Anda di halaman 1dari 47

CASE REPORT

P2A0 PP diluar RS 3 jam yang lalu + Manual Plasenta a/i Retensio


Plasenta + Insersi IUD + Malaria Vivax

Oleh :
DITA EVITA HERSAFITRI
1102012069

Dokter Pembimbing:
dr. Dhanny Primantara Johan Santoso Sp.OG

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD DR. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
Periode 19 September- 25 November 2016

1
IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Atin


Umur : 25 tahun
Alamat : Cibatu
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Medrek : 891545
MRS : 04 Oktober 2016
KRS : 11 Oktober 2016
Jam Masuk : 08.05
Nama Suami : Tn. Indra
Umur Suami : 23 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh

ANAMNESIS
Dikirim oleh : Bidan
Sifat : Rujukan
Keterangan :-

ANAMNESA (SUBYEKTIF)
Keluhan utama : Plasenta belum keluar
Anamnesa khusus : P2A0 Perempuan telah melahirkan di luar RS dibantu oleh bidan 4 jam
yang lalu. OS mengaku plasenta belum keluar setelah ditunggu 30 menit
sehingga bidan memutuskan dirujuk ke RSUD dr Slamet. Perdarahan dari
jalan lahir banyak, sudah ganti pampers 3 kali sejak 4 jam yang lalu OS
merasa pusing dan lemas. OS datang dalam keadaan demam dan
menggigil.

2
Demam dirasakan sejak 1 mg terakhir. Demam hilang timbul dan disertai
dengan menggigil dan berkeringat. Riwayat perjalanan dari daerah lain
diakui sebulan yang lalu pasien menengok keluarga yang sakit di daerah
Pamengpeuk, riwayat keluarga yang mengalami keluhan serupa disangkal.

RIWAYAT OBSTETRI
Cara Cara
Kehamila Tempa Penolon BB Jenis
Kehamila Persalina Usia Keadaan
n ke t g Lahir Kelamin
n n
2900g
II Rumah Bidan Aterm Spontan Laki-laki 1,5 th H
r
3000g
III Rumah Bidan Aterm Spontan Laki-laki 4 jam H
r

KETERANGAN TAMBAHAN
Menikah pertama kali : 21 tahun, SMA, IRT
21 tahun, SMA, Buruh
HPHT : 30 Desember 2015 Siklus: Teratur Lama: 7 hari
Darah: biasa Nyeri: Ya
Menarche : 12 tahun
Taksiran Persalinan : 06 Oktober 2016
Kontrasepsi terakhir : Suntik 3 bulan sejak tahun 2015-2015
: Alasan berhenti KB: karena ada keluhan benjolan di payudara
PNC : Bidan
: Jumlah kunjungan 7 kali.
: Terakhir PNC 3 hari yang lalu
Keluhan selama hamil: -
Riwayat penyakit :-

STATUS PRAESENS
Keadaan Umum : CM
Tensi: 70/50 mmHg N: 110x/mnt R: 22x/mnt S: 38,90C

3
Kepala : Conjuctiva: anemis +/+ Sklera: ikterik -/-
Leher : Tiroid: tidak ada kelainan. KGB: tidak ada kelainan
Thorak : Jantung : BJ I & II murni reguler, G(-), M(-)
Paru : VBS kanan=kiri, Rh(-), Wh(-)
Abdomen : BU (+) NT(-) datar lembut
Hepar: dalam batas normal
Lien : dalam batas normal
Ekstremitas : Edema: -/- Varises: -

STATUS GINEKOLOGI
PEMERIKSAAN LUAR
Inspeksi : Fluksus (+) tampak tali pusat
Palpasi : Fundus Uteri Sepusar
Perkusi/Auskultasi : Dalam batas normal

PEMERIKSAAN DALAM
Vulva : tampak tali pusat
Vagina : tampak tali pusat
Portio : Tebal lunak
OUE : 2 jari sempit
Corpus Uteri : tidak ada kelaianan
Parametrium Kiri : tidak ada kelaianan
Parametrium Kanan : tidak ada kelaianan
Cavum Douglas : tidak ada kelaianan

DIAGNOSIS
P2A0 Post Partum 4 jam di luar RS + Retensio Plasenta + Febris

RENCANA PENGELOLAAN
- Rencana Manual Plasenta
- Infus Ringer Laktat 500 cc labu I guyur, berikutnya 20 tpm
- Observasi KU, TTV, Perdarahan, beri O2

4
- Informed Consent
- Pasang DC
- Cek hematologi rutin, SHDT Malaria
- Transfusi bila Hb <8 gr/dl
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Motivasi KB: Pasien setuju untuk dipasang IUD

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Tanggal 04 Oktober 2016 jam 08.26
Hematologi
Preparat Malaria : POSITIF
STADIUM SCHIZONT, PLASMODIUM VIVAX
Darah Rutin
Hemoglobin : 8,7 g/dL (12,0 16,0)
Hematokrit : 27% (35 47)
Leukosit : 24.810/mm3 (3.800 10.600)
Trombosit : 297.000/mm3 (150.000 440.000)
Eritrosit : 3,71 juta/mm3 (3,6 5,8)
Hitung Jenis Leukosit
Basofil :0 (0 1)
Eosinofil :0 (1 6)
Batang :0 (3 5)
Netrofil : 88 (50 70)
Limfosit :7 (30 45)
Monosit :5 (2 10)

Tanggal 04 Oktober 2016 jam 17.10


Kimia Klinik
AST (SGOT) : 8,7 g/dL (s/d 31)
ALT (SGPT) : 27% (s/d 31)
Ureum : 24.810/mm3 (15 50)

5
Kreatinin : 1,1 (0,5 1,3)
Glukosa Darah Sewaktu : 64 < 140
Elektrolit
Natrium : 131 (135 145)
Kalium : 5,4 (3,6 3,5)
Klorida : 97 (98 108)
Kalsium : 4,49 (4,7 3,2)

Tanggal 05 Oktober 2016 jam 06.08


Darah Rutin
Hemoglobin : 6,0 g/dL (12,0 16,0)
Hematokrit : 19% (35 47)
Leukosit : 15.050/mm3 (3.800 10.600)
Trombosit : 168.000/mm3 (150.000 440.000)
Eritrosit : 2,48 juta/mm3 (3,6 5,8)

Tanggal 06 Oktober 2016 jam 05.41


Darah Rutin
Hemoglobin : 6,8 g/dL (12,0 16,0)
Hematokrit : 21% (35 47)
Leukosit : 9.870/mm3 (3.800 10.600)
Trombosit : 176.000/mm3 (150.000 440.000)
Eritrosit : 2,64 juta/mm3 (3,6 5,8)
Hematologi
Preparat Malaria : POSITIF
PLASMODIUM VIVAX

Tanggal 06 Oktober 2016 jam 16.16


Darah Rutin
Hemoglobin : 6,2 g/dL (12,0 16,0)
Eritrosit : 2,53 juta/mm3 (4,20 5,40)
Tanggal 07 Oktober 2016 jam 06.33
Darah Rutin
Hemoglobin : 8,3 g/dL (12,0 16,0)
Hematokrit : 26% (35 47)
Leukosit : 9.030/mm3 (3.800 10.600)
Trombosit : 199.000/mm3 (150.000 440.000)
Eritrosit : 3,14 juta/mm3 (3,6 5,8)

6
Tanggal 10 Oktober 2016 jam 09.52
Hematologi
Preparat Malaria : NEGATIF

LAPORAN PERSALINAN KALA III


4 Oktober 2016
Jam 10.05 : TFU sepusat
PD : V/V : tampak tali pusat
Portio : tebal lunak
Pembukaan : 3 cm
Jam 10.10 : Dilakukan manual plasenta berat 500 gr dilakukan eksplorasi
kesan lengkap
KU PP : - TFU 2 jari dibawah pusat
- Kontraksi uterus baik
- Perineum hect -/IV
- Perdarahan 150 cc
Jam 10.20 : Di pasang IUD

Kesimpulan (Diagnosa Akhir) : P2A0 post partum diluar RS + Manual plasenta a/i
Retensio Plasenta +Insersi IUD + Malaria Vivax

Follow Up
Tanggal Catatan Instruksi

7
5 Oktober 2016 S/ Mules-mules, panas (+), lemas (+), pusing P/
(+) Infus Ringer Laktat 500 cc 20tpm
Cefotaxime 2 x 1 gr/ IV
Metronidazole 3 x 500 mg/ IV
O/ Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n
KU: CM SF 1 x 1
TD: 100/60 mmHg
N: 112 x/menit
R: 20 x/menit
S: 37,8 C

Mata: Ca +/+ Si -/-


ASI: (-/-)
Abdomen: datar lembut
TFU: Sepusar
Lokhia: +
BAB/BAK: -/+
A/

P2A0 post partum diluar RS + Manual Plasenta


a/i Retensio Plasenta + Insersi IUD+ Malaria
Vivax+ Anemia

Tanggal Catatan Instruksi

8
6 Oktober 2016 S/ - P/
O/ Infus Ringer Laktat 500 cc 20tpm
KU: CM Cefotaxime 2 x 1 gr/ IV
Metronidazole 3 x 500 mg/IV
TD: 110/60 mmHg Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n
N: 90 x/menit SF 1 x 1
Konsul IPD
R: 18 x/menit
S: 37,5 C
Mata: Ca +/+ Si -/-
ASI: (-/-)
Abdomen: datar lembut
TFU: Sepusar
Lokhia: +
BAB/BAK: -/+
A/
P2A0 post partum diluar RS + Manual Plasenta a/i
Retensio Plasenta + Insersi IUD+ Malaria Vivax+
Anemia
P/
7 Oktober 2016 S/ - Infus Ringer Laktat 500 cc 20tpm
O/ Cefotaxime 2 x 1 gr/ IV
Metronidazole 3 x 500 mg/IV
KU: CM
SF 1 x 1
TD: 120/70 mmHg Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n
N: 84 x/menit Breast Care
D-Artepp 3x1 tab selama 3 hari
R: 18 x/menit
S: 37,5 C

Mata: Ca +/+ Si -/-


ASI: (+/+)
Abdomen: datar lembut
TFU: 1 jari dibawah pusar
Lokhia: +
P/
BAB/BAK: -/+
Infus Ringer Laktat 500 cc 20tpm
A/ Cefotaxime 2 x 1 gr/ IV
P2A0 post partum diluar RS + Manual Plasenta a/i Metronidazole 3 x 500 mg/IV

9
Retensio Plasenta + Insersi IUD+ Malaria Vivax+ Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n
Anemia SF 1 x 1
D-Artepp 3x1 tab (hari ke-2)

8 Oktober 2016 S/ -
O/ KU: CM
TD: 110/70 mmHg
N: 80 x/menit
R: 18 x/menit
S: 36,5 C
Mata: Ca +/+ Si -/-
ASI: (+/+)
Abdomen: datar lembut
TFU: 3 jari dibawah pusar
Lokhia: + Coklat, sedikit
BAB/BAK: +/+ P/
A/ Infus Ringer Laktat 500 cc 20tpm
Cefotaxime 2 x 1 gr/ IV
P2A0 post partum diluar RS + Manual Plasenta a/i
Metronidazole 3 x 500 mg/IV
Retensio Plasenta + Insersi IUD+ Malaria Vivax+ Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n
Anemia SF 1 x 1
D-Artepp 3x1 tab (hari ke-3)
Konsul IPD
9 Oktober 2016 S/ -
O/
KU: CM
TD: 110/70 mmHg
N: 80 x/menit
R: 16 x/menit
S: 36,5 C
Mata: Ca +/+ Si -/-
ASI: (+/+)
Abdomen: datar lembut
P/
TFU: 3 jari dibawah pusar
Infus Ringer Laktat 500 cc 20tpm
Lokhia: + Coklat Sedikit Cefotaxime 2 x 1 gr/ IV
BAB/BAK: +/+ Metronidazole 3 x 500 mg/IV
Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n
A/

10
P2A0 post partum diluar RS + Manual Plasenta a/i SF 1 x 1
Retensio Plasenta + Insersi IUD+ Malaria Vivax+ Cek ulang Malaria, jika negative
Anemia BLPL

10 Oktober 2016 S/ -
O/
KU: CM
TD: 120/80 mmHg
N: 84 x/menit
R: 20 x/menit
S: 36,5 C
P/

Mata: Ca +/+ Si -/- Infus Ringer Laktat 500 cc 20tpm


Cefotaxime 2 x 1 gr/ IV
ASI: (+/+) Metronidazole 3 x 500 mg/IV
Abdomen: datar lembut Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n
SF 1 x 1
TFU: Sepusar
Lokhia: + sedikit
BAB/BAK: +/+
A/
P2A0 post partum diluar RS + Manual Plasenta a/i
Retensio Plasenta + Insersi IUD+ Malaria Vivax+
Anemia

11 Oktober 2016 S/ -
O/
KU: CM
TD: 110/70 mmHg
N: 80 x/menit
R: 18 x/menit
S: 36,5 C

Mata: Ca +/+ Si -/-


ASI: (+/+)
Abdomen: datar lembut

11
TFU: Sepusar
Lokhia: Rubra
BAB/BAK: -/+
A/
P2A0 post partum diluar RS + Manual Plasenta a/i
Retensio Plasenta + Insersi IUD+ Malaria Vivax+
Anemia

12
PERMASALAHAN

1. Bagaimana penegakkan diagnosis pada kasus ini?


Diagnosis : P2A0 PP diluar RS 4 jam yang lalu + Manual Plasenta a/i Retensio Plasenta
+ Insersi IUD + Malaria Vivax
Pada anamnesis:
- Pasien baru melahirkan di bidan 4 jam yang lalu dirujuk karena plasenta belum keluar
setelah ditunggu 30 menit Retensio Plasenta
- Pada anamnesis pasien mengeluh menggigil sejak 1 mg terakhir disertai dengan demam,
riwayat bepergian ke daerah endemis diakui (Pamengpeuk) Trias Malaria sehingga
dilakukan pemeriksaan SHDT
- Dari anamnesis pasien mengaku perdarahan banyak dari jalan lahir ( 3 x ganti pampers
sejak 4 jam yang lalu) Perdarahan massive dari jalan lahir
Pada pemeriksaan fisik:
- Suhu > 39,5oC demam dan mengigil
- Konjungtiva pasien anemis Menandakan terjadi anemia pada pasien
- Gejala klasik malaria khas terdiri dari 3 stadium yang berurutan, yaitu menggigil (15-60
menit), demam (2-6 jam), berkeringat (2-4 jam).
- TTV: TD: 70/50 N: 110 R: 20 S: 39,5
- Inspeksi : Perdarahan massive massif dari jalan lahir
Pemeriksaan Lab:
- Hematologi Rutin : Hb: 8,7 ; Leukosit : 24.810; Neutrofil: 88 ; Limfosit : 7 ; GDS : 64
- SHDT : Positif Malaria Vivax Stadium Schizont
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab, diagnosis sudah benar.

2. Apakah pengelolaan kasus ini sudah tepat?


Rencana pengelolaan pada pasien:
Infus RL 500 cc guyur pasang 2 line
Observasi KU, TTV, Perdarahan
R/ Manual Plasenta
Obat malaria dihidroartemisin + piperaquine phosphate (D-artepp)
Pemberian antibiotik post manual plasenta untuk profilaksis
- Pengelolaan pasien ini sudah tepat, karena tatalaksana pada retensio plasenta adalah
manual plasenta. Pada pasien ini dilakukan manual plasenta
- Pengelolaan pada perdarahan massive diberi infus RL 2 line dan di guyur, pasang O2
kemudian dipantau TTV tiap 15 menit

13
- Karena pemeriksaan SHDT positif malaria vivax maka dikonsulkan ke bagian IPD untuk
mendapatkan penatalaksanaan lebih lanjut
- Pada pasien ini diberikan antibiotik profilaksis berupa metronidazole dan cefotaxime
- Perbaikan KU dengan transfusi darah 3 labu untuk menaikkan Hb

3. Bagaimanakah prognosis pada pasien ini?


Quo ad vitam pada pasien ini ad bonam karena setelah dilakukan terapi berupa
pemberian obat malaria D-Artepp kemudian dicek ulang hematologi parasit malaria
negatif
Quo ad functionam pasien ini untuk fungsi reproduksi ad bonam. Plasenta keluar utuh
setelah dilakukan manual plasenta, perdarahan dapat diatasi.

Pada kasus prognosis baik karena telah dilakukan tatalaksana untuk menstabilkan
keadaan umum. Diberikan infus cairan kristaloid untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang akibat dari perdarahan. Kemudian dilakukan penatalaksaan untuk malaria dan
anemia dengan memberikan transfusi dan obat malaria D-artepp untuk mencegah
komplikasi. Fungsi reproduksi baik, karena tidak dilakukan histerektomi, hanya dilakukan
tindakan manual plasenta untuk mengeluarkan bayi.

PEMBAHASAN

RETENSIO PLASENTA

14
I. DEFINISI

Retensio plasenta merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin
lahir. Sedangkan sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim
yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau
perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10
hari pasca persalinan.
Retensio plasenta didiagnosis ketika seorang wanita tidak dapat mengeluarkan plasenta
dalam waktu 30 menit setelah manajemen aktif kala III dan satu jam setelah ketiga tahap
persalinan fisiologis. Retensio plasenta merupakan penyulit dari 1-2% persalinan dan kejadian
ini jauh lebih tinggi pada kelahiran prematur. Dalam banyak kasus retensio plasenta dikaitkan
dengan perdarahan pasca persalinan dan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas ibu
yang signifikan. Penggunaan profilaksis oxytocin mengurangi durasi kala III dibandingkan
dengan manajemen fisiologis, tetapi tidak ada perbedaan dalam jumlah yang memerlukan
pengeluaran manual. Angka kejadian dari retensio plasenta lebih besar saat ergometrine
digunakan dibandingkan dengan oksitosin 5 atau 10 unit.

II. JENIS RETENSIO PLASENTA


a. Plasenta Adhesiva: Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkanb kegagalah mekanisme perpisahan fisiologis. Terkait dengan riwayat
operasi caesar sebelumnya atau operasi rahim.
- Plasenta Akreta: Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium
- Plasenta Inkreta: Implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki
miometrium, tapi tidak menembus serosa uterus
- Plasenta Perkreta : Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa
dinding uterus hingga ke peritonium .
b. Plasenta Inkarserata : Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh
konstriksi ostium uteri.

15
Gambar 1. Jenis Retensio Plasenta

Pasien dengan kala III lama memiliki alasan untuk terjadi retensio plasenta dan karena itu
mungkin memerlukan manajemen yang berbeda.

Gejala Akreta parsial Inkarserata Akreta

Konsistensi uterus Kenyal Keras Cukup

Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat

Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid

Perdarahan Sedang- banyak Sedang Sedikit/ tidak ada

Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur

Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka

Pelepasan Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya


plasenta

Syok Sering Jarang Jarang sekali, kecuali


akibat inversio oleh
tarikan kuat pada tali
pusat

Tabel 1. Identifikasi jenis retensio plasenta dan gambaran klinisnya

16
III. FAKTOR PREDISPOSISI

Perlengketan plasenta yang abnormal terjadi apabila pembentukan desidua terganggu.


Keadaan-keadaan tersebut mencakup implantasi di segmen bawah rahim (plasenta previa), di
atas jaringan parut SC atau insisi uterus lainnya; atau setelah kuretase uterus dan multiparitas,
kelahiran preterm, serta induksi persalinan.

1 Plasenta previa diidentifikasi pada sepertiga kehamilan yang terkena

2 Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea

3 Hampir seperempat pernah menjalani kuretase

4 Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih

IV. MEKANISME KALA III

Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta
dan selaput ketuban.Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase
kontraksi. Segera setelah bayi lahir, tinggi fundus uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan.
Selama uterus tetap kencang dan tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan
waspada sampai plasenta terlepas biasa dilakukan. Jangan lakukan masase; tangan hanya
diletakkan di atas fundus untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan terisi
darah dan menggelembung di belakang plasenta yang sudah terlepas.2

17
Gambar 2. Brandt-Andrews

Setelah lahirnya plasenta, hal ini umum dilakukan (walaupun tidak diaplikasikan pada
seluruh kasus) untuk memberikan oksitosin. Sebelumnya, diberikan 5-10 IU IV setelah 5 menit
untuk mengurangi perdarahan. Kini, lebih sering diberikan 20 IU oksitosin dalam 1000 cc
larutan IV 125-250 cc perjam.

Pencegahan resiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat proses perpisahan
dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera setelah bayi lahir ( untuk
mencegah retensio plasenta dapat disuntikkan 0,2 mg methergin i.v. atau 10 IU pitosin i.m.
waktu bahu bayi lahir, dan melakukan penegangan tali pusat terkendali. Usaha ini disebut juga
penatalaksanaan aktif kala III.

Manajemen aktif kala III yaitu :


1 Menyuntikkan oksitosin
- Pastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus.
- Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.
- Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10 unit IM
pada 1/3 bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis). Jika oksitosin tidak
tersedia, minta ibu untuk melakukan stimulasi puting susu atau menganjurkan ibu
untuk menyusukan dengan segera.
- Jangan memberikan ergometrin karena menyebabkan kontraksi tonik uterus yang
dapat menghambat ekspulsi plasenta.

2 Melakukan peregangan tali pusat terkendali;


- Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva.
- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di atas
simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus pada saat
melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat,
tegangkan tali pusat dengan satu tangan yang lain menekan uterus ke arah dorso-
kranial. Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio uteri.
- Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali (sekitar 2
atau 3 menit berselang) untuk mengulangi penegangan tali pusat terkendali.

3 Melahirkan Plasenta

18
- Upayakan tali pusat tetap kencang dan lakukan dorongan ringan dan melepas
pegangan secara bergantian pada korpus uteri apabila juluran tali pusat bertambah
panjang
- Lakukan gerakan ini berulang kali hingga plasenta tampak pada vulva.
Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan
kembali klem hingga berjarak 5-10 cm dari vulva dan ulangi kedua
langkah diatas
Bila plasenta belum lahir 30 menit setelah bayi lahir, lakukan upaya
berikut
Plasenta Manual
Rujuk apabila tidak tersedia sumberdaya yang memadai
Histerektomi (plasenta akreta, inkreta atau perkreta)
- Saat terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali pusat ke
atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk diletakkan dalam wadah
secara lembut, lalu lahirkan selaput ketuban secara perlahan.
(Bila selaput ketuban robek, gunakan klem untuk menarik sisa selaput amnion)
- Periksa kelengkapan plasenta (lakukan tindakan eksplorasi upaya yang sesuai
apabila ada indikasi plasenta tidak lahir lengkap).
Jika plasenta belum lahir dalam 15 menit, berikan 10 IU oksitosin IM dosis kedua.

4 Masase fundus uteri segera setelah lahir


- Segera setelah plasenta lahir, lakukan pijatan ringan pada uterus dengan
menggosok permukaan depan uterus secara sirkuler dengan telapak atau jari-jari
tangan sehingga kontraksi berlangsung baik (teraba keras).
(Bila terjadi perdarahan, perbaiki kontraksi dan segera eksplorasi untuk
mengetahui penyebab perdarahan serta lakukan tindakan yang sesuai (penjahitan
laserasi, kompresi bimanual dan aorta, ligase arteri uterine atau histerektomi)
- Masukkan plasenta ke dalam kantong plastic yang tersedia.

V. PATOGENESIS

Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu 30 menit tidak selalu jelas, tetapi
tampaknya cukup sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak adekuat. Namun, uterus
tidak harus mengalami distensi selama kala III hingga menyebabkan kontraksi yang tidak

19
adekuat. Distensi sebelum kelahiran bayi, seperti pada kehamilan ganda dan polihidramnion,
juga mempengaruhi kemampuan rahim untuk berkontraksi secara efisien setelah kelahiran bayi,
dan dengan demikian keduanya menjadi faktor risiko lain untuk perdarahan postpartum karena
atonia.

Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi, baik karena
penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang sedikit (tipis) atau tidak ada
sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau
total, sehingga tidak terdapat garis pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua.
Akibatnya, satu atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke
miometrium. Kasus perlengketan plasenta ini dapat dilihat pada trimester pertama, yang
mengindikasikan bahwa proses patologinya mungkin muncul pada saat implantasi dan bukan
setelah masa gestasional.
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah akan tetapi
masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang tertutup. Faktor ini dapat
muncul akibat kesalahan penanganan kala III persalinan dan manipulasi yang
berlebihan.Pemijatan dan penekanan secara terus-menerus terhadap uterus yang sudah
berkontraksi dapat mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan
plasenta tidak sempurna dan pengeluaran darah meningkat.

VI. DIAGNOSIS

A Gejala Klinis
Dari anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel
fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas
secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.

Gejala dan Tanda Gejala dan Tanda Lain Diagnosa Kerja

20
Atonia uteri
Uterus tidak Syok
berkontraksi dan Bekuan darah
lembek pada serviks atau
Perdarahan segera posisi telentang
setelah anak lahir akan menghambat
aliran darah keluar

Retensio plasenta
Plasenta belum lahir Tali pusat putus
setelah 30 menit akibat traksi
Perdarahan segera berlebihan
Uterus berkontraksi Inversio uteri akibat
dan keras tarikan
Perdarahan lanjutan
Uterus berkontraksi Tertinggalnya sebagian
Plasenta atau tetapi tinggi fundus plasenta atau ketuban
sebagian selaput tidak tidak berkurang
lengkap
Perdarahan segera

Inversio uteri
Uterus tidak teraba Neurogenik syok
Lumen vagina terisi Pucat dan limbung
massa
Tampak tali pusat
(bila plasenta belum
lahir)

Tabel 2. Diagnosis retensio plasenta

B Pemeriksaan pervaginam
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.4 Pada
pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada bagian tidak ada atau

21
tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual terdapat kesulitan dalam pelepasan plasenta
atau ditemukan sisa plasenta.15,18

C Pemeriksaan Penunjang

1 Pemeriksaan darah untuk menilai peningkatan alfa fetoprotein. Peningkatan alfa


fetoprotein berhubungan dengan plasenta akreta.

2 USG

Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi lebih mudah bila
implantasi plasenta berada di SBU bagian depan. Lapisan miometrium dibagian basal
plasenta terlihat menipis atau menghilang. Pada plasenta perkreta vena-vena
subplasenta terlihat berada di bagian dinding kandung kemih.

Cox dkk. (1988) melaporkan satu kasus plasenta previa dengan plasenta inkreta
yang diidentifikasi secara USG berdasarkan tidak adanya ruang sonolusen di
subplasenta. Mereka berhipotesis bahwa daerah sonolusen subplasenta yang
normalnya ada ini menggambarkan desidua basalis dan jaringan miometrium di
bawahnya. Diagnosis berdasarkan sonografi antenatal pada plasenta akreta juga telah
dilaporkan. Berdasarkan pada munculnya gambaran Color Doppler.

3 MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) untuk mendiagnosis plasenta akreta.


Diagnosis lebih mudah ditegakkan jika tidak ada pendataran antara plasenta atau
bagian sisa plasenta dengan miometrium pada perdarahan postpartum.

4
Histologi

Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis histologis plasenta


akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja melainkan dibutuhkan
keseluruhan uterus atau kuretase miometrium.6 Pada pemeriksaan histologi ini tempat

22
implantasi plasenta selalu menunjukkan desidua dan lapisan Nitabuch yang
menghilang.

VII. PENANGANAN

Faktor yang paling penting untuk menentukan rencana pengelolaan adalah ada atau
tidaknya perdarahan aktif.

Jika terdapat perdarahan aktif

- Pasang kanul IV 16 G dan ambil darah untuk periksa hematologi lengkap

- Monitoring TTV, KU, Perdarahan

- Panggilan ke Sp Kandungan dan Anastesi

- Pasang DC. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh,
karena itu keduanya harus dikosongkan.

- Mulai dan lanjutkan Infus Oksitosin 40 IU/250cc/jam

- Lakukan PD untuk memastikan apakah plasenta sudah terlepas

- Catat darah yang keluar dan jika diperlukan lakukan transfusi darah

- Siapkan pasien untuk di rujuk ke center terdekat untuk dilakukan manual plasenta

Tidak ada bukti bahwa mengulang dosis dari bolus oksitosin sebelum lahirnya plasenta
dapat membantu dalam pengeluaran plasenta adhesive. Pengulangan dosis dari uterotonika
mengakibatkan kontraksi dari servix uterus yang mengakibatkan kesulitan melakukan manual
plasenta.

23
Jika plasenta tidak keluar setelah persalinan di rumah maka harus dirujuk ke rumah sakit
untuk manajemen lebih lanjut dan pengeluaran manual. Jika ada perdarahan aktif setelah
melahirkan dirumah maka harus dilakukan protokol umum untuk PPH. Misoprostol 800
microgram dapat dimasukkan perrectal sambil menunggu dirujuk ke rumah sakit. Misoprostol
efektif dalam pengobatan perdarahan pasca persalinan, tetapi efek uterotonika lebih lambat pada
awal daripada oksitosin 30-60 menit) oleh karena itu mungkin untuk mencegah relaksasi uterus
lambat banyak berpengaruh pada hilangnya darah secara akut. Ini sangat berguna dalam kasus-
kasus di mana oksitosin infus sulit untuk di mulai karena sulit mencari akses vena. Misoprostol
dapat menyebabkan demam, mual dan muntah dan di kontraindikasi pada pasien asma dan
jantung.

Gambar 3 Manual Plasenta

A Pengeluaran Plasenta Manual

Pengeluaran Plasenta Manual harus dilakukan oleh dokter kandungan yang


berpengalaman

Harus dilakukan di bawah anestesi umum

Masukkan tangan kedalam uterus dengan tehnik aseptik dan tangan lainnya di fundus

Susuri tali pusat hingga menemukan plasenta bagian bawah

24
Tekan perlahan tangan antara plasenta dan corpus uteri dan keluarkan plasenta dengan
tehnik menggergaji (N.B. dalam kasus plasenta akreta plasenta tidak akan terlepas
dengan mudah dan penggunaan kekuatan berlebihan dapat mengancam jiwa
mengakibatkan perdarahan yang mungkin memerlukan histerektomi) Jika sebagian /
total merupakan plasenta adhesive dan tidak dapat dipisahkan, maka dibiarkan dan
menginformasikan konsultan kebidanan yang on-call dan dikelola sesuai pedoman PPH.

Ketika plasenta terlepas seluruhnya, eksplorasi rongga uterus untuk cedera dan sisa dari
plasenta atau membrane

Pijat uterus dengan satu tangan sementara tangan lainnya mengeksplorasi plasenta dan
membrane di cavum uterus

Pastikan bahwa plasenta dalam keadaan lengkap (cek kotiledon)

Suntikkan oksitosin 5 IU IV dan lanjutkan infus oksitosin (seperti yang disebutkan di


atas).

Berikan dosis tunggal Antibiotik IV- 1,2 gr co-amoxiclav kecuali ada keadaan lain yang
kontraindikasi. Jika pasien alergi penisilin berikan cefuroxime 1,5 gr IV dan
metronidazole 500 mg IV.

Menjelaskan kembali prosedur pada pasien.

Jika tidak ada perdarahan aktif

Coba menyusui, stimulasi putting, pengosongan kandung kemih dan perubahan


posisi

Monitoring KU, TTV, Perdarahan setiap setengah jam

Jangan ditinggalkan tanpa pengawasan

25
Secara teratur periksa kehilangan darah pervaginam dan tanda pelepasan plasenta

Pengosongan kandung kemih

Pasang kanul IV 16 G dan ambil darah untuk periksa hematologi lengkap awasi
risiko PPH

Jika berpengalaman dalam USG on call dokter kandungan lakukan USS untuk
membedakan antara plasenta adhesive atau inkarserata

Plasenta inkarserata dapat diterapi dengan memberikan relaksan uterus akut- pada
wanita diberikan trinitrat gliserol (TNG)- dua puff 400 mg sublingual atau dosis
tunggal dari Terbutaline 250 mikrogram secara subkutan. Di ikuti oleh lahirnya
plasenta yang di kontrol oleh fundus.

(Hati-hati terhadap hipotensi dan PPH dalam mengelola profilaksis infus okstosin 40
IU/250mls/jam setelahnya).

Plasenta Adhesiva- Terapi yang efektif untuk plasenta adhesive berdasarkan


rangsangan kontraksi miometrium, untuk mendorong pelepasan plasenta. Hal ini
mungkin dengan injeksi 30 IU oksitosin dalam 20 ml cairan fisiologis pada tali pusat
dengan metode Pipingas. Di ikuti oleh lahirnya plasenta yang di kontrol oleh fundus.

Jika ini tidak berhasil maka harus dilakukan manual plasenta di faskes dengan
analgesia dan antibiotic yang adekuat.

Pemberian profilaksis oksitosin sebelum persalinan plasenta tidak mengurangi


kejadian perdarahan pasca persalinan atau durasi kala III, jika dibandingkan dengan
memberikan oksitosin setelah melahirkan plasenta. Pemberian dini, tidak meningkatkan
kejadian retensio plasenta (Kehilangan darah persisten dan stabil dapat mengakibatkan
PPH).

26
TEHNIK PIPINGAS

Dipotong ulang tali pusat untuk memperoleh ujung yang bersih

Masukkan pipa nasogastrik sepanjang vena umbilikalis sampai dirasakan tahanan


Tarik tabung sepanjang 5cm untuk memungkinkan adanya pembagian dari setiap
vena sebelum penyisipan di plasenta
Encerkan 30 IU oksitosin dalam 20 ml saline normal dan menyuntikkan langsung
pada tabung nasogastric dalam vena umbilikalis dan kemudian menunggu 5 menit
sebelum mencoba mengontrol traksi tali pusat.
Plasenta dapat dilahirkan dengan kendali pada tali pusat

Gambar 4. Pipingas tehnik

B Kuretase

Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan manual plasenta dan
kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak mungkin jaringan yang tersisa. Kuretase
mungkin diperlukan jika perdarahan berlanjut atau pengeluaran manual tidak lengkap.

C Tindakan bedah

27
Jika faktor risiko dan gambaran prenatal sangat mendukung diagnosis perlengketan
plasenta, Cesarean hysterectomy umumnya di rencanakan, terutama pada pasien yang tidak
berharap untuk mempertahankan kehamilan. Jika plasenta akreta ditemukan setelah
melahirkan bayi, plasenta sesegera mungkin dikeluarkan untuk mengosongkan cavum
uteri.21 Disisi lain, beberapa usaha dapat dilakukan untuk mempertahankan uterus dengan
tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika) atau secara radiologik (teknik embolisasi dari
arteri uterina).

Gambar 5. Ligasi arteri hipogastrika

D Bila perdarahan banyak berikan transfusi darah

E Terapi konservatif

Terapi konservatif diberikan tergantung pada penemuan plasenta akreta, terdapat 2


tipe terapi konservatif :21

1 Ketika terdiagnosis selama kala III persalinan, pengeluaran plasenta tidak


disarankan; terapi konservatif ialah dengan meninggalkan plasenta, sebagian atau
keseluruhan, dalam uterus ketika hemodinamik pasien dianggap stabil dan tidak ada
risiko septik.
2 Ketika plasenta akreta disuspek sebelum melahirkan. Seksio sesarean di rencanakan,
dengan insisi abdominal pada midline infraumbilikus, dan insisi vertikal pada uterus
sepanjang insersi plasenta. Setelah pengeluaran janin, plasenta dilahirkan secara hati-
hati, dengan injeksi 5 IU oksitosin dan traksi tali pusat. Jika gagal, plasenta

28
dipertimbangkan sebagai akreta. Tali pusat dipotong pada insersinya dan plasenta
dibiarkan dalam cavum uteri; insisi uterus di tutup. Terapi antibiotik profilaksis
(amoksisilin dan asam clavulanik) diberikan selama 10 hari.

F Berikan juga obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika

Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol

Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L IM atau IV (lambat) : Oral atau rektal 400
pemberian larutan garam fisiologis 0,2 mg g dapat diulang
dengan tetesan cepat sampai 1200 g

IM : 10 IU

Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 L Ulangi 0,2 mg IM 400 g 2-4 jam


larutan garam fisiologis setelah 15 menit setelah dosis awal
dengan 40 tetes/menit

Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L larutan Total 1 mg atau 5 Total 1200 g atau
perhari dengan oksitosin dosis 3 dosis

kontraindikasi Pemberian IV secara cepat Preeklampsia, vitium Nyeri kontraksi,


atau bolus cordis, hipertensi asma

Tabel 3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya

VIII. Komplikasi

Komplikasinya meliputi :

a Perforasi uterus
b Infeksi/Sepsis Puerpurium
c Inversio uteri
d Syok (hipovolemik)
e Perdarahan postpartum

29
Retensio plasenta

Penanganan umum :
Infus transfusi darah
Pertimbangkan untuk rujuk RSU C

Perdarahan banyak Perdarahan sedikit


300 400 cc Anemia dan syok
Perlengketan plasenta

Plasenta manual
Indikasi
Perdarahan 400 cc
Pascaoperasi vaginal
Pascanarkose
Habitual HPP
Teknik
Telusuri tali pusat
Dengan ulner tangan
Masase intrauterin
Uterotonika IM-IV

Plasenta rest : Plasenta melekat :


Berhasil baik : Kuretase tumpul Akreta
Observasi : Utero-vaginal tampon Inkreta
Keadaan umum Masase Perkreta
Perdarahan Adesiva
Obat profilaksis :
Vitamin
Fe preprat
Antibiotika Perdarahan terus : Histerektomi
Uterotonika Tampon bedah Pertimbangan :
Atonia uteri Keadaan umum 30
Umur penderita
Paritas penderita
Ligasi arteri hipogastrika
31
Gambar 5 Penatalaksanaan retensio plasenta12

32
Gambar 6. Penatalaksanaan Retensio Plasenta

MALARIA DALAM KEHAMILAN

A. MALARIA DALAM KEHAMILAN


Penyakit malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi.
Perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat penyakit malaria
mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah
masalah baik bagi ibu hamil, janin, maupun dokter yang menanganinya.
Kematian pada ibu hamil biasanya diakibatkan oleh penyakit malarianya sendiri atau
akibat langsung anemia yang berat. Masalah yang biasa timbul pada kehamilannya adalah
meningkatnya kejadian BBLR, prematuritas, PJT, infeksi malaria dan kematian janin.
Malaria pada kehamilan dapat disebabkan oleh keempat spesies Plasmodium, tetapi
Plasmodium falciparum merupakan parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat
terhadap morbiditas dan mortalitas ibu dan janinnya. Pengaruh malaria selama kehamilan
membahayakan hasil kehamilan yang melibatkan ibu dan janin. Gejala dan komplikasi malaria
selama kehamilan berbeda-beda tergantung pada intensitas dan berhubungan langsung dengan
tingkat imunitas ibu hamil.3
Penyakit malaria yang terutama disebabkan oleh plasmodium falsiparum dapat
menyebabkan keadaan yang buruk bagi ibu hamil. Seorang primigravida yang terkena malaria
umumnya paling mudah mendapatkan komplikasi berupa anemia, demam, hipoglikemia, malaria
serebral, edema paru, sepsis puerperalis, bahkan sampai kematian.
Pada daerah dengan transmisi malaria sedang sampai tinggi, kebanyakan ibu hamil telah
mempunyai kekebalan yang cukup karena telah sering mengalami infeksi. Gejala biasanya tidak
khas untuk penyakit malaria. Yang paling sering adalah berupa anemia berat dan ditemukan

33
parasit dalam plasentanya. Janin biasanya mengalami gangguan pertumbuhan dan selain itu
menimbulkan gangguan pada daya tahan neonatus.
Seorang ibu yang terinfeksi parasit malaria, parasit tersebut akan mengikuti peredaran
darah sehingga akan ditemukan pada plasenta bagian maternal. Bila terjadi kerusakan pada
plasenta, barulah parasit malaria dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi darah janin
sehingga terjadi malaria kongenital. Beberapa peneliti menduga hal ini terjadi karena adanya
kerusakan mekanik, kerusakan patologi oleh parasit, fragilitas dan permeabilitas plasenta yang
meningkat akibat demam akut dan akibat infeksi kronis.
Malaria maternal dapat menyebabkan kematian janin karena terganggunya transfer
makanan secara transplasental, demam yang tinggi (hiperpireksia) atau hipoksia karena
anemia. Kemungkinan lain adalah Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dikeluarkan oleh
makrofag bila di aktivasi oleh antigen merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
berbagai kelainan pada malaria, antara lain demam, kematian janin dan abortus.
Pada semua daerah, malaria maternal dapat dihubungkan dengan berkurangnya
berat badan lahir, terutama pada kelahiran anak pertama. Hal ini mungkin akibat gangguan
pertumbuhan intra-uretrin, persalinan prematur atau keduanya akibat berkurangnya transfer
makanan dan oksigen dari ibu ke janin. Namun patofisiologi pertumbuhan lambat intra-
uretrin pada malaria adalah multifaktor.
Insidens malaria plasenta dipengaruhi oleh paritas ibu yaitu lebih tinggi pada
primipara (persalinan pertama) dan makin rendah sesuai dengan peningkatan paritas ibu.
Demikain pula berat badan lahir dipengaruhi oleh paritas ibu, ini dapat diterangkan bahwa
pada multigravida kekebalan pada ibu telah dibentuk dan meningkat.

B. PATOGENESIS PENYAKIT MALARIA

34
Gambar 4. Siklus Seksual Plasmodium (Diambil dari kepustakaan 8)

Gambar 5. Siklus hidup Plasmodium (Diambil dari Kepustakaan 2)

C. IMUNITAS WANITA HAMIL YANG TERINFEKSI MALARIA


Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta sehingga
diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut mengalami supresi. Hal tersebut
berhubungan dengan supresi sistem imun baik humoral maupun seluler selama kehamilan
sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai "benda asing" di dalam tubuh ibu. Supresi sistem

35
imun selama kehamilan berhubungan dengan keadaan hormonal. Konsentrasi hormon
progesteron yang meningkat selama kehamilan berefek menghambat aktifasi limfosit T terhadap
stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi kortisol juga berperan dalam menghambat respon
imun.
D. HISTOPATOLOGI
Malaria pada kehamilan dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria di dalam:
- Darah maternal
- Darah plasenta/melalui biopsi.

Pada wanita hamil yang terinfeksi malaria, eritrosit berparasit dijumpai di plasenta sisi
maternal dari sirkulasi tetapi tidak di sisi fetal, kecuali pada penyakit plasenta. Pada infeksi aktif,
plasenta terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid padat dengan eritrosit terinfeksi. Secara
histologis ditandai oleh sel eritrosit berparasit dan pigmen malaria dalam ruang intervilli
plasenta, monosit mengandung pigmen, infiltrasi mononuklear, simpul sinsitial (syncitial
knotting), nekrosis fibrinoid, kerusakan trofoblas dan penebalan membrana basalis trofoblas.

Gambar 6. Histologi Plasenta Penderita Malaria yang Menunjukkan Bentuk Cincin-cincin yang
Berimpah/Parasitemia Plasmodium falciparum

Prevalensi malaria plasenta lebih tinggi pada primigravida dibandingkan multigravida.


Penyebaran malaria ke janin diperkirakan dicegah karena adanya adhesi parasit ke kondroitin
sulfat A yang ada dalam plasenta. Oleh karena itu, jumlah parasit dalam plasenta jumlahnya lebih
besar ditemukan dibandingan dalam darah perifer. Namun sawar plasenta tidak mampu
mencegah transmisi malaria sepenuhnya, terutama jika terdapat perlukaan plasenta yang
dicetuskan selama persalinan atau telah ada infeksi lain sebelumnya.
Bila terjadi nekrosis sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan penebalan membrana
basalis trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang dan akan terjadi gangguan
nutrisi pada janin. Lesi bermakna yang ditemukan adalah penebalan membrana basalis trofoblas,

36
pengurusan mikrovilli fokal menahun. Bila villi plasenta dan sinus venosum mengalami kongesti
dan terisi eritrosit berparasit dan makrofag, maka aliran darah plasenta akan berkurang dan ini
dapat menyebabkan abortus, lahir prematur, lahir mati ataupun berat badan lahir rendah.

E. GAMBARAN KLINIS
Selama kehamilan, lebih dari setengahnya memberikan manifestasi klinik yang atipik,
yaitu berupa:
- DEMAM
Pasien dapat mengeluhkan bermacam-macam pola demam mulai dari tanpa demam,
demam tidak terlalu tinggi yang terus-menerus hingga hiperpireksia. Pada trimester
kedua kehamilan gambaran manifestasi klinik yang atipik lebih sering terjadi karena
proses imunosupresi.
- ANEMIA
Di negara berkembang yang biasanya merupakan daerah endemis malaria, anemia
merupakan gejala yang paling sering ditemui secara kehamilan. Penyebab utama
anemianya adalah karena malnutrisi dan penyakit cacing. Dalam kondisi seperti ini
penyakit malaria akan menambah berat keadaan anemianya. Penyakit malaria sendiri
biasanya memberikan gejala dengan manifestasi anemia sehingga semua kasus anemia
harus diperiksa kemungkinan ke arah penyakit anemia
- SPLENOMEGALI
Pembesaran limfa biasa terjadi pada penyakit malaria dan keadaan ini akan menghilang
pada trimester kedua kehamilan. Bahkan, splenomegali yang menetap pada keadaan
sebelum hamil bisa mengecil selama kehamilan.

Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan dengan proses
skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin dan atau toksin lainnya. Pada
daerah hiperendemik sering ditemukan penderita dengan parasitemia tanpa gejala demam.
Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia dan splenomegali. Sering
terdapat gejala prodromal seperti malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang/otot, anoreksi dan diare
ringan. Namun sebenarnya efek klinik malaria pada ibu hamil lebih tergantung pada tingkat
kekebalan ibu hamil terhadap penyakit itu sedangkan kekebalan terhadap malaria lebih banyak
ditentukan dari tingkat transmisi malaria tempat wanita hamil tinggal/berasal.

F. DIAGNOSIS MALARIA PADA KEHAMILAN

37
Penyakit malaria memiliki 4 jenis dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit
yang berbeda. Gejala tiap-tiap jenis biasanya berupa meriang, panas dingin menggigil, dan
keringat dingin. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertian yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala
pertama terjadi (dapat terjadi 2 minggu setelah infeksi.
Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut malaria tropika,
disebabkan oleh Plasmodium falsiparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat
malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma,
mengigau, serta kematian. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh di dalam sel hati;
beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan
sel darah merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demam.
Parasit malaria dapat di identifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis apus darah tepi
dengan pewarnaan Giemsa, pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk penyakit malaria. Cara
lain pemeriksaan laboratorium adalah dengan deteksi antigen yaitu dengan cara mendeteksi
antigen dari parasit malaria. Pemeriksaan ini menggunakan Dipstick dengan hasil dapat dibaca
langsung 2-15 menit, dikenal dengan nama Rapid Diagnostic Test (RDT). Cara diagnosis lainnya
dengan pemeriksaan asam nukleat parasit dengan cara Polymerase Chain Reaction (PCR).
Hasilnya lebih akurat tetapi harganya mahal dan membutuhkan peralatan laboratorium yang
kompleks.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada umumnya apusan darah tepi dan tebal harus dilakukan. Jika apusan darah awal
negatif, spesimen baru harus diperiksa dalam interval 6 jam. Diantara pasien malaria, 57%
terinfeksi lebih dari satu spesies Plasmodium.
Pemeriksaan dengan mikroskop:
- Pewarnaan Giemsa pada sediaan apusan darah untuk melihat parasit
- Pewarnaan Acridin Orange untuk melihat eritrosit yang terinfeksi
- Pemeriksaan Fluoresensi Quantitative Buffy Coat (QBC)

38
Gambar 7. Merozoit pada Darah Perifer. Beberapa merozoit telah berpenetrasi ke membran eritrosit dan
memasuki sel (Diambil dari kepustakaan 2)

Gambar 8. Bentuk Trofozoit (kiri), Skizon Matur dalam Eritrosit (kanan)


(Diambil dari kepustakaan 2)

Metode diagnostik yang lain adalah:


-
Deteksi antigen HRP II dari parasit dengan metode Dipstick test
- Tes radio immunologik (RIA)
- Tes immuno enzimatik (ELISA)
- Tes Polymerase Chain Reaction (PCR)

G. KOMPLIKASI MALARIA DALAM KEHAMILAN


Komplikasi penyakit malaria cenderung akan lebih seringdan lebih berat dalam
kehamilan. Yang sering timbul adalah edema paru, hipoglikemia dan anemia. Komplikasi yang
lebih jarang terjadi adalah kejang, penurunan kesadaran, koma, muntah-muntah dan diare, dan
lain-lain.1,-4,9
1. Anemia
Penyakit malaria dapat menyebabkan anemia dan juga dapat memperburuk keadaan
anemia yang sudah ada. Menurut defini WHO, anemia dalam kehamilan adalah bila kadar
hemoglobin (Hb) < 11 g/dL. Gregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan kadar Hb
dalam darah hubungannya dengan parasetimia, terbesar terjadi pada primigravida dan berkurang
sesuai dengan peningkatan paritas.3 Malaria dapat menyebabkan atau memperburuk anemia. Hal
ini disebabkan:1,2
1. Hemolisis eritrosit yang terinfeksi parasit
2. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
3. Penekanan hematopoeisis
4. Peningkatan klirens sel darah merah oleh limpa
5. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat yang mampu memperberat
anemia.
39
Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat antara usia kehamilan
16-29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat memperberat anemia ini. Brabin
(1990) menyatakan bahwa makin besar ukuran limpa makin rendah nilai Hb-nya, dan anemia
yang terjadi pada trimester I kehamilan sangat menentukan apakah wanita tersebut akan
melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena kecepatan pertumbuhan maksimal
janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan. Seiring dengan berlangsungnya infeksi,
parasit tersebut dapat menyebabkan trombositopenia. Laporan WHO menyatakan bahwa anemia
berpengaruh terhadap morbiditas ibu hamil dan secara tidak langsung dapat menyebabkan
kematian ibu dengan meningkatnya angka kematian kasus yang disebabkan oleh pendarahan
setelah persalinan.1,2,3
Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta mortalitas maternal.
Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan pasca persalinan secara tidak
langsung akibat perubahan hemodinamik. Anemia yang signifikan (Hb <7-8 gr %) harus
ditangani dengan memberikan transfusi darah. Lebih baik diberi packed red cells daripada whole
blood, untuk mengurangi tambahan volume intravascular. Transfusi yang terlalu cepat,
khususnya whole blood dapat menyebabkan peningkatan volume intravaskuler dan edema paru
berat.

2. Hipoglikemia
Keadaan ini merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dalam kehamilan dengan
penyakit malaria. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia adalah sebagai berikut:
- Meningkatnya kebutuhan glukosa karena keadaan hiperkatabolik dan infeksi parasit.
- Sebagai respon terhadap starvasi/kelaparan.
- Peningkatan respons pulau-pulau pankreas terhadap stimulasi sekresi (misalnya quinine)
menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglikemia.
Keadaan hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat bersifat asimptomatik
dan dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala pada hipoglikemia juga menyerupai gejala infeksi
malaria, yaitu takikardi, berkeringat, menggigil dan lain-lain. Pada sebagian pasien dapat
menunjukkan gejala tingkah laku yang abnormal seperti kejang, penurunan kesadaran, dan
pingsan yang hampir menyerupai gejala malaria serebral. Oleh karena itu, semua perempuan
hamil yang terinfeksi malaria falsiparum, khususnya yang mendapat terapi quinine harus
dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6 jam sekali. Kadang-kadang hipoglikemia dapat
berhubungan dengan laktat asidosis dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat

40
meningkat. Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-tanda
yang spesifik.

3. Edema paru akut


Keadaan edema paru akut bisa ditemukan saat pasien datang atau baru terjadi setelah
beberapa hari dalam perawatan. Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan 3 dan setelah
persalinan.1,3
Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan adanya
perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat meningkatkan risiko mortalitas.
Gejalanya mula-mula frekuensi pernafasan meningkat, kemudian terjadi dispneu dan penderita
dapat meninggal dalam waktu beberapa jam.3

4. Imunosupresi
Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi menjadi lebih
sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria sendiri dapat menekan respon imun.
Perubahan hormonal selama kehamilan menurunkan sintesis imunoglobulin.Penurunan fungsi
sistem retikuloendotelial adalah penyebab imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan
hilangnya imunitas didapat terhadap malaria sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi malaria.
Infeksi malaria yang diderita lebih berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering
mengalami demam paroksismal dan relaps.
Infeksi sekunder (infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan pneumonia algid (syok
septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan karena imunosupresi ini.

5. Gagal Ginjal
Hemoglobinuri (blackwater fever) merupakan kondisi urin yang berwarna gelap akibat
hemolisis sel darah merah dan parasitemia yang berat dan sering merupakan tanda gagal ginjal.
Penanganannya meliputi pemberian cairan yang saksama, diuretic, dan dialisis bila diperlukan.

6. Risiko Terhadap Janin


Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin. Tingginya demam, insufisiensi
plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain dapat menimbulkan efek buruk
terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan P. falciparum dapat menimbulkan masalah bagi janin,
akan tetapi jenis infeksi P. falciparum lebih serius (dilaporkan insidensinya mortalitasnya l5,7%

41
vs 33%). Akibatnya dapat terjadi abortus spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam
rahim, insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat badan lahir
rendah dan gawat janin. Selain itu penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat
menyebabkan malaria kongenital.1,14

7. Malaria kongenital
Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5% kehamilan.
Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta dapat melindungi janin dari
keadaan ini. Akan tetapi pada populasi non imun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya
pada keadaan epidemi malaria. Kadar quinine plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari
kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat menyembuhkan infeksi
pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang
lebih sering adalah P. malariae. Neonatus dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas,
masalah minum, hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam satu
minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya adalah inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes,
Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis.

H. PENANGANAN MALARIA SELAMA KEHAMILAN


1. Pencegahan Transmisi
a) Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis dapat mengurani anemia pada ibu dan menambah berat badan
lahir terutama pada kelahiran pertama. Pemberian obat profilaksis selama kehamilan
dianjurkan untuk megurangi resiko transmisi diantaranya dengan pemberian klorokuin
basa 5 mg/kgBB (2 tablet) sekali seminggu, tetapi untuk daerah yang resisten, klorokuin
tidak dianjurkan pada kehamilan dini, namun dapat diganti dengan meflokuin. Obat lain
yang sering digunakan untuk profilaksis adalah kombinasi sulfadoksin-pirimetamin
dengan dosis digunakan dosis 1 tablet perminggu, tetapi tidak dianjurkan untuk trimester
pertama karena pirimetamin dapat menyebabkan teratogenik.1,3,6,12
Pemberian profilaksis pada ibu hamil di atas 20 minggu dapat megurangi
malaria falciparum sampai 85% dan malaria vivax sampai 100%. Profilaksis klorokuin
menurunkan infeksi plasenta yang asimptomatik menjadi 4% bila dibandingkan tanpa
profilaksis sebanyak 19%.1,5,13
b) Mengurangi Kontak dengan Vektor

42
Pemakaian kelambu, insektisida, atau keduanya dinilai efektif untuk
menurunkan jumlah kasus malaria pada ibu hamil dan neonatus khususnya densitas
tinggi, insidens klinis dan mortalitas malaria. Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa
pemakaian kelambu setiap malam menurunkan kejadian berat badan lahir rendah atau
bayi prematur sebanyak 25%. Adapun pada wanita hamil di Thailand dilaporkan bahwa
pemakaian kelambu efektif dalam mengurangi anemia maternal dan parasitemia densitas
tinggi. Kelambu sangat disarankan terutama pada kehamilan dini dan bila memungkinkan
selama kehamilan.1,3,5,13

c) Vaksinasi
Target vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen protektif pada ketiga
permukaan stadium parasit malaria yang terdiri dari sporozoit, merozoit, dan gametosit.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang aman dan efektif untuk penanggulangan
malaria. Kemungkinan penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan baru muncul
dan perlu pertimbangan yang kompleks. Tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam
penggunaan vaksin untuk mencegah malaria selama kehamilan, yaitu:
a. Tingkat imunitas sebelum kehamilan
b. Tahap siklus hidup parasit
c. Waktu pemberian vaksin

2. Terapi Malaria
Pemberian obat anti malaria tergantung pada diagnosis dini dan pengobatan klinis
segera. Kecuali pada wanita yang tidak kebal, efektifitas kemoterapi pada wanita hamil
tampak kurang memuaskan karena pada wanita dengan imun infeksi berlangsung tanpa
gejala. Pada wanita dengan kekebalan rendah, walaupun dilakukan diagnosis dini dan
pengobatan segera ternyata belum dapat mencegah perkembanagan anemia pada ibu dan
juga berkurangnya berat badan lahir bayi. Beberapa obat anti malaria yang lebih baru
memiliki aktivitas antifolat sehingga secara teoritis dapat berperan menyebabkan anemia
megaloblastik dan kecacatan pada kehamilan dini. Akan tetapi, perlu dipikirkan pada daerah
dengan resisten klorokuin, kesehatan ibu adalah yang utama sehingga pemakaian obat yang
efektif membunuh parasit tetap dianjurkan bila kondisi ibu memburuk.

43
Bagi wanita hamil yang didiagnosis dengan malaria tanpa komplikasi yang
disebabkan oleh P. malariae, P. vivax, P. ovale, atau infeksi P. falciparum chloroquine-
sensitif, pengobatan yang dianjurkan adalah klorokuin atau hidroksiklorokuin dapat
diberikan sebagai gantinya.
Bagi wanita hamil yang didiagnosis dengan malaria tanpa komplikasi yang
disebabkan oleh infeksi P. falciparum chloroquine-resistant, pengobatan yang tepat dengan
baik meflokuin atau kombinasi kina sulfat dan klindamisin. Pengobatan kina harus terus
selama 7 hari untuk infeksi yang diperoleh di Asia Tenggara dan selama 3 hari untuk infeksi
yang didapat di tempat lain; pengobatan klindamisin harus terus selama 7 hari terlepas dari
mana infeksi diakuisisi. Bagi wanita hamil yang didiagnosis dengan malaria tanpa
komplikasi yang disebabkan oleh infeksi P. vivax chloroquine-resistant, pengobatan yang
tepat dengan meflokuin.Doxycycline dan tetrasiklin umumnya tidak diindikasikan untuk
penggunaan pada wanita hamil. Kecuali manfaatnya dinilai lebih besar daripada risiko.
Pengobatan intermiten dengan sulfadoksin-pirimetamin secara luas
direkomendasikan untuk pencegahan malaria pada ibu hamil di Afrika. Namun, dengan
penyebaran resistensi untuk sulfadoksin-pirimetamin, intervensi baru yang diperlukan.
Malaria selama kehamilan dikaitkan dengan malaria plasenta, yang merugikan kelahiran,
dan komplikasi kematian baik pada ibu dan infant. Mengingat risiko tinggi malaria pada
populasi rentan ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pelaksanaan
rutin pencegahan malaria-p pada perempuan hamil di semua negara di Afrika di mana P.
falciparum tetap endemis. Langkah-langkah ini termasuk penggunaan insektisida, kelambu
dan intermiten pengobatan pencegahan dengan sulfadoxine- pyrimethamine selama
kehamilan.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa intermittent pengobatan
pencegahan dengan sulfadoksin-pirimetamin selama kehamilan adalah efektif dalam
mengurangi risiko malaria plasenta, berat badan lahir rendah, dan illness. Namun,
perlawanan terhadap sulfadoksin-pirimetamin telah menyebar luas, terutama di Afrika
Timur dan selatan Afrika, studi yang lebih baru telah menyarankan bahwa efektivitas
kombinasi pengobatan ini merupakan pencegahan intermiten selama kehamilan; dengan
demikian, ada butuhkan untuk evaluasi alternatif untuk sulfadoxine- pirimetamin untuk
pengobatan tersebut selama kehamilan.

44
Studi amodiakuin dan mefloquine belum menunjukkan bukti yang meyakinkan dari
superior manfaat, dan obat-obatan ini ditemukan memiliki lebih banyak efek samping yang
merugikan dari sulfadoksin-pirimetamin. Terapi kombinasi berbasis artemisinin telah
terbukti efektif untuk pengobatan malaria selama kehamilan. Namun, data yang terbatas
untuk mengevaluasi rejimen tersebut digunakan sebagai pengobatan pencegahan intermiten
selama kehamilan. Dihydroartemisinin-piperaquine adalah terapi kombinasi utama,
mengingat berkepanjangan efek pasca perawatan.
Untuk infeksi P. vivax atau P. ovale, primakuin fosfat untuk pengobatan radikal
hipnozoit tidak dianjurkan selama kehamilan. pasien hamil dengan infeksi P. vivax atau
ovale P. harus dipertahankan pada profilaksis klorokuin selama kehamilan mereka. Dosis
kemoprofilaksis dari klorokuin fosfat 300 mg basa (= 500 garam mg) per oral sekali per
minggu. Setelah melahirkan, pasien hamil dengan P. vivax atau P. ovale infeksi yang tidak
memiliki defisiensi G6PD harus ditangani dengan primakuin.

Antimalaria dalam kehamilan:


Semua trimester : quinine: Artesunate/artemether/arteether
Trimester dua : mefloquine; pyrimethamine/sulfadoxine
Trimester tiga : sama dengan trimester 2
Kontraindikasi : primaquine; tetracycline; doxycycline; halofantrine
Obat anti malaria pilihan untuk malaria berat adalah:
Lini pertama : artemisisn parenteral (+ amidokuin + primakuin)
Lini kedua : kina parenteral ( + primakuin + doksisiklin/tetrasiklin)

3. Penanganan saat persalinan


Anemia, hipoglikemia, edema paru dan infeksi sekunder akibat malaria pada
kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu maupun janin. Malaria
falciparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan risiko mortalitas yang tinggi. Distres
maternal dan fetal dapat terjadi tanpa terdeteksi. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring
yang baik, bahkan untuk wanita hamil dengan malaria berat sebaiknya dirawat di unit
perawatan intensif.
Malaria falciparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan persalinan
prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan dengan tingginya

45
demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu perlu
dilakukan monitoring terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung janin untuk menilai
adanya ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta bradikardia atau deselerasi
lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi uterus karena hal ini menunjukkan
adanya gawat janin. Harus diupayakan segala cara untuk menurunkan suhu tubuh
dengancepat, baik dengan kompres, pemberian antipiretika seperti parasetamol, dll.
Pemberian cairan dengan seksama juga merupakan hal penting. Hal ini disebabkan
baik dehidrasi maupun overhidrasi harus dicegah karena kedua keadaan tadi dapat
membahayakan baik bagi ibu maupun janin. Pada kasus parasitemia berat, harus
dipertimbangkan tindakan transfusi ganti.
Bila diperlukan, dapat dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan. Kala II
harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat indikasi pada ibu atau janin. Seksio
sesarea ditentukan berdasarkan indikasi obstetrik.

DAFTAR PUSTAKA

Amantino, C dkk. 2014. Effects of Vivax Malaria Acquired Before 20 Weeks of


Pregnancy on Subsequent Changes in Fetal Growth. Diakses tanggal 17 Oktober 2016
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3919251/

Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Alternative for pregnant Woman and
Treatmant of Severe Malaria. Diakses tanggal 22 Oktober 2016
https://www.cdc.gov/malaria/diagnosis_treatment/clinicians2.html

46
Harijanto, N Paul. Malaria. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta: 2007. p. 1732-44.

Management of Retained Placenta. 2010. Acute Hospital NHS Trust. Diakses pada 16
Oktober 2016
http://nationalwomenshealth.adhb.govt.nz/Portals/0/Documents/Policies/Retained
%20Placenta%20Management_.pdf

Prawirohardjo, S. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina


Pustaka. Jakarta. pp 178-181

Prawirohardjo, S. 2006. Ilmu Bedah Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Sulaeman J, Pribadi A. Demam Dalam Kehamilan dan Persalinan: Malaria Dalam


Kehamilan. Dalam: Ilmu Kandungan. Edisi IV. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirodihardjo; 2012. p. 634-642.

Kakuru, A dkk 2016. DihydroartemisininPiperaquine for the Prevention of Malaria in


Pregnancy. Diakses tanggal 17 Oktober 2016.
www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa1509150

Surya I.G.P .Penyakit Infeksi : Infeksi Malaria. Ilmu Kandungan Edisi IV. Jakarta : P.T.
Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo; 2012. p912-17.

Souza, RM. 2013. Placental histopathological changes associated with Plasmodium vivax
infection during pregnancy. Diakses tanggal 21 Oktober 2016.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23459254

WHO. 2012. WHO recommendations for the prevention and treatment of postpartum
haemorrhage. Diakses tanggal 15 Oktober 2016.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75411/1/9789241548502_eng.pdf

Wahyuni, S dkk. 2015. Malaria Congenital. Diakses tanggal 20 Oktober 2016


http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-cpmlae81a33dc8full.pdf

47

Anda mungkin juga menyukai