Anda di halaman 1dari 5

DENTAL AMALGAM

A. Epidemiologi
Menurut American Dental Association (ADA) amalgam gigi merupakan paduan
dari merkuri, perak, timah, dan tembaga bersama dengan unsur logam lainnya
ditambahkan untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanik. Amalgam gigi sendiri telah
diterima sebagai bagian dari perawatan gigi selama lebih dari 170 tahun. Bedasarkan
pendapat dari Mackert dan Wahl (2004) didapatkan laporan bahwa lebih dari 75%
dari dokter gigi di Amerika Serikat yang disurvei pada tahun 2001 menggunakan
restorasi amalgam untuk gigi.
ADA mensajikan perkiraan terbaru bahwa terdapat lebih dari 70 juta restorasi
amalgam gigi telah digunakan di Amerika Serikat. Pada tahun 1999, sekitar 60% dari
restorasi Kelas I dan cacat II di Amerika Serikat menggunakan tumapatan amalgam.
Persentase ini lebih tinggi di negara berkembang. Selain alasan mudah, amalgam gigi
relatif murah dibandingkan dengan kebanyakan bahan lain yang digunakan dalam
perawatan gigi, dan memiliki umur panjang (restorasi amalgam gigi relatif tinggi).
Amalgam gigi mudah untuk ditempatkan, memiliki creep rendah, kekuatan tekan
tinggi dan resistensi yang tinggi untuk pemakaian, dan hasil perubahan dimensi yang
minimal.
Penambalan gigi dengan amalgam yang berbahan merkuri sudah ratusan tahun
digunakan. Namun dalam beberapa tahun terakhir amalgam diduga berpotensi
membuat orang terkena racun merkuri. Berbahaya atau tidak, pengaruh merkuri atau
air raksa yang terkandung dalam bahan tambal amalgam masih dalam suasana pro
dan kontra. Ada yang masih mendukung penggunaan amalgam, namun tidak sedikit
pula yang sudah berangsurangsur meninggalkan bahan tambal amalgam ini. Yang
jelas hingga saat ini belum ada pihak yang membuktikan dampak bahaya dari
amalgam. Pihak Food and Drug Administration (FDA) Amerika juga mengatakan
amalgam aman karena kadar merkuri yang digunakan rendah.Campuran zat yang
mengandung merkuri itu dinilai hampir ideal dalam mengembalikan fungsi gigi
karena pemasangannya yang mudah, meminimalkan perubahan yang terjadi serta
memiliki kekuatan tekanan (daya tahan terhadap tekanan) yang tinggi sehingga
lebih awet dapat bertahan selama 5-10 tahun, ekonomis, memiliki masa kadaluarsa
yang panjang dan teknik manipulasinya yang mudah.
Bahan tambal amalgam sering digunakan pada tambalan gigi posterior pasien
dewasa dan anak. Hanya saja banyak kontrovesi yang terjadi dikalangan tenaga medis
terkait dengan keamananan amalgam terutama kandungan merkuri yang berbahaya
bagi tubuh pasien dan berpengaruh dalam jangka waktu lama. Toksisitas amalgam
menjadi salah satu alasan banyak ternaga medis dokter gigi mulai meninggalkan
amalgam. Merkuri adalah satu-satunya jenis logam yang berbentuk cair. Merkuri
bersifat toksik sehingga berbahaya apabila masuk ke dalam tubuh manusia.
Keracunan dapat terjadi apabila merkuri terhirup, termakan, disuntikkan, atau
terserap lewat permukaan kulit. Keracunan merkuri dapat mengakibatkan kerusakan
pada sistem saraf (Bryson, 1989), pencernaan, dan ginjal (Carson dkk., 1987). Pada
wanita hamil, merkuri dapat melewati plasenta dan mencapai janin, dimana janin
lebih mudah terkena efek samping merkuri daripada orang dewasa (WHO, 2001).
Pliny memperkenalkan penggunaan merkuri sebagai bahan campur amalgam
(WHO, 1995). Merkuri dapat digolongkan sebagai merkuri organik dan anorganik
(Alfian, 2006)

Organik Anorganik
Senyawa alkil merkuri
(CH3HgCl)
Logam Hg0
Senyawa aril merkuri
Garam merkurous (Hg2Cl2)
(C6H5HgCl)
Garam merkurik (HgCl2)
Senyawa alkoksiaril merkuri
(CH3OCH2HgCl)
Merkuri anorganik terdiri dari unsur raksa dan garam merkurous dan merkurik
yang terurai. Merkuri yanag bersifat molekul dan terikat dengan atom karbon disebut
dengan merkuri organic. Rantai pendek merkuri alkil, aril, dan alkoksialkil termasuk
dalam kumpulan ini. Ikatan merkuri karbon adalah stabil karena aktivitas merkuri
yang rendah terhadap oksigen (Alfian, 2006).
B. Mekanisme Keracunan

C. Manifestasi
Dental amalgam adalah alloy yang mengandung campuran logam salah satunya
merkuri. Pelepasan merkuri dapat terjadi selama insersi, kondensasi, dan karving
amalgam atau dapat juga terjadi saat proses pengunyahan makanan. Merkuri
merupakan sensitizer lemah dan apabila kontak dengan garam sebagai ammonium
chloride dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau dermatitis kontak.
Dermatitis kontak adalah inflamasi lokal pada kulit akibat kontak langsung dari
material yang ditandai dengan adanya kemerahan, gatal, nyeri, urtikaria. Pada
intraoral dapat terjadi kemerahan, pembengkakan mukosa, sensasi terbakar, oozing
eczema atau erosi pada area yang kontak langsung dengan restorasi amalgam (Bains,
2012). Selain itu juga dapat disertai dengan adanya lesi berpigmen yaitu tato
amalgam. Tato amalgam tampak berupa pewarnaan yang tidak menonjol, berwarna
abu-abu gelap hingga biru kehitaman, biasanya bentuknya tidak teratur dengan
ukuran yang bervariasi (Langlais, 2015).
Tampilan klinis lain yang biasanya ditemui yaitu oral lichenoid lesions yang
menyerupai oral lichen planus, dan sering kali menyulitkan dalam menegakan
diagnosa yang kemudian berefek pada perawatannya. Keduanya memiliki tampilan
yang hampir sama berupa patch putih retikular, papul, plak baik dengan maupun
tanpa erosi atau ulserasi. Oral lichenoid lesions akibat hipersensitivitas dental
amalgam biasanya terjadi unilateral, tidak simetri, dan seringnya terjadi pada mukosa
bukal atau tepi lidah di dekat gigi dengan restorasi amalgam, sedangkan oral lichen
planus terjadi karena autoimun yang dapat terjadi pada mukosa, lidah, palatum,
gingiva, dasar mulut dan biasanya bilateral serta simetris. Selain itu oral lichen planus
biasanya menjadi salah satu manifestasi penyakit imun (Langlais, 2015; McParland
dan Warnakulasuriya, 2012).

D. Tatalaksana
Keracunan merkuri dapat bersifat aku dan bersfat kronik. Tatalaksana
keracunan merkuri dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
1. Keracunan Akut
Keracunan akut terjadi akibat pajanan jangka pendek uap/ debu pada
merkuri konsentrasi tinggi. Keracunan akut merkuri elemental (amalgam)
dapat menyebabkan penyakit acute interstitial pneuomonitis, bronchitis, dan
bronkholitis. Penyakit ini dapat disertai dengan gejala sulit bernafas, batuk,
rasa logam, nyeri abdomen, serta albuminuria. Setelah 3-4 hari, kelenjar saliva
bengkaak, gingivitis, dan timbul garis merkuri (Suyono, 2000).
Penatalaksanaan dekontaminasi dapat dilakukan cuci lambung, serta
dapat ditambahkan susu dalam cairan cuci lambung. Jika merkuri terdapat
dalam usus besar selama lebih dari 2 jam dilakukan irigasi usus. Diberikan
obat-obatan berupa dimercaptosuccinic acid (DMSA) dan dimercaprol (BAL)
atau d-Penicillamine untuk keracunan merkuri anorganik dan elemental.
Pemberian dimercaprol diberikan secara intarmuskular 1-2 jam pasca
keracunan untuk mempercepat pengeluaran kompleks merkuri. Prognosis
pada keracunan akut jika ditangani dengan tepat <2 jam maka prognosisnya
baik (William et al, 2000).
2. Keracunan Kronik
Keracunan kronik dapat terjadi akibat pajanan merkuri melalui
inhalasi dan dapat diperberat melalui absorpsi kulit. Gejala timbul beberapa
minggu-tahun setelah pajanan. Pajanan rendah akan menimbulkan gejala
patoneurologik/ patopsikologik, berupa tremor, parkinsonism, dan demensia.
Pada pajanan tinggi dapat menyebabkan gangguan berupa stomatitis,
neuropati perifer, gastroenteritis, dan system respirasi. Diagnosis keracunan
dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai efek yang
ditimbulkan. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk melihat kadar merkuri
dalam darah.
Penatalaksaan pada keracunan kronik dapat diatasi dengan
memberikan obat-obatan berupa metalik elemen DMSA atau penisilamine dan
dimercaprol. Pada dermatitis lokal dapat diberikan kortikosteroid topikal.
Silicone polimer dan dimethaosne dapat diberikan untuk kulit yang sensitif
terhadap merkuri pada amalgam. Selain itu, pemberian glukokortikoid
(clobestol proprionate) dapat diberikan untuk mengatasi keracunan atau alergi
pada merkuri yang disebabkan karena amalgam pada perawatan restorasi gigi
(William et al, 2000).

Daftar pustaka

ADA, 2003, Council on Scientific Affairs, Dental Mercury Hygiene


Recommendations, J Am Dent Assoc, 134: 9-1498.
Alfian, Z., 2006, Merkuri: Antara Manfaat Dan Efek Penggunaanya Bagi Kesehatan
Manusia Dan Lingkungan, Fakultas MIPA Universitas Sumatra Utara, Medan.
Bains, R., Loomba, K., Loomba, A., 2012, Allergy to Mercury from Dental
Amalgam: A Case Report, Asian Journal of Oral Health and Allied Sciences,
Vol. 2(2): 91-93.

Bryson, D. P., 1989, Comprehensive Review in Toxicology 2 nd Ed., an Aspen


Publication: Maryland. p. 501-508.

Carson, L. B., Harry V. E. III, Jayy L. Mc C., 1987, Toxicology and Biological
Monitoring of Metals in Humans, including Feasibility and Need, Lewis
Publishers Inc. p. 150-155.
Langlais, R. P., Miller, C. S., Nield-Gehrig, J. S., 2015, Atlas Berwarna Lesi Mulut
yang Sering Ditemukan, Edisi 4, EGC: Jakarta.

Mackert, JR. Jr., Wahl M. J., 2004, Are There Acceptable Alternatives To
Amalgam?, J Calif Dent Assoc., 32(7):10-601.
McParland, H., Warnakulasuriya, S., 2012, Oral Lichenoid Contact Lesions to
Mercury and Dental Amalgam-A Review, Journal of Biomedicine and
Biotechnology, Hindawi Publishing Corporation.

William, P. L., et all, 2000, Principles of Toxicology, Environmental and Industrial


Aplications, second edition, New York.

World Health Organization, 1995, Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja, Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta. h. 80-85.
World Health Organization, 2001, Environmental HealthCriteria 118, Inorganic
Mercury, IPCS: Geneva.

Anda mungkin juga menyukai