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa tugas

dan tanggung jawab guru secara garis besar adalah sebagai berikut:

1) Merencanakan Pembelajaran
25

Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

komponen yang kesuluruhannya mengarah pada tujuan. Oleh karena itu

pembelajaran harus direncanakan dengan sebaik-baiknya. Perencanaan

pembelajaran dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP). Kunandar (2007:240) mendefinisikan RPP sebagai rencana yang

menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk

mencapai suatu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan

dijabarkan dalam silabus.

Ahmad Rohani (2004:69-77) mengemukakan bahwa sebagai

desainer pembelajaran, guru perlu memiliki pengetahuan dan ketrampilan

dalam menyusun desain pembelajaran. Desain pembelajaran merupakan

alat yang dapat membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran

secara efektif dan efisien.

Syaiful Bahri Jamarah (1994:80-81) mengatakan dalam

merencanakan pembelajaran, langkah guru harus merumuskan tujuan

umum dan intruksional atau tujuan pembelajaran secara jelas dan benar,

agar mudah untuk mengevaluasi sampai di mana penguasaan bahan

pelajaran dapat dipahami oleh anak didik.

Perencanaan pembelajaran dilakukan melalui beberapa langkah

atau tahapan. Kaufman (1972:78) mengemukakan enam langkah yang

harus dilakukan dalam perencanaan yakni: mengidentifikasi masalah

berdasarkan kebutuhan (needs), menentukan alternatif pemecahan,

memilih strategi pemecahan, menggunakan metode/prosedur,


26

menentukan keefektifan penampilan (performance), dan memperbaiki hal-

hal yang telah dilaksanakan.

Langkah-langkah perencanaan di atas dikembangkan lebih jauh

oleh Kemp (1994:13) sehingga menjadi sepuluh langkah yakni:

(1) memperkirakan kebutuhan, (2) memilih pokok bahasan atau tugas

untuk dilaksanakan dan merumuskan tujuan umum yang akan dicapai,

(3) meneliti ciri siswa yang harus mendapat perhatian selama

perencanaan, (4) menentukan isi pelajaran dan dan uraian tugas, (5)

menyatakan tujuan belajar yang akan dicapai, (6) merancang kegiatan

belajar-mengajar, (7) menentukan media untuk mendukung kegiatan

pengajaran, (8) memerinci pelayanan penunjang, (9) mempersiapkan

penilaian hasil belajar, dan 10) menentukan evaluasi.

Moh. Joko Susilo (2007:138-139) mengemukakan langkah

operasional dalam penyusunan RPP yaitu: 1) penulisan identitas mata

pelajaran, 2) merumuskan tujuan pembelajaran 3) membuat uraian

singkat materi pelajaran, 4) menentukan strategi pembelajaran, 5) memilih

dan menentukan media pembelajaran, 6) menentukan penilaian/asesmen

dan tindak lanjut, dan 7) menentukan sumber bacaan. Dari berbagai

uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam perencanaan

pembelajaran harus melalui langkah-langkah tertentu.

Sebagaimana guru-guru pada umumnya, guru Madrasah Aliyah

juga harus melaksanakan tugasnya membuat RPP mata pelajaran yang di


27

ampunya. Namun demikian, guru madrasah aliyah harus mampu

mewarnai RPP yang dibuatnya dengan nilai-nilai agama Islam.

Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan

merencanakan pembelajaran adalah kebolehan guru dalam merumuskan

suatu pekerjaan sebelum kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan dalam

rangka mencapai tujuan pembelajaran. Kemampuan itu meliputi:

merumuskan tujuan, mempersiapkan materi pelajaran, memilih

teknik/metode pengajaran, menetapkan media/alat peraga dan menyusun

alat evaluasi. Guru madrasah aliyah memiliki harus memilikikekhususan

dalam merencanakan pembelajaran yaitu mewarnai perencanaan

pembelajaran tersebut dengan nuansa yang Islami.

2) Melaksanakan Pembelajaran

Salah satu tugas pokok guru adalah melaksanakan proses

pembelajaran. Wina Sanjaya (2007:18-20) berpendapat bahwa guru harus

berperan sebagai sumber belajar (learning resources) bagi siswa,

sebagai fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator, dan

evaluator bagi siswa.

Syaiful Bahri Djamrah (1994:107-118) mengemukakan bahwa

pelaksanaan proses belajar-mengajar meliputi beberapa tahapan, yaitu:

(1) tahap pra-pembelajaran, yakni tahap yang ditempuh pada saat

memulai proses belajar-mengajar, (2) tahap pembelajaran, yakni tahap

penyampaian pesan, (3) tahap evaluasi dan kegiatan tindak lanjut yang

bertujuan untuk melihat keberhasilan tahap pembelajaran.


28

Tim Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, (2003:43-44)

mengemukakan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran oleh guru di

madrasah aliyah selain memperhatikan tahapan tersebut di atas

sebagaimana yang harus dilakukan guru pada umumnya, juga harus

berpegang pada prinsip ajaran agama Islam. Dalam pendidikan, Islam

mengajarkan kepada seorang guru tidak boleh memaksakan

kehendaknya kepada peserta didik supaya menguasai sesuatu yang di

luar kemampuannya. Dengan kata lain bahwa dalam proses

pembelajaran, guru harus memperhatikan kondisi peserta didik, tingkat

perbedaan individu pada peserta didik. Nilai-nilai Islam yang harus

diinternalisasikan dalam proses pembelajaran menurut Hasan Langgulung

(1992:359-366) adalah: 1) nilai akhlak perseorangan, 2) nilai akhlak

dalam keluarga, 3) nilai akhlak sosial, 4) nilai akhlak dalam negara, dan

5) nilai akhlak agama.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam

melaksanakan proses pembelajaran, guru harus melaksanakan beberapa

tahapan, yaitu: (1) tahap pra-pembelajaran, yakni tahap yang ditempuh

pada saat memulai proses belajar-mengajar, (2) tahap pembelajaran,

yakni tahap penyampaian pesan, (3) tahap evaluasi dan kegiatan tindak

lanjut dan berupaya menginternalisasikan nilai-nilai akhlak melalui materi

yang disampikannya.

3) Melaksanakan Evaluasi
29

Tugas guru selain merencanakan dan melaksanakan pembelajaran

adalah melakukan penilaian/evaluasi proses pembelajaran. Evaluasi

merupakan proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana,

dalam hal apa, dan bagian yang mana dari tujuan pendidikan yang

tercapai. Anas Sudijono (1996:2-3) mendefinisikan evaluasi pembelajaran

sebagai proses kegiatan untuk menentukan kemajuan berdasarkan tujuan

yang telah ditentukan sebagai upaya untuk memperoleh umpan balik

(feed back). Hal tersebut senada dengan Syaiful Bahri Djamarah

(2006:105) yang mengatakan bahwa fungsi penilaian ialah untuk

memberikan umpan balik kepada guru dalam rangka memperbaiki proses

pembelajaran dan melaksanakan program remedial bagi siswa yang

belum berhasil.

Oemar Hamalik (1997:63-64) mengemukakan bahwa evaluasi/

penilaian merupakan aspek yang penting dan berguna. Gunanya ialah

untuk mengukur dan menilai seberapa jauh tujuan intruksional telah

tercapai. Atau, dengan kata lain, evaluasi diperlukan untuk melihat telah

sampai dimana terdapat kemajuan belajar siswa, dan bagaimana tingkat

keberhasilan itu dibandingkan dengan tujuan intruksional tersebut yang

ditetapkan semula.

Evaluasi pembelajaran menurut Wina Sanjaya (2007:59) berfungsi

untuk melihat keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran, tetapi juga

berfungsi sebagai umpan balik kepada guru atas kinerjanya dalam

pengelolaan pembelajaran. Jadi, evaluasi merupakan aktivitas


30

pemeriksaan seberapa jauh tujuan yang direncanakan tercapai sesuai

dengan rencana yang disusun sebelumnya setelah kegiatan pembelajaran

di sekolah.

Fungsi utama evaluasi dalam pembelajaran adalah untuk

memperbaiki pembelajaran. Karena itu instrumen evaluasi harus peka

terhadap bagian-bagian rencana pembelajaran yang dapat terlaksana dan

bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Untuk memperoleh gambaran

tentang hal-hal tersebut, kita perlu menguji tingkat penguasaan

ketrampilan perilaku para siswa (Oemar Hamalik, 1989:106).

Suharsimi Arikunto (2005:24-25) mengemukakan bahwa untuk

melakukan evaluasi ini perlu dipahami prinsip-prinsip integritas,

kontinuitas, dan objektivitas. Integritas berarti keterpaaduan seluruh

komponen yang dievaluasi, dan kontnuitas berarti berkesinambungan.

Sedangkan objektivitas bearmakna tidak berat sebelah atau melihat apa

adanya sesuai dengan fakta yang ada. Di samping itu, oleh karena tujuan

evaluasi adalah mendapatkan umpan balik proses pembelajaran, maka

hasil evaluasi perlu dianalisis. Dengan cara demikian akan dapat diketahui

kelemahan-kelemahan proses pembelajaran yang telah dilakukan.

Guru madrasah aliyah sebagaiman guru pada lainnya umumnya

seharusnya mampu melaksanakan evaluasi pembelajaran. Namun

demikian, guru madrasah aliyah memiliki tugas yang lebih berat dalam

melaksanakan evaluasi ini karena guru juga harus berpegang terhadap

prinsip-prinsip evaluasi dalam pendidikan Islam. Anas Sudijono (2006:31-


31

55) mengemukakan beberapa prinsip yaitu: 1) Prinsip keseluruhan (al-

kamal dan al tamam), 2) prinsip kesinambungan (istimrar) dan 3) prinsip

objektivitas (maudluiyah). Langkah-langkah evaluasi yang ditempuh

dalam penerapan prinsip ini adalah: 1) menyusun rencana evaluasi, 2)

menghimpun data, 3) melakukan verifikasi data, 4) mengolah dan

menganalisis data, dan 5) memberikan interpretasi dan menarik

kesimpulan. Langkah-lanagkah yang sama dikemukakan oleh Thoha

Miftah (1996:222-235).

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan

evaluasi adalah kebolehan guru dalam mengevaluasi proses

pembelejaran. suatu pekerjaan setelah kegiatan belajar-mengajar

dilaksanakan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan yang dicapai

dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan melalui langkah-langkah:

1) menyusun rencana evaluasi, 2) menghimpun data, 3) melakukan

verifikasi data, 4) mengolah dan menganalisis data, dan 5) memberikan

interpretasi dan menarik kesimpulan sebagaimana guru lainnya secara

umum. Namun demikian, guru madrasah aliyah juga memiliki kekhususan

dalam melaksanakan evaluasi yang bernuansa Islam.

4) Melakukan Bimbingan dan Pelatihan

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003

pada Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 39 Ayat 2

dikemukakan bahwa salah satu tugas guru sebagai pendidik pprofesional

adalah melakukan pembimbingan dan pelatihan (Redaksi Sinar Grafika,


32

2006:20). Berkaitan dengan peran guru sebagai pembimbing, E Mulyasa

(2007.b:40-43) bahwa guru harus membimbing peserta didik untuk

mendapatkan pengalaman, dan membentuk kompetensi yang akan

mengantarkan mereka untuk mencapai tujuan. Dalam setiap hal, peserta

didik harus belajar, olehkarena itu mereka harus memiliki pengalaman

dan kompetensi yang dapat menimbulkan kegiatan belajar. Selain itu, guru

juga harus berfungsi sebagai pelatih. Pelatihan yang dilakukan guru, di

samping harus memperhatikan kompetensi dasar dan materi standar, juga

harus mampu memperhatikan perbedaan individual peserta didik dan

lingkungannya.

Berkaitan dengan peran guru sebagai pembimbing dan pelatih,

Soetjipto dan Raflis Kosasi (1999:50) mengemukakan bahwa semboyan

tut wuri mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran guru hari

memberikan bimbingan kepada peserta sisik. Dalam handayani berarti

guru mempengaruhi peserta didik, dalam arti membimbing atau

mengajarnya. Dengan demikian, membimbing mengandung arti bersikap

menentukan ke arah pembentukan manusia Indonesia yang berjiwa

pancasila, dan bukannya mendikte peserta didik, apalagi memaksanya

menurut kehendak sang pendidik.

Sardiman (2007: 143) mengemukakan bahwa peranan guru di

samping sebagai pengajar dan pendidik adalah sebagai pembimbing.

Dalam melaksanakan peran ini, guru harus memiliki kecakapan dalam

memberikan bimbingan. Proses pembelajaran akan lebih berhasil kalau


33

disertai dengan kegiatan bimbingan yang banyak berpusat pada

kemampuan intelektual peserta didik. Guru perlu memiliki pengetahuan

yang memungkinkan dapat membantu peserta didik mencapai tugas-

tugas perkembangannya, baik perkembangan emosi, minat dan

kecakapan khusus serta fisik dan sosialnya. Dengan mengetahui taraf

pencapaian perkembangan siswa, maka guru akan dapat menetapkan

rencana yang lebih sesuai sehingga peserta didik akan mengalami

proses pembelajaran yang menyeluruh dan integral.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tugas guru sebagai

pembimbing dan pelatih dapat diaktualisasikan melalui pengembangan

bakat, minat dan kemampuan individu peserta didik serta membimbing

siswa dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dengan seoptimal

mungkin.

2. Kompetensi Profesional

Seseorang dinyatakan kompeten di bidang tertentu bila dia

menguasai kecakapan kerja, atau keahlian selaras dengan tuntutan

bidang kerja yang bersangkutan. Oleh sebab itu ia mempunyai

wewenang dalam pelayanan sosial di masyarakat (E. Mulyasa, 2007b:12).

Kompetensi memiliki berbagai makna. Tim Penyusun Kamus Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1989:453) mendefinisikan

kompetensi sebagai kewenangan untuk menentukan atau memutuskan

sesuatu hal. Moh. Uzer (2002:14) memberikan pengertian kompetensi


34

guru dengan kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajiban secara

bertanggung jawab dan layak.

Lyle and Signe (1993:9) mengemukakan, competencies are

underlying characteristics of people and indicate ways of behaving or

thingking, generalizing across situations, and enduring for a reasonably

long period of time. Pendapat ini dapat diartikan bahwa kompetensi

merupakan karakteristik yang terdapat dalam diri seseorang dan

menunjukkan cara berbuat, atau berfikir, merumuskan situasi dan berada

dalam dirinya dalam jangka waktu tertentu.

Nana Syaodih (1997:33) mengemukakan bahwa kompetensi

adalah performansi yang mengarah pada pencapaian tujuan secara tuntas

menuju kondisi yang diinginkan. Selanjutnya Prayitno (2002:78)

mengatakan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, ketrampilan,

nilai, sikap dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan

bertindak yang bersifat dinamis, berkembang, dan dapat diraih setiap

waktu. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus

menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti

memiliki pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap-sikap dasar dalam

melakukan sesuatu.

Kompetensi memang diartikan beragam oleh para ahli sesuai

dengan sudut pandangnya masing-masing. Johnson dalam Wina Sanjaya

(2007:17) menyatakan competency as rational performance which


35

satisfactorily meets the objective for a desired condition, sebagai perilaku

rasional yang mencapai tujuan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen, Bab I, pasal 1, ayat 10, kompetensi didefinisikan

sebagai seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus

dimiliki, dihayati dan dikuasai dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Berkaitan dengan pekerjaan mengajar, Oemar Hamalik (2002:103)

mengemukakan bahwa pekerjaan mengajar dapat dikatakan sebagai

sebuah profesi. Oleh karena itu, pekerjaan mengajar sudah selayaknya

dilaksanakan secara profesional. Kata profesional berasal dari kata

profesi. Menurut Hughes, seperti yang dikutip oleh Piet A. Sahertian

(1991:57), profesi adalah simbol suatu pekerjaan dan selanjutnya menjadi

pekerjaan itu sendiri.

Sudarwan Danim (2002:20) mengemukakan bahwa profesi

berasal dari kata profession (bahasa Inggris) yang berarti pengakuan,

pernyataan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu.

Imran Manan (1989:117) menjelaskan bahwa profesional dalam jabatan

berarti menjalankan kedudukan, jabatan, dan pekerjaan dengan

menggunakan ilmu pengetahuan dan ketrampilan khusus. Ilmu dan

ketrampilan itu diperoleh melalui pendidikan atau perkuliahan yang

bersifat teori. Kemudian yang bersangkutan diuji dan bila lulus diberikan

lisensi.
36

Beberapa pengertian profesional di atas terkait dengan profesi

yang digeluti oleh seseorang berdasarkan pendidikan yang ditempuhnya.

Seseorang dikatakan profesional di bidang tersebut bila pekerjaan yang

dilakukan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya (Syaiful Bahri

Djamarah (1994:22).

Seseorang pekerja dapat dikatakan profesional dibidangnya

apabila memiliki ciri-ciri tertentu. Moh Ali (1985:44) mengemukakan ciri-

ciri khusus pekerja profesional antara lain: 1) memiliki ketrampilan yang

berdasarkan pada konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam,

2) menekankan keahlian dalam bidang tertentu sesuai bidang profesi, 3)

memiliki tingkat pendidikan yang memadai, 4) memiliki kepekaan terhadap

dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan, dan 5)

mengembangkan profesi.

Menurut Moh Uzer Usman (2002:15) ciri-ciri pekerjaan profesional

antara lain: 1) memiliki kode etik dalam pelaksanaan tugas, 2) memiliki

klien layanan tetap, dan 3) mendapat pengakuan dari masyarakat. Hal

yang hampir sama dengan pendapat di atas dikemukakan oleh Fasli Jalal

dan Dedi Supriadi (2001) yakni bahwa pekerja profesional mempunyai 5

ciri yaitu: 1) memiliki komitmen terhadap tugas, 2) menguasai bidang kerja

secara mendalam, 3) bertanggung jawab memantau perkembangan

dan pekerjaan yang dilakukan, 4) bekerja secara sistematis, dan

5) mempunyai kemampuan menjadi bagian dari masyarakat yang

merupakan tempat klien berada. Menurut Zanti Arbi (1990:55) di antara


37

ciri yang mencerminkan tenaga profesional ialah memiliki wawasan

tentang pekerjaan yang dilakukan, pengetahuan, pandangan relatif luas

pekerjaan yang terus berkembang, dan ketrampilan yang banyak dan

tinggi dalam melaksanakan pekerjaannya.

Sebagai pendidik, guru dituntut memiliki kompetensi profesional,

disamping kompetensi pribadi, sosial dan kompetensi paedagogik. Dalam

PP RI No. 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 ayat

(3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi

profesional adalah penguasaan materi pelajaran secara luas dan

mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi

standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.

E. Mulyasa (2007a:135) mengatakan bahwa kompetensi guru

merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi,

sosial, dan spiritual yang secara menyeluruh membentuk pemahaman

guru dalam hal penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta

didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan

profesionalisme. Kompetensi profesional tersebut adalah: (1) menguasai

landasan kependidikan, (2) menguasai visi, misi dan tujuan pendidikan,

(3) memahami dan menguasai standar pendidikan nasional,

(4) menguasai materi pelajaran, (5) mampu mengelola kelas dengan baik,

(6) mampu menggunakan media pembelajaran, dan (7) mampu

menerapkan teori pendidikan.


38

S. Nasution (2000:72) mengemukakan pengertian kompetensi

profesional guru yang hampir sama dengan pengertian menurut

E. Mulyasa walaupun dengan urutan/susunan yang berbeda yaitu:

(1) mampu mengelola program pembelajaran, (2) mampu mengelola

kelas, (3) mampu menggunakan sumber belajar, (4) menguasai landasan

kependidikan, (5) mampu mengelola interaksi pembelajaran, (6) mampu

mengaplikasikan teori pendidikan untuk kepentingan pembelajaran, dan

(7) memahami dan menguasai tujuan pendidikan.

Kompetensi profesional guru sebagaimana dirumuskan oleh Tim

Kelompok Kerja Pengembang Ilmu Pendidikan (2005:24) antara lain

adalah menguasai landasan praktik kependidikan, menguasai materi

pelajaran secara luas dan mendalam serta memiliki pemahaman yang

baik tentang standar pendidikan nasional dan tujuan pendidikan. Menurut

Nana Sudjana (2002:55) kompetensi profesional guru mencakup:

kemampuan dan kewenangan khusus dalam mengembangkan materi dan

proses pembelajaran, mengembangkan diri untuk menjadi ahli dalam

materi dan proses pembelajaran yang dilaksanakannya dan memiliki

pemahaman yang baik tentang teori, landasan dan tujuan pendidikan

nasional.

Kompetensi profesionalisme guru menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen,

adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus

dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru berkaitan dengan tujuan


39

pendidikan, landasar dan teori kependidikan serta kemampuan dalam

penggunaan media dan sumber belajar dalam proses pembelajaran.

Syaiful Bahri Djamarah (1991:33) mengemukakan bahwa kompetensi

profesional guru mencakup penguasaan terhadap bahan/materi

pembelajaran, pengelolaan kelas, materi dan sumber belajar, landasan

dan teori kependidikan terutama yang berkaitan dengan perkembangan

siswa.

Kompetensi profesional guru dapat diukur dengan menggunakan

beberapa cara. Muchlas Samani, dkk (2006:53) mengemukakan bahwa

kompetensi profesional guru dapat diketahui atau diukur dengan

menggunakan tes tulis, tes kinerja, self appraisal, peer appraisal maupun

dengan portofolio. Hal yang sama juga dikemukakan oleh E. Mulyasa

(2007b:192) menurutnya instrumen yang dapat digunakan dalam

sertifikasi guru adalah antara lain yanag dapat mengukur kompetensi

perofesional guru. Untuk ini dapat digunakan tes maupun alat ukur

lainnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi

profesional guru adalah kemampuan yang dimiliki oleh guru dalam

melaksanakan jabatan, fungsi dan pekerjaannya. Hall itu sesuai dengan

landasan keilmuan dan praktik pendidikan yang dipelajari secara khusus

dan mendapatkan pengakuan. Indikatornya adalah: (1) menguasai

landasan kependidikan, (2) menguasai visi, misi dan tujuan pendidikan,

(3) memahami dan menguasai standar pendidikan nasional, (4)


40

menguasai dan mengembangkan kurikulum/materi pelajaran, (5)

berkemampuan dalam mengelola kelas dan program pembelajaran, (6)

berkemampuan menggunakan media dan sumber belajar, dan (7) mampu

memahami dan menerapkan teori pendidikan sesuai dengan

perkembangan siswa.

3. Iklim Komunikasi

Untuk mengetahui pengertian iklim komunikasi, perlu dijelaskan

makna masing-masing kata yaitu iklim dan komunikasi. Menurut Tim

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

(1989:223) kata iklim identik dengan kata suasana, kondisi atau

keadaan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sedangkan kata

temperatur mengandung arti panas dingin, hawa (berat badan), suhu

misalnya derajat celcius (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa (1989:1044). Jadi temperatur adalah keadaan

sementara berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Sedangkan

pengertian komunikasi dipahami dari bermacam-macam definisi yang

dikemukakan para ahli.

Menurut Suhartin Citrobroto (1989:2) komunikasi adalah

penyampaian pengertian dari seseorang kepada orang lain, dengan

menggunakan lambang-lambang dan penyampaian tersebut merupakan

suatu proses. Komunikasi dapat juga diartikan sebagai pertukaran pesan

verbal maupun nonverbal antara si pengirim dan si penerima pesan untuk

mengubah tingkah laku (Arni Muhammad 1995:97).


41

Umar Suwito (1989) melihat komunikasi sebagai proses

penyampaian dan penerimaan informasi melalui lambang yang

mempunyai arti/makna sampai menjadi milik bersama. Informasi itu

menurut Oteng Sutisna (1985) adakalanya berisi penjelasan perasaan,

pernyataan dari orang ke orang lain atau dari kelompok ke kelompok

lain. Seperti yang dikemukakan Lewis (1987:78) komunikasi merupakan

kejadian saling berbagi pesan, ide atau sikap dalam struktur organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

iklim komunikasi adalah rata-rata suasana, keadaan atau kondisi

terjadinya proses pertukaran informasi antara si pengirim dengan si

penerima informasi yang mengandung makna, baik secara verbal maupun

nonverbal untuk mengubah tingkah laku.

Membahas iklim komunikasi sekolah pada suatu lembaga tidak

terlepas dari iklim organisasi. Dikatakan demikan karena sekolah pada

dasarnya merupakan sebuah organisasi. Umar Suwito (1989:59)

mengemukakan bahwa dalam organisasi sekolah terdapat jalinan

kerjasama sekelompok orang yaitu kepala sekolah, guru, karyawan dan

siswa yang secara bersama-sama bertujuan mencapai sekolah yang telah

ditetapkan. Proses komunikasi berfungsi mengikat masing-masing

komponen sekolah menjadi satu bagian yang integral. Untuk itu perlu

komunikasi yang baik dari atasan kepada bawahan yaitu dari kepala

sekolah kepada majelis guru, karyawan, dan siswa, begitu pula sebaliknya
42

sehingga lebih memungkinkan semua komponen dapat berinteraksi dan

berkomunikasi dalam suasana yang menyenangkan.

Pendapat Redding, seperti yang dikutip Arni Muhammad (1995:85),

mengemukakan lima aspek yang terkandung dalam iklim komunikasi,

yaitu: (a) supportiveness, hubungan yang saling mendukung, membantu

antara atasan dan bawahan (b) partisipasi dalam membuat sebuah

keputusan, (c) kepercayaan (dapat dipercaya) dan dapat menyimpan

suatu rahasia, (d) keterbukaan dan keterusterangan, (e) kinerja yang

tinggi, yaitu seberapa bagus tujuan kerja dapat dikomunikasikan dengan

jelas dengan anggota organisasi.

Hal senada disampaikan Pace dan Don (2006:163) mengatakan

bahwa iklim komunikasi itu mempunyai 6 aspek: 1) kepercayaan, 2)

pembuatan keputusan partisipatif, 3) kejujuran, 4) keterbukaan dalam

komunikasi, 5) mendengarkan dalam komunikasi ke atas, dan 6)

memikirkan tujuan-tujuan berkinerja tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa iklim komunikasi

adalah rata-rata kondisi atau suasana hubungan interpersonal individu

yang didasarkan pada persepsi masing-masing yang bersangkutan

mengenai kesenangan dalam berhubungan satu sama lain dalam suatu

organisasi.

Pace dan Don (2006:156) mengatakan bahwa iklim komunikasi

yang positif cenderung meningkatkan dan mendukung komitmen pada

organisasi. Menurut Arni Muhammad (1995:85) iklim komunikasi dapat


43

berdampak positif atau negatif dalam suatu organisasi. Iklim komunikasi

yang berdampak positif merupakan kondisi lingkungan yang terbuka,

rileks, ramah tamah, dari satu anggota dengan anggota lain. Kebalikannya

iklim negatif merupakan kondisi yang dapat menjadikan anggota tidak

berani berkomunikasi secara terbuka sehingga kurang dapat menjalin

rasa persaudaraan.

Oleh karena itu, setiap individu dalam organisasi harus berusaha

untuk mengembangkan iklim komunikasi yang memiliki dampak positif

melalui perilaku komunikasi yang terbuka dan saling menghormati dan

menghargai baik antar sejawat maupun dengan pimpinan. Ghouzali

Saydam (1996) mengemukakan bahwa dalam penciptaan situasi kondisi

kondusif melalui iklim komunikasi yang harmonis terutama antara

pimpinan dengan bawahan, seorang pimpinan atau atasan memegang

peranan yang cukup penting. Iklim komunikasi yang diciptakan oleh

atasan sangat ditentukan oleh perilaku yang diciptakan oleh atasan.

Sedangkan Arni Muhammad (1995:86-87) berpendapat bahwa iklim

komunikasi mencakup tiga aspek. Ketiga aspek itu: (a) sumber

komunikasi dan hubungannya dalam organisasi, (b) informasi bagi

anggota organisasi, dan (c) organisasi itu sendiri.

Iklim komunikasi kondusif yang dibina/dimulai dari pimpinan dapat

memberikan dampak pada efektivfitas organisasi. Ini menunjukkan bahwa

peranan pimpinan dalam mewujudkan iklim komunikasi yang kondusif

memberikan pengaruh yang besar terhadap motivasi kerja bawahannya.


44

Iklim komunikasi ditentukan oleh beberapa komponen. komponen

tersebut antara lain adalah cara bagaimana masing-masing individu

bertingkah laku dan berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya.

Milton (1981) menjelaskan bahwa iklim yang kondusif itu meliputi kualitas

hubungan dalam lingkungan kerja yang dirasakan secara langsung oleh

anggota organisasi.

Goldhaber (1986) mengemukakan bahwa iklim komunikasi

ditentukan oleh beberapa faktor yakni sikap saling mendukung dan saling

pengertian, kredibilitas pimpinan, keterbukaan, dan tujuan organisasi yang

jelas. Berkaitan dengan hal ini, Abizar (1988:212) mengemukakan bahwa

karakteristik tingkah laku komunikasi yang suportif adalah:

(a) menfokuskan kegiatan organisasi pada peristiwa yang dapat

diobservasi, (b) berorientasi pada masalah dan pemecahannya secara

bekerjasama, (c) spontanitas, dengan pengertian bahwa para anggota

berkomunikasi secara jujur dalam merespon situasi sekarang, (d) empati,

yakni memperlihatkan perhatian dan penuh pengertian pada orang lain,

(e) kesamaan posisi yang diperlihatkan anggota orgaisasi antara yang

satu dengan yang lainnya, dan (f) profesionalisme yang terlihat pada sifat

anggota organisasi yang fleksibel dan mampu beradaptasi pada tekanan

dan situasi komunikasi yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa iklim

komunikasi adalah rata-rata kondisi atau suasana hubungan antar individu

yang didasarkan pada persepsi masing-masing individu yang


45

bersangkutan mengenai kesenangan dalam berhubungan. Indikator

variabel iklim komunikasi dapat diungkapkan melalui: 1) keterbukaan, 2)

saling mempercayai, 3) saling menghargai, 4) empati, dan 5) saling

mendukung.

B. Kerangka Pemikiran

1. Dampak Kompetensi Profesional terhadap Pelaksanaan Tugas


Guru

Guru merupakan tenaga profesional yang memiliki tanggung jawab

dalam pendidikan. Moh. Uzer Usman (2002) mengatakan bahwa kinerja

guru akan baik bila guru memiliki persyaratan profesional sebagai tenaga

kependidikan. Soetjipto dan Raflis Kosasi (1999) juga mengatakan bahwa

untuk menjadi guru yang profesional seorang guru harus memiliki syarat-

syarat profesi keguruan sehingga kinerja akan menjadi baik.

Dampak kompetensi profesional terhadap pelaksanaan tugas guru

ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elmie (2005)

tentang Kontribusi Kompetensi Profesionalisme terhadap Pelaksanaan

Tugas Guru SMP Negeri di Kabupaten Kepulauan Riau, penelitian ini

menjadikan seluruh guru SMP Negeri Kabupaten Kepulauan Riau yang

berjumlah 152 sebagai populasinya. Sampel ditarik dengan menggunakan

teknik stratified random sampling dengan menggunakan rumus Tuckman.

Dengan teknik ini didapat sampel sebesar 60. Hasil analisis data
46

menunjukkan bahwa: kompetensi profesionalisme berkontribusi sebesar

61,5% terhadap pelaksanaan tugas guru.

Dari berbagai uraian berkenaan dengan kompetensi profesional

dan pelaksanaan tugas guru serta didukung dengan hasil penelitian di

atas dapat dikemukakan bahwa kompetensi profesional memiliki dampak

terhadap pelaksanaan tugas guru. Semakin tinggi profesionalisme

seorang guru, maka pelaksanaan tugasnya akan semakin baik.

2. Dampak Iklim Komunikasi terhadap Pelaksanaan Tugas Guru

Pelaksanaan tugas guru antara lain ditentukan oleh iklim


komunikasi di sekolah. Pritchard dan Karasick (1973) menemukan bahwa
iklim komunikasi yang baik dan lancar serta hubungan antar pribadi yang
harmonis dalam sebuah organisasi.
Badawi (1999) dalam penelitiannya tentang dampak iklim
komunikasi terhadap pelaksanaan tugas guru menyimpulkan bahwa iklim
komunikasi berkontribusi sebesar 8,29%. Iklim komunikasi yang
menyenangkan mendorong para individu yang ada dalam organisasi/
sekolah untuk bekerja lebih baik dan giat. Sebaliknya iklim komunikasi
yang kurang menyenangkan mendorong seseorang untuk tidak terbuka
dan tidak saling mempercayai. Kondisi iklim komunikasi yang demikian
akan menghambat efektifitas dan kelancaran pelaksanaan tugas guru.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses komunikasi dan

interaksi yang menyenangkan di sekolah dapat menumbuhkan iklim

komunikasi dan interaksi yang kondusif dan efektif sehingga memacu

motivasi guru untuk memaksimalkan segala potensi yang mereka miliki

dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang mencakup perencanaan

pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melaksanakan

evaluasi/penilaian dan melaksanakan program remedial dan pengayaan.

Berdasarkan uraian di atas secara teoretis pelaksanaan tugas guru

dipengaruhi oleh iklim komunikasi. Iklim komunikasi yang menyenangkan


47

mendorong seseorang individu bekerja lebih giat, sedangkan fenomena di

lapangan juga menunjukkan bahwa guru kurang terdorong dalam

melaksanakan tugasnya karena iklim komunikasi di sekolah kurang

menyenangkan. Maka dapat dikemukakan bahwa iklim komunikasi

berdampak terhadap pelaksanaan tugas guru.

3. Dampak Kompetensi Profesional dan Iklim Komunikasi secara


bersama-sama Terhadap Pelaksanaan Tugas Guru

Secara sederhana dapat dijelaskan ditambah dengan adanya iklim

komunikasi yang harmonis dan kondusif diduga memberikan sumbangan

kepada pelaksanaan tugas guru. Namun yang menjadi persoalan di sini

seberapa besar sumbangan dari keduanya?

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kompetensi

profesional dan iklim komunikasi diduga berdampak baik secara sendiri-

sendiri maupun secara bersama-sama terhadap pelaksanaan tugas guru

di MAN Metro Lampung.

Kerangka pemikiran di atas dapat disimpulkan seperti terlihat pada

gambar berikut :

Kompetensi Profesional

Pelaksanaan
Tugas Guru

Iklim Komunikasi

Gambar 2. Bagan Alur Pikir Penelitian


48

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan temuan awal di lapangan yang

telah dikemukakan di atas, maka diajukan hipotesis penelitian sebagai

berikut:

1. Kompetensi profesional berdampak positif terhadap pelaksanaan

tugas guru.

2. Iklim komunikasi berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas guru.

3. Kompetensi profesional dan iklim komunikasi secara simultan

berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas guru


49

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Peneliti akan menggunakan pandekatan korelasional dengan

menjadikan variabel kompetensi profesional dan variabel iklim komunikasi

sebagai variabel bebas dan variabel pelaksanaan tugas guru sebagai

variable terikat. Hal ini sejalan dengan pendapat Singgih Santoso

(2004:220) yang mengemukakan mahwa penelitian korelatif adalah

penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan

antara dua variabel atau lebih. Penelitian dengan kajian korelatif dapat

memprediksi hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

Teknik analisis yang digunakan adalah korelasi dan regresi.

Pendekatan analisisnya adalah analisis deskriptif kuantitatif dengan

mewujudkan fakta-fakta seperti keadaan yang sebenarnya. Tujuannya

adalah untuk mengetahui kekuatan hubungan dan dampak variabel-

variabel bebas terhadap variabel terikat.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di dua buah

Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Metro Lampung dengan menjadikan

seluruh guru-guru di sekolah tersebut sebagai populasi, dan penelitian

ini direncanakan akan melibatkan madrasah aliyah negeri (MAN 1 dan

MAN 2) kota Metro yang berstatus sebagai guru tetap. Pemilihan populasi
50

ini didasarkan atas pertimbangan bahwa fenomena-fenomena belum

optimalnya pelaksanaan tugas guru banyak di temui di MAN I dan 2 kota

Metro, sedangkan pemilihan guru tetap didasarkan pada persentase

jumlah guru tetap yang jumlahnya mencapai 96% dari total guru yang ada

di kedua sekolah tersebut.

Berdasarkan prasurvei yang dilakukan, jumlah populasi penelitian

pada kedua MAN di atas adalah 105 orang dengan sebarannya seperti

terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Sebaran Populasi Penelitian

No Kelompok Populasi (orang)


1. MAN 1 54
2. MAN 2 51
JUMLAH 105

Sebagaimana halnya guru-guru di sekolah lain, guru-guru yang

menjadi populasi penelitian ini memiliki keragaman dalam hal latar

belakang pedidikan, masa kerja, golongan kepangkatan, status sosial, dan

jenis kelamin. Dengan demikian dapat dikatakan populasi penelitian ini

bersifat heterogen.

Strata populasi akan ditetapkan pada tiga aspek yaitu: (1) tingkat

pendidikan, (2) jenis kelamin, dan (3) masa kerja. Tingkat pendidikan

dibagi menjadi dua kelompok: pendidikan S1 ke atas, dan pendidikan di

bawah S1 (D3). Masa kerja juga dibedakan menjadi dua kelompok yakni
51

masa kerja kurang atau sama dengan 10 tahun ( 10 tahun) dan masa

kerja di atas sepuluh tahun (>10 tahun).

Penentuan strata populasi berdasarkan ketiga aspek di atas

mengacu pada pendapat Mitzel dan Wittrock seperti yang dikutip Adnan

(1986). Menurutnya seseorang, dalam melaksanakan tugas dan

pekerjaannya, dipengaruhi oleh taraf pendidikan, pengalaman, dan

pertumbuhan sosial. Jenis kelamin dapat dikatakan merupakan salah satu

faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan sosial seseorang.

Labih lanjut, sebaran populasi penelitian pada kedua kelompok

sesuai dengan ketiga strata tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Sebaran Populasi Berdasarkan Strata

Populasi Strata 1 Strata 2 Strata 3 Jumlah


(orang) (orang)
S1 19
LK D3 2
10 TH S1 52
PR D3 3
105 S1 3
LK D3 1
> 10 TH S1 24
PR D3 1
Jumlah 105
52

Berdasarkan populasi masing-masing strata kelompok populasi,

maka diperoleh hasil perhitungan untuk masing-masing strata sebagai

berikut:

Tabel 3. Hasil Perhitungan Populasi Untuk Masing-Masing Strata

Jenis Strata Populasi %

Tingkat S1 98 0,93
Pendidikan
D3 7 0,7

Jenis Lk 25 0,24
Kelamin
Pr 80 0,76

Tahun 10 76 0,72
Kerja
10 29 0,28

1. Sampel

Berdasarkan ciri-ciri populasi di atas, sampel penelitian akan

ditetapkan menurut teknik stratified proportional random sampling. Teknik

ini dipillih sesuai dengan sifat populasi yang heterogen. Diharapkan

dengan cara ini sampel yang dipilih akan representatif. Beberapa

langkah yang perlu dilakukan dalam penentuan sampel adalah:

(a) mengidentifikasi populasi berdasarkan strata, sebagaimana yang telah

dilakukan pada bagian terdahulu, (b) menentukan ukuran sampel

berdasarkan strata populasi, dan (c) menetukan subjek yang akan

dijadikan sampel atau responden.


53

Untuk menentukan besarnya ukuran sampel akan digunakan rumus

Cochran (1991:85-88) seperti berikut:

no
2
t . pq n
2
1 o
no= d dan dikoreksi dengan n= N

Keterangan:

no = jumlah sampel yang dikoreksi


t = besar skor z sesuai (yakni 1,96 pada taraf signifikansi 0,05)
p = besar proporsi dikotomi pada populasi
q = 1p
d = besar kekeliruan sampel (dalam hal ini ditetapkan 5%)
N = besar populasi
n = besar sampel

Hasil perhitungan besarnya sampel penelitian dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 4. Hasil Perhitungan Sampel

No Klasifikasi Strata P q N0 n

1 Tingkat pendidikan 0,93 0,6 112 53*

2 Jenis Kelamin 0,24 0,76 70 42

3 Masa Jabatan 0,72 0,28 77 45

* Angka terpilih

Dari tabel di atas ternyata angka n tertinggi adalah pada strata

tingkat pendidikan yaitu 53, karena itu angka akan ditetapkan sebagai

sampel penelitian. Dengan demikian sampel yang diambil adalah 53/105 x

100% = 50,41 % dan dibulatkan menjadi 51 %.


54

Selanjutnya, penentuan anggota sampel (51%) dari total populasi

pada setiap strata, dipaparkan pada tabel berikut ini:

Tabel 5. Jumlah Sampel Berdasarkan Klasifikasi Strata

Strata
Populasi Pembulatan
1 2 TK P %
S1 19 9,69 10
LK D3 2 1,02 2
10 TH
S1 52 26,52 27
PR D3 3 0,53 1
S1 3 1,56 2
105
LK D3 1 0,52 1
> 10 TH
S1 24 12,24 13
PR D3 1 0,52 1
Jumlah 57

C. Definisi Operasional

1. Pelaksanaan Tugas Guru

Pelaksanaan tugas guru dalam penelitian ini didefinisikan sebagai

kerja para guru dalam melaksanakan tugasnya yang merupakan tanggung

jawabnya yang ditandai dengan pencapaian tujuan yang relevan dengan

tugas tersebut dalam bentuk skor. Indikator pelaksanaan tugas guru

adalah: 1) membuat rencana pembelajaran dengan memasukkan unsur-

unsur agama Islam, 2) melaksanakan proses pembelajaran dengan

menginternalisasikan nilai-nilai agama Islam, 3) melaksanakan penilaian


55

berasaskan penilaian pendidikan Islam, dan 4) melaksanakan bimbingan

dan pelatihan sesuai dengan Ajaran agama Islam yang dapat diukur

dengan menggunakan kuesioner/angket.

2. Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional guru adalah kemampuan yang dimiliki oleh

guru dalam melaksanakan jabatan, fungsi dan pekerjaannya sesuai

dengan landasan keilmuan dan praktik pendidikan yang dipelajari secara

khusus dan mendapatkan pengakuan dengan indikator: (1) menguasai

landasan kependidikan, (2) menguasai visi, misi dan tujuan pendidikan,

(3) memahami dan menguasai standar pendidikan nasional, (4)

menguasai dan mengembangkan kurikulum/materi pelajaran, (5)

menguasai pengelolaan kelas dan program pembelajaran, (6) mampu

menggunakan media dan sumber belajar, dan (7) mampu memahami dan

menerapkan teori pendidikan sesuai dengan perkembangan siswa yang

dapat diukur melalui tes tertulis.

3. Iklim Komunikasi

Iklim komunikasi adalah rata-rata kondisi atau suasana hubungan

interpersonal antar individu yang didasarkan pada persepsi masing-

masing yang bersangkutan mengenai kesenangan dalam berinteraksi

dengan indikator: 1) keterbukaan, 2) saling mempercayai, 3) saling


56

menghargai, 4) empati, dan 5) saling mendukung yang dapat diukur

melalui instrumen kuesioner/angket.

D. Instrumen Penelitian

1. Skala Pegukuran

Pengumpulan data penelitian ini direncanakan akan

mempergunakan kuesioner dan tes tertulis. Instrumen kuesioner/angket

akan digunakan untuk mengukur pelaksanaan tugas guru dan iklim

komunikasi sedangkan instrument tes tertulis digunakan untuk mengukur

kompetensi profesional guru. Hal ini sejalan dengan pendapat E. Mulyasa

(2007b:192) yang menyatakan bahwa kompetensi profesional guru dapat

diukur dengan menggunakan tes tertulis. Hal ini juga sejalan rencana

Departemen Pendidikan Nasional (2006) yang akan menggunakan antara

lain instrument tes tertulis untuk mengukur kompetensi/ kemampuan

dalam pelaksanaan sertifikasi guru.

Instrumen kuesioner yang akan digunakan dalam penelitian ini

disusun menurut skala Likert (Likert Scale). Sebelum digunakan, skala ini

akan diuji-cobakan lebih dulu untuk mengetahui daya pembeda

(discriminating power) dari setiap butir. Pola ini menurut para ahli paling

sesuai untuk menyatakan sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau

kelompok tentang kejadian atau gejala sosial. seperti yang diungkapkan

oleh Riduwan (2006:87).


57

Skala Likert ini akan terdiri dari lima jenjang sikap. Responden

diharapkan akan memberikan tanda silang (X) pada salah satu kolom

yang memuat pernyataan beberapa pernyataan. Pernyataan tersebut

akan dibedakan antara yang bersifat positif dan negatif. Pernyataan sikap

akan dikonversikan dengan angka 1, 2, 3, 4 dan 5. Skala Likert dimaksud

sebagai berikut:

Tabel 5. Skala likert Kuesioner/Angket


Variabel Kategori Jawaban Skor Positif Skor Negatif
Selalu 5 1
Sering 4 2
Pelaksanaan Tugas
Guru Kadang-kadang 3 3
(Y) Jarang 2 4
Tidak Pernah 1 5
Selalu 5 1
Sering 4 2
Iklim
Komnikasi Kadang-kadang 3 3
(X2) Jarang 2 4
Tidak Pernah 1 5

Instrumen tes tertulis dalam penelitian ini akan menggunakan skala

Guttman dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan indikator yang telah

ditetapkan berdasarkan pendapat dari para ahli dan akan diujicobakan

terlebih dahulu. Pola ini ini digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas

(tegas) dan konsisten. Tes tertulis ini akan disusun dalam bentuk pilihan

ganda (Riduwan, 2006: 91). Responden diminta untuk memilih salah satu

jawaban yang dianggap paling benar. Terhadap jawaban tersebut

kemudian akan dilakukan penilaian dengan kriteria benar dan salah.


58

Untuk jawaban benar diberikan skor 1 dan untuk jawaban yang salah

diberi skor 0. (Riduwan, 2006:91)

2. Penentuan Indikator Variabel

Indikator ini akan ditentukan dengan bertitik tolak dari bahasan

yang telah diuraikan pada landasan teori. Indikator tersebut adalah:

a. Pelaksanaan Tugas Guru MAN

Variabel Pelaksanaan Tugas Guru akan diungkapkan melalui:

1) membuat rencana pembelajaran, 2) melaksanakan proses

pembelajaran, 3) melaksanakan evaluasi/penilaian, dan 4) melaksanakan

program remedial dan pengayaan.

b. Kompetensi Profesional

Variabel Kompetensi Profesional Guru akan diungkapkan melalui:

(1) menguasai landasan kependidikan, (2) menguasai visi, misi dan tujuan

pendidikan, (3) memahami dan menguasai standar pendidikan nasional,

(4) menguasai dan mengembangkan kurikulum/materi pelajaran, (5)

menguasai pengelolaan kelas dan program pembelajaran, (6) mampu

menggunakan media dan sumber belajar, dan (7) mampu memahami dan

menerapkan teori pendidikan sesuai dengan perkembangan siswa.

c. Iklim Komunikasi

Variabel Iklim Komunikasi akan diungkapkan melalui:

1) keterbukaan, 2) saling mempercayai, 3) saling menghargai, 4) empati,

dan 5) saling mendukung.


59

3. Penyusunan Instrumen

Intrumen penelitian akan disusun dengan mengikuti dua langkah

sebagai berikut: 1) menyusun kisi-kisi sesuai dengan indikator dan sub-

indikator dan 2) menyusun pernyataan/pertanyaan sesuai dengan kisi-kisi

yang sudah dibuat. Hal itu dilaksanakan agar setiap butir pernyataan

dapat dipandang valid dari aspek validitas kostruk (sesuai dengan

konsep). Butir-butir pernyataan akan disusun dengan mempertimbangkan

prinsip kemudahan pengisian dan keterhindaran dari keraguan-keraguan.

Hal ini akan dilakukan dengan cara: 1) menghindari pernyataan/

pertanyaan yang mengandung banyak pengertian (makna ganda),

2) menghindari penggunaan kata-kata yang menimbulkan rasa antipati, 3)

mempertimbangkan jawaban yang menyangkut prestise seseorang, dan

sebagainya. Berikut adalah tabel rekapitulasi butir-butir instrumen

sebelum dilakukan uji coba:

Tabel 6. Kisi-Kisi Instrumen Tes dan Angket


Butir Jml.
No. Variabel Indikator
Soal Soal
Membuat rencana pembelajaran dengan 1 - 10
10
memasukkan unsur-unsur agama Islam

I. Pelaksanaan Melaksanakan proses pembelajaran dengan 11 - 27


17
Tugas Guru menginternalisasikan nilai-nilai agama Islam
(Y)
Melaksanakan penilaian berasaskan 28 - 38
10
penilaian pendidikan Islam
Melaksanakan bimbingan dan pelatihan
39 - 47 8
sesuai dengan Ajaran agama Islam
Menguasai landasan pendidikan 1 - 5 5
Menguasai Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan 5 - 10 5
60

Memahami Standar Pendidikan Nasional 11 - 16 6

Menguasai dan Mengembangkan


17 - 20 4
Kurikulum/Materi Pelajaran
Menguasai Pengelolaan Kelas dan Program
21 - 25 5
Pembelajaran
Mampu Menggunakan Media dan Sumber
II. Kompetensi 26 - 29 4
Belajar
Profesional
(X1) Mampu memahami dan Menerapkan Teori
30 - 33 4
Pendidikan sesuai Perkembangan Siswa
Keterbukaan 1 - 13 13

Iklim Saling mempercayai 14 - 17 4


III. Komunikasi Saling menghargai 18 - 26 9
(X2)
Empati 27 - 34 8
Saling mendukung 35 - 40 6
Jumlah Keseluruhan 120

E. Pengujicobaan Instrumen

Konsep kuesioner yang telah disiapkan setelah dikonsultasikan

kepada kedua pembimbing akan diujicobakan kepada anggota populasi

yang tidak terpilih sebagai sampel. Hal Ini dilakukan dengan tujuan agar

anggota lebih memiliki karakteristik yang sama dengan sampel penelitian.

Tujuan penguji cobaan adalah untuk mengetahui apakah instrumen yang

akan digunakan telah memiliki tingkat validitas dan realibilitas yang dapat

dipertanggungjawabkan. Instrumen penelitian diujicobakan setelah keluar

surat izin penelitian dari Dinas Pendidikan Kota Metro Lampung.

Pemeriksaan validasi dilakukan dengan menggunakan analisis butir.

Untuk itu akan digunakan analisis parametrik menggunakan SPSS


61

(Statistical Package for Social Science). Kriteria pengujian analisis ini

adalah, jika dalam rangkuman analisis butir dinyatakan menunjukkan

harga r hitung < r tabel = 0,05, maka suatu butir instrumen dinyatakan

gugur dan butir tersebut tidak digunakan dalam penelitian.

Untuk mengukur variabel kompetensi profesional dilakukan tes

yang menggunakan penilaian acuan norma (PAN), penilaian yang

dilakukan untuk mengetahui kemampuan guru. Setiap tes perlu dianalisis

untuk mengadakan identifikasi butir-butir tes yang baik, kurang baik dan

jelek, serta untuk mengetahui apakah soal tergolong mudah, sedang,

sukar. Untuk kepentingan itu, digunakan analisis butir-butir tes, yaitu

dengan cara mencari daya beda (D), dan tingkat kesukaran soal (P).

a. Daya beda
Daya beda adalah angka yang menyatakan kesanggupan suatu

soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi

dengan siswa yang berkemampuan rendah., butir tes yang baik

apabila dijawab dengan betul oleh siswa yang tergolong pandai dan

sebaliknya siswa yang berkemampuan rendah banyak menjawab

salah. Rumus menentukan indek diskriminasi menurut Arikunto

(2005:213)

Ba Bb
D Pa Pb
Rumus Daya Beda : Ja Jb

Keterangan:

D = Daya Beda

Ja = banyak peserta kelompok atas


62

Jb = banyak peserta kelompok bawah

Ba = banyak peserta kelompok atas yang menjawab butir tes

dengan benar

Bb = banyak peserta kelompok bawah yang menjawab butir tes

dengan benar

Pa = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar

Pb = proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar

Klasifikasi Daya Beda sebagai berikut : (Arikunto, 2005:218)

D = 0,00 sampai 0,20 : jelek

D = 0,21 sampai 0,40 : cukup

D = 0,41 sampai 0,70 : baik

D = 0,71 sampai 1,00 : baik sekali.

Soal yang jelek berarti tidak dipakai atau gugur.

b. Indeks kesukaran soal

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak

terlalu sukar,bilangan yang menunjukan sukar mudahnya suatu soal

disebut indeks kesukaran soal dengan rumus sebagai berikut.

B
Rumus Indek Kesukaran : P = JS (Arikunto, 2005 :207)
Keterangan :

P = Indek Kesukaran

B = Banyaknya siswa yang menjawab butir tes dengan benar

JS = Jumlah seluruh siswa peserta tes

Klasifikasi Indek Kesukaran sebagai berikut :


63

P = 0,01 sampai 0,30 adalah butir tes sukar

P = 0,31 sampai 0,70 adalah butir tes sedang

P = 0,71 sampai 1,00 adalah butir tes mudah

Koefisien reliabilitas yang digunakan untuk soal pilihan ganda

adalah koefisien reliabilitas dengan KR 20.


K
1
pq
K -1 2
KR-20

K = Jumlah butir soal.

p = Proporsi jawaban benar kelompok atas

q = Proporsi jawaban benar kelompok bawah.

2 = variasi

dengan kriteria :
0,00 0,20 tidak reliabel

0,21 0,40 sedikit realiabel

0,41 0,70 cukup reliabel

0,71 1,00 istimewa

Sumber: (Arikunto, 2005 :208)


Setelah diujicobakan, dari sejumlah 44 butir pernyataan instrumen

variabel Pelaksanaan Tugas Guru, diperoleh sebanyak 39 butir valid dan

sisanya sebanyak 5 butir gugur. Kemudian dari 33 butir pernyataan

variabel Kompetensi Profesional, sebanyak 30 butir dinyatakan valid dan

sisanya sebanyak 3 butir gugur. Selanjutnya untuk variabel Iklim

Komunikasi dari sejumlah 39 butir pernyataan, sebanyak 36 dinyatakan

valid dan sisanya sebanyak 3 butir gugur.


64

Pengujian reliabilitas dilakukan dengan cara mencobakan

instrumen sekali saja (internal consistency). Kriteria pengujian analisis ini

adalah: Jika nilai koefisien korelasi (rhitung) lebih besar atau sama

dengan nilai rtabel pada taraf signifikansi =0.05, maka butir pernyataan

instrumen dinyatakan reliabel. Sementara , jika nilai koefisien korelasi

(rhitung) lebih kecil dari nilai rtabel pada taraf signifikansi =0.05, maka

butir pernyataan instrumen dinyatakan tidak reliabel.

Rangkuman hasil pemeriksaan reliabilitas disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Rangkuman Hasil Analisis Keterandalan Instrumen

No Variabel rtt Ket


1. Pelaksanaan Tugas Guru 0,9508 reliabel

2. Kompetensi Profesional 0,8800 reliabel


0,9353
3. Iklim Komunikasi reliabel

F. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan dengan cara menyerahkan instrumen

secara langsung kepada subyek penelitian. Responden diminta langsung

mengisi daftar instrumen di depan peneliti sendiri untuk mengatasi keragu-

raguan dalam pengisiannya.

G. Analisis Data

Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi

dan regresi. Hal ini dilakukan dengan bantuan analisis parametrik


65

menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science). Tahap-tahap

pengolahan dan analisis data dengan tekhnik korelasi dan regresi adalah:

1. Deskripsi Data

Data masing-masing variabel penelitian dideskripsikan kepada skor

rata-rata (mean), median, modus, deviasi standar, tabel distribusi

frekuensi, dan gambar histogram distribusi frekuensi data. Disamping itu

dideskripsikan pula tingkat pencapaian responden masing-masing variabel

penelitian. Untuk itu digunakan analisis skor ideal yaitu perbandingan skor

rata-rata dengan skor maksimal. Masing-masing variabel dijadikan bentuk

persentase. Tingkat pencapaian responden pada masing-masing variabel

dihitung dengan menggunakan rumus:

Tingkat Pencapaian Responden = Skor rata-rata x 100%


Skor maksimal ideal

Klasifikasi nilai yang dicapai adalah responden menggunakan

klasifikasi menurut Sudjana (1982) sebagai berikut:

90% - 100% Sangat Baik

80% - 89% Baik

65% - 79% Cukup

55% - 64% Kurang Baik

0% - 54% Tidak baik

1. Pengujian Persyaratan Analisis

1 Pemeriksaan normalitas
66

Pemeriksaan normalitas dimaksudkan untuk memeriksa

apakah data populasi berdistribusi normal atau tidak. Pengujian ini

diperlukan untuk mengetahui apakah pemakaian teknik analisis

regresi dan korelasi cocok dipergunakan untuk data penelitian ini.

Pemeriksaan normalitas menggunakan teknik Kolmogorov Smirnov.

2 Pemeriksaan homogenitas

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah data yang

diperoleh memiliki variasi yang homogen atau tidak. Pemeriksaan

homogenitas ini menggunakan teknik diagram pencar.

3 Pemeriksaan Linearitas

Pemeriksaan Linearitas garis regresi dengan teknik regresi

sederhana yang bertujuan untuk mengetahui linieritas garis

regresi.

4 Pemeriksaan Independensi Variabel Bebas.

Pemeriksaan independensi variabel bebas bertujuan untuk

mengetahui apakah antara variabel bebas terdapat hubungan

(korelasi) yang signifikan atau tidak. Pemeriksaan independensi

variabel bebas ini menggunakan korelasi product moment dari

Pearson.

2. Pengujian Hipotesis

a. Hipotesis 1 dan 2 diuji dengan teknik korelasi dan regresi

sederhana
67

b. Hipotesis 3 diuji dengan menggunakan teknik korelasi dan regresi

ganda.

Anda mungkin juga menyukai