Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Oleh:
Sakinah Ginna R 105103003434
Umayah Asnandri 105103003440

Pembimbing:
Dr. J. Sarwono, Sp.PD

MODUL KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. SW
No. RM : 743286
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Pinang Bawah Gg. H. Arif No. 188 Pondok Labu
Jakarta Selatan
Masuk IGD RSF : 8 Februari 2010
Masuk Rawat Inap : 9 Februari 2010

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara auto dan alloanamnesis pada tanggal 13 Februari
2010.
A. Keluhan Utama
Sesak sejak 3 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS).

B. Keluhan Tambahan
Mual, muntah, kaki bengkak

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dibawa oleh keluarga dengan keluhan sesak napas sejak 3
hari SMRS. Sesak dirasakan semakin hari semakin memberat terutama saat
pasien dalam posisi tserlentang dan saat beraktivitas, membaik dengan
posisi duduk dan tidur dengan menggunakan 2-3 bantal. Saat tidur pasien
terkadang terbangun tiba-tiba karena sesak. Pasien juga merasa sesak saat
berjalan 5-10 meter dan tidak mampu lagi menaiki tangga. Sesak tidak

2
disertai bunyi ngik-ngik. Lemas (+), sering terlihat pucat disangkal istri
pasien, jantung berdebar-debar (+). Perubahan warna kulit menjadi lebih
gelap disangkal. Gatal-gatal disangkal. Pasien sudah tidak bekerja sejak 4
tahun yang lalu, saat ini hanya beraktivitas ringan di rumah.
Tiga hari SMRS pasien mengeluh muntah 10-15 kali per hari, berisi
cairan putih, kadang isi makanan, darah (-). Muntah didahului mual. Sakit
ulu hati (+), perut kembung (+), merasa begah (+), dan bila makan cepat
merasa kenyang. Pasien juga mengeluh bengkak pada kedua kaki, bengkak
dapat ditekan. Pasien sudah 4 tahun tidak buang air kecil. Buang air besar
rutin 2 kali sehari, konsistensi padat, berwarna kecoklatan, darah (-).
Lima hari SMRS pasien mengalami demam yang terus menerus,
meningkat perlahan-lahan, istri pasien mengukur dengan termometer digital
(suhu antara 38-38,5 C). Demam tanpa disertai menggigil, kejang, dan
penurunan kesadaran. Demam membaik bila diberi obat penurun panas,
namun pasien tidak tahu nama obatnya.
Satu minggu SMRS pasien mengeluh batuk berdahak, terus menerus
terutama pada malam hari, dahak berwarna kuning kehijauan sebanyak 1
sendok makan, darah (-), keringat malam (-), penurunan berat badan
disangkal, kontak dengan penderita TB disangkal. Keluhan ini belum
diobati.
Empat tahun terakhir pasien sering mengonsumsi nasi dan sayur saja,
sehari makan 2 kali sebanyak 1 centong nasi dan 1 mangkuk sayur serta
hanya diperbolehkan minum sebanyak 600 ml per hari. Dua bulan terakhir
pasien hanya mengonsumsi nasi putih saja. Sejak SMP pasien jarang minum
air putih dan sehari-hari mengonsumsi minuman manis dan berwarna.
Pasien sering mengonsumsi obat sakit kepala (paramex dan bodrex) 3-4
tablet per minggu sejak SMA sampai tahun 2005, minum jamu anggur &
jamu beras kencur 1 gelas belimbing setiap malam selama 6 tahun. Pasien
mantan perokok, rokok kretek 2-3 batang per hari, konsumsi alkohol
sebanyak 5 botol per minggu sejak SMP sampai umur 30 tahun. Pasien
pernah transfusi darah (+) 4 tahun yang lalu. Penggunaan IVDU, free sex
disangkal, dan riwayat sakit kuning disangkal.

3
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat cuci darah sejak 4 tahun yang lalu, rutin 1 minggu 2 kali setiap
Selasa & Jumat.
Riwayat terapi laser batu ginjal saat usia 17 tahun.
Riwayat hipertensi sejak 4 tahun yang lalu, tidak terkontrol. Diketahui
sejak didiagnosis penyakit ginjal kronik.
Riwayat sering demam yang tidak tinggi (suhu antara 38-38,5 C) sejak
Desember 2008 sampai HMRS.
Riwayat TB sebelumnya tidak ada.
Riwayat alergi (+) neuralgin dan ikan laut.
Riwayat diabetes melitus (-), asma (-), penyakit paru (-).
1 mggu 5 hari 3 hari
SMA 4 thn yll SMRS SMRS SMRS

Th/ laser batu Cuci darah 2 Batuk Demam, DOE (+),


ginjal kali/ minggu berdahak, meningkat ortopnea
Perokok kretek Terdiagnosis kuning perlahan, (+), PND
2-3 btg/hari hipertensi kehijauan, terus- (+).
Peminum Tidak bekerja terapi (-) menerus Naik tangga
alcohol (38-38,5 (-), jalan
Pengkonsumsi C), t.u. hanya 5-10 m
NSAID & malam saja.
jamu hari, turun Lemas, jantung
dgn obat berdebar2.
penurun Mual (+),
panas
muntah 5-10
kali, perut
kembung &
begah.
Kaki bengkak

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat cuci darah (+) ibu pasien
Riwayat diabetes mellitus (+) om pasien
Riwayat hipertensi (-), asma (-), alergi (-), penyakit paru (-), penyakit
jantung (-), minum OAT (-).

4
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada saat pasien pertama di ruangan tanggal 9/2/2010
A. Keadaan Umum:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos Mentis
Sikap : Berbaring
Kooperasi : Kooperatif
Keadaan Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 150/ 90 mmHg
Nadi : 100 x/ menit, regular, isi cukup, equal
Pernafasan : 16 x/ menit, regular, kedalaman cukup
Suhu : 36,5 C (axilla)

B. Pemeriksaan
Kepala : Deformitas (-), rambut hitam tersebar merata, tidak mudah
dicabut
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, refleks cahaya
langsung & tak langsung +/+, pupil bulat isokor
3mm/3mm
Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus -/-, serumen -/-, liang telinga
lapang, membran timpani intak
Hidung : Septum deviasi (-), napas cuping hidung -/-, mukosa
hiperemis -/-, sekret -/-
Mulut : Sianosis (-), mukosa lembab, atrofi papil (-), faring
hiperemis (-), tonsil T1/T1
Leher : JVP 5 + 1 cmH2O, KGB & tiroid tidak teraba membesar
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis terlihat 2 jari lateral linea
midklavikularis sinistra
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari lateral linea midklavikula
sinistra

5
Perkusi : Batas jantung kanan : linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : 2 jari lateral linea midklavikula
sinistra
Pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I, II regular, murmur (+) sistolik gr 2/6, menjalar (-),
gallop S3(+)
Paru-paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vokal fremitus simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rh +/+ basah halus di basal, wh -/-
Abdomen
Inspeksi : Datar, gerakan pernapasan dinding perut (-), benjolan (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (+) epigastrium, hati teraba membesar
1 jari di bawah arcus costae, konsistensi kenyal,
permukaan rata, tepi tumpul, nyeri tekan (-), limpa tidak
teraba membesar
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat + + , CRT < 2, edema pitting - -
+ + + +

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. LABORATORIUM
Hasil Hasil Hasil Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
08/02/10 09/02/10 10/02/10 11/02/10
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.217.3 g/dl 8.5 6.4
Hematokrit 33-45 % 27 20
Leukosit 5.0-10.0 ribu/ul 16.7 5.2
Trombosit 150-440 ribu/ul 158 96
Eritrosit 4.40-5.90 juta/uL 2.84 2.24

6
LED 0.0-10.0 mm/jam

VER/HER/KHER/RDW
VER 00.0-100.0 fl 96.5 90.6
HER 26.0-34.0 pg 29.9 28.6
KHER 32.0-36.0 g/dl 31.0 31.5
RDW 11.5-14.5 % 14.7 12.3
HITUNG JENIS
Basofil 0-1 % 0
Eosinofil 1-3 % 3
Netrofil 50-70 % 89 77
Limfosit 20-40 % 9 15
Monosit 2-8 % 3 4
Retikulosit 0,5-1,5 % 0.6
HEMOSTASIS
APTT 29.0-42.0 detik 45.4
Kontrol APTT 37.3
PT 10.4-12.6 detik 14.5
Kontrol PT 12.1
INR 1.23
Fibrinogen 200-400 mg/ml 164
Kontrol fibrnogen 257.0
200-400
D-Dimer < 200 (negatif)
(positif)
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT 0-34 U/l 673 U/l 1222 687
SGPT 0-40 U/l 355 U/l 1104 923
Gamma GT 0.0-30.0 U/l 91.2
Protein total 6.00-8.00 g/dl 7.31
Albumin 3.40-4.80 g/dl 3.84 3.88
Globulin 2.50-3.00 g/dl 3.42
Bilirubin total 0.00-1.00 mg/dl 1.02
Bilirubin direk < 0.2 mg/dl 0.55
Bilirubin indirek < 0.6 mg/dl 0.47
Fosfatase alkali 30-140 IU/l 115
FUNGSI GINJAL
Asam Urat Darah <7 mg/dl 10.0
Ureum Darah 20-40 mg/dl 194 109 140 97
Creatinin Darah 0.6-1.5 mg/dl 13.8 7.4 9.7 7,0
DIABETES
Glukosa sewaktu 70-140 mg/dl 45 102
Gula darah puasa 80-100 mg/dl 114
LEMAK
Trigliserida < 150 mg/dl 195
Kolesterol total < 200 mg/dl 136

7
Kolesterol HDL 27-67 mg/dl 18
Kolesterol LDL < 130 mg/dl 79
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 135-147 mmol/l 149 148 141
Kalium 3.10-5.10 mmol/l 7,3 4.08 4.09
Klorida 95-108 mmol/l 92 111 107
ANALISIS GAS DARAH
pH 7.370-7.440 7.146 7.449
PCO2 35.0-45.0 mmHg 17.8 26.7
PO2 83-108 mmHg 43.8 134.4
HCO3 21-28 mmol/L 6 18.1
Sat O2 95.0-99.0 % 67.5 98.8
BE -2.5-2.5 mmol/L -20.7 -4.2
Total CO2 19.0-24.0mmol/L 6.6 18.9
SERO-IMUNOLOGI
HbA1C 4.5-6.3 % 4.7
HbSAg Negatif (-)
Anti HCV Negatif (+)
Anti HAV Non reaktif Reaktif

Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi Tanggal 11 Februari 2010


Eritrosit : Normositik normokrom
Lekosit : Jumlah & morfologi normal
Trombosit : Jumlah menurun & morfologi normal
Kesan : Anemia normositik normokrom, trombositopenia

B. EKG
Tanggal 08/02/2010

8
Interpretasi :
Sinus rhytm, HR 100 x/menit, normo axis
Gelombang P normal, P-R interval 0,20 s, Kompleks QRS 0,06 s,
ST depresi (-), ST elevasi (-), T inverted (-), Tall T (+)
LVH (+), RVH (-), RBBB (-). LBBB (-)

Tanggal 10/02/2010

Interpretasi :
Sinus rhytm, HR 100 x/menit, normo axis

9
Gelombang P normal, P-R interval 0,20 s, Kompleks QRS 0,06 s,
ST depresi (-), ST elevasi (-), T inverted (-)
LVH (+), RVH (-), RBBB (-). LBBB (-)

C. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Jantung:
Foto thoraks PA 03/02/2010
Ukuran membesar, CTR > 50%
Aorta elengasi
Paru:
Kedua halus tak menebal
Infiltrat di basal paru kanan
Kedua sinus dan diafragma baik
Kesan:
Jantung: kardiomegali dengan
elongasi aorta
Foto thoraks PA 10/02/2010
Pulmo : bronkopneumonia basal paru
Jantung:
kanan
Ukuran membesar ke kiri, CTR > 50%
Apeks membesar
Aorta normal
Paru:
Hilus buram
Corakan bronkovaskular kasar
Terdapat infiltrat suprahiler kanan-kiri
Diafragma dan sinus baik
Kesan:
Jantung: kardiomegali
Pulmo : awal bendungan paru

V. RESUME
Anamnesis tgl 13/2
Pasien laki-laki 43 tahun dibawa oleh keluarga dengan keluhan sesak
semakin memberat sejak 3 hari SMRS, ortopnea (+), dispnea on effort (+),
paroxysmal nocturnal dispnea (+). Lemas (+), jantung berdebar-debar (+).
Pasien juga mengeluh muntah (+) didahului mual, nyeri ulu hati (+), perut
kembung (+), merasa begah (+), dan bila makan cepat merasa kenyang.
Bengkak pada kedua kaki (+). Lima hari SMRS demam terus-menerus,
meningkat perlahan-lahan. Turun dengan obat pennurn panas. Satu minggu

10
SMRS Batuk berdahak (+) sejak warna kuning kehijauan, darah (-), & kontak
TB (-).
Riwayat cuci darah sejak 4 tahun yang lalu, 2 kali per minggu. Riwayat
hipertensi sejak 4 tahun yang lalu, tidak terkontrol Riwayat sering demam tidak
tinggi (+). Riwayat konsumsi NSAID & jamu dalam jangka waktu yang lama
(+), riwayat merokok kretek (+), riwayat minum alcohol (+), riwayat transfusi
darah (+), riwayat batu ginjal (+).
Pemeriksaan fisik tgl 9/2
KU/Kes : TSS/CM TD: 150/ 90 mmHg Nadi: 100 x/ menit, regular, isi
cukup, equal ; Napas: 16 x/ menit, regular, kedalaman cukup ; Suhu: 36,5 C
(axilla). Konjungtiva anemis +/+. Batas-batas jantung melebar ; BJ I & II
regular, murmur (+) sistolik gr 2/6, menjalar (-), gallop S 3(+). Ronkhi +/+ basah
halus di basal. Nyeri tekan (+) epigastrium, hati teraba membesar 1 jari di bawah
arcus costae, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul, nyeri tekan (-)
Edema pitting - -
+ +
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium tgl 8/2-11/2
Kesan: anemia normositik normokrom, leukositosis (netrofilia, limfositopenia),
trombositopenia. Pemanjangan aPTT, PT. D-dimer (+), Peningkatan
SGOT/SGPT. Peningkatan globulin ; bilirubin total ; bilirubin direk.
Peningkatan asam urat darah; ureum; kreatinin. Hipoglikemia. Dislipidemia.
Asidosis metabolik, hiperkalemia. antiHCV(+); antiHAV (+).
EKG tgl 8/2 dan 10/2
Kesan: hiperkalemia, LVH (+)
Foto thoraks tgl 3/2 dan 8/2
Kesan: kardiomegali, bronkopneumonia, awal bendungan paru

VI. DIAGNOSIS KERJA


Chronic Kidney Disease (CKD) stage V on HD kronik dengan komplikasi
Congestive Heart Failure Fc. NYHA III
Anemia normositik normokrom ec CKD
Hipertensi grade II

11
Pneumonia dd TB paru

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


Echokardiografi
USG abdomen
Cek kalsium & fosfat
Sputum BTA 3X, kultur MOR
Feritin serum

VIII. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
- IVFD vemplon saja
- O2 3 lt/menit (jika sesak)
- Diet gnjal 1900 Kkal/hari
- UMU BC (-) 300 cc
- HD minimal 3 L, 2 kali per minggu
Medikamentosa:
- Asam folat 1x3 tab
- B12 3x1 tab
- B6 3x1 tab
- Bicnat 3x2 tab
- CaCO3 3x1tab
- Allopurinol 1x100mg
- Lasix 1x40 mg po
- Captopril 3x25 mg
- Clonidin 3x0,15 mg
- Ceftriaxone 1x2 g iv
- Azytromicin 1x500 mg po

12
- Ambroxol 3xCI
- Fluimucil 3xCI
- Simvastatin 1x10 mg
- Curcuma 3x2 tab
- Kalitake 3x1 sach

IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia
Ad Functionam : Malam
Ad Sanactionam : Malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT GINJAL KRONIK


Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan anagka ini
meningkat sekitar 8% tiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk per tahun.

Definisi
Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National
Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal, atau
penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan.

13
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap berupa, berupa dialisa atau transplantasi ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada
semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal (renal daage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atauu tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan. dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/l,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal
kronik.

Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/mntJl,73m2) = (140 - umur ) X berat badan )
(72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0, 85
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

14
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (Contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit otoimun, infeksi sistemik,obat,
neoplasia)
Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi.,
keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus)
Penyakil recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara
dengan Negara lain.
Tabel 3. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995-
1999)
Penyebab Insiden

15
Diabetes mellitus 44%
- tipe 1 (7%)
- tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstisialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (missal, lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%

Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal yang menjalani Hemodialisa di Indonesia


tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes mellitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhimya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhimya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan

16
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis rennin angiotansin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor f3 (TGF- [3). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve). pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah , mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Pendekatan Diagnostik
Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, seperti yang tertera pada tabel berikut:

17
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, khlorida).

Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

18
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi Dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

19
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan Dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal
dapat dilihat pada gambar 1.

20
Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada CKD

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah:


1. Pembatasan asupan protein.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ~ 60 ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/ hari, yang 0,35 - 0,50 gr di
antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein
dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan
tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion
anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian
diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian,
pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah~asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan_perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan

21
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Tabel 5. Pembatasan asupan protein pada CKD
Menejemen Restriksi Diet Protein Pada CKD
Stadium CKD Protein (g/kg per hari) Fosfat (g/kg per hari)
Stadium 1 dan 2 Restriksi protein tidak Tidak ada restriksi
direkomendasikan
Stadium 3 0,6 g/kg per hari termasuk 10
0,35 g/kg per hari HBV
Stadium 4 dan 5 0,6 g/kg per hari termasuk 10
0,35 g/kg per hari HBV
Atau
0,3 g/kg per hari supplement 9
dengan EAA atau KA
GFR <60mL/min 0,8 g/kg per hari (ditambah 1 12
per 1,73 m2 g protein/g proteinuria)
(sindrom nefrotik) Atau
0,3 g/kg per hari supplement 9
dengan EAA atau KA
(ditambah 1 g protein/g
proteinuria)
Ket: CKD= chronic kidney disease, GFR= glomerular filtration rate, HBV=
high biologic value protein, EAA= essential amino acid supplement, KA=
ketoanalogue supplement.
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologis ditujukan untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi
glomerulus.
Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain

22
derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal.
Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan
oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia
dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik terdapat pada Tabel 8.
Tabel 6. Komplikasi pada penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LFG Komplikasi
(ml/menit)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG 90 -
normal

2 Kerusakan ginjak dengan 60-89 Tekanan darah mulai


penurunan LFG ringan meningkat

3 Penurunan LFG sedang 30-59 Hiperfosfatemia


Hipokalemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi

23
Hiperhomosistinemia
4 Penurunan LFG berat 15-29 Malutrisi
Asidosis metabolic
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia

Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi,
kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit
yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau


hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, serum
iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum),mencari
sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain
sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) mempakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat
perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian
tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan

24
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia
dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dl.

Tabel 7. Penatalaksanaan Anemia pada penyakit Ginjal Kronik


Menejemen koreksi anemia pada CKD

Erythropoietin
Dosis awal : 50-150 unit/kg perminggu IV/SC (1-3x/minggu)
11-12 g/dL
Target Hemoglobin: Peningkatan Hb 1-2 g/dL dalam 4 minggu
Kecepatan Optimal koreksi:
Darbepoetin alfa
Dosis awal : 0,45g/kg diberikan IV tunggal/SC 1x/minggu
0,75g/kg diberikan IV tunggal/SC 1x/2minggu
12 g/dL
Peningkatan 1-2 g/dL dalam 4 minggu
Target Hemoglobin:
Kecepatan Optimal koreksi:
Zat besi
1. Monitor simpanan besi melalui persentase saturasi transferin dan serum feritin
2. Jika deficit besi (Tsat <20%; serum feritin <100g/L), berikan besi 50-100mg
IV 2x/minggu selama 5minggu; jika besi masih rendah, ulangi.
3. Jika besi normal tapi Hb masih tidak adekuat, berikan besi IV seperti diatas;
monitor Hb, TSat, dan feritin.
4. Tunda terapi besi ketika TSat >50% dan/atau feritin >800ng/mL (>800g/L)

Ket: bila koreksi anemia tidak adekuat, pertimbangkan penyebab refraktor seperti
di text atas. Laporan terakhir pada aplasia sel darah merah murni, disarakan untuk
rute IV untuk beberapa formulasi EPO.

Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 2.

25
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3).
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna.
Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia.
Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet
pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam
daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-
800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,
untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan
secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan.
Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan
calcium acetate.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir- akhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga
calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat
baik serta efek samping yang minimal.
d. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi
osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas,
karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna

26
sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate
di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh
karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.

Pembatasan Cairan dan Elektrolit


Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa
air yang keluar melalui insensible water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai
dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500800 ml
ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung
kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3,55,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang
terjadi.

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 mI/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

27
BAB III
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis didapatkan pasien laki-laki 43 tahun dibawa oleh keluarga


dengan keluhan sesak semakin memberat sejak 3 hari SMRS. Dari keluhan sesak
pasien dapat dipikirkan etiologi sesaknya, yaitu gangguan mekanik terhadap
proses ventilasi (obstruksi saluran napas, gangguan pengembangan paru,
gangguan pengembangan dinding dada/difragma); kelemahan pompa napas
(respiratory pump) misal poliomyelitis, penyakit neuromuscular, hiperinflasi,
efusi pleura, pneumotoraks ; peningkatan respiratory drive (hipoksemia, asidosis
metabolik akibat penyakit ginjal, anemia, penurunan curah jantung, dan stimulasi
reseptor intrapulmoner misal pada edem paru, hipertensi pulmoner, infiltrative
lung disease ; ventilasi rugi (wasted ventilation) misal obstruksi pembuluh darah
besar misal emboli paru, vaskulitis pulmoner & destruksi kapiler pada emfisema,
interstitial lung disease; disfungsi psikologik. Dari anamnesis, dapat disingkirkan
etiologi sesak akibat gangguan psikologis, obstruksi saluran napas (asma)
ditunjang dari sesak yang dirasakan pasien tidak disertai bunyi ngik-ngik. Pada
pemeriksaan inspeksi dan palpasi dinding dada, tidak terdapat kelainan dinding
dada & otot pernapasan, maka etiologi sesak akibat kelemahan pompa napas
(respiratory pump) & ventilasi rugi (wasted ventilation )dapat disingkirkan.
Pasien merasakan sesak semakin memberat terutama saat pasien dalam posisi
terlentang dan saat beraktivitas, membaik dengan posisi duduk dan tidur lebih
nyaman menggunakan 2-3 bantal. Saat tidur pasien terkadang terbangun tiba-tiba
karena sesak. Pasien sudah merasa sesak saat berjalan 5-10 meter dan tidak
mampu lagi menaiki tangga. Keluhan sesak pasien yang sesak saat terlentang
(ortopnoe) , beraktivitas (dispnea on effort), dan terbangun malam hari akibat

28
sesak (paroxysmal nocturnal dispnea) menunjukan keluhan khas pada penyakit
gagal jantung. Hal ini pun ditunjang dengan keluhan pasien yang lemas & pada
pemeriksaan fisik terdapat peningkatan nilai JVP, bunyi gallop S3, suara ronkhi,
hepatomegali, dan bengkak pada kedua kaki. Pada foto toraks pun menunjang hal
ini, dengan terlihat gambaran kardiomegali dan awal edem paru, pada EKG
terdapat gambaran hipertrofi ventrikel kiri sehingga hal ini sudah memenuhi
kriteria Framingham untuk mendiagnosis Congestive Heart Failure (CHF).
Stadium CHF pada pasien ini dapat diklasifikasikan pada NYHA III karena
terdapat limitasi aktivitas sehari-hari. Namun, etiologi sesak karena hipoksemia,
asidosis metabolik akibat penyakit ginjal, anemia belum dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda sesak yaitu, nadi 100 x/
menit, regular, isi cukup, equal & napas 16 x/ menit, regular, kedalaman cukup,
tidak ada pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu napas. Hal ini
dikarenakan pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di hari yang
berbeda (keadaan pasien sudah membaik). Namun, pada pemeriksaan
laboratorium, menunjukan penurunan nilai hemoglobin & jumlah eritrosit ;
pergeseran keseimbangan asam-basa ke arah asidosis metabolik sehingga dapat
dipikirkan etiologi sesak pasien bisa juga akibat anemia, yang juga terbukti pada
pemeriksaan fisik pasien adanya konjungtiva anemis. Asidosis metabolik dapat
terjadi pada keadaan tertentu misal, penyakit ginjal, anemia, dan penurunan curah
jantung. Penyakit ginjal dapat dicurigai menjadi penyebab sesak napas pada
pasien, karena dari anamnesis pasien memiliki riwayat cuci darah sejak 4 tahun
yang lalu, 2 kali per minggu pada pasien, menunjukan diagnosis ke arah CKD.
Hal ini ditunjang dengan riwayat konsumsi NSAID & jamu dalam jangka waktu
yang lama (+), riwayat merokok kretek (+), riwayat minum alkohol (+), riwayat
transfusi darah (+), riwayat batu ginjal (+). Anamnesis lainnya yang turut
menunjang yaitu, keluhan lemas, mual, muntah, BAK berkurang, dan kulit terasa
kering. Dari hasil penghitungan laju filtrasi glomerulus (LFG) didapatkan hasil
5,9 mL/min/1,73 m2 sehingga dapat diklasifikasikan pada CKD stage V.
Sedangkan, berdasarkan etiologinya CKD pada pasien ini kemungkinan dapat
klasifikasikan karena adanya penyakit tubulointerstiasial (batu). Kemungkinan

29
etiologi penyakit vaskular (hipertensi) masih dapat dipertimbangkan, mengingat
pasien ini terdiagnosis hipertensi pada saat didiagnosis CKD.
Maka, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium bisa di
ambil diagnosis pada pasien, adanya CKD stage V dengan komplikasi CHF Fc.
NYHA III. Selain itu, didapatkan komplikasi uremia berupa:

Pasien juga mengeluh muntah (+) didahului mual, nyeri ulu hati (+), perut
kembung (+), merasa begah (+), dan bila makan cepat merasa kenyang. Pada
pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium (+). Keadaan ini
disebut sebagai dispepsia fungsional tipe dismotilitas dengan kemungkinan
penyebabnya adalah penyakit sistemik lain (penyakit ginjal kronik). Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan ureum darah (194 mg/dl) dan
peningkatan kreatinin darah (13,8 mg/dl), keadaan ini disebut uremia. Dispepsia
pada pasien ini kemungkinan merupakan salah satu manifestasi klinis uremia pada
CKD stage V.
Pada pasien ini didapatkan juga keluhan lemas (+) dan jantung berdebar-
debar (+). Lemas atau lelah (fatigue) merupakan suatu keadaan dimana jaringan
tidak mendapat oksigen yang cukup (hipoksia). Sedangkan jantung berdebar-

30
debar merupakan salah satu mekanisme kompensasi dari hipoksia. Penyebab
tersering dari keadaan ini adalah anemia. Keadaan ini dapat ditunjang dengan
pemeriksaan fisik yaitu FN: 100 x/menit, RR: 16 x/menit (pada saat pemeriksaan
di ruangan tidak didapatkan takikardi dan takipnea karena keadaan pasien sudah
membaik), konjungtiva pucat +/+ dan murmur (+) sistolik gr 2/6. Anemia
menyebabkan kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah berkurang
(hipoksemia) sehingga terjadi kekurangan oksigen di jaringan (hipoksia) dengan
manifestasi klinis berupa klaudikasio, lemas, lelah, kulit dan membran mukosa
pucat, frekuensi napas meningkat, bingung, serta letargi. Tubuh akan mengadakan
kompensasi terhadap hipoksia jaringan melalui beberapa sistem; (1)
Kardiovaskular, dengan meningkatkan frekuensi nadi, denyut jantung,
vasodilatasi, dan peningkatan volume sekuncup sehingga terjadi sirkulasi
hiperdinamik yang akan terdengar sebagai murmur. Selain itu, kebutuhan jantung
akan oksigen pun meningkat sehingga dapat dirasakan sebagai angina dan
menstimulasi peningkatan produksi eritropoietin di sumsum tulang. (2) Ginjal,
berupa peningkatan respon renin-aldosteron, retensi air dan garam serta
peningkatan cairan ekstraselular. (3) Sel, terjadi peningkatan difosfatilgliserol
yang menyebabkan pelepasan oksigen dari hemoglobin ke jaringan. Diagnosis
anemia berdasarkan WHO bila kadar Hb < 13,5 g/dl dan Ht < 41% pada pria dan
Hb < 12 g/dl dan Ht < 36 % pada wanita. Berdasarkan etiologinya anemia dapat
disebabkan oleh penurunan eritropoiesis, perdarahan, dan peningkatan destruksi
eritrosit. Sedangkan berdasarkan morfologi darah tepi dibagi menjadi anemia
normositik normokrom, anemia mikrositik hipokrom, dan anemia makrositik.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini terdapat penurunan kadar Hb (8,5
g/dl), penurunan kadar Ht (27%), dan penurunan jumlah eritrosit 2,84 juta/ul. Dari
hasil pemeriksaan VER, HER, KHER didapatkan hasil normal, yang berarti
anemia tersebut anemia normositik normokrom dan hasil pemeriksaan morfologi
darah tepi pada pasien ini didapatkan kesan anemia normositik normokrom
dengan hasil retikulosit yang normal. Keadaan ini dapat ditemukan pada 80-90%
pasien dengan CKD. Anemia pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoietin.

31
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg.
Berdasarkan JNC VII 2003, tekanan darah pada pasien ini dapat diklasifisikan
sebagai hipertensi derajat II. Hipertensi yang terjadi pada pasien ini tidak
diketahui apakah merupakan salah satu dasar etiologi CKD yang dialaminya atau
merupakan suatu perburukan dari CKD-nya karena pasien baru mengetahui
hipertensi saat dirinya didiagnosis sakit ginjal yang mengharuskannya untuk cuci
darah 1 minggu 2 kali sejak 4 tahun yang lalu. Bila pada pasien ini, hipetensi
mendahului CKD-nya, dapat diperkirakan proses terjadinya CKD melalui
hipertensi sistemik yang menyebabkan hipertensi glomerulus akibat dari
perubahan lokal pada hemodinamik glomerulus sehingga terjadi kerusakan
glomerulus. Normalnya, ginjal terlindungi dari hipertensi sistemik oleh
mekanisme autoregulasi. Hipertensi sistemik menyebabkan sklerosis dan
vasokonstriksi arteriol yang mengakibatkan sklerosis sekunder dan atrofi pada
glomerulus dan tubulointerstisial. Berbagai faktor pertumbuhan seperti
angiotensin II, EGF, PDGF, dan CSGF, sitokin TGF-, aktivasi berbagai kanal ion
stretch-activated dan respon awal gen terlibat dalam hipertensi terhadap
proliferasi miointima dan sklerosis dinding pembuluh darah. Sebaliknya, bila
hipertensi merupakan suatu perburukan dari CKD-nya, maka proses yang dapat
menjelaskannya adalah hipertensi glomerulus. Hipertensi glomerulus merupakan
mekanisme adaptasi normal pada nefron yang tersisa pada CKD guna
mengoptimalkan fungsi yang tersisa. Keadaan ini meningkatkan produksi matriks
mesangial dan menyebabkan glomerulosklerosis akibat akumulasi Extra Cellular
Matrix (ECM). Proses ini dimediasi oleh terutama TGF-, dengan kontribusi dari
angiotensin II, EGF, PDGF, CSGF, dan endotelin.
Pasien juga mengeluh batuk lima hari SMRS, batuk berdahak, terus
menerus terutama pada malam hari, dahak berwarna kuning kehijauan sebanyak
1 sendok makan, darah (-), keringat malam (-), penurunan berat badan
disangkal, kontak dengan penderita TB disangkal. Demam (+). Keluhan ini belum
diobati. Dari anamnesis tersebut, dapat dipikirkan batuk berdahak mukopurulen
menunjukan adanya kelainan saluran napas bawah. Maka, dapat diperkiraan
penyakit pneumonia dan tuberkulosis. Anamnesis dikonfirmasi dengan
pemeriksaan fisik yang di dapat, ronkhi pada basal paru. Hasil foto toraks

32
didapatkan hasil, infiltrat pada basal paru. Hasil ini masih harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan sputum untuk menyingkirkan diagnosis tuberkulosis.
Pasien mengeluh juga demam yang terus menerus, meningkat perlahan-
lahan, istri pasien mengukur dengan termometer digital (suhu antara 38-38,5 C).
Demam tanpa disertai menggigil, kejang, dan penurunan kesadaran. Demam
membaik bila diberi obat penurun panas, namun pasien tidak tahu nama obatnya.
Hal ini sudah terjadi sejak 2 bulan SMRS. Demam merupakan suatu gejala
diagnosis. Hal ini menunjukan sistem inflamasi tubuh bekerja. Dapat menyertai
berbagai macam penyakit. Dalam kasus ini, demam bisa dikarenakan penyakit
pneumonia; tuberkulosis; infeksi nonspesifik lainnya. Dapat kita lihat hasil lab,
terdapat leukositosis dengan neutrofilia. Maka, bisa diperkirakan demam pada
pasien disebabkan karena infeksi bakteri.
Pemeriksaan anjuran yang diperlukan pada pasien ini adalah
echocardiography untuk mengetahui fungsi jantung lebih lanjut. Pemeriksaan
kadar kalsium serum dan fosfat untuk melihat adanya renal bone disease. USG
abdomen diperlukan untuk melihat kelainan pada renal & hepar. Pemeriksaan
kadar feritin serum untuk mengevaluasi anemia.
Penataksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah:
Chronic Kidney Disease (CKD) stage V on HD kronik dengan komplikasi
Congestive Heart Failure Fc. NYHA III : IVFD vemplon saja, O2 3 lt/menit
(jika sesak), diet gnjal 1900 Kkal/hari, UMU BC (-) 300 cc, HD minimal 3 L, 2
kali per minggu, Asam folat 1x3 tab, B12 3x1 tab, B6 3x1 tab, Bicnat 3x2 tab,
CaCO3 3x1tab, Lasix 1x40 mg po, Captopril 3x25 mg, Clonidin 3x0,15 mg,
Allopurinol 1x100mg (untuk mengatasi hiperurisemia), Simvastatin 1x10
(untuk mengatasi dislipidemia), Kalitake 3x1 sach (untuk mengatasi
hiperkalemia), dan Curcuma 3x2 tab (untuk mengatasi peningkatan enzim
transaminase)
Anemia normositik normokrom ec CKD: Asam folat 1x3 tab dan B12 3x1 tab.
Hipertensi grade II: Captopril 3x25 mg, Clonidin 3x0,15 mg, dan Lasix 1x40
mg po.
Pneumonia dd TB paru: Ceftriaxone 1x2 g iv, Azytromicin 1x500 mg po,
Ambroxol 3xCI, dan Fluimucil 3xCI.

33
Prognosis pada pasien ini adalah: Ad Vitam: dubia, Ad Functionam:
Malam, dan Ad Sanactionam: Malam dengan mempertimbangkan penyakit yang
dialami, komplikasi, serta aktivitas sehari-hari pasien sebagaimana telah
dijelaskan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Editor Sudoyo AW, dkk. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2006. Hal 570-73.
2. Skorecki Karl, Green Jacob, Brenner Barry M. Chronic Renal Failure. In
Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. Kasper, Braunwald, Fauci,
et al, editors. New York: McGraw Hill; 2005. p. 1653-62.
3. McCance K. L, Huether S. E. Pathophysiology The Biologic Basis for Disease
in Adults and Children. 5th Edition. Missori: Elsevier Mosby; 2006.
4. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006.
5. M Sabljar Matovinovic. Pathophysiology and Classificatrion of Kidney
Diseases - eJIFCC 20/01 2009. Cited from: http://www.ifcc.org.
6. Mark A. Perazella. Chronic Kidney Disease: A New Classification and Staging
System. Hospital Physician. March 2003. Cited from: http://turner-white.com.
7. National Kidney Foundation KDOQI Guidelines. Definition and classification
of stages of chronic kidney disease. 2002. Cited from:
http://www.kidney.org/PROFESSIONALS/kdoqi/guidelines_ckd/p4_class_g1.
htm.

34

Anda mungkin juga menyukai