BRIGHTON
ABSTRAK
Kohort jarang digunakan dan diagnosis yang sekarang belum tervalidasi. Tujuan dari
penelitian kohort ini untuk mendeskrisikan variasi dari kunci diagnosis pada penelitian
dengan pasien yang didiagnosis GBS dan klasifikasi didasarkan pada klasifikasi kolaborasi
Brighton.
Tabel 1 Kriteria Diagnosis dan Definisi Kasus Brighton pada GBS
NCS = nerve conduction studies; GBS = Guillain-Barre syndrome. Jika CSS tidak ada, hasil elektrofiology harus sesuai
dengan diagnosis Guillain-Barre syndrome.
Pasien yaitu 567 pasien berdasarkan penelitian kohort, dibagi menjadi 2 uji klinis acak,
dan satu penelitian terapetik pilot dan satu penelitian observasioanl multisenter. Pasien harus
sesuai dengan kriteria diagnosis dari National Institute of Neurogical Disorders and Stroke
(NINDS). Pada uji klinis pasien tidak dapat berjalan sendiri, dan dimasukkan ke dalam
penelitian selama 2 minggu setelah gejala awal. Sedangkan pada observasional, pasien
memiliki kelemahan yang ringan dan variasi manifestasi klinisnya bermacam. Penelitian ini
lebih fokus pada orang tua dan kelemahan tungkai dan lengan. Kami mengekslusi pasien
dengan usia <18 tahun karena presentasi klnis pada anak kecil mungkin berbeda dari orang
dewasa, selain itu kami juga mengekslusi pasien dengan Sindrom Fisher (n = 18), Bickerstaff
encephalitis (n = 2), acute-onset akut diemilisasi polineuropati inflamasi kronis (n = 10),
mielititransversa (n = 3), diagnosis tidak pasti (n = 3), sindrom Sjogrens (n = 1), hernia
diskus spinal (n = 1), vaskulitis (n = 1), tumor sakral (n = 1) dan sebelumnya pernah
mengalami GBS (n = 1), dan penyakit neurologis selain GBS yang ditemukan sebelum
penelitian disingkirkan. Banyak dari partisipan berasal dari Netherland, dua dari rumah sakit
Belgian, dan dua dari rumah sakit Jerman. Manisfestasi klnis didapatkan dengan
menggunakan skala disabilitas GBS, terdiri dari 0 (normal) sampai 6 (kematian). Kelamahan
tungkai dan lengan dinilai dengan nilai total dari enam otot bilateral tungkai dan lengan
berdasarkan Medical Research Council (MRC), dengan range 0 (tetraparalitik) sampai 6
(normal).
Kelemahan simetris didefinisikan sebagai selisih dari lima atau kurang antara jumlah
nilai dari bagian kiri versus kelompok otot bagian kanan. Nadir didefinisikan sebagai nilai
skor skala disabilitas tertinggi GBS tau jumlah skor MRC terendah. Pada kasus yang berbeda,
catatan kasus ditinjau oleh ahli saraf untuk menentukan titik nadir. Lamanya dari fase dataran
didefinisikan sebagai jumlah hari antara nadir dan peningkatan lima atau lebih poin dalam
jumlah skor MRC atau satu atau lebih poin dalam skor disabilitas GBS. Fluktuasi klinis
didefinisikan sebelumnya sebagai perbaikan awal atau stabilisasi lebih dari 1 minggu diikuti
dengan kerusakan sekunder lima poin atau lebih dalam jumlah skor MRC atau satu poin lebih
dalam skor disabilitas GBS. Fluktuasi terkait pengobatan didefinisikan sebagai fluktuasi
klinis yang terjadi dalam 8 minggu setelah awal pengobatan, dan dianggap sebagai bagian
dari perjalanan penyakit monofasik. Selama 6 bulan 15 pasien meninggal dan lima pasien
tidak di follow up. Kami mencoba untuk mendapatkan data yang hilang dari 479 pasien yang
masih hidup di klinik di mana pasien diinklusi. Untuk 335 pasien semua data yang diperlukan
dikumpulkan untuk mengklasifikasikan pasien ini sesuai dengan kriteria Brighton. Pasien
dengan data yang hilang yang tidak dapat diperoleh ditinggalkan analisis mengenai bagian
data yang hilang. Data dari studi konduksi saraf yang digunakan untuk mengklasifikasikan
pasien dalam subkelompok elektrofisiologi yang berbeda, termasuk demielinasi
polineuropati, polineuropati aksonal. Pasien dengan neuropati yang tidak memenuhi kriteria
salah satu subtipe yang berbeda dari sindrom Guillain-Barre diklasifikasikan sebagai tidak
pasti. Hasil elektrofisiologi yang equifokal atau samar-samar dianggap kompatibel dengan
sindrom Guillain-Barre. Pada pasien dengan studi konduksi saraf secara serial, penelitian
selama 2 minggu setelah dimulainya kelemahan dipilih untuk klasifikasi Brighton. Jumlah
CSF atau cairan spinal dan protein konsentrasi ditentukan dengan metode diagnostik rutin.
Nilai normal untuk konsentrasi protein CSF adalah 0,18-0,58 g/l. Subyek penelitian ini
diklasifikasikan menurut kriteria Brighton. Hal ini dilakukan untuk seluruh kelompok dan
subkelompok pasien dengan data lengkap pada enam diagnostik utama yang digunakan
dalam kriteria Brighton. Penelitian telah disetujui oleh komite etika lokal, dan semua pasien
memberikan persetujuan tertulis.
ANALISI STATISTIK
Data kategori disajikan sebagai proporsi, data kontinyu disajikan dengan mean dan
standar deviasi jika mereka terdistribusi normal dan median dan rentang antar-kuartil (IQR)
jika distribusi tidak normal. Korelasi antara jumlah MRC dinyatakan oleh koefisien korelasi
rank Spearman atau rs. Perbedaan proporsi diuji dengan uji Chi-square atau Fisher dan
perbedaan dalam variabel kontinyu oleh Mann-Whitney. SPSS Statistik 20,0 digunakan untuk
analisis statistik. Nilai P <0.05 dianggap signifikan secara statistik.
HASIL
Demografi dan karasterisitk klinis ada 494 pasien dengan GBS terdapat pada Tabel 3.
Tingkat keparahan kelemahan anggota gerak pada awal penelitian dan pada titik nadir
sangat bervariasi (Gambar 1). Kelemahan pada titik nadir berkisar antara keparahan ringan
(Total skor MRC > = 5) pada 25 (5%) pasien sampai tetraparalitik (jumlah skor MRC 0) pada
41 (8%) pasien. Median skor jumlah MRC pada titik nadir adalah 38 dengan IQR atau
interquartile rate 24-48. Empat pasien dirawat dengan keterlibatan saraf kranial dan kekuatan
tungkai yang normal pada awalnya, namun semua kelemahan ekstremitas terjadi dalam 11
hari. Hampir semua pasien mengalami kelemahan simetris: 316 (65%) memiliki skor total
MRC yang sama pada kedua sisi, dan 459 (95%) pasien memiliki perbedaan sebanyak dua
poin atau kurang. Empat pasien dengan kelemahan anggota gerak asimetris lebih dari lima
poin, tetapi semua menjadi simetris dalam waktu 1 minggu, kecuali satu pasien dengan
kelumpuhan saraf radial unilateral di samping kelemahan ekstremitas umum.
Gambar 1. Keparahan kelemahan pada anggota gerak saat awal dan nadir, menunjukkan
jumlah total skor MRC dengan nilai antara 0 (tetraplagi) 60 (normal)
Pada awal penelitian, kebanyakan pasien memiliki tetraparesis, namun sebanyak 40
(8%) pasien dengan paraparesis pada kaki. Dalam subkelompok ini dengan varian
paraparetik, 34 (85%) pasien tidak dapat berjalan sendiri (skor total GBS 42), meskipun skor
total MRC relatif tinggi (median 54, IQR 52-56). Sembilan pasien (23%) dengan paresis juga
memiliki refleks yang normal di lengan. Sebanyak 28 (70%) dari pasien, memiliki kelemahan
terbatas hanya pada kaki selama perjalanan penyakit. Kelemahan terbatas pada tangan itu
ditemukan pada 3 pasien (1%). Hanya satu dari pasien ini mengalami kelemahan kaki
kemudian; dua pasien lainnya didiagnosis sebagai varian dari faring-servikalbrakial sindrom
Guillain-Barre. Pada pasien dengan tetraparesis, jumlah skor total MRS dengan parahnya
kelemahan di lengan dan kaki berkorelasi yaitu rs = 0,66, P = 0,01.
Reflek
Refleks dan kekuatan yang dijelaskan secara rinci pada 395 pasien (80%) pada lengan
dan 410 pasien (83%) pada kaki. Pada awal penelitian, refleks normal pada anggota badan
yang parasis diamati pada 36 pasien (9%). Pasien-pasien ini biasanya memiliki kelemahan
relatif ringan (median skor total MRC=48, IQR=42-52) dibandingkan dengan pasien dengan
penurunan refleks (median skor total MRC=44, IQR=34-49) (P = 0,03). Pasien dengan
refleks awal yang normal juga lebih jarang mengalami defisit sensorik (46%) dibandingkan
dengan pasien yang mengalami penurunan penurunan refleks (69%) (P = 0,006).
Varian aksonal primer lebih sering pada pasien dengan refleks normal (15%)
dibandingkan pada pasien dengan penurunan refleks (6%) (P = 0,03). Dua puluh enam (72%)
dari 36 pasien dengan refleks yang normal mengalami penurunan refleks selama perjalanan
penyakit. Semua pasien yang mengalami hiporefleksia di kaki. Nnamun, 10 tetap memiliki
refleks normal pada tangan. Dua pasien memiliki hiperrefleksia awal pada anggota badan
yang lemah, pada satu pasien berkembang menjadi arefleksia 1 hari kemudian, pasien lainnya
tidak di follow up kembali.
Perjalanan Klinis
Semua pasien mencapai titik nadir mereka dalam waktu 6 minggu setelah onset
kelemahan. Fase progresif berlangsung 51 minggu pada setengah pasien, 52 minggu di 80%,
dan 54 minggu di 97% (Gambar 2). Durasi fase dataran sangat bervariasi dengan durasi rata-
rata 7 hari (IQR dari 6-14 hari). Selama fase pemulihan, terjadi kerusakan sekunder pada 73
pasien (15%). Sebanyak 50 (68%) dari pasien ini kerusakan yang terjadi dianggap sebagai
fluktuasi terkait pengobatan, yang menurut definisi terjadi dalam waktu 8 minggu dari awal
pengobatan
Gambar 2. Durasi dari fase progresif didefinisikan sebagai jumlah hari antara onset
kelemahan anggota gerak sampai mencapai titik nadir. Angka ini menunjukkan distribusi
miring di mana durasi fase progresif adalah <2 minggu di 80% dan <4 minggu di 97% pasien.
Hitung Sel Cairan Serebospinal Dan Konsentrasi Protein
Pungsi lumbal dilakukan pada 474 pasien (96%) dengan interval waktu pengambilan
dan onset kelemahan median 4 hari, IQR 2-7 hari. Pungsi lumbal selama 3 hari setelah onset
kelemahan dilakukan pada 49% pasien. Secara keseluruhan 305 pasien (64%) dari 474 pasien
mengalami kenaikan konsentrai protein pada CSS, bergantung pada waktu pengambilan
pungsi lumbal.
Hitung sel pada CSS dilakukan pada 455 pasien (92%). Pada 386 pasien (85%)
memiliki hitung sel normal <5 sel/mikroliter, pada 70 pasien (15%) memiliki pleositosis
ringan (Tabel 4). Pleositosis ringan diamati bila tidak terdapat eritrosit di CSS, walaupun
adanya eritrosit terjadi akibat trauma pada saat melakukan pungsi. Tidak terdapat kolerasi
antara hitung sel CSS dengan waktu pengambilan pungsi lumbal.
Konduksi Saraf
Hasil dari konduksi saraf rutin dilakukan pada 440% pasien (89%). Median antara
waktu onset kelemahan dan pemeriksaan adalah 13 hari (IQR 8-18 hari). Hanya 4 pasien
(1%) memiliki elektrofisiologi saraf yang normal. Pasien dengan normal EMG memiliki
kelemahan yang lebih singkat saat nadir (median skor total MRC=51, antara 43-53)
dibandingkan dengan pasien yang memiliki abnormalitas konduksi saraf (p=0.04).
Polineuropati demielinasi inflamasi akut adalah subtipe yang utama, namun hanya 213 pasien
(48%) sesuai dengan kriteria spesifik diagnosis pada polineuropati demielinisasi.
Polineuropati aksonal ditemukan pada 27 (6%) pasien dan 16 (4%) pasien memiliki
ineksitabilitas saraf. Sebanyak 180 (41%) pasien menunjukkan abnormal elektrofisiologi
saraf sesuai dengan saraf perifer yang terkena, namun tidak memenuhi kriteria satu dari
subtipe yang jelas (demielinisasi, aksonal, dan ineksitabilitas). Proporsi pasien dengan
elektrofisiologi yang ekuivokal atau samar ditemukan menurun setelah 3 minggu onset
kelemahan (Gambar 4).
Gambar 4. Klasifikasi subtipe elektrofisiologi saraf dan hubngannya dengan waktu
konduksi saraf setelah onset kelemahan
DISKUSI
Studi saat ini meneliti klinis, fitur elektrofisiologi dan laboratorium di salah satu kohort
terbesar dari pasien dewasa dengan GBS. Dalam kelompok kami, 97% pasien mencapai titik
nadir dari penyakit mereka dalam waktu 4 minggu. Saat masuk, 99% memiliki kelemahan
ekstremitas simetris dan 91% telah mengalami pengurangan refleks pada semua anggota
badan paresis. Selama perkembangan penyakit, semua pasien yang mengalami pengurangan
refleks pada kaki, meskipun beberapa tidak mengalami pengurangan refleks pada lengan
walaupun terjadi kelemahan di bagian lengan. Semua pasien menunjukkan pemulihan sampai
batas tertentu dan 95% memiliki perjalanan penyakit monofasik, beberapa dengan fluktuasi
terkait pengobatan pada tahap akut. Semua pasien dengan pemeriksaan CSS menunjukkan sel
menghitung <50 sel/mikroliter dan hampir semua konduksi saraf menunjukkan adanya
neuropati. Pasien didiagnosis oleh ahli neurologis berdasarkan pemeriksaan yang rutin.
Karena di follow up minimal 6 bulan, sangat tidak mungkin pasien memiliki kelainan selain
sindrom Guillain-Barre.
Pasien yang termasuk dalam uji klinis terapi mungkin memiliki gejala-gejala yang
berbeda dibandingkan dengan pasien yang tidak berpartisipasi dalam uji coba tersebut.
Kebanyakan pasien (94%) dalam kelompok kami tidak dapat berjalan sendiri, dan kami
mengekslusi kasus ringan dengan gejala yang berbeda. Pasein dengan hitung sel CSS >=50
sel/mikroliter mungkin tidak akan disertakan dalam uji klinis. Fenotip klinis dan
elektrofisiologi sindrom Guillain-Barre dipengaruhi oleh geografis dari pasien, dan dalam
penelitian ini semua pasien adalah penduduk Belanda, Belgia atau Jerman. Manifestasi klinis
juga mungkin berbeda pada anak-anak, yang telah diekslusi dalam penelitian ini.
Pasien yang tidak sesuai dengan NINDS tidak masuk kedalam uji klinis. Tujuan utama
dari NINDS adalah untuk mengembangkan kriteria diagnostik untuk tujuan penelitian dengan
spesifisitas yang tinggi, tidak untuk menangkap semua kasus dalam praktek klinis. Sejak
tahun 1990 banyak penelitian menunjukkan variabilitas yang tinggi pada sindrom Guillain
Barre' termasuk varian, formes frustes dan sindrom yang tumpang tindih. Pada tahun 2009
Kolaborasi Brighton berinisiatif untuk mengembangkan satu baru kriteria untuk
mengidentifikasi pasien dengan tujuan penelitian adalah keamanan vaksin. Keuntungan
penting dari kriteria Brighton adalah definisi kasus secara eksplisit dan klasifikasi dalam
empat level kepastian diagnostik tergantung pada karakteristik pasien dan ketersediaan data.
Kekuatan pada penelitian kami adalah kriteria di validasi secara terpisah pada subkelompok
dari 335 pasien dengan kumpulan data yang lengkap untuk semua diagnosis. Meskipun
kelengkapan data dan kepastian diagnosis di subkelompok pasien, hanya 61% dapat
diklasifikasikan sebagai level 1. Penyebab utama untuk tidak mencapai tingkat kepastian
diagnostik tertinggi yaitu konsentrasi normal protein CSS (33%). Selain itu fase progresif
berkepanjangan dari 428 hari (2%), dan tidak adanya penyakit monofasik (perburukan klinis
di luar 8 minggu setelah onset kelemahan) (4%). Semua pasein dengan elektrofisiologi yang
konsisten dengan neuropati dan hasil yang ekuivokal dimasukkan kedalam level 1, pada
penelitian kami, didapatkan hasil 25% pasien pada level 1.
Kriteria dari semua 494 pasien yaitu 41% pada level 1, 36% pada level 2, 1% pada
level 3 dan 22% pada level 4, menunujukkan betapa pentingnya data yang hilang dalam
menetukan kriteria. Pada penelitian di Belanda sebelumnya, GBS berdasarkan rasio insidensi,
tidak tumpang tindih dengan studi kohort sekarang, hanya 6 (26%) dari 23 pasien berada
pada level 1 atau 2, karena adanya data yang hilang. Hal ini juga terjadi pada penelitian di
Korea dan India didapatkan pasien yang berada dilevel 4 sebanyak 14% dan 24%, karena
penyelidikan tambahan yang sering tidak dilakukan atau hasil tidak tersedia. Level 3 pada
kriteria Brighton hanya berdasarkan pada kriteria klinis tanpa penyelidikan tambahan.
Kategori ini diperuntukan untuk keadaan dimana sumber daya sedikit dan situasi yang tidak
memungkin untuk melakukan elektrofisiologi dan pemeriksaan CSS. Penelitian ini
menekankan fakta yang akurat dan gejala klinis yang didapatkan untuk mengklasifikasi GBS.
Subgrup lain 9% pada pasien dengan paresis anggota gerak tanpa pengurangan refleks.
Pasien ini kebebanyakan cenderung ringan atau hanya motorik dan varian aksonal dari GBS.
Kebanyakan pasien dengan normal refleks pada awalnya berkembang menjaid areflexia
selama follow up, namun 10 pasien tetap memiliki refleks normal pada tangan yang lemah.
Secara restropektif, 10 pasien tidak memenuhi kriteria NINDS karena refleks yang normal
terus menerus pada lengan yang lemah. Pasien dengan tetraplegi, memiliki pengurangan
refleks pada lengan yang lemah, tanpa diagnosis lain dimasukkan ke dalam penelitian.
Kolaborasi Brighton juga tidak spesifik dalam pemenuhan kriteria berdasarkan pengurangan
refleks atau tidak.
Beberapa pasien dari Jepang dan Italia mengalami GBS dengan kombinasi
hiperrefleksia pada anggota gerak (tanpa atau dengan spatisitas Babinski). Pada penelitian ini,
2 pasien mengalami hiperfleksia di awal pada anggota gerak yang lemas, satu pasien
mengalami progesif ke arah arefleksia, dan 1 pasien pagi menghilang saat follow up.
Beberapa pasien mengalami keterlibatan CNS seperti sindrom Bickerstaff encephalitis atau
keterlibatan medula spinalis.
Sindrome GBS berdasarkan kerusakan akut monofasik, diinduksi oleh respon imun
akut transien. Penelitian kami menunjukkan bahwa perjalanan klinis dengan fase progesif,
datar dan penyembuhan berbeda-beda. Sebanyak 80% telah mencapai nadir selama 2 minggu,
namun 4% mengalami fase progresif 4-6 minggu, dimana mungkin menunjukkan varian
subakut dari GBS. Durasi fase datar juga bervariasi: kebanyakan pasien mulai membaik
selama kurang dari satu minggu sesudah nadir, namun 6 bulan follow up tanpa gejala
penyembuhan yang jelas tetap dianggap GBS. Semua pasien membaik pada stadium yang
sama, walaupun kerusakan sekunder selama follow up terjadi pada 15% pasien. 2/3 pasien
(10%) mengalami fluktuasi berkaitan dengan pengobatan, yang mana progresifitas sekunder
mungkin terjadi akibat efek transien pengobatan yang berlangsung lebih pendek dari fase
aktif penyakit. Pada pasien dengan perburukan sebanyak 1/3 terjadi >8 minggu setelah
pengobatan. Perburukan yang lama atau prolong dilaporkan terjadi pada episode awal onset
akut dari polineuropati imun demielinisasi kronik. Pada penelitian ini, pasien dengan onset
akut polineuropati imun demielinisasi kronik diekslusi. Perburukan bisa terjadi akibat dari
relaps stadium aktif penyakit, mungkin terjadi akibat infeksi sekunder atau komplikasi.
Pemeriksaan CSS mungkin berguna untuk kasus dengan klinis yang tidak jelas,
terutama untuk mengeskluasi penyebab lain yang berkaitan dengan pleositosis pada CSS,
seperti infeksi poliradikulitis dan poliomielitis kronis. Sebanyak 455 pasien diperiksa CSS
dengan hitung sel <50 sel/mikroliter. Hitung sel CSS antara 5 sampai 50 sel/mikroliter
ditemukan pada 15% pasien mengindikasikan pleositosis yang ringan. Diasosiasi sito-
albuninologik pada CSS, menjadi salah satu hal yang menonjol pada GBS, ditemukan kurang
dari setengah pasien yang diperiksa pada hari pertama setelah onset kelemahan. Satu minggu
setelah onset kelemahan, temuan tipikal GBS ditemukan mencapai sensitivitas 80%.
Pengulangan pungsi lumbal pada CSS normal mengonfirmasi diagnosis yang mungkin
membingungkan. Pengembangan lebih lanjut mungkin dibutuhkan untuk biomarker spesifik
pada degenerasi aksonal atau demielinisasi.
Pemeriksaan elektrofisiologi rutin dilakukan pada 440 pasien, biasanya pada minggu
kedua atau ketiga setelah onset kelemahan. Pada sebagian banyak pasien penemuan sesuai
dengan adanya neuropati. Subtipe yang dominan adalah inflamatori akut pada polineuropati
demielinasi (48%), terjadi pada pasien yang berasal dari negara barat. Empat puluh satu
persen pasien tidak sesuai dengan kriteria dari salah satu subtipe GBS. Pada praktek klinis
sekarang nilai subtipe berdasarkan elektrofisiologi tidak bisa menentukan dianosis. Fisiologi
saraf atau nervus mungkin berkaitan pada prognosis. Kriteria elektrofisiologi tidak bisa
dijadikan kriteria diagnosis GBS. Semua kriteri elektrofisilogi berfokus pada perbedaan
antara suptipe aksonal dan demielinisasi GBS. Subtipe GBS kompleks seperti (1)
pemeriksaan elektrofisiologi harus dengan standar dan keahlian yang tinggi, (2) variasi
klasifikasi sekarang telah berkembang, (3) pasien dengan varian aksonal mungkin
menunjukkan tanda-tanda demielinisasi, seperti blok konduksi dan latensi distal motor yang
prolong. Pada penelitian ini sebanyak 128 pasien dilakukan konduksi nervus yang serial, 5
pasien menunjukkan demielinisai polineuropati awal namun klasifikasi berubah menjadi
polineuropati aksonal setelah di follow up. Pasien ini mungkin mengalami kegagalan
konduksi yang reversibel. Nilai diagnosis dari elektrofisiologi mungkin meningkat dengan
perhitungan yang serial dan teknik yang lebih sensitif dan dengan mengembangkan kedua
kriteria GBS pada umunya dan mengoptimalkan kriteria GBS dengan variasi subtipenya.
Penemuan yang akurat pada GBS adalah tantangan karena banyaknya penyakit dengan
gejala klinis yang sama. Penelitian sekarang menunjukkan GBS mungkin berkembang
menjadi fase progresif setalah 6 minggu, kelemahan hanya pada tungkai dan refleks awal
yang normal, dan temuan klinis yang fluktuasi ditemukan pada perjalanan penyakit.
Keputusan klinis untuk mendiagnosis, monitoring, dan mengobati pasien dibuat sebelum fase
aktif penyakit dan munculnya penyakit monofasik. Tanpa bomarker yang akurat, gejala klinis
akan tetap menjadi diagnosis utama GBS. Sangat penting untuk mendokumentasikan gejala
klinis yang mengarah pada GBS pada dokter umum sebagai data klinis untuk
mengklasifikasikan GBS. Penyelidikan tambahan mungkin menjadi hal yang penting dalam
diagnosis GBS. Kriteri eektrofisiologi sangat dibutuhkan untuk membedakan variasi dari
GBS. CSS diperiksa untuk mengekslusi penyakit lain yang berkaitan dengan pleositosis,
dengan mengonfirmasi GBS dengan adanya peningkatan konsentrasi protein. Sangat
dibutuhkan Guideline untuk diagnosis, dokumentasi dan manajemen GBS pada praktik klinis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami berterima kasih anggota dari Studi GBS di Belanda, Frans van der Meche, Ruud
Kleyweg, Rinske van Koningsveld, Liselotte rutinitas, Nikki van Leeuwen, Carina
Bunschoten, dan pasien yang berpartisipasi dalam studi. Kami juga berterima kasih kepada
David C. Cornblath dan James J. Sejvar untuk komentar berharga mereka.