Anda di halaman 1dari 242

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

PT. MHU Coal merupakan perusahaan swasta nasional (PKP2B) yang

bergerak di bidang pertambangan batubara di wilayah Kabupaten Kutai

Kartanegara, Kalimantan Timur. Kegiatan perusahaan dalam hal eksplorasi dan

eksploitasi terus berjalan saat ini, menerapkan perencanaan eksplorasi dan good

mining practice sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Dalam hal

meningkatkan angka produksi pada tahun yang akan datang, PT. MHU Coal

melakukan kegiatan eksploitasi di beberapa area yang sedang berlangsung hingga

saat ini dan juga melakukan kegiatan eksplorasi di sejumlah area lainnya, salah

satunya adalah Blok Beruaq yang menjadi area penelitian.

Kegiatan eksplorasi batubara yang dilakukan di Area Blok Beruaq terdiri 3

tahap, yaitu tahap eksplorasi umum, tahap eksplorasi pendahuluan dan tahap

eksplorasi rinci. Kegiatan eksplorasi batubara ini bertujuan untuk mendapatkan

kepastian tentang endapan bahan galian tersebut yang meliputi bentuk, ukuran,

letak kedudukan, kualitas (kadar) endapan bahan galian serta karakteristik fisik

endapan bahan galian dan batuan samping (Thomas, 2002). Hal tersebut akan

memberikan keyakinan geologi dalam menentukan tingkat sumberdaya pada

masing-masing tahap. Parameter keyakinan geologi terhadap keberadaan lapisan

batubara, yaitu berdasarkan tingkat kerapatan dan kualitas titik informasi geologi

serta interpretasi geologi berdasarkan pengambilan data di lapangan.


2

Blok Beruaq merupakan bagian dari Cekungan Kutai yang memiliki nilai

ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur

Neogen yang menyusun cekungan ini antara lain adalah : Formasi Pamaluan,

Formasi Bebulu, Formasi Pulau Balang, Formasi Balikpapan, dan Formasi

Kampung Baru. Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi

Balikpapan merupakan beberapa formasi yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan

dikenal sebagai coal bearing formation atau formasi pembawa lapisan batubara

dengan jumlah yang cukup besar.

Berdasarkan informasi penelitian terdahulu menunjukkan bahwa area

penelitian memiliki potensi keterdapatan sumberdaya batubara dengan kategori

sumberdaya tereka, sehingga perlu dilakukan kegiatan tahap eksplorasi batubara

selanjutnya, yaitu eksplorasi pendahuluan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap

eksplorasi pendahuluan ini, yaitu pemetaan geologi. Tahap ini bertujuan untuk

mencari data-data berupa singkapan batuan (terutama batubara), ketebalan

batubara, kualitas batubara, jurus dan kemiringan lapisan batuan, struktur lapisan,

struktur geologi dan kondisi medan. Pengolahan data hasil pemetaan geologi

berupa persebaran sumberdaya batubara di permukaan digunakan untuk

penentuan daerah target prioritas pemboran pada tahap eksplorasi pendahuluan di

Area Blok Beruaq yang belum dilakukan pemboran sebelumnya di Sub-blok A.

Daerah prioritas pemboran ini akan sangat diperlukan dalam interpretasi

kemenerusan persebaran lapisan batubara di bawah permukaan, sehingga

keyakinan geologi meningkat ke sumberdaya kategori tertunjuk.


3

Penggunaan data pemetaan geologi juga dikorelasikan dengan data

pemboran sebelumnya yang dilakukan di Sub-blok B. Data tersebut digunakan

untuk tahap eksplorasi rinci yang menghasilkan pemodelan sumberdaya batubara

(kategori sumberdaya terukur) dan juga penentuan boundary prospect area

pertambangan yang nantinya dapat menjadi informasi penting bagi tim mining

engineering untuk mengetahui kondisi sumberdaya batubara, melakukan

perhitungan cadangan batubara dan desain pit tambang.

I.2. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah

Lokasi penelitian dilakukan di Area Blok Beruaq, PT. MHU Coal yang

terletak di Desa Sungai Payang, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai

Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 1.1). Luas daerah penelitian

29 km2.

Untuk mencapai lokasi pemetaan dibutuhkan waktu selama 2 jam dari

Kota Samarinda dengan menggunakan kendaraan roda empat, melewati jalan

aspal dari Samarinda ke Margasari. Dari Margasari, perjalanan ditempuh dengan

melewati jalan batu dengan kondisi yang berlubang, kemudian melewati jalan

hauling PT. Bara Kumala Sakti. Untuk menuju basecamp yang terletak di Dusun

Beruaq, Desa Sungai Payang, perjalanan dilanjutkan dari hauling PT. Bara

Kumala Sakti menuju hauling PT. ASTA, kemudian ke arah barat laut sekitar

15 Km dengan kondisi jalan berbatu dan berlubang. Perjalanan untuk mencapai

daerah pemetaan dari basecamp membutuhkan waktu selama 20 menit dengan

menggunakan kendaraan roda empat.


4

Gambar 1.1. Lokasi Area Blok Beruaq PT. MHU Coal.


5

I.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) Bagaimana kondisi geologi dan sumberdaya batubara di Area Blok

Beruaq?

b) Berdasarkan interpretasi geologi pada tahap eksplorasi umum terkait

kondisi stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi dan sumberdaya

batubara, bagaimanakah keyakinan geologi terhadap potensi yang ada di

Area Blok Beruaq tersebut? Apakah perlu dilakukan tahap eksplorasi

selanjutnya, yaitu tahap eksplorasi pendahuluan?

c) Pada tahap eksplorasi pendahuluan terkait geometri persebaran seam

batubara di permukaan, bagaimanakah perencanaan mengenai lokasi, arah

dan spasi titik bor prioritas pemboran batubara di Sub-blok A Area Blok

Beruaq dilakukan?

d) Berdasarkan pengolahan data hasil pemetaan geologi dan data pemboran

sebelumnya pada tahap eksplorasi rinci, bagaimanakah visualisasi model

analog persebaran sumberdaya batubara di bawah permukaan Sub-blok B

Area Blok Beruaq?

e) Berdasarkan hasil pengolahan data pemetaan geologi dan pemodelan

sumberdaya batubara yang dilakukan, dimanakah batas area prospek

(boundary prospect area) seam batubara yang layak untuk ditambang di

Sub-blok B Area Blok Beruaq?


6

I.4. Batasan Penelitian

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

a) Penelitian hanya di lakukan di Area Sub-Blok Beruaq konsesi milik PT.

MHU Coal seluas 29 km.

b) Kegiatan lapangan yang dilakukan berupa pemetaan geologi dengan

mengumpul seluruh data seperti lokasi singkapan batuan (koordinat dan

altitude), deskripsi singkapan batuan, measuring section, coal bearing of

rock, ketebalan batubara, struktur geologi (sesar, lipatan, kekar,

kedudukan perlapisan), struktur sedimen, kondisi medan dan pengambilan

conto batuan.

c) Data yang digunakan untuk penelitian berasal dari data hasil drilling dan

logging dengan spasi titik bor 250 m. Data tersebut diperoleh dari hasil

pengeboran milik PT. MHU Coal sebelumnya dan data pemetaan geologi

yang dilakukan oleh peneliti. Data tersebut berupa:

Data hasil drilling dan logging tersebut hanya mewakili Sub-blok

B area penelitian, yaitu data poin topografi, data lokasi lubang bor,

data kualitas batubara dan data litologi (hanya batubara)

Data hasil pemetaan geologi, terkait litologi, struktur geologi,

geomorfologi, kondisi alam, serta pengambilan sampel batuan baik

batubara maupun non batubara.


7

d) Pemodelan sumberdaya dilakukan:

Menggunakan software Minescape, untuk menghasilkan model

(fisik) persebaran seam batubara di Sub-Blok B, yang ditampilkan

dalam bentuk penampang stratigrafi (2D) dan persebaran seam 3D.

Pemodelan terhadap seam batubara yang ketebalan > 1 m.

Pemodelan difokuskan untuk lokasi persebaran seam batubara

Arah dan kemiringan seam batubara dan pola persebaran batubara.

e) Penentuan daerah target prioritas pemboran hanya dilakukan di Sub-blok

A, dimana pada blok ini belum ada data pemboran, jadi difokuskan untuk

penentuan lokasi pemboran pendahuluan. Berikut penjelasannya:

Penentuan titik bor dilakukan berdasarkan hasil interpretasi

pemetaan geologi, yaitu persebaran batubara di permukaan (coal

cropline).

Korelasi seam batubara memenuhi kriteria antara lain ketebalan

seam berkisar antara tipis (0,5-1,5 m) hingga sangat tebal (>25 m),

tingkatan batubara: low rank - high rank dan penyebaran yang

menerus (ratusan meter).

Penentuan titik bor yang dilakukan dengan jarak spasi titik bor 250

- 500 m (closer spaced drilling ), dengan pola sebaran titik bor

Fence line drilling dan/ Specific area drilling.

f) Penentuan batas area prospek (boundary prospect area) dilakukan di Sub-

blok B, dimana di sub-blok ini akan dilakukan pengolahan data singkapan


8

dan data pemboran sebelumnya. Berikut penjelasan mengenai teknis

penentuan batas area prospek di Sub-blok B Area Blok Beruaq:

Pemodelan boundary prospect area di lakukan pada setiap seam

yang memenuhi syarat aspek ekonomis, yaitu ketebalan seam 1

m, kualitas batubara > lignit, kemenerusan lapisan jelas dan pola

kedudukan perlapisan teratur.

Metode penentuan batas area prospek yang dipakai adalah metode

incremental pit expansion and cash flow (Sasongko, 2009).

Penentuan batas area prospek didukung oleh model analog

sumberdaya batubara hasil pengolahan Minescape.

I.5. Maksud dan Tujuan

Penelitian ini dimaksudkan untuk kegiatan eksplorasi sumberdaya

batubara yang dilakukan guna mengidentifikasi keterdapatan, keberadaan, ukuran,

bentuk, sebaran, kuantitas dan kualitas endapan batubara yang ada di daerah

penelitian.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Memberikan informasi mengenai kondisi geologi dan sumberdaya

batubara di Area Blok Beruaq.

b) Melakukan pemodelan sumberdaya batubara di Sub-blok B Area Blok

Beruaq.

c) Memberikan rekomendasi mengenai daerah target prioritas pemboran

(eksplorasi pendahuluan) di Sub-blok A dan batas area prospek (boundary

prospect area) pertambangan (eksplorasi rinci) di Sub-blok B.


9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1. Geologi Regional

II.1.1. Konfigurasi cekungan dan evolusi tektonik

Berdasarkan lokasi geografis, daerah penelitian merupakan bagian dari

Cekungan Kutai. Cekungan Kutai merupakan cekungan terbesar dan terdalam di

Indonesia bagian timur, yaitu dengan luas 165.000 km dan mengandung

endapan berumur Tersier dengan ketebalan mencapai 12.000 - 14.000 km

(Satyana, 1998). Cekungan Kutai terletak di sebelah timur Kalimantan. Cekungan

Kutai terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Cekungan Kutai bagian atas dan Cekungan

Kutai bagian bawah. Cekungan Kutai bagian atas terdapat di bagian barat laut

yang merupakan area yang terangkat karena proses tektonik pada Miosen Bawah,

sedangkan Cekungan Kutai bagian bawah terdapat di bagian timur dan lebih

banyak dikenali pada endapan Neogennya daripada endapan-endapan regangan

selama Paleogen yang merupakan deposenter di Cekungan Kutai bagian atas.

Regangan-regangan yang terbentuk selama Paleogen tersebut telah mengalami

inversi dan tererosi selama Neogen (Moss & Chambers, 1999).

Daerah penelitian termasuk dalam Cekungan Kutai bagian bawah,

Cekungan Kutai bagian bawah dibatasi oleh 2 sesar berarah timur laut barat

daya. Sesar-sesar tersebut adalah Sesar Adang di bagian selatan dan Sesar

Sangkulirang di bagian utara. Terdapat suatu kelurusan di bagian selatan Sesar

Sangkulirang yang dikenal sebagai kelurusan Bungalun. Kelurusan yang berarah


10

NW - SE ini membatasi Cekungan Kutai bagian bawah dan menjadi batas

perubahan ketebalan sekuen sedimen neogen.

Moss dan Chambers (1999), menyebutkan evolusi tektonik Cekungan

Kutai terbagi dalam 3 fase tektonik, yaitu : Fase Syn-rift pada Eosen Tengah

Eosen Akhir, Fase Sagging pada Eosen Akhir Oligosen, Fase Pengangkatan dan

Penurunan pada Oligosen Akhir Miosen (Gambar 2.1). Berikut penjelasan

mengenai ketiga fase tektonik yang terjadi di Cekungan Kutai:

a. Fase Syn-rift pada Eosen Tengah Eosen Akhir

Pembentukan Cekungan Kutai dimulai dengan terbentuk sejumlah

regangan berarah timur laut - barat daya pada Kala Eosen Tengah. Regangan

terbentuk karena ekstensi yang memisahkan Kalimantan dan Sulawesi bagian

selatan dan membentuk Selat Makasar sebagai akibat adanya kolisi mikrokontinen

dan subduksi di bagian barat laut Kalimantan dan pembentukan Pegunungan

Kalimantan Tengah. Pada fase ini dengan cepat terendapkan sedimen syn-rift.

Regangan ini membentuk seri half graben (Moss & Chambers, 1999). Pengisian

graben graben ini terdiri 2 tipe, yaitu endapan asal darat pada bagian barat dan

endapan asal laut pada bagian timur. Pengisian graben oleh material asal laut ini

akibat dari graben yang berada di bawah muka air laut. Graben di bagian barat

mungkin terisi oleh endapan-endapan kasar yg berasal dari kipas alluvial (Gambar

2.1).

b. Fase Sagging Eosen Akhir Oligosen

Pada Eosen Akhir, ekstensi Selat Makasar mengakibatkan adanya

subsidence. Ekstensi ini mengakibatkan paleogeografi menjadi lebih dalam


11

daripada paleeogeografi sebelumnya, sehingga banyak dipengaruhi oleh proses

asal laut. fase ini secara regional yang menghasilkan sedimen laut dalam yang

didominasi oleh shale yang cukup tebal, dan tinggian basement dan batas margin

terbetuk batuan karbonat (Gambar 2.1). Kemudian terjadi ketidakselarasan akibat

adanya gaya ekstensi baru yang berorientasi tegak lurus terhadap ekstensi pada

Kala Eosen (Gambar 2.1). Hal ini menunjukkan adanya arah gaya pembentuk

sesar yang berbeda di kedua kala tersebut (Moss & Chambers, 1999).

c. Fase inversi dan progradasi Miosen

Pada awal Miosen ini terjadi tektonik inversi pada cekungan sehingga

terjadi pendangkalan dan dengan dimulainya progradasi delta ke arah timur. Fase

inversi ini terus berlangsung hingga saat ini. Inversi ini terjadi akibat ekstensi

Laut Cina Selatan pada 14 juta tahun yang lalu serta adanya kolisi blok Palawan

Utara dengan blok Palawan Selatan membentuk deformasi kontraksi berarah

barat laut tenggara (McClay et al., 2000). Rotasi pulau Kalimantan dengan arah

putaran berlawanan arah jarum jam pada 20 juta tahun yang lalu juga

mempengaruhi terjadinya inversi ini (McClay et al., 2000). Subduksi di bagian

timur Sulawesi (McClay et al., 2000), menghasilkan kolisi Banggai-Sula pada 10

juta tahun yang lalu. Kolisi pada 10 juta tahun yang lalu ini menyebabkan

terjadinya percepatan inversi dan memperkuat terbentuknya sabuk lipatan

Mahakam. Rezim kontraksi dengan arah barat laut tenggara berlangsung hingga

saat ini, diikuti dengan adanya pergerakan lempeng Indo-Australia ke arah utara

menuju ke busur Banda (McClay et al., 2000).


12

Gambar 2.1. Evolusi tektonik Cekungan Kutai,


A) Model pengendapan pada fase awal syn-rift yang terjadi selama Eosen Tengah
Eosen Akhir, terlihat adanya perbedaan geometri regangan di sisi transfer
fault (Moss & Chambers, 1999).
B) Model pengendapan pada fase sagging yang terjadi selama Eosen Akhir
Oligosen Akhir, tampak patahan ekstensional relatif berarah utara - selatan
(Moss & Chambers, 1999).
C) Model pengendapan pada 25 juta tahun yang lalu, terjadi aktifitas tektonik dan
pengendapan material vulkanik Sintang dan terlihat adanya perbedaan geometri
patahan ekstensional yang berarah relatif barat laut tenggara (Moss &
Chambers, 1999).
D) Model sedimentasi selama inversi Akhir Miosen (Moss & Chambers,1999).

II.1.2. Fisiografi Cekungan Kutai

Supriatna, dkk. (1995) menyebutkan bahwa dari barat ke timur Cekungan

Kutai secara fisiografis dibagi menjadi 3 zona geomorfologi yang memanjang dari

utara ke selatan (Gambar 2.2), yaitu:

1. Rawa-rawa, merupakan zona sinklinorium yang pada permukaannya

berkembang menjadi rawa. Zona ini berkembang di bagian barat

Cekungan, di hulu Sungai Mahakam.


13

2. Pegunungan Antiklinorium Samarinda, merupakan zona yang terdiri dari

perbukitan bergelombang sedang hingga kuat dan memanjang dengan arah

relatif timur laut barat daya. Puncak-puncak bukit dan gunung di zona

ini memiliki ketinggian antara 300 - 400 meter yang tersusun seluruhnya

oleh batuan sedimen, membentuk morfologi lembah dan perbukitan

bergelombang sedang hingga kuat. Zona ini berada pada bagian tengah

dan menempati sebagian besar Cekungan Kutai.

3. Delta Mahakam, merupakan area yang terletak di bagian paling timur

Cekungan Kutai. Kondisi morfologi komplek ini berupa perbukitan lemah

sampai dataran delta yang berkembang menjadi delta hasil sedimentasi

Sungai Mahakam yang menuju Selat Makasar dan memiliki potensi

minyak bumi yang besar.

Gambar 2.2. Fisiografi Cekungan Kutai menurut Supriatna, dkk.


(1995).
Daerah penelitian merupakan bagian dari Zona Pegunungan Antiklinorium

Samarinda, yaitu ditandai oleh kotak merah pada Gambar 2.2.


14

II.1.3. Stratigrafi regional Cekungan Kutai

Menurut Allen dan Chambers (1998), Cekungan Kutai tersusun atas

endapan-endapan sedimen berumur Tersier yang memperlihatkan endapan fase

transgresi dan regresi laut, yaitu:

a. Fase transgresi Paleogen

Fase sedimentasi Paleogen dimulai ketika terjadi fase tektonik

ekstensional dan pengisian cekungan (syn-rift) dimulai pada Kala Eosen Awal.

Pada masa ini merupakan awal dari proses pembentukan Cekungan Barito, Kutai

dan Tarakan yang merupakan zona subsidence yang saling terhubungkan

(Chambers dan Moss, 2000). Pada Kala Eosen hingga Kala Oligosen Bawah

terjadi penurunan cekungan yang menyebabkan terjadinya kenaikan muka air laut

(transgresi). Pada saat transgresi ini terjadi pengendapan sedimen laut dari arah

timur ke barat dan selatan di lingkungan pasang-surut hingga laut dalam,

sedangkan di tempat lain terjadi pembentukan batugamping di bagian paparan.

Proses sedimentasi Paleogen mencapai puncak pada fase pengisian pada saat

cekungan tidak mengalami pergerakan yang signifikan, sehingga mengendapkan

serpih laut secara regional dan batuan karbonat pada Oligosen Akhir. Pada akhir

Kala Oligosen terjadi orogenesa yang menyebabkan wilayah Paparan Sunda

mengalami pengangkatan menjadi Tinggian Kuching dan Blok Schwaner. Hal

tersebut menyebabkan terjadinya pengendapan yang tidak selaras di atas batuan

yang lebih tua.


15

b. Fase regresi Neogen

Fase sedimentasi regresi Neogen dimulai pada Miosen Awal hingga

sekarang, yang menghasilkan progradasi delta (deltaic progradation) yang masih

berlanjut hingga sekarang. Penurunan muka air laut yang terjadi pada saat

pengendapan lapisan-lapisan sedimen di Cekungan Kutai, hal ini menyebabkan

terjadinya regresi yang menghasilkan lapisan-lapisan klastik deltaik hingga

paralik yang mengandung banyak lapisan-lapisan batubara dan lignit.

Progradasi terjadi dari arah barat ke timur menuju laut terbuka Selat

Makasar. Pada fase ini di Cekungan Kutai terbentuk formasi lapisan sedimen yang

menunjukkan fasies pasang-surut di lingkungan deltaik hingga neritik

(Schlumberger, 1986). Hal tersebut menunjukkan siklus endapan deltaik yang

dominan ditemukan di cekungan ini. Tiap siklus endapan dimulai dengan endapan

paparan delta (delta plain) yang terdiri dari endapan rawa (marsh), endapan alur

sungai (channel), point bar, tanggul-tanggul sungai (natural levees) dan crevasse

splay. Di tempat yang lebih dalam diendapkan sedimen delta front dan prodelta.

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Samarinda (Supriatna dkk., 1995),

stratigrafi Cekungan Kutai dibagi dari tua ke muda menjadi Formasi Pamaluan,

Formasi Bebuluh, Formasi Pulaubalang, Formasi Balikpapan dan Formasi

Kampung Baru. Berikut penjelasan stratigrafi tiap formasi (Gambar 2.3):

1. Formasi Pamaluan (Tomp)

Formasi ini tersusun oleh litologi batupasir kuarsa dengan sisipan

batulempung, batulanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa


16

bersifat karbonan dan gampingan dengan struktur sedimen berupa silang-siur dan

perlapisan sejajar. Batugamping muncul sebagai batugamping terumbu dan

batugamping berlapis secara setempat dan mengandung foraminifera besar

Ketebalan lapisan batupasir kuarsa ini berkisar antara 1-2 meter, lapisan

batulempung sekitar 45 cm, lapisan serpih berkisar antara 10-20 cm dan. Secara

umum pada bagian bawah formasi ini bersifat lebih gampingan dan lebih banyak

mengandung foraminifera plankton dibandingkan pada bagian atas. Tebal

keseluruhan formasi ini kurang lebih 2000 meter. Pengendapan formasi ini

dimulai sejak Miosen Awal di batimetri Neritik Luar hingga Neritik Dalam.

Formasi Pamaluan merupakan batuan tertua yang tersingkap di Cekungan Kutai

dan bagian atas formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh.

2. Formasi Bebuluh (Tmb)

Formasi ini tersusun oleh litologi batugamping terumbu dengan sisipan

batugamping pasiran dan serpih. Batugamping menghablur dan terkekarkan tak

beraturan di beberapa tempat. Foraminifera besar berupa Lepidocyclina

Sumatraensis BRADY, Miogypsina sp., Miogypsinoides sp., dan Operculina sp.

menunjukkan umur Miosen Awal hingga Miosen Tengah. Formasi ini mengalami

pengendapan di lingkungan laut dangkal dengan ketebalan sekitar 300 meter.

3. Formasi Pulau Balang (Tmpb)

Formasi ini terdiri dari litologi berupa perselingan antara graywacke dan

batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tuff

dasit. Graywacke berwarna kelabu kehijauan dan padat. Tebal lapisan antara 50

100 cm. Batupasir kuarsa berwarna kelabu kemerahan, setempat bersifat tufan dan
17

gampingan. Tebal lapisan antara 15 60 cm. Batugamping berwarna coklat muda

kekuning-kuningan, batugamping ini terdapat sebagai sisipan dan lensa dalam

batupasir kuarsa, tebal lapisan antara 10 40 cm. Batulempung berwarna kelabu

kehitaman dengan tebal lapisan 1 2 cm. Batulempung ini berselingan dengan

batubara dengan tebal hingga 4 m secara setempat. Tufa dasit yang berwarna

putih merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa.

Di Sungai Loa Haur, singkapan formasi ini mengandung foraminifera

besar antara lain : Austrotrilina howchini, Borelis sp., Lepidocyclina sp., dan

Miogypsina sp. yang menunjukkan umur Miosen Tengah dengan batimetri laut

dangkal. Ditemukannya fragmen batubara pada batuan yang ada pada formasi ini

menunjukkan bahwa terdapat pengangkatan di daerah barat.

4. Formasi Balikpapan (Tmbp)

Formasi Balikpapan terdiri dari beberapa siklus endapan delta yang terdiri

dari perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping

dan batubara. Batupasir kuarsa berwarna putih kekuning-kuningan, tebal lapisan

berkisar antara 1 3 m dan disisipi lapisan batubara tebal 5 10 cm.

Batupasir gampingan berwarna coklat, berstruktur sedimen lapisan

bersusun dan silang siur. Tebal lapisan batupasir ini berkisar antara 20 40 cm,

mengandung foraminifera kecil dan disisipi lapisan tipis karbon. Batulempung

berwarna kelabu kehitam-hitaman, setempat mengandung sisa tumbuhan dan

oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan. Setempat batulempung ini

mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Batulanau gampingan muncul

dalam bentuk lapisan tipis. Batuserpih juga muncul dalam bentuk lapisan tipis.
18

Batugamping pasiran mengandung foraminifera besar dan moluska yang

menunjukkan umur Miosen Tengah bagian atas hingga Miosen Akhir bagian

bawah. Lingkungan pengendapan formasi ini terletak pada perengan paras delta

dataran delta. Tebal formasi sekitar 1000 1500 meter. Formasi ini memiliki

hubungan stratigrafi menjari dengan Formasi Pulau Balang.

5. Formasi Kampung Baru (Tmpk)

Formasi ini tersusun atas batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung,

serpih, batulanau, dan lignit. Batupasir umumnya berwarna putih, lepas - lepas,

setempat mengandung lapisan tipis oksida besi, konkresi, tuf lanauan, batupasir

konglomeratan, dan konglomerat. Formasi ini terbentuk pada Miosen Akhir dan

berakhir pada Pleistosen, terbentuk di lingkungan pengendapan delta hingga laut

dangkal, dengan ketebalan sedimen >500 m. Formasi ini terbentuk di atas Formasi

Balikpapan dengan hubungan selaras.

6. Aluvium (Qa)

Alluvium ini terdiri dari kerikil, pasir dan lumpur yang terendapkan secara

tidak selaras di atas Formasi Kampung Baru pada lingkungan sungai, rawa, delta

dan pantai. Pengendapan formasi ini masih terus berlangsung hingga sekarang.
19

Gambar 2.3. Kolom Stratigrafi Cekungan Kutai (modifikasi dari Supriatna et al., 1995).

Berdasarkan hasil plotting lokasi Blok Beruaq di Peta Geologi Regional

Lembar Samarinda, Kalimantan Timur (Supriatna, dkk, 1995) menunjukkan

bahwa Blok Beruaq termasuk ke dalam Formasi Pulau Balang di bagian timur dan

Formasi Balikpapan di bagian barat laut (Gambar 2.4).


Gambar 2.4. Peta Geologi Regional Daerah Penelitian (modifikasi dari Supriatna et al., 1995). Formasi Pulau Balang tersingkap di bagian timur daerah
penelitian, sedangkan Formasi Balikpapan terletak di bagian barat daerah penelitian.
20
21

II.I.4. Struktur geologi regional Cekungan Kutai

Struktur geologi yang paling jelas terlihat pada Cekungan Kutai berupa

adanya pegunungan lipatan memanjang yang disebut sebagai Sabuk Lipatan

Mahakam (Gambar 2.5, Gambar 2.6 dan Gambar 2.7). Sabuk lipatan ini terdapat

pada area darat dengan sangat intensif dan berkurang intensitasnya ke arah timur.

Antiklin yang terdapat pada cekungan ini umumnya asimetris, panjang, dan

dibatasi oleh patahan (thrust fault-bounded anticline). Antiklin ini memiliki

orientasi utara-timur laut selatan-barat daya dengan lebar sekitar 2 5 km dan

panjang sekitar 50 km. Antiklin antiklin ini dipisahkan oleh adanya sinklin yang

luas dan terbuka (McClay et al., 2000). Bagian barat dari sabuk lipatan Mahakam

ini disebut sebagai Antiklinorium Samarinda (Ott, 1987).

Gambar 2.5. Peta struktur geologi Cekungan Kutai bagian bawah yang menunjukkan adanya
sabuk lipatan Mahakam. Daerah penelitian terletak di sekitar Sinklin Gitan yang
tergambar dalam kotak merah (modifikasi dari McClay et al., 2000).
22

Gambar 2.6. Sayatan geologi dari peta struktur geologi pada Gambar 2.8 (warna menunjukkan
adanya perlapisan batuan tanpa nama formasi). Daerah penelitian terletak di sekitar
Gitan (modifikasi dari McClay et al., 2000).

Gambar 2.7. A) Area penelitian merupakan bagian dari Antiklinorium Samarinda dengan
orientasi struktur perlipatan searah dengan garis pantai, yaitu timur laut-barat
daya (NNE-SSW). B) Tampak perbukitan dan lembah di bagian tengah
cekungan, yaitu kenampakan perlipatan asimetris antiklin dan sinklin yang
berasosiasi dengan sesar naik, sesar turun dan sesar mendatar (Cloke et al., 1999).
23

II.2. Dasar Teori

II.2.1. Eksplorasi sumberdaya batubara

Eksplorasi batubara merupakan kegiatan untuk menemukan area yang

berpotensi akan keterdapatan sumberdaya batubara berdasarkan penyelidikan geologi

(Ward, 1984). Penyelidikan geologi berkaitan dengan kegiatan pemetaan geologi dan

pemboran di lapangan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi keterdapatan,

keberadaan, ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, serta kualitas dari suatu endapan

batubara (Kang, 2010). Hal tersebut sebagai dasar untuk menentukan tingkat

keyakinan geologi dan kelas sumberdaya batubara yang dihasilkan.

Menurut Noppe (1992) tahapan penyelidikan dalam kegiatan ekplorasi

batubara umumnya dilaksanakan melalui 3 tahap, yaitu eksplorasi umum, eksplorasi

pendahuluan dan eksplorasi rinci (Tabel 3.1). Berikut penjelasan mengenai kegiatan

eksplorasi tersebut:

II.2.1.1. Eksplorasi umum

Tahap eksplorasi umum bertujuan untuk mengidentifikasi daerah berpotensi

bagi keterdapatan endapan batubara pada skala regional berdasarkan hasil studi

geologi regional (Merrit, 1986). Eksplorasi umum pada kegiatan eksplorasi terbagi

menjadi 2 macam, yaitu studi pustaka dan reconnaissance detail. Berikut

penjelasannya:
24

a. Studi Pustaka

Pada tahap studi pustaka dilakukan kompilasi data-data geologi regional area

yang terkait dan melakukan interpretasi kondisi geologi yang mengontrol secara

regional. Studi tersebut dapat berasal dari literatur yang dipublikasi maupun yang

tidak dipublikasi, peta geologi regional, peta dasar topografi, citra satelit maupun foto

udara. Pengumpulan semua literatur yang berhubungan dengan daerah yang akan

diselidiki, termasuk mempelajari peta-peta dasar seperti peta geologi, peta topografi

serta laporan dari penyelidikan terdahulu.

Penaksiran data-data geologi regional terkait area penelitian akan memberikan

gambaran dan interpretasi mengenai kondisi stratigrafi, geomorfologi, stratigrafi

maupun sumberdaya yang ada. Tahap ini berguna untuk membantu dalam kegiatan

survei tinjau lapangan (reconnaissance detail), yaitu dengan mengetahui lokasi-lokasi

mana saja yang dianggap menarik untuk dilakukan pengecekan lapangan, baik

melalui pengamatan singkapan maupun pemboran. Setelah pemilihan lokasi

ditentukan langkah berikutnya, studi faktor-faktor geologi regional dari peta geologi

regional sangat penting untuk memilih daerah eksplorasi, karena pembentukan

endapan bahan galian dipengaruhi dan tergantung pada proses-proses geologi yang

pernah terjadi, dan tanda-tandanya dapat dilihat di lapangan.

b. Survei tinjau (reconnaissance detail)

Tahap eksplorasi survei tinjau (reconnaissance detail) merupakan tahap

peninjauan lapangan di beberapa lokasi secara sekilas untuk mengetahui keadaan


25

lokasi dan infra-struktur secara umum terutama kesampaian daerahnya serta perijinan

dan koordinasi dengan aparatur pemerintah desa. Kegiatan yang dilakukan, yaitu

pengecekan singkapan yang dianggap mmenarik, pengeboran dan pengambilan

sampel untuk analisis kimia.

Pengecekan singkapan terkait dengan jenis litologi, deskripsi litologi,

kemiringan perlapisan, struktur geologi, tingkat pelapukan, keberadaan seam

batuabara, ketebalan seam, dll. Pengecekan singkapan hanya dilakukan pada

beberapa singkapan yang tersebar secara merata, hal tersebut dilakukan untuk melihat

secara umum persebaran litologi, kemiringan perlapisan, struktur geologi, karakter

seam batubara di area penelitian. Pengecekan ini juga berguna dalam perencanaan

lintasan pada tahap survei lapangan eksplorasi selanjutnya.

Pengeboran pada tahap ini dilakukan untuk melihat persebaran litologi baik

non batubara maupun batubara di bawah permukaan area penelitian. Menurut Noppe

(1992), pengeboran yang dilakukan pada tahap ini dengan spasi jarak titik bor yang

lebar (wide-spaced grid) dengan spasi berkisar antara 3 - 5 km atau pengeboran juga

dapat dilakukan pada titik tertentu yang dianggap menarik berdasarkan hasil

interpretasi geologi regional, pola pengeboran ini disebut juga selectively placed

drilling. Pengambilan sampel batubara dilakukan untuk melihat tingkatan batubara

yang ada di area penelitian melalui analisis kimia di laboratorium. Sampel batubara

diambil baik dari singkapan maupun core pada pengeboran.


26

II.2.1.2. Eksplorasi pendahuluan

Menurut Noppe (1992), eksplorasi pendahuluan merupakan tahap awal

evaluasi terhadap target dengan cara mengidentifikasi dan menginvestigasi target

yang telah direncanakan atau disebut tahap target identification and investigation

(preliminary evaluation). Tahapan ini melalui penaksiran lapangan secara rinci

dengan melakukan kegiatan pemetaan geologi dan pengeboran serta logging.

Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan Gambaran keadaan geologi yang

mengontrol, startigrafi, struktur geologi, sebaran batubara, kualitas dan kuantitas

sumberdaya batubara serta kondisi medan. Menurut Thompson (2005), teknik

investigasi pada tahap eksplorasi pendahuluan dibagi menjadi 2 kegiatan, yaitu

pemetaan geologi (surface mapping) dan subsurface investigation yang terdiri dari

pemboran dan geophysical logging. Berikut penjelasan mengenai kegiatan pada tahap

eksplorasi pendahuluan:

a. Pemetaan geologi (surface mapping)

Pemetaan geologi merupakan kegiatan survei lapangan secara rinci dengan

tujuan untuk mendapatkan seluruh data mengenai keadaan geologi melalui

pengamatan singkapan pada beberapa titik yang tersebar dan measuring section pada

jalur yang telah direncanakan. Data-data yang dikumpul dari kegiatan pemetaan

geologi ini berupa jenis litologi, deskripsi litologi, kemiringan perlapisan, struktur

geologi, tingkat pelapukan, identifikasi seam batuabara dan sumberdaya lainnya,

ketebalan batuan dll. Data-data tersebut akan diinterpretasi melalui pembuatan


27

laporan pemetaan geologi yang berisikan peta-peta, seperti peta geologi, peta

geomorfologi, peta struktur geologi, pola penyaluran, dll. Interpretasi tersebut

diharapkan akan memberikan Gambaran kondisi geologi yang lengkap dan

komprehensif, sehingga dapat memberikan rekomendasi terhadap investigasi yang

lebih rinci pada tahap eksplorasi selanjutnya.

Menurut Merrit (1986), data-data hasil pemetaan geologi yang dikompilasi

dengan data sebelumnya dapat digunakan untuk perencanaan pemboran yang lebih

rinci pada tahap eksplorasi selanjutnya, yaitu:

- Menentukan daerah prioritas pemboran

- Membuat peta rencana pemboran

- Menentukan grid pemboran dengan mempertimbangkan tipe lapisan

- Menentukan koordinat titik bor

- Mengevaluasi hasil data bor guna perencanaan titik bor selanjutnya

b. Subsurface Investigation

Subsurface investigation terdiri dari kegiatan pemboran dan geophysical

logging. Kegiatan pemboran dan logging di dalam eksplorasi batubara menjadi hal

yang sangat penting untuk mengetahui kondisi persebaran lapisan batubara di bawah

permukaan (Thomas, 1994). Data hasil pemboran dapat meningkatkan keyakinan

geologi dari aspek geologi. Hasil dari kegiatan ini akan diperoleh data mengenai

kondisi batubara yang terdapat di bawah permukaan, antara lain meliputi ketebalan,

jumlah seam batubara, kedalaman batubara dari permukaan, kekerasan lapisan batuan
28

penutup (overburden) dan pengapit batubara (interburden) serta perhitungan

sumberdaya dan pengambilan sample berupa core dan cutting.

Metode pemboran yang dilakukan dengan spasi antar titik bor yang lebih

rapat (closer spaced drilling), yaitu spasi titik bor 1 km. Untuk nilai yang lebih

spesifik akan tergantung kompleksitas geologi yang mengontrol di area penelitian

(Tabel 3.1). Pola persebaran titik bor dengan pola grid space yang teratur dan berjajar

atau disebut fence line drilling, namun dapat juga digabung dengan pola specific area

drilling. Pengeboran dengan pola specific area drilling dilakukan pada zona tertentu

yang berdasarkan hasil interpretasi geologi (surface mapping interpretation)

dianggap menarik untuk diselidiki lebih lanjut, seperti zona sesar, zona patahan, zona

intrusi dll. Metode geofisika atau logging membantu dalam hal interpretasi data

mengenai persebaran litologi yang ada, yaitu melalui log gamma ray dan density.

Data yang diperoleh melalui logging memiliki kelebihannya tersendiri, yaitu dapat

merekam variasi litologi yang ada di bawah permukaan, keberadaan dan ketebalan

seam batubara dan juga membantu dalam melakukan korelasi seam batubara.

Dari kegiatan subsurface investigation akan dihasilkan data untuk dilakukan

pemodelan fisik persebaran geologi dan gambaran mengenai sumberdaya batubara,

hal ini memberikan alasan untuk penetapan apakah daerah survei yang bersangkutan

memberikan harapan baik (prospek) atau tidak. Jika daerah tersebut mempunyai

prospek yang baik, maka dapat diteruskan dengan tahap eksplorasi selanjutnya.
29

II.2.1.3. Eksplorasi rinci

Tahap eksplorasi rinci juga disebut sebagai tahap prospective selection and

investigation (Noppe,1992). Tahap eksplorasi rinci bertujuan untuk mendelineasi

secara rinci dalam 3 dimensi terhadap endapan batubara yang telah diketahui dari

pengambilan conto dari singkapan, paritan, lubang bor dan bukaan tambang. Jarak

sampling yang rapat, sehingga ukuran, bentuk, sebaran, kemenerusan, kuantitas dan

kualitas dari endapan batubara tersebut dapat ditentukan dengan tingkat ketelitian

yang tinggi (Noppe, 1992). Menurut Merrit (1987), hasil akhir dari kegiatan

eksplorasi rinci juga dapat mendukung mine plan engineer dalam mendesign dan/atau

mengembangkan pertambangan. Kegiatan utama yang dilakukan, yaitu evaluasi

pendahuluan dan sampling serta pemodelan sumberdaya.

Evaluasi yang dilakukan terkait area target yang telah dipilih, yaitu area yang

memenuhi syarat untuk evalusi lebih lanjut (prospective selection area). Area yang

dipilih berdasarkan hasil interpretasi pada tahap eksplorasi pendahuluan dan juga

pemodelan sumberdaya. Area yang menjadi target, yaitu area yang terdapat

persebaran seam batubara dengan ketebalan yang memenuhi syarat, kemenerusan

yang jelas, kualitas > lignit, bernilai ekonomis untuk proses penambangan (berkaitan

dengan kemiringan seam dan overburdence). Model fisik persebaran yang diproses

menggunakan sangat membantu dalam evaluasi sumberdaya. Pemodelan sumberdaya

sangat membantu dalam proses melihat area mana yang sangat prospek untuk

ditambang nantinya, karena dengan adanya model fisik persebaran seam batubara,
30

dan juga section stratigraphic, kontur struktur, coal cropline, kualitas dan kuantitas

akan terlihat jelas di mana saja seam yang prospek.

Untuk pemodelan sumberdaya yang rinci, perlu adanya kegiatan pemboran

dan logging yang lebih rinci. Metode pemboran yang dilakukan yaitu dengan jarak

antar titik bor yang lebih rapat, yaitu dengan grid space 500 m (closer spaced

drilling), namun untuk jarak yang lebih spesifik perlu ditinjau kembali tingkat

kompleksitas geologi yang mengontrol (Tabel 3.1). Kedalaman lubang bor harus

lebih dalam 5 m dari kedalaman target yang ditentukan. Core drilling pada tahap

pemboran ini sangat diperlukan untuk pengambilan sampel uji geotek, selain sampel

seam batubara yang ditargetkan. Open-hole logging yang dilakukan untuk merekam

seluruh variasi litologi sepanjang lubang bor menembus formasi batuan.

Data yang didapatkan pada tahap sebelum evaluasi harus akurat mengenai

kedalaman, ketebalan, kemiringan dan penyebaran sumberdaya secara 3 dimensi

(panjang-lebar-tebal) serta data mengenai kekuatan batuan sampling, kondisi air

tanah dan penyebaran struktur akan sangat memudahkan perencanaan kemajuan

tambang, lebar/ukuran bahwa bukaan atau kemiringan lereng tambang. Juga penting

untuk merencanakan produksi bulanan/tahunan dan pemilihan peralatan tambang

maupun prioritas bantu lainnya.


31

Tabel 2.1. Kerangka kegiatan eksplorasi.


32

II.2.2. Batubara

Batubara merupakan komponen penting sebagai energi alternatif yang

dibutuhkan selain minyak dan gas. Batubara merupakan batuan sedimen yang

tersusun atas > 80 % material organik, sehingga persebaran lapisannya mengikuti

batuan sedimen yang ada di sekitarnya. Endapan Batubara merupakan endapan hasil

akumulasi material organik yang berasal dari bekas tumbuhan yang telah melalui

proses penggambutan dan pembatubaraan litifikasi untuk membentuk lapisan

batubara. Material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses

metamorphosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologis. Bahan-

bahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat lebih dari

50% atau volume bahan organik tersebut, termasuk kandungan lengas bawaan

(Inherent moisture), lebih dari 70% (BSN, 2011).

II.2.3. Lingkungan pengendapan batubara

Batubara sendiri umumnya banyak ditemukan pada lingkungan pengendapan

rawa paralis, terutama lingkungan pengendapan delta. Menurut Horne dkk (1978),

lingkungan pengendapan batubara di delta (Gambar 2.6) dapat dibagi menjadi empat

bagian, yaitu:

1. Lingkungan back barrier, memiliki ciri-ciri endapan batubara lapisan yang

tipis, penyebaran lateral tidak menerus dan memiliki kandungan sulfur yang

tinggi.
33

2. Lingkungan lower delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan

lapisan yang tipis, penyebaran luas dan distribusi kandungan sulfur bervariasi.

3. Lingkungan transisi antara lower dan upper delta plain, memiliki ciri-ciri

endapan batubara dengan lapisan tebal, penyebaran lateral luas, serta rendah

sulfur.

4. Lingkungan upper delta plain - fluvial, memiliki ciri-ciri endapan batubara

dengan lapisan cukup tebal, setempat dan umumnya penyebaran lateral tidak

merata dengan kandungan sulfur yang rendah.

Gambar. 2.8. Lingkungan pengendapan batubara pada daerah delta (Horne dkk, 1978).
34

II.2.4. Geometri batubara

Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu

lapisan batubara yang meliputi parameter ketebalan, kemiringan, kemenerusan,

keteraturan, sebaran, bentuk, kondisi roof dan floor, cleat, dan pelapukan (Kuncoro,

2000). Pembahasan dan pemahaman geometri lapisan batubara harus dikaitkan

dengan kegiatan eksplorasi dan penambangan batubara. Pada tahap eksplorasi akan

sangat membantu di dalam usaha menentukan besarnya sumberdaya batubara, yang

nanti akan sangat membantu untuk evaluasi pada setiap tahap eksplorasi, perencanaan

pengembangan atau perluasan daerah eksplorasi, sebaran kualitas dan sekaligus

kuantitas, keputusan mendirikan usaha pertambangan dan rencana penambangan.

Kondisi lapisan batubara di lapangan dijumpai dalam urutan yang tidak

teratur, pelamparan yang terbatas, sebaran tidak teratur, tidak menerus, menebal,

menipis, terpisah, dan melengkung dengan geometri yang bervariasi. Kondisi

geometri lapisan batubara yang demikian, dapat dipahami jika hubungannya dengan

lapisan batuan yang berasosiasi (lingkungan pengendapan) diperhitungkan bersamaan

dengan proses tektonik yang mempengaruhinya (Horne, 1978). Agar geometri lapisan

batubara menjadi berarti dan menunjang pada tahap perhitungan cadangan, bahkan

sampai pada kegiatan perencanaan tambang, penambangan, pencucian,

pengangkutan, penumpukan, maupun pemasarannya, maka perlu diketahui mengenai

parameter-parameter dari geometri batubara. Seperti yang dijelaskan pada sub-bab


35

sebelumnya, bahwa parameter geometri batubara terdiri dari beberapa parameter,

yaitu:

a. Ketebalan

Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung berhubungan

dengan perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem penambangan dan umur

tambang. Kecenderungan arah perubahan ketebalan, penipisan, pembajian dan

splitting terjadi karena diperngaruhi oleh faktor-faktor geologi. Faktor-faktor yang

terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan kecepatan akumulasi

batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel, sesar dan proses

karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan.

Ketebalan lapisan batubara tersebut termasuk parting (gross coal thickness), tebal

lapisan batubara tidak termasuk parting (net coal thickness), atau tebal lapisan

batubara yang dapat ditambang (mineable thickness). Menurut Jeremic (1985),

pembagian kategori ketebalan lapisan batubara adalah (a) sangat tipis, apabila

tebalnya kurang dari 0,5 m, (b) tipis 0,5-1,5 m, (c) sedang 1,5-3,5 m, (d) tebal 3,5-25

m, dan (e) sangat tebal, apabila >25 m.

b. Kemiringan

Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan

cadangan ekonomis, nisbah pengupasan dan sistem penambangan (Kuncoro, 1988).

Pola kemiringan suatu perlapisan batubara dapat berbentuk pola linier, pola lengkung,

atau pola luasan (area) dan pola kemiringan lapisan batubara tersebut dapat bersifat
36

menerus dan sama besarnya sepanjang cross strike maupun on strike atau hanya

bersifat setempat. Menurut Jeremic (1985), kemiringan lapisan batubara: (a) lapisan

horisontal, (b) lapisan landai, bila kemiringannya kurang dari 25o, (c) lapisan miring,

kemiringannya berkisar 25o-45o, (d) lapisan miring curam, kemiringannya berkisar 45o-75o,

dan (e) vertikal.

c. Pola sebaran lapisan batubara

Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas

perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu, faktor

pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh struktur lipatan

(antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar dengan pola tertentu atau

dengan pensesaran kuat (Diessel, 1992). Menurut Jeremic (1985), pembagian pola

kedudukan lapisan batubara atau sebarannya adalah (a) teratur dan (b) tidak teratur.

d. Kemenerusan lapisan batubara

Menurut Kuncoro (2000) pada parameter ini yang perlu diketahui adalah

apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar, intrusi, atau

erosi. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu

pada kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan penentuan

perhitungan cadangan. Menurut Jeremic (1985), kemenerusan lapisan batubara adalah

(a) ratusan meter, (b) ribuan meter 5-10 km, dan (c) menerus sampai lebih dari 200

km.
37

e. Keteraturan lapisan batubara

Menurut Kuncoro (2000) keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola

kedudukan lapisan batubara (jurus dan kemiringan), artinya apakah pola lapisan

batubara di permukaan (cropline) menunjukkan pola teratur (garis menerus yang

lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang hampir sama) atau membentuk pola

tidak teratur (garis yang tidak menerus (washout), bercabang (splitting),

melengkung/meliuk pada elevasi yang tidak sama) dan apakah bidang lapisan

batubara membentuk bidang permukaan yang hampir rata, bergelombang lemah, atau

bergelombang).

f. Bentuk Lapisan Batubara

Bentuk lapisan batubara dikontrol oleh bentuk cekungan sedimentasi, proses

sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses pembatubaraan. Bentuk

lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung sumberdaya dan cadangan

batubara serta merencanakan cara penambangannya. Bentuk lapisan batubara adalah

perbandingan antara tebal lapisan batubara dan kemenerusannya, apakah termasuk

kategori bentuk melembar, membaji, melensa, atau bongkah (Kuncoro, 2000).

Menurut Sukandarrumidi (1995), bentuk-bentuk lapisan batubara adalah sebagai

berikut (Gambar 2.7):

- Horse back

Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen

yang menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi.


38

Tingkat perlengkungan sangat ditentukan oleh besarnya gaya kompresi.

Makin kuat gaya kompresi yang berpengaruh, maka makin besar pula tingkat

perlengkungannya. Ke arah lateral lapisan batubara dapat memiliki ketebalan

yang sama atau mengalami penipisan.

- Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah.

Pada umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan

yang plastis, misalnya batulempung, sedangkan di atas lapisan batubara secara

setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian

suatu alur. Bentuk pinch ini bukan penampakan tunggal, melainkan

merupakan penampakan berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi dari

beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam proses penambangan batubara,

batupasir yang mengisi pada alur-alur tersebut tidak terhindar ikut tergali,

sehingga keberadaan fragmen-fragmen batupasir tersebut juga dianggap

sebagai pengotor anorganik.

- Clay Vein

Bentuk ini terjadi apabila di antara 2 bagian lapisan batubara terdapat

urat lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan

batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahn yang merupakan

rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir. Apabila


39

batubaranya ditambang, bentukan clay vein ini dipastikan ikut tertambang dan

merupakan pengotor anorganik (mineral matter) yang tidak diharapkan.

- Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana batubara semula terbentuk

suatu kulminasi, sehingga lapisan batubara seperti terintrusi. Lapisan batubara

pada bagian yang terintrusi tersebut dapat mengalami penipisan atau bahkan

hilang sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa meter

sampai puluhan meter. Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi akan

banyak membantu dalam menentukan dimensi bentukan tersebut. Apabila

bentukan intrusi tersebut merupakan batuan beku, pada saat proses

penambangan dapat dihindari, tetapi apabila bentukan tersebut merupakan

tubuh batupasir, dalam proses penambangan sangat dimungkinkan ikut tergali.

Oleh sebab itu dibutuhkan ketelitian dalam perencanaan penambangan,

sehingga fragmen-fragmen intrusi tersebut dalam batubara yang dihasilkan

dari kegiatan penambangan dapat dikurangi.

- Fault

Bentuk ini terjadi apabila deposit batubara mengalami beberapa seri

patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan

perhitungan sumberdaya batubara, kondisi batubara di daerah tersebut akan

hancur, hal tersebut mengakibabkan terjadinya kontaminasi material

anorganik.
40

- Fold

Bentukan ini terbentuk akaibat dari proses tektonik yang kuat,

sehingga terjadi perlipatan. Lipatan tersebut berupa antiklin dan sinklin yang

bentuknya dapat menunjukkan tingkat intensifitas gaya yang bekerja pada

lapisan tersebut. Semakin kompleks perlipatan yang terjadi, maka gaya

kompresi yang bekerja juga intensif. Pada umumnya lapisan batubara yang

mengalami perlipatan berasosiasi dengan lapisan batubara yang terpatahkan.

Dalam hal untuk melakukan rekonstruksi perlapisan dengan kondisi struktur

geologi yang kompleks diperlupan kegiatan eksplorasi seperti pemboran,

sehingga dapat membantu dalam hal merekonstruksi dan juga perhitungan

sumberdaya maupun cadangan batubara.

Gambar 2.9. Bentuk perlapisan batubara menurut Sukandarumidi (1995) adalah A) horse

back B) Pinch C) Clay vein D) Burried hill E) fault F) Fold.


41

g. Kondisi Roof dan floor

Kondisi roof dan floor. Kontak batubara dengan roof dan floor merupakan

fungsi dari proses pengendapannya (Kuncoro, 2000). Pada kontak yang tegas

menunjukkan proses pengendapan berlangsung secara tiba-tiba, sebaliknya pada

proses pengendapan yang berlangsung secara lambat diperlihatkan oleh kontak yang

berangsur kandungan karbonannya.

II.2.5. Kualitas batubara

Kualitas batubara berperan penting dalam menentukan kelas batubara

(Thomas, 1994). Kualitas suatu batubara dapat ditentukan dengan cara analisa

parameter tertentu baik secara fisik maupun secara kimia. Parameter yang ditentukan

dari suatu analisa batubara tergantung tujuan untuk apa batubara tersebut digunakan.

Berdasarkan panduan kualitas batubara Thomas (1994), parameter kualitas batubara

terdiri dari: Total Moisture, Proximate, Total Sulfur, Calorific Value, Ultimate

Analysis dan Ash Analysis, berikut penjelasannya:

a. Kadar air (Moisture)

Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batubara. Tinggi

rendahnya total moisture akan tergantung pada peringkat batubara, ukuran distribusi

dan kondisi pada saat sampling. Peringkat batubara adalah perubahan batubara dari

batubara muda ke batubara tua (Schweinfurth, 2009). Semakin tinggi peringkat suatu

batubara semakin kecil porositas batubara tersebut atau semakin padat batubara

tersebut. Dengan demikian akan semakin kecil juga moisture yang dapat diserap atau
42

ditampung dalam pori batubara tersebut. Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi 3

(tiga) jenis, yaitu:

Kadar air bebas (free surface moisture), yaitu air yang menempel pada

permukaan batubara yang berasal dari air hujan dan juga permukaan

batubara yang berasal dari air hujan dan juga air semprotan yang mana

akan mudah menguap dalam kondisi laboratorium.

Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu yang terdapat pada rongga

(pori) dan mineral yang terdapat dalam batubara. Air ini dapat dihilangkan

dengan suhu pemanasan 105 - 110C.

Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar air bebas

ditambah dengan kadar air bawaan. Total Moisture dapat dipengaruhi oleh

kondisi pada saat batubara tersebut di Sampling. Yang termasuk dalam

kondisi sampling seperti kondisi batubara pada saat disampling, size

distribusi sample batubara yang diambil terlalu besar atau terlalu kecil dan

cuaca pada saat pengambilan sample.

b. Analisis Proksimat

Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas batubara (coal rank).

Analisis proksimat adalah rangkaian analisis yang terdiri dari air dried moisture, ash,

volatile matter dan fixed carbon (Thomas, 1994).

Air dried moisture (ADM) adalah moisture yang terkandung dalam

batubara setelah batubara tersebut dikering udarakan. Besar kecilnya nilai


43

ADM dipengaruhi oleh peringkat batubara. Semakin tinggi peringkat

batubara, semakin rendah kandungan ADM nya.

Kadar abu (ash content), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal

atau tidak terbakar sewaktu batubara dibakar pada suhu 815C. Abu pada

pembakaran batubara dapat dihasilkan dari pengotor bawaan maupun

pengotor sebagai hasil penambangannya. Abu yang dihasilkan dari proses

pembakaran batubara dapat berupa fly ash maupun bottom ash. Semakin

tinggi kadar abu pada jenis batubara yang sama, semakin rendah nilai

kalorinya.

Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam batubara

yang dapat lepas atau menguap pada saat dipanaskan di ruang hampa

udara pada suhu 900C. Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral

(volatile mineral matter) dan zat terbang organic (volatile organic matter).

Volatile meter adalah bagian organik batubara yang menguap ketika

dipanaskan pada temperature tertentu. Kadar Volatile Matter dalam

batubara ditentukan oleh peringkat batubara. Semakin tinggi peringkat

suatu batubara akan semakin rendah kadar volatile matter-nya.

Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang

tertambat pada batubara setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat

terbangnya dihilangkan.
44

c. Sulfur

Di dalam batubara, sulfur dapat merupakan bagian dari mineral sulfat dan

sulfida. Dengan sifatnya yang mudah bersenyawa dengan unsur hidrogen dan oksigen

untuk membentuk senyawa asam, maka keberadaan sufur diharapkan dapat

seminimal mungkin karena sifat tersebut yang merupakan pemicu polusi (Anonim,

2011a). Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah

dalam pemanfaatannya. Salah satu senyawa yang umum dijumpai pada endapan

batubara adalah sulfur. Beberapa jenis sulfur yang umum dijumpai pada batubara,

yaitu:

Pirit ( , dijumpai berupa bentukan makrodeposit, seperti lensa, urat

dan sekahan (joint)

Sulfur organik, umumnya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat

dengan jumlah antara 20-80%.

Sulfur sulfat, umunya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat

dengan jumlah relatif kecil.

d. Nilai kalori (calorific value)

Calorific value adalah nilai energi yang dapat dihasilkan dari pembakaran

batubara. Nilai Kalori batubara bergantung pada peringkat batubara. Semakin tinggi

peringkat batubara, semakin tinggi nilai kalorinya. Pada batubara yang sama Nilai

kalori dapat dipengaruhi oleh moisture dan juga Abu. Semakin tinggi moisture atau

abu, semakin kecil nilai kalorinya (Anonim, 2011a).


45

e. Analsis ultimat

Analisis ultimat adalah analisis sederhana yang digunakan untuk mengetahui

unsur-unsur pembentuk batubara dengan hanya memperhatikan unsur kimia

pembentuk yang penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks yang ada

di dalam batubara. Unsur-unsur penyusun batubara, yaitu Karbon (C), Hydrogen (H),

Oksigen (O), Sulfur (S), Nitrogen (N).

f. Ash analysis

Ash analysis, yang digunakan sebagai indikator karakteristik abu di dalam

pembakaran batubara. Kandungan komposisi abu tergantung pada unsur pembentuk

batubara, dan juga dipengaruhi oleh abu yang berasal dari luar seperti dilusi atau

material yang terbawa selama penambangan.

II.2.6. Klasifikasi batubara

Klasifikasi batubara digunakan untuk mengetahui tingkat (rank) dari batubara.

Penentuan klasifikasi batubara di daerah penelitian didasarkan atas salah satu atau

lebih sifat fisik, kimia dan kombinasinya, yang menentukan kualitas batubara, yaitu

kandungan karbon tertambat (fixed carbon), nilai kalori (calorific value), kandungan

zat terbang (volatile matter) dan kandungan air (moisture). Berikut beberapa

klasifikasi batubara yang dapat digunakan dalam penentuan peringkat batubara

adalah:
46

a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials)

Klasifikasi ASTM yang bersifat komersil dan didasarkan atas jumlah unsur

karbon tertambat (fixed carbon) (Tabel 2.2).

Parameter dasar yang digunakan dalam Klasifikasi ASTM, yaitu:

Untuk batubara berperingkat tinggi (fixed carbon 69%), parameter yang

digunakan adalah jumlah tertambat (fixed carbon) dan zat terbang

(volatile matter).

Untuk batubara berperingkat rendah (fixed carbon 69%), maka

parameter yang digunakan adalah nilai kalori (calorific value).

Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking).

Hasil analisis proksimat yang dilakukan di laboratorium memiliki nilai kalori

pada basis pelaporan air dried basis (adb). Pada basis adb ini, conto batubara

ditempatkan pada ruangan terbuka, sehingga secara perlahan kadar airnya akan

mencapai titik kesetimbangan dengan kelembaban udara, sedangkan untuk

penggolongan batubara menggunakan Klasifikasi ASTM, batubara digolongkan

berdasarkan nilai kalori pada basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf).

Analisis dengan menggunakan basis dmmf ini akan memberikan Gambaran mengenai

komposisi organic murni pada batubara. Untuk mengkonversi nilai kalori dalam basis

adb menjadi dmmf digunakan Parr Formulas (Wood dkk, 1983) dengan rumus

sebagai berikut:
47

(
(
(
( (

(
(
(
Keterangan:
FC : % Fixed Carbon (adb)
VM : % Volatile matter (adb)
M : % Moisture (adb)
A : % Ash (adb)
S : % Sulphur (adb)
Btu: British Termal Unit; per pound = 1,8185 x CV (adb)

Tabel 2.2. Klasifikasi peringkat batubara oleh ASTM (Wood dkk, 1983).
48

b. Klasifikasi fuel ratio

Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon

tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter) dengan rumus:

Menurut Sukandarrumidi (1995), klasifikasi fuel ratio (Tabel 2.3) digunakan

untuk mengetahui kesempurnaan pembakaran, sehingga makin tinggi nilai fuel ratio,

maka semakin banyak unsur karbon yang tidak terbakar. Klasifikasi batubara

berdasarkan fuel ratio, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.3. Klasifikasi fuel ratio Sukandarrumidi (1995).

II.2.7. Pemodelan sumberdaya batubara menggunakan Minescape

Pemodelan endapan batubara bertujuan untuk mengetahui pola penyebaran

lapisan batubara, baik geometri secara umum, letak/posisi lapisan, kedalaman,


49

kemiringan, serta penyebaran dari tanah penutup (Tambunan, 2009). Konstruksi

model endapan batubara direpresentasikan dalam bentuk peta-peta, yang dilakukan

dengan menggunakan perangkat lunak (Tambunan, 2009). Data-data dasar yang

dperlukan berupa data topografi dan data lubang bor. Dari data-data tersebut dapat

dibuat data turunan untuk perhitungan sumberdaya, yaitu peta kontur struktur roof

dan floor batubara.

Secara umum, pemodelan dan perhitungan sumberdaya batubara memerlukan

data-data dasar sebagai berikut (Tambunan, 2009), data topografi, data penyebaran

singkapan batubara (data survei), data dan sebaran titik bor, data analisis kualitas

sampel batubara dan peta geologi lokal (meliputi litologi, stratigrafi, dan struktur

geologi). Pengolahan data dasar yang dilakukan yaitu memasukkan data ke dalam

Minescape berupa data topografi, rekapitulasi data lubang bor (baik data litologi

maupun data survey) dan data analisis sampel.

Pada setiap data rekapitulasi lubang bor, terdapat suatu posisi lubang bor yang

disebut dengan seam. Seam adalah lapisan batubara yang terdapat di antara batas roof

dan floor. Tiap seam ini nantinya akan dibuat pemodelan, baik model kontur, kualitas

dan perhitungan resources. Prinsip yang digunakan adalah prinsip stratigrafi terutama

tentang urutan lapisan yang diendapkan pada suatu periode tertentu yang menerus

atau selaras. Sesuai dengan prinsip stratigrafi tersebut, pembuatan model endapan

batubara dengan menggunakan kedua perangkat lunak ini dilakukan dengan cara

mengkorelasikan unit-unit yang sama pada suatu urutan lapisan.


50

Data yang digunakan untuk korelasi, dapat berasal dari hasil pemboran,

survey dsb. Model yang dibuat atau dihasilkan akan dikontrol oleh suatu definisi

yang disebut schema atau block model. Pembuatan schema atau block model itu

sendiri, harus melalui beberapa rangkaian proses. Setelah proses tersebut selesai

dilaksanakan, maka schema atau block model dapat digunakan untuk dasar

pembuatan model, sehingga pada akhirnya data output atau hasil akhir dapat

ditampilkan dan dianalisis serta dapat dilakukan perhitungan resources.

Data penyebaran singkapan batubara berguna untuk mengetahui cropline

batubara, yang merupakan posisi dimana penambangan dimulai (Tambunan, 2009).

Dari pemboran diperoleh hasil berupa data elevasi roof dan floor batubara. Peta

situasi dan data-data yang memuat batasan-batasan berguna untuk menentukan

boundary perhitungan sumberdaya (Tambunan, 2009). Endapan batubara yang tidak

memiliki batasan-batasan tersebut, tidak dapat ditambang karena tidak dapat

dilakukan perhitungan sumberdaya (Tambunan, 2009). Dari data-data dasar tersebut

akan dihasilkan suatu data keluaran, yaitu data dasar yang diolah untuk menghasilkan

model endapan batubara secara 2D dan 3D untuk selanjutnya akan dilakukan

penghitungan sumberdaya endapan batubara.

a. Prinsip dasar pemodelan menggunakan minescape

Minescape merupakan software yang umum digunakan dalam permodelan

batubara dan perencaaan tambang. Prinsip dasar pemodelan dalam perangkat lunak

ini adalah menggunakan suatu metode yang disebut dengan metode grid. Grid-grid
51

menyimpan data spatial pada grid node dalam form biasa. Nilai grid dibuat oleh

interpolasi data original ke dalam jaringan grid node. Selain grid node, juga terdapat

tempat menyimpan untuk data regular pada lokasi X, Y, dan Z tertentu. Tempat

menyimpan data lokasi tersebut dinamakan dengan grid file. Semakin banyak nilai

unsur grid (baris dan kolom) yang dibuat maka hasil dari pemodelan yang

ditampilkan semakin jelas dan rinci.

Untuk perhitungan sumberdaya batubara, prinsip dasar yang digunakan adalah

dengan menggunakan metode poligon. Metode Poligon (area of influence). Metoda

poligon ini merupakan metoda perhitungan yang konvensional. Metoda ini umum

diterapkan pada endapan-endapan yang relatif homogen dan mempunyai geometri

yang sederhana. Kadar pada suatu luasan di dalam poligon ditaksir dengan suatu

model geologi yang berada di tengah-tengah poligon sehingga metoda ini sering

disebut dengan metoda poligon daerah pengaruh (area of influence). Daerah

pengaruh dibuat dengan membagi beberapa jarak antara daerah pengaruh yang telah

ditentukan jaraknya (Tambunan, 2009).

Dalam perangkat lunak ini seorang geologist akan menggunakan salah satu

tools untuk melakukan pembuatan pemodelan endapan batubara. Tools tersebut

adalah stratmodel. Penjelasan mengenai stratmodel, akan dijelaskan pada sub-bab

berikut.
52

b. Stratmodel

Stratmodel adalah salah satu aplikasi dari minescape yang dirancang untuk

membuat dan mengolah model dua dimensi dan tiga dimensi suatu endapan geologi

yang berlapis terutama batubara atau endapan-endapan geologi lainnya seperti posfat

atau bauksit (Azizy, 2011). Stratmodel telah dirancang untuk menyediakan geologist

atau mining engineer dengan fasilitas untuk memodel dan memeriksa depositnya

dalam 2D dan 3D (Azizy, 2011). Stratmodel didasarkan pada prinsip umum

stratigrafi terutama tentang urutan lapisan yang diendapkan pada suatu periode

tertentu yang menerus atau selaras. Urutan lapisan selaras dalam stratmodel dikenal

dengan istilah conformable sequence, secara stratigrafi conformable sequence adalah

merupakan suatu paket endapan yang mempunyai karakteristik stratigrafi dan

struktural yang sama. Sesuai dengan prinsip stratigrafi tersebut, stratmodel membuat

model satu atau lebih conformable sequence dengan mengikuti pola kecenderungan

struktur regional yang mempengaruhi seluruh bentuk lapisan. Susunan lapisan dalam

suatu conformable sequence dimodel sedemikian rupa satu dengan yang lainnya

sehingga tidak saling berpotongan. Stratmodel dapat membuat suatu model geologi

yang terdiri dari beberapa conformable sequence yang selaras maupun tidak satu

sama lainnya. Dalam panduan training minescape mitrais (Tambunan, 2009),

dijelaskan bahwa conformable sequence dalam stratmodel dapat didefinisikan sebagai

susunan satu atau lebih interval (lapisan batubara) atau surface (bentuk permukaan

seperti batas pelapukan). Surface tidak mempunyai ketebalan, sedangkan interval


53

mempunyai ketebalan dan terdiri dari dua buah surface, yaitu roof dan floor. Interval

dan surface dalam stratmodel termasuk sebagai bagian dari suatu istilah yang disebut

Unit. Unit dibagi kedalam dua jenis (Gambar 2.10), yaitu:

1. Elemental unit, berupa lapisan tunggal, spliting dari seam atau surface.

2. Compound unit, berupa interval yang analog dengan parent seam dari seam yang

split.

Gambar 2.10. Elemental vs compund Unit (Tambunan, 2009).

Dalam stratmodel semua parameter pembuatan model meliputi stratigrafi dan

parameter geologi lainnya didefinisikan dalam suatu istilah yang disebut schema.

Schema adalah suatu diagram sistematik dari stratigrafi yang menyimpan informasi

yang digunakan untuk membuat suatu model geologi. Stratmodel menggunakan data

lubang bor sebagai dasar pembuatan model stratigrafi. Pada saat pembuatan model

dilakukan, data lubang bor dimasukkan ke dalam sebuah form model yang telah
54

ditentukan dalam schema. Pembuatan schema sendiri memiliki beberapa tahap

sebelum memasuki tahap pemodelan dan perhitungan sumberdaya.

Gambar 2.11. Penampang seam batubara hasil pemodelan minescape (Tambunan, 2009).

Pembuatan model berdasarkan prinsip stratigrafi dan struktur regional,

stratmodel juga dapat menyertakan patahan pada model baik vertikal maupun miring

yang didefinisikan oleh pengguna. Sumber data yang dipergunakan sebagai dasar

pembuatan model adalah data litologi hasil pemboran maupun pemetaan dan data

hasil pengukuran survey baik untuk titik bor maupun topografi. Kedalam model

stratigrafi yang dihasilkan dapat pula ditambahkan data hasil analisis kualitas,

sehingga model yang dihasilkan tersebut merupakan suatu model geologi yang

lengkap. Contoh dari hasil pemodelan yang dibuat menggunakan minescape, dapat

dilihat pada (Gambar 2.11).


55

II.2.8. Optimasi Pit Limit Tambang Terbuka Batubara

Optimasi pit adalah usaha untuk menentukan batas tambang terbaik (ultimate

pit limit) dan memberikan keuntungan yang maksimal atau bernilai ekonomis

(Sasongko, 2009). Metode yang digunakan pada pit tambang terbuka adalah metode

penambahan ekspansi pit. Metode ini dilakukan dengan trial and error, sehingga

perlu dilakukan beberapa simulasi. Metode incremental pit expansion juga dipadukan

dengan model aliran kas (cash flow model). Metode ini menggunakan beberapa

parameter kunci yang akan berpengaruh terhadap penentuan batas tambang terbuka

dengan memberikan nilai ekonomis, yaitu sebagai berikut (Tabel 2.4.):

Tabel 2.4. Parameter kunci dalam penentuan batas tambang terbuka terbaik (Sasongko, 2009).

No Parameter kunci Satuan Simbol


1 Biaya pemindahan material penutup (overburden) $/bcm w
2 Biaya penambangan batubara (coal mining) $/ton c
3 Harga jual batubara (coal price) $/ton s
4 Iuran produksi % x

Selain menggunakan parameter tersebut, kondisi geometri batubara dan

kualitas batubara juga ikut mempengaruhi batas tambang terbaik tersebut. Oleh

karena itu, metode ini juga harus didukung dengan model geologi yang pada

umumnya diolah dengan menggunakan software, seperti Minescape dan Minex.

Model geologi menyediakan kenampakan model analog seperti persebaran seam

batubara dan perhitungan sumberdaya batubara. Hal tersebut akan diproses secara

manual dengan menerapkan metode incremental pit expansion dan cash flow model

untuk mendapatkan batas tambang terbaik. Cara ini dianggap lebih efesien
56

dibandingkan dengan memproses model hingga memberi batas tambang terbaik

secara komputerisasi.

Gambar 2.12. Penentuan batas tambang terbaik dengan menggunakan simulasi a, b, c, dan d.

Pada Gambar 2.12. diterapkan metode trial and error pada beberapa simulasi

batas tambang, sehingga pada simulasi tertentu akan didapatkan batas tambang

terbaik. Penentuan batas tambang tersebut selain menggunakan metode penambahan

ekspansi pit, juga menggunakan model aliran kas dengan memasukkan parameter

kunci (Tabel 2.4.). Model aliran kas pada penentuan batas tambang terbaik ini

menggunakan rumus sebagai berikut:

(
BESR = [ ]
Keterangan:
BESR : Break even stripping ratio
x : Iuaran produksi (16,9 %)
s : Harga jual batubara (fob), $/ton
c : Biaya penambangan batubara, $/ton
w : Biaya pemindahan overburden, $/bcm
57

Gambar 2.13. Metode incremental pit expansion dengan beberapa simulasi terbaik.

Hasil perhitungan BESR dengan menggunakan parameter kunci Tabel 2.4.

akan memberikan nilai perbandingan batubara dan overburden yang diambil sama

dengan 0, sehingga untuk penentuan batas tambang harus dengan nilai perbandingan

yang lebih besar. Misalkan BESR menunjukkan nilai 16 : 1, maka untuk batas

tambang terbaik adalah lebih besar dari 16 : 1, contohnya 14 : 1. Contoh lain, yaitu

pada Gambar 2.13., dimana simulasi a dengan posisi block-strip paling dekat dengan

seam akan memberikan nilai SR 15 : 1, maka pada simulasi a dengan block-strip

tersebut akan memberikan keuntungan pada proses tambang terbuka, sedangkan pada

simulasi d dengan posisi block-strip terjauh dengan seam akan memberikan nilai SR

20 : 1, maka hal tersebut tidak akan memberikan keuntungan, melainkan simulasi

tersebut merugikan. Oleh karena itu, metode penambahan ekspansi pit dan model

aliran kas dikaitkan untuk mendapatkan batas tambang terbuka terbaik.


58

BAB III

HIPOTESIS DAN METODE PENELITIAN

III.1. Hipotesis

1. Kondisi geologi

Area penelitian termasuk bagian dari Cekungan Kutai tepatnya di

Zona Antiklinorium Samarinda, dengan kondisi sebagai berikut:

Fisiografi: Perbukitan bergelombang sedang hingga kuat dengan

ketinggian puncak bukit 300 - 400 m dpl.

Stratigrafi: Bagian dari Formasi Pulaubalang di bagian timur, yang terdiri

dari perselingan antara greywacke dengan batupasir kuarsa dengan sisipan

batugamping, batulempung, batubara dan tuff dasit. Bagian dari Formasi

Balikpapan di bagian barat laut, yang terdiri dari perselingan batupasir dan

batulempung dengan sisipan batulanau, serpih, batugamping dan batubara.

Struktur geologi: Perlipatan asimetris antiklin dan sinklin dengan sumbu

di bagian tengah area penelitian, serta pensesaran berupa sesar naik, sesar

turun dan sesar mendatar.

2. Kondisi sumberdaya batubara

Blok Beruaq berpotensi akan sumberdaya batubara. Lapisan batubara

sebagai sisipan di kedua Formasi Pulaubalang dan Formasi Balikpapan.


59

Ketebalan: Ketebalan batubara di Formasi Pulaubalang bervariasi,

berkisar antara 0,1 - 4 m, sedangkan di Formasi Balikpapan relatif lebih

tebal.

Lingkungan pengendapan: Formasi Pulaubalang pada bagian bawah

terbentuk di lower delta plain dan mengalami transgresi, sehingga di

bagian atas terendapkan di lingkungan laut terbuka (middle neritic).

Formasi Balikpapan terendapkan di lingkungan transisi antara lower dan

upper delta plain.

Kondisi kualitas batubara: Kualitas batubara relatif sedang, karena formasi

batuan yang ada relatif muda (Kala Miosen Tengah) dan lingkungan

pengendapan dipengaruhi oleh sistem fluvial dan pasang-surut laut,

sehingga pasti influx sedimen masih dominan.

Kondisi geometri batubara: Formasi Pulaubalang relatif tipis, penyebaran

luas dan distribusi kandungan sulfur bervariasi, sedangkan di Formasi

Balikpapan lapisan batubara relatif tebal, penyebaran lateral luas dan

rendah sulfur.

3. Pemodelan sumberdaya batubara di Sub-blok B

Model persebaran sumberdaya batubara di Sub-blok B dipengaruhi

oleh perlipatan dan pensesaran yang tersebar, struktur tersebut merupakan

bagian dari struktur yang ada di Zona Antiklinorium Samarinda. Berdasarkan


60

hasil studi pustaka menunjukkan bahwa Area Beruaq dikontrol oleh perlipatan

asimetris antiklin dan sinklin dan sesar geser (Gambar 3.1.).

Gambar 3.1. Model geologi dan sumberdaya batubara yang diperkirakan.


61

4. Titik rencana pengeboran (eksplorasi pendahuluan) di Sub-blok A

Gambar 3.2. Lokasi target pemboran di Sub-blok A.

Area Beruaq berpotensi akan keterdapatan sumberdaya batubara. Dilihat dari

kondisi struktur geologi dan kenampakan citra DEM pada Gambar 3.2. menunjukkan

bahwa jurus perlapisan relatif berorientasi barat daya - timur laut, sehingga untuk

pola pengeboran yang dilakukan akan tegak lurus terhadap jurus perlapisan seam

batubara yang ada. Rencana pengeboran yang dilakukan di Sub-blok A menggunakan


62

pola fence line drilling dengan orientasi barat laut - tenggara. Spasi antar titik bor

adalah 500 cm (Gambar 3.2).

III.2. Tahapan Penelitian

Tahapan lapangan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahapan pra-lapangan (tahap

persiapan), tahapan pekerjaan lapangan (tahap pengambilan data) dan tahapan pasca

lapangan (tahap analisis data dan pembahasan).

III.2.1. Tahap persiapan

Tahap persiapan merupakan tahapan pra-lapangan. Tahap persiapan

merupakan bagian dari tahap awal eksplorasi umum, yaitu studi pustaka dan survei

tinjau (reconnaissance detail). Metode studi pustaka yang dipakai pada tahap

persiapan, yaitu penaksiran regional (planning & literature review). Pada tahap ini,

peneliti melakukan kompilasi data-data geologi regional terkait area penelitian dan

juga bantuan citra satelit maupun foto udara untuk menghasilkan suatu interpretasi

geologi mengenai kondisi area penelitian. Berikut data-data sekunder yang dipakai

untuk penaksiran regional Peta Geologi Regional Lembar Samarinda, citra satelit dan

citra foto udara, peta topografi, paper atau karya tulis yang berkaitan dengan wilayah

pemetaan yang telah dilakukan sebelumnya dan data administratif area penelitian

Survei tinjau (reconnaissance detail) bertujuan untuk pengambilan data pada

tahap eksplorasi umum, yaitu untuk melihat secara umum kondisi geologi di lapangan

dan juga untuk melakukan perencanaan kegiatan lapangan pada tahap pemetaan
63

geologi dan pemboran serta geophysical logging. Kegiatan pengambilan data pada

tahap ini, yaitu:

a. Pengecekan singakapan pilihan

Pengecekan singkapan berguna dalam perencanaan lintasan pada tahap

survei lapangan eksplorasi selanjutnya. Pengecekan singkapan terkait dengan

jenis litologi, deskripsi litologi, kemiringan perlapisan, struktur geologi,

tingkat pelapukan, keberadaan seam batuabara, ketebalan seam dan sampling

batuan dll.

b. Pengeboran dan geophysical logging

Pengeboran dan logging dilakukan untuk melihat kondisi geologi di

bawah permukaan, yaitu data variasi litologi, keberadaan seam batubara,

ketebalan seam batubara dan pengambilan sampel core dan cutting. Kegiatan

ini dilakukan hanya untuk melihat kondisi bawah permukaan secara umum di

area penelitian. Data hasil pengeboran berupa sampel core dan data

geophysical logging.

c. Pengambilan sampel

Pengambilan sampel yang dilakukan untuk analisis di laboratorium,

yaitu sampel batubara untuk kepentingan kualitas batubara dan tingkatan

batubara yang tersebar di area penelitian. Sampel ini diambil baik dari

singkapan batuan yang masih segar maupun sampel core hasil pengeboran.
64

III.2.2. Tahap pengambilan data

Tahap pengambilan data merupakan tahapan pekerjaan lapangan yang

merupakan bagian dari kegiatan eksplorasi pendahuluan. Tahapan ini bertujuan

untuk pengumpulan data-data primer dengan cara melakukan kegiatan sebagai

berikut:

a. Pemetaan geologi

Pengambilan data pada tahap pemetaan geologi dilakukan untuk

mengumpulkan seluruh data mengenai keadaan geologi yang mengontrol di

lapangan. Kegiatan pemetaan geologi berupa pengamatan singkapan pada

beberapa titik yang tersebar secara rinci dan measuring section pada jalur

yang telah direncanakan. Berikut data-data primer yang didapatkan pada saat

pemetaan geologi data koordinat pengamatan kenampakan morfologi, variasi

litologi, kedudukan perlapisan, struktur geologi, potensi batubara, pembuatan

sketsa singkapan, pengambilan foto dan sampel litologi batubara.

b. Pemboran dan geophysical logging

Pengeboran dan geophysical logging dilakukan pada tahap ini untuk

melihat kondisi geologi di bawah permukaan secara rinci yaitu data variasi

litologi, keberadaan seam batubara, ketebalan seam batubara dan pengambilan

sampel core.
65

Data hasil pengeboran dan logging serta analisis sampel telah disediakan oleh

pihak PT. Multi Harapan Utama untuk Sub-blok B Area Blok Beruaq. Data

pengeboran yang diberikan termasuk bagian dari eksplorasi rinci, hal ini dikarenakan

untuk grid space dari titik bor pengeboran yang dilakukan dengan jarak 250 m antar

titik lubang bor.

III.2.3. Tahap analisis data

Tahap ini dilakukan setelah data-data sekunder dan primer telah didapatkan.

Pengolahan data dibagi menjadi dua bagian, yaitu untuk Sub-blok A dan Sub-blok B

Area Blok Beruaq. Analisi data yang dilakukan untuk keperluan interpretasi kondisi

geologi dan sumberdaya batubara, pemodelan sumberdaya dan memberikan

rekomendasi untuk lokasi pemboran di Sub-blok A dan penentuan boundary prospect

area di Sub-blok B.

a. Sub-blok A

Gambar 3.3. Sub-blok A merupakan area bagian barat Blok Beruaq .


66

Sub-blok A terletak di bagian barat area penelitian (Gambar 3.3). Data

yang dapat diolah untuk Sub-blok A hanya berasal dari kegiatan

eksplorasi umum, berupa studi pustaka dan recconnaissance detail, dan

juga kegiatan eksplorasi pendahuluan berupa kegiatan pemetaan geologi.

Di Sub-blok A ini belum dilakukan kegiatan pengeboran sama sekali,

sehingga peneliti hanya dapat melakukan kegiatan eksplorasi hingga tahap

eksplorasi pendahuluan saja.

Pengolahan data yang dilakukan berupa data lapangan hasil pemetaan

geologi, yaitu melakukan interpretasi kondisi geologi secara rinci di Sub-

blok A. Peneliti mencoba melakukan interpretasi mengenai kondisi

stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi dll dan memvisualisasi kondisi

tersebut ke dalam bentuk peta dan juga laporan dalam bentuk paragraf.

Peneliti mencoba untuk melakukan korelasi terhadap singkapan batubara

yang didapatkan hasil pemetaan geologi yang dilakukan berdasarkan

karakteristik seam batubara, ketebalan seam batubara dan kedudukan

seam batubara. Hasil dari korelasi ini berupa peta cropline batubara.

Korelasi seam batubara memenuhi kriteria antara lain:

- Ketebalan: paling tipis hingga sangat tebal (>25 m)

- Tingkatan batubara: low rank- high rank

- Penyebaran yang menerus (ratusan meter)


67

Peneliti mencoba memberikan rekomendasi target titik pengeboran di

Sub-blok A berdasarkan hasil interpretasi kondisi geologi dan persebaran

seam batubara di permukaan. Penentuan titik bor memenuhi kriteria

sebagai berikut:

- Jarak titik bor: spasi titik bor 1 km (closer spaced drilling)

- Pola sebaran titik bor: fence line drilling dan/ specific area drilling

b. Sub-blok B

Gambar 3.4. Sub-blok B merupakan area bagian timur Blok Beruaq.

Sub-blok B terletak di bagian timur area penelitian (Gambar 3.4).

Pengolahan data yang dilakukan pada Sub-blok B baik berupa hasil

kegiatan lapangan yang dilakukan peneliti dan juga pengolahan data

pengeboran yang telah dilakukan oleh PT. Multi Harapan Utama Coal.
68

Pengolahan data lapangan hasil pemetaan geologi dilakukan dengan

menginterpretasi mengenai kondisi stratigrafi, struktur geologi,

geomorfologi dll dan memvisualisasi kondisi tersebut ke dalam bentuk

peta dan juga laporan dalam bentuk paragraf seperti halnya di Sub-blok A.

Pengolahan data hasil pengeboran yang dilakukan di Sub-blok B

menggunakan aplikasi perangkat lunak berupa Minescape.

Pengolahan data menggunakan Minescape, yaitu:

- Melalukan input data titik singkapan, titik bor dan topografi di

Minescape. Proses ini disebut Minescape core, yaitu tahap awal untuk

memulai pemodelan. Hasil dari proses ini yaitu untuk mengetahui di

mana saja persebaran titik singkapan dan titik bor yang ada di Area

Beruaq.

- Membuat model 3 dimensi kontur Area Beruaq melalui pemrosesan

data poin topografi yang disediakan oleh perusahaan.

- Membuat penampang profil persebaran lapisan batubara di bawah

permukaan.

- Membuat cropline batubara melalui titik singkapan dan titik bor yang

ada di Area Beruaq.

- Membuat model kontur struktur Area Sub-Blok Beruaq untuk melihat

kemenerusan seam batubara yang tersebar.


69

- Penentuan batas area prospek (boundary prospect area) di Blok B

Area Sub-Blok Beruaq yang prospek ditambang.

Model sumberdaya lebih difokuskan kepada lokasi persebaran seam

batubara, bagaimana arah dan kemiringan seam batubara, pola persebaran

batubara dan perhitungan sumberdaya batubara pada beberapa seam yang

cukup tebal saja. Model sumberdaya ditampilkan dalam penampang

stratigrafi dan kenampakan 3 D persebaran seam batubara.

Penentuan batas area prospek (boundary prospect area), yaitu area yang

memiliki prospek untuk ditambang menurut keyakinan geologi yang

paling tinggi, yaitu dibantu dengan model sumberdaya. Pemberian batas

area terhadap suatu seam yang prospek berdasarkan beberapa parameter,

yaitu ketebalan seam 1 m, kualitas batubara > lignit, kemenerusan

lapisan jelas dan pola kedudukan perlapisan teratur. Penentuan batas area

prospek menggunakan metode incremental pit expansion and cash flow

(Sasongko, 2009).

III.3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif analitis.

Metode penelitian yang dilakukan, yaitu berorientasi pemecahan masalah dengan cara

pengumpulan data-data sekunder sebelum melakukan pekerjaan lapangan,

pengambilan data primer langsung di lapangan, pengolahan data (analisis) dan


70

pembuatan laporan akhir yang berisikan jawaban dari permasalahan yang dihadapi

dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan. Beberapa metode yang

dilakukan dalam penelitian ini, yaitu metode pemetaan geologi, metode korelasi

lapisan batubara, metode pengeboran, metode komputasi pemodelan sumberdaya

metode incremental pit expansion and cash flow (Sasongko, 2009). Berikut

penjelasan metode-metode tersebut:

III.3.1. Metode pemetaan geologi

Pengumpulan data primer di lapangan melalui kegiatan pemetaan geologi di

Area Beruaq, metode yang digunakan dalam pemetaan ini antara lain :

a. Metode jalur stratigrafi terukur

Metode ini digunakan untuk mengetahui variasi litologi melalui

pembuatan jalur stratigrafi terukur (measured section). Jalur pengamatan ini

direncanakan tegak lurus terhadap jurus perlapisan batuan agar dapat

mengetahui karakter litologi seperti tekstur, struktur, komposisi dan ketebalan

batuan dengan lebih rinci dan lebih akurat. Metode ini digunakan pada jalur-

jalur yang memiliki data singkapan batuan yang cukup baik, seperti di jalan

hauling atau sungai intermitten.

b. Metode stasiun pengamatan

Metode ini digunakan dengan melakukan pengamatan geologi di satu

titik yang ada pada daerah pemetaan. Pembuatan rencana stasiun pengamatan

(STA) ini diusahakan menyebar di area pemetaan, terutama pada daerah yang
71

dicurigai memiliki kondisi geologi yang cukup penting. Dari stasiun-stasiun

pengamatan ini, kemudian disusun sedemikian rupa, sehingga dapat

mengetahui hubungan atau posisi secara stratigrafis terhadap stasiun yang lain

dengan data measured section sebagai acuannya.

c. Metode pengambilan sampel

Pengambilan sampel batuan dilakukan pada setiap singkapan batubara.

Sampel batubara yang diambil merupakan sampel batuan yang segar dengan

teknik channel sampling untuk kepentingan analisa proksimat di

laboratorium.

III.3.2. Metode korelasi singkapan batubara

Dalam melakukan penentuan penyebaran lapisan batubara dilakukan korelasi

terhadap singkapan-singkapan batubara yang ditemukan berdasarkan ketentuan-

ketentuan, yaitu karakteristik batubara, jurus dan kemiringan lapisan batubara,

ketebalan lapisan batubara, roof dan floor dari singkapan batubara, lapisan pengotor

pada lapisan batubara, struktur geologi yang dijumpai di lapangan, topografi yang

dikontrol oleh hukum V.

Korelasi merupakan suatu metode untuk mengetahui hubungan ekuivalensi

antar unit unit stratigrafi. Beberapa konsep mengenai korelasi antara lain adalah

korelasi litostratigrafi, korelasi biostratigrafi dan korelasi kronostratigrafi. Korelasi

menggunakan konsep biostratigrafi dapat memberikan hasil yang lebih baik

dibandingkan dengan litostratigrafi. Korelasi biostratigrafi menggunakan kandungan


72

fosil penciri umur yang menjadi kunci korelasinya, sehingga menjadi dasar yang

lebih kuat dibandingkan litostratigrafi untuk melakukan korelasi. Tidak adanya

kandungan fosil menyebabkan korelasi stratigrafi yang dilakukan menggunakan

korelasi litostratigafi, dengan kunci korelasi berupa kesamaan atau kemiripan litologi

dan posisi stratigrafinya.

III.3.3. Metode pengeboran

Metode pengeboran pada penelitian ini membahas mengenai lokasi titik bor di

area penelitian. Penentuan lokasi titik bor berdasarkan tahap eksplorasi yang

dilakukan dan berdasarkan kompleksitas kondisi geologi yang mengontrol.

Perencanaan pengeboran di Sub-blok A Area Blok Beruaq pada penelitian ini

dilakukan pada tahap pengeboran ekplorasi pendahuluan.

Metode pemboran yang dilakukan Pengeboran pada saat eksplorasi

pendahuluan dengan spasi antar titik bor yang lebih rapat (closer spaced drilling),

yaitu spasi titik bor 250 500 m. Untuk nilai yang lebih spesifik akan tergantung

komplesitas geologi yang mengontrol di area penelitian. Pola persebaran titik bor

dengan pola grid space yang teratur dan berjajar atau disebut fence line drilling,

namun dapat juga digabung dengan pola specific area drilling. Pengeboran dengan

pola specific area drilling dilakukan pada zona tertentu yang berdasarkan hasil

interpretasi geologi (surface mapping interpretation) dianggap menarik untuk

diselidiki lebih lanjut, seperti zona sesar, zona patahan, zona intrusi dll.
73

Metode geofisika atau geophysical logging membantu dalam hal interpretasi

data mengenai persebaran litologi yang ada, yaitu melalui log gamma ray dan density.

Data yang diperoleh melalui logging memiliki kelebihannya tersendiri, yaitu dapat

merekam variasi litologi yang ada di bawah permukaan, keberadaan dan ketebalan

seam batubara dan juga membantu dalam melakukan korelasi seam batubara.

III.3.4. Metode pemodelan sumberdaya batubara

Pemodelan sumberdaya batubara penelitian dilakukan dengan menggunakan

software Minescape. Minescape merupakan salah satu software yang paling umum

dipakai di dunia pertambangan batubara, yaitu salah satunya untuk input dan

pemodelan data untuk perhitungan resource, reserve dan desain pit. Secara umum

pemrosesan hanya menggunakan Minescape core untuk proses input data dan

stratmodel untuk pemodelan persebaran lapisan batubara dan perhitungan resource

untuk penentuan boundary prospect area di Sub-blok B. Berikut penjelasan

mengenai metode pemodelan sumberdaya batubara:

a. Data yang diperlukan

Secara umum, pemodelan dan perhitungan sumberdaya batubara memerlukan

data-data dasar sebagai berikut (Syafrizal dalam Tambunan, 2009), yaitu data

topografi, data penyebaran singkapan batubara (data survei), data dan sebaran titik

bor, data analisis kualitas sampel batubara, peta geologi lokal (meliputi litologi,

stratigrafi, dan struktur geologi).


74

b. Langkah-langkah

Langkah pengerjaan minescape terbagi menjadi 3, yaitu validasi data,

minescape core dan stratmodel. Berikut penjelasannya:

Gambar 3.5. Diagram pemodelan sumberdaya batubara menggunakan Minescape.

1) Validasi data

Tahap validasi data dilakukan dengan melakukan analisis statistik,

sebelum data-data yang tersedia di input kedalam perangkat lunak, baik data

rekapitulasi lubang bor dan data analisis kualitas sampel. Tujuannya adalah

untuk mengetahui parameter dan karakteristik sampel di daerah penelitian,

sehingga data yang akan di input sudah memenuhi persyaratan yang


75

disesuaikan dengan perangkat lunak yang digunakan serta mengurangi error

dalam pemrosesan data.

2) Minescape core

Pengolahan data dasar yang dilakukan yaitu memasukkan data ke

dalam Minescape core berupa data topografi, rekapitulasi data lubang bor

(baik data litologi maupun data survei) dan data analisis sampel.

Di dalam pemrosesan data di Minescape core, dilakukan input data,

berupa titik singkapan, titik bor dan data topografi. Pada tahap ini akan

memunculkan persebaran titik singkapan, titik bor dan kenampakan kontur 3

dimensi. Intinya dalam minescape core yaitu pembuatan pembuatan project,

posting titik bor, titik singkapan dan topografi dan kontur.

3) Stratmodel

Stratmodel adalah salah satu aplikasi dari Minescape yang dirancang

untuk membuat dan mengolah model 2 dimensi dan 3 dimensi suatu endapan

geologi yang berlapis terutama batubara atau endapan-endapan geologi

lainnya seperti posfat atau bauksit (Azizy, 2011). Langkah pembuatan

schema, yaitu data yang diolah melalui Minescape yaitu berupa data lokasi

persebaran batubara, topografi Area Beruaq, data batubara berupa ketebalan

batubara, roof dan floor batubara tersebut serta dikorelasikan dengan data

pemboran. Model ini untuk menunjukkan pola persebaran batubara di

permukaan maupun bawah permukaan Area Beruaq.


76

III.3.5. Metode incremental pit expansion and cash flow

Metode ini digunakan untuk menentukan batas area prospek (optimasi pit)

untuk memberikan keuntungan yang maksimal jika sumberdaya batubara tersebut

ditambang. Metode yang digunakan pada pit tambang terbuka adalah metode

penambahan ekspansi pit. Metode ini dilakukan dengan trial and error, sehingga

perlu dilakukan beberapa simulasi. Metode incremental pit expansion juga dipadukan

dengan model aliran kas (cash flow model). Metode ini menggunakan beberapa

parameter kunci yang akan berpengaruh terhadap penentuan batas tambang terbuka

dengan memberikan nilai ekonomis, yaitu biaya pemindahan material penutup

(overburden), biaya penambangan batubara (coal mining), harga jual batubara (coal

price) dan iuran produksi.

Selain menggunakan parameter tersebut, kondisi geometri batubara dan

kualitas batubara juga ikut mempengaruhi batas tambang terbaik tersebut. Oleh

karena itu, metode ini juga harus didukung dengan model geologi yang pada

umumnya diolah dengan menggunakan software, seperti Minescape dan Minex.

Model geologi menyediakan kenampakan model analog seperti persebaran seam

batubara dan perhitungan sumberdaya batubara. Hal tersebut akan diproses secara

manual dengan menerapkan metode incremental pit expansion dan cash flow model

untuk mendapatkan batas tambang terbaik. Cara ini dianggap lebih efesien

dibandingkan dengan memproses model hingga memberi batas tambang terbaik

secara komputerisasi.
77

Gambar 3.6. Diagram alir penelitian.


78

Tabel 3.1. Jadwal rencana penelitian

Tahapan Tahun 2014 Tahun 2015


No
Penelitian Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret

Tahap
1
Persiapan

Tahap

2 Pengambilan

Data

Tahap

3 Analisis

Data

4 Pembahasan

5 Kesimpulan
79

BAB IV

PENGOLAHAN DATA

IV.1. Ketersediaan Data

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data

primer dan data sekunder yang ada (Tabel 4.1). Data primer berupa data hasil

pemetaan geologi, sampel dari lapangan dan data pemboran, sedangkan data sekunder

berupa Peta Geologi Regional Lembar Samarinda, citra satelit dan citra foto udara,

peta topografi, paper atau karya tulis yang berkaitan dengan wilayah pemetaan yang

telah dilakukan sebelumnya dan data administratif area penelitian.

Tabel 4.1. Ketersedian data penelitian.

Data
Primer Sekunder
Data hasil pemetaan geologi Peta Geologi Regional Lembar Samarinda
Data sumberdaya batubara Citra satelit dan citra foto udara
Peta topografi
Paper atau karya tulis
Data administratif area penelitian
Data Pengeboran
Data hasil laboratorium sampel batubara

Pengambilan data pada tahap pemetaan geologi dilakukan untuk

mengumpulkan seluruh data mengenai keadaan geologi yang mengontrol di lapangan

dan juga informasi mengenai keterdapatan sumberdaya batubara. Data hasil pemetaan

geologi berupa data koordinat pengamatan, pengukuran lereng dan kenampakan

morfologi, variasi litologi melalui pengamatan singkapan pada beberapa titik yang
80

tersebar secara rinci dan measuring section, kedudukan perlapisan, pengukuran

struktur geologi berupa kekar, sesar dan lipatan, pencatatan potensi batubara,

pembuatan sketsa singkapan, pengambilan foto dan pengambilan sampel batubara.

Data sumberdaya batubara juga didapatkan dari hasil pemetaan geologi, yaitu berupa

data persebaran titik-titik singkapan batubara, pengukuran ketebalan, kemiringan roof

dan floor, serta deskripsi megaskopis batubara. Kegiatan pemetaan geologi dilakukan

dengan mengamati singkapan pada beberapa titik yang tersebar di Blok Beruaq

secara rinci dan juga melakukan pengukuran jalur stratigrafi terukur (measuring

section) pada jalur yang telah direncanakan.

Data hasil pemboran dan geophysical logging serta analisis sampel telah

disediakan oleh pihak PT. Multi Harapan Utama Coal untuk Sub-blok B Area Blok

Beruaq. Data pengeboran yang diberikan termasuk bagian dari eksplorasi rinci, hal

ini dikarenakan untuk grid space dari titik bor pengeboran yang dilakukan dengan

jarak interval 250 m. Pengeboran dan logging dilakukan pada tahap ini untuk melihat

kondisi geologi di bawah permukaan secara rinci, yaitu keberadaan seam batubara,

ketebalan seam batubara, pengambilan sampel core dan cutting. Data sekunder yang

telah disebutkan pada Tabel 4.1. digunakan untuk pembuatan peta tentatif dan

interpretasi geologi sebelum ke lapangan. Hal tersebut sangat berguna untuk

penentuan rencana jalur lintasan pengamatan/pemetaan.

Setelah dilakukan pengumpulan data-data primer dan dikompilasi dengan

data-data sekunder, maka tahap selanjutnya adalah pengolahan data yang dibagi
81

menjadi dua bagian, yaitu Sub-blok A dan Sub-blok B Area Blok Beruaq. Analisis

data yang dilakukan untuk keperluan interpretasi kondisi geologi dan sumberdaya

batubara untuk seluruh bagian Blok Beruaq, sedangkan pemodelan sumberdaya dan

rekomendasi untuk lokasi pemboran hanya dilakukan untuk Sub-blok A dan

penentuan boundary prospect area hanya untuk Sub-blok B. Kerangka pengolahan

data yang dilakukan pada penelitian ini (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Kerangka pengolahan data.

Subjek
No Subjek Data Hasil Analisis
Analisis
Pola penyaluran, satuan
Geomorfologi Kelerengan, DEM
geomorfologi, stadia daerah
Satuan batuan, kolom
stratigrafi, rekonstruksi
Analisis Stratigrafi Persebaran litologi, MS
penampang, peta geologi,
1 kondisi
sejarah pengendapan
geologi
Jenis struktur geologi, arah
Pola jurus, pola
Struktur gaya, mekanisme
kelurusan, kekar, sesar,
geologi pembentukan struktur
lipatan
geologi
Profil batubara (MS), Ketebalan, kemiringan, pola
Analisis Geometri pengukuran strike dip dan kedudukan, kemenerusan,
kondisi ketebalan, deskripsi keteraturan, sebaran seam
2
sumberdaya
batubara Persebaran Keberadaan singkapan, Persebaran batubara di
singkapan korelasi singkapan permukaan (Coal cropline)

Model endapan batubara


Persebaran singkapan &
Pemodelan berupa pola sebaran seam
Pemboran dan titik koordinat lubang bor,
3 endapan (cropline), profil penampang
pemodelan topografi, litologi
batubara seam batubara, perhitungan
batubara
sumberdaya batubara

Sampel batubara hasil Karakteristik kualitas


Primer
pemetaan geologi batubara, peringkat batubara
Analisis
4
laboratorium
Sampel batubara hasil Karakteristik kualitas
Sekunder
pemboran batubara, peringkat batubara
82

IV.2. Data dan Analisis Kondisi Geologi

Data lapangan yang diperoleh merupakan data hasil pemetaan geologi di Blok

Beruaq. Pemetaan geologi yang dilakukan merupakan tahap eksplorasi umum,

dengan tujuan untuk menginterpretasi kondisi geologi terutama berupa informasi

geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi. Data lapangan tersebut berupa

deskripsi litologi, pengukuran dimensi persebaran litologi (strike/dip), struktur

sedimen, pengamatan struktur geologi (kekar, sesar dan lipatan), pengukuran lereng

dan pengambilan foto.

IV.2.1. Geomorfologi

Pembagian zona morfologi yang dilakukan di daerah pemetaan

memperhitungkan beberapa aspek penting, yaitu morfografi, morfometri dan

morfogenesa, serta penggunaan Klasifikasi Van Zuidam (1974) sebagai acuan

penilaian aspek tersebut. Data yang digunakan untuk pembagian zona morfologi,

yaitu data kelerengan, data persebaran pola penyaluran dan stadia daerah Blok

Beruaq. Pengolahan data tersebut bertujuan untuk interpretasi kondisi geomorfologi

yang berkaitan dengan faktor-faktor yang membentuk bentang alam,

pengelompokkan satuan bentang alam, evaluasi perkembangan daerah dan proses-

proses eksogenik yang bekerja. Pengolahan data tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pola penyaluran

Pola penyaluran di Blok Beruaq dikontrol oleh keberadaan struktur geologi

dan differential erosion dari persebaran batuan yang ada. Struktur geologi yang
83

mengontrol berupa perlipatan antiklin dan sinklin menunjam asimetris, yang

menyebabkan pembentukan zona lemah. Keberadaan zona lemah tersebut menjadi

aliran sungai parenial dan aliran sungai intermiten yang ada pada saat ini (Gambar

4.1).

Gambar 4.1. Pola penyaluran Blok Beruaq bertipe Subdendritik.

Secara keseluruhan, pola penyaluran yang ada pada Blok Beruaq adalah pola

penyaluran subdendritik. Pola penyaluran ini hadir dengan ciri berupa sungai yang

bercabang menyerupai tulang daun, namun dipengaruhi oleh kontrol struktur geologi

yang ada.

b. Satuan geomorfologi

Penentuan satuan geomorfologi dilakukan dengan cara menganalisis peta

topografi, citra DEM dan citra TIN Blok Beruaq serta pengukuran lereng secara

langsung di lapangan. Dasar penetuan satuan geomorfologi berdasarkan aspek


84

morfografi, morfometri dan morfogenesa (Tabel 4.3). Berikut penjelasan mengenai

aspek-aspek tersebut:

- Aspek morfografi

Aspek morfografi merupakan suatu aspek dalam geomorfologi yang

menyangkut Gambaran deskriptif dari suatu area. Contohnya, yaitu dataran,

perbukitan, pegunungan dan plateu. Penentuan tipe area untuk aspek

morfografi berdasarkan analisis citra DEM (Lampiran 2) dan Peta Kelerengan

Blok Beruaq (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa Blok Beruaq

didominasi oleh tipe area berupa perbukitan cuesta dan hogback, dengan

persebaran perbukitan cuesta dominan di bagian tengah dan perbukitan

hogback dominan di bagian barat laut Blok Beruaq. Hanya di bagian utara-

barat laut yang berupa daratan.

- Aspek morfometri

Aspek morfometri merupakan aspek kuantitatif yang ada pada suatu area

seperti kelerengan dan ketinggian. Berdasarkan nilai kemiringan pada

perhitungan kelerengan di lapangan, peta topografi, pengolahan kelerengan

menggunakan citra DEM dan TIN, maka Blok Beruaq di dominasi oleh

perbukitan bergelombang sedang di bagian timur, perbukitan bergelombang

kuat di bagian barat laut dan berupa daratan pada sumbu antiklin di bagian

utara-barat laut Blok Beruaq.


85

- Aspek morfogensa

Aspek morfogenesa adalah suatu faktor yang mempengaruhi

pembentukan suatu daerah. Morfogenesa ini menyangkut 2 hal utama, yaitu

litologi dan proses geomorfik. Kondisi morfologi daerah pemetaan terlihat

sebagai perbukitan melengkung di bagian timur, tengah dan barat daya daerah

pemetaan. Kondisi tersebut dikontrol oleh 2 hal, yaitu litologi dan proses

geomorfik.

Blok Beruaq secara keseluruhan dikontrol oleh Perlipatan antiklin dan

sinklin menunjam asimetris yang cukup intensif. Variasi litologi di Blok

Beruaq menyebabkan adanya differential erosion, sehingga bentukan

perlipatan dengan variasi litologi tersebut menghasilkan bentang alam yang

terlihat seperti saat ini. Zona barat Blok Beruaq dipengaruhi oleh litologi yang

tingkat resistensi batuan relatif tinggi dan proses geomorfik yang relatif tidak

terlalu berpengaruh, sehingga menghasilkan bentukan morfologi perbukitan

yang terjal. Zona timur Blok Beruaq dikontrol oleh litologi yang tingkat

resistensi batuan relatif rendah dan proses geomorfik yang sangat intensif,

sehingga menghasilkan perbukitan yang relatif lebih landai.

Proses konstruksional merupakan pembentukan lahan awal Blok Beruaq oleh

gaya endogen, yaitu berupa pembentukan struktur geologi berupa perlipatan dan

struktur geologi lainnya serta proses pengendapan batuan dan. Kemudian proses
86

tersebut dilanjutkan dengan proses destruksional. Proses tersebut merupakan proses

perusakan lahan awal yang sudah terbentuk. Proses tersebut berupa proses eksogenik.

Proses tersebut berupa proses pelapukan, pengerosian, transportasi dan pengendapan,

sehingga zona lemah yang telah terbentuk menghasilkan suatu bentukan baru akibat

proses eksogenik tersebut.

Tabel 4.3. Pengolahan data geomorfologi berdasarkan aspek morfografi, morfometri dan
morfogenesa untuk penentuan satuan geomorfologi.

Peta Topografi TIN Aspek Geomorfologi


Area Kode Nilai Satuan
Pengu- Pengu- Nilai Beda Bentang
Kelere-
kuran kuran Kelere- Tinggi Morfografi Morfometri Morfogenesa Alam
ngan
ngan (%) (m)
(%)
A 1,83 34,66
Barat
B 2,19 46,25 15-30
Daya
C 2,37 51,67
D 3,05 40 Satuan
Tengah 15-30 Bergelombang Perbukitan
E 2,44 46,97
sedang Struktural: Cuesta -
F 2,51 44,67 Perbukitan Hogback dan Hogback

G 2,20 27,59 Cuesta


Timur 30-70
H 2,58 37,17
I 3 31,52
J 3,01 55,65 Satuan
Barat Bergelombang
70 Perbukitan
laut K 2,31 38 kuat
Hogback
Tengah
Satuan
(Barat
0-2 Dataran Dataran Alluvial Dataran
daya-
Aluvial
Utara)

c. Stadia daerah

Analisis stadia daerah menggunakan beberapa parameter, yaitu struktur

geomorfologi, bentuk puncak, bentuk lembah, kelerengan, proses erosi, luasan

dataran dan stadia sungai. Struktur geomorfologi yang tersebar di Blok Beruaq
87

berupa perbukitan hampir di seluruh area, hanya sebagian kecil berupa daratan.

Bentuk puncak relatif runcing, bentuk lembah relatif sempit yang diapit oleh

perbukitan-perbukitan. Kelerengan pada bagian timur relatif bergelombang sedang,

sedangkan bagian barat relatif bergelombang kuat. Luasan daratan relatif tidak luas,

yaitu hanya 12,8 % dari luasan Blok Beruaq dan keterdapatan sungai intermiten yang

sangat dominan, serta proses erosi yang terus berlanjut hingga saat ini hingga

menghasilkan inverted topography dari perlipatan yang ada.

Berdasarkan pada kenampakan ciri-ciri bentang alam tersebut, maka secara

umum stadia daerah Blok Beruaq termasuk dalam kategori stadia dewasa (mature),

seperti terlihat pada Gambar 4.2. di bagian tengah. Kenampakan morfologi sisa dari

ubahan bentang alam konstruksional (stadia muda) berupa perlipatan terubah menjadi

bentang alam destruksional (stadia dewasa) seperti terlihat pada Gambar di bawah

(Gambar 4.2).

Young Mature Old

Gambar 4.2. Blok Beruaq berstadia dewasa dengan bentukan lipatan yang telah mengalami
proses eksogenik pada sebagian bentukan lipatannya.

Berdasarkan aspek morfografi, morfometri dan morfogenesa, maka Blok

Beruaq dapat dibagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu satuan perbukitan

bergelombang sedang struktural, satuan perbukitan bergelombang kuat struktural dan

satuan dataran alluvial (Gambar 4.3). Berikut penjelasan mengenai satuan

geomorfologi di Blok Beruaq:


88

a. Satuan perbukitan cuesta - hogback

Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 66,4% dari luasan

total daerah penelitian di bagian timur daerah pemetaan. Pada peta geomorfologi,

satuan ini ditandai dengan warna kuning. Berdasarkan aspek morfografi, satuan ini

termasuk suatu perbukitan. Titik tertinggi yang ada pada satuan ini berada pada

elevasi 115 mdpl, sedangkan titik terendahnya berada pada elevasi 15 mdpl.

Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam morfometri bergelombang

sedang dengan nilai kelerengan sekitar 15 70%. Litologi yang tersebar di satuan ini

didominasi oleh batuan berbutir halus, yaitu berupa batupasir halus, batupasir

karbonatan, batupasir kuarsa, batupasir tufan, batulempung, batulanau, dan batubara.

Peta topografi dan citra DEM (Digital Elevation Model) menunjukkan adanya

morfologi cuesta dan hogback serta pola - pola kelurusan yang menunjukkan adanya

morfogenesa struktural pada satuan ini.

b. Satuan perbukitan hogback

Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 20,8% dari luasan

total daerah penelitian. Satuan ini terletak di bagian barat daerah pemetaan dan

ditandai dengan warna merah jambu pada peta geomorfologi. Berdasarkan aspek

morfografi, satuan ini termasuk dalam morfografi perbukitan. Titik tertinggi di satuan

ini berada pada elevasi 140 mdpl dan titik terendahnya berada pada elevasi 23 mdpl.

Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam topografi bergelombang


89

kuat, dengan kemiringan lereng sekitar 70%. Kelerengan yang terjal ini dapat terlihat

jelas dari peta topografi dengan kontur yang cukup rapat pada lereng perbukitan.

Berdasarkan aspek morfogenesa, satuan ini merupakan bentuk lahan struktural.

Satuan ini terbentuk lebih dikarenakan adanya kontrol struktur geologi berupa lipatan

dan kemiringan perlapisan batuan yang bersifat resisten pada satuan ini. Morfologi

yang dominan ditemukan di bagian barat laut Blok Beruaq berupa hogback.

c. Satuan dataran Alluvial

Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 12,8% dari luasan

total daerah penelitian. Satuan ini terdapat di bagian barat daerah pemetaan dan

ditandai dengan warna hijau tua pada peta geomorfologi. Berdasarkan aspek

morfografi, satuan ini termasuk topografi datar. Titik tertinggi di satuan ini berada

pada elevasi 24 mdpl dan titik terendahnya berada pada elevasi 9 mdpl. Berdasarkan

aspek morfometri, satuan ini termasuk morfometri dataran dengan kelerengan sekitar

0 - 2%. Berdasarkan aspek morfogenesa, satuan ini cenderung dipengaruhi oleh

proses eksogenik dibandingkan proses endogenik. Proses eksogenik yang terjadi yaitu

pelapukan, erosi, transportasi, dan pengendapan material hasil erosi dan transportasi

batuan di sekitarnya. Struktur geologi yang terdapat di bawah satuan ini berupa

antiklin, menutupi sumbu antiklin yang telah mengalami penelanjangan atau

denudasional processes.
90
91

IV.2.2. Stratigrafi

Pembagian satuan batuan pada Blok Beruaq dilakukan berdasarkan analisis

litologi jalur stratigrafi terukur (Gambar 4.4) dan persebaran batuan tiap stasiun

pengamatan atas kesamaan pola persebaran litologinya. Penggabungan data litologi

dari jalur startigrafi terukur dengan pengamatan pada tiap stasiun pengamatan

dilakukan dengan cara korelasi litostratigrafi, namun juga dibantu dengan data hasil

pengamatan paleontologi Rudianto & Rizkiawan (2015). Korelasi menggunakan

konsep biostratigrafi dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan

litostratigrafi. Korelasi biostratigrafi menggunakan kandungan fosil penciri umur

yang menjadi kunci korelasinya, sehingga menjadi dasar yang lebih kuat

dibandingkan litostratigrafi untuk melakukan korelasi. Pada penelitian ini, korelasi

biostratigrafi tidak dapat digunakan sepenuhnya karena hanya pada jalur 3 didapatkan

fosil penciri umur yang pendek. Tidak adanya kandungan fosil pada jalur lain

menyebabkan korelasi stratigrafi yang dilakukan menggunakan korelasi litostratigafi,

dengan kunci korelasi berupa kesamaan atau kemiripan litologi dan posisi

stratigrafinya.

Adanya struktur geologi berupa antiklin, sinklin dan sesar naik pada daerah

penelitian sangat mempengaruhi posisi stratigrafis dari jalur pengukuran stratigrafi

yang ada. Jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 memanjang dari barat daya ke timur

laut, terletak pada dari sayap sinklin bagian timur ke arah barat. Jalur pengukuran

stratigrafi 3 dan 4 terletak pada bagian barat daerah penelitian (Lampiran 4). Korelasi
92

antara jalur pengukuran stratigrafi 1 terhadap jalur pengukuran stratigrafi 2

merupakan korelasi strike section, karena posisi jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2

terletak pada garis jurus yang relatif sama. Korelasi antara jalur pengukuran

stratigrafi 1 atau 2 terhadap jalur pengukuran stratigrafi 3 atau 4 merupakan korelasi

dip section (Gambar 4.4).

Berdasarkan kemiripian litologi dan posisi stratigrafinya, didapatkan marker

bed atau lapisan kunci korelasi pada jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 (Gambar

4.40). Marker 1 dan Marker 4 didasarkan adanya lapisan batubara yang dijumpai

pada jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2. Lapisan batubara ini diperkirakan menerus

dari jalur pengukuran stratigrafi 1 hingga jalur pengukuran stratigrafi 2. Penentuan

batubara sebagai marker ini didasarkan pada posisi stratigrafi antar batubara yang

terletak relatif pada jurus yang sama. Marker 2 dan Marker 3 berupa batupasir

dengan struktur sedimen scouring. Penentuan batupasir dengan struktur sedimen

scouring sebagai marker bed didasarkan pada posisi stratigrafis antar batupasir yang

terletak pada jurus yang sama

Jalur pengukuran stratigrafi 3 memiliki umur Miosen Awal (N5 - N8)

berdasarkan kandungan foraminifera besar berupa Lepidocyclina sumatraensis,

Operculina sp., dan Austrotrilina howchini (Rizkiawan, 2015). Umur dari jalur

pengukuran stratigrafi 4 didapatkan dari data sekunder. Data sekunder tersebut

berupa penelitian yang dilakukan oleh Rudianto (2015). Penelitian ini dilakukan

dengan lokasi yang dekat dengan daerah penelitian, bersambung dengan daerah
93

penelitian di bagian barat. Lokasi pengambilan sampel foraminifera oleh Rudianto

(2015) cukup dekat dengan satuan perselingan batupasir - batulanau yang berada di

bagian barat daerah penelitian dan memiliki posisi stratigrafis yang relatif sama.

Berdasarkan penelitian oleh Rudianto (2015) tersebut, umur dari satuan perselingan

batupasir batulanau berupa N9 - N10 (Miosen Tengah) berdasarkan kandungan

fosil Globorotalia peripheroacuta.

Fosil spora/pollen yang didapatkan pada jalur pengukuran stratigrafi 1 dan

jalur pengukuran stratigrafi 2 menunjukkan rentang umur yang relatif panjang. Umur

yang didapatkan dari spora/pollen ini adalah Miosen Tengah Miosen Akhir atau

ekuivalen dengan zona N9 N16 berdasarkan adanya pollen Florshuetza

meridionalis.

Berdasarkan umur tersebut, diketahui bahwa posisi stratigrafis jalur

pengukuran stratigrafi 3 merupakan jalur yang tertua di daerah penelitian (Miosen

Awal), kemudian dilanjutkan oleh jalur pengukuran stratigrafi 4, bersamaan dengan

jalur pengukuran stratigrafi 1 dan 2 (Miosen Tengah Miosen Akhir).

Berdasarkan data geologi regional oleh Supriatna et al. (1995), jalur

pengukuran stratigrafi 1 dan 2 merupakan bagian dari Formasi Pulau Balang. Jalur

pengukuran stratigrafi 3 merupakan bagian dari Formasi Pamaluan dan Formasi

Bebulu. Jalur pengukuran stratigrafi 4 merupakan bagian dari Formasi Balikpapan.


94

Gambar 4.4. Korelasi antar jalur pengukuran stratigrafi. Korelasi ini mempertimbangkan kesamaan

litologi dan posisi stratigrafis antar jalur dengan marker berupa lapisan batubara,

batupasir dengan struktur sedimen scouring, dan umur batuan (Rizkiawan, 2015).
95

Berdasarkan pemetaan geologi di Blok Beruaq dalam skala 1: 25.000, maka

Blok Beruaq dapat dibagi menjadi beberapa satuan batuan. Berikut urutan dari yang

tertua hingga termuda, yaitu satuan batulanau, satuan batugamping, satuan

perselingan batulanau-batupasir (Gambar 4.5). Berikut penjelasannya satuan dari

yang tertua hingga termuda:

a. Satuan batulanau

Satuan ini tersebar di bagian barat, dekat dengan antiklin yang ada pada

daerah penelitian. Satuan ini dicirikan dengan adanya batulanau yang tersementasi

dengan kuat (well cemented siltstone). Selain batuan yang bersifat keras, perbedaan

lain satuan batulauan dengan satuan perselingan batupasir batulanau adalah tidak

ditemukannya lapisan batubara pada satuan ini. Satuan batulanau ini secara

stratigrafis menjemari dengan satuan batugamping yang berumur Miosen Awal (N5

N8) (Rizkiawan, 2015). Berdasarkan hubungan stratigrafis yang saling menjari ini,

diperkirakan umur dari satuan batulanau ini juga Miosen Awal. Satuan batulanau ini

lebih mengarah kepada Formasi Pamaluan atau Formasi Bebulu berdasarkan umur

satuan ini.

b. Satuan batugamping

Satuan batugamping ini tersingkap di bagian barat laut daerah pemetaan

dengan orientasi memanjang dengan arah barat daya tenggara, menempati satuan

geomorfologi perbukitan bergelombang kuat struktural. Secara lebih detail, jenis

terumbu atau batugamping tersebut antara lain: platy coral reef, massive coral reef,
96

dan batugamping kristalin. Satuan batugamping merupakan bagian dari Formasi

Bebulu yang memiliki hubungan stratigrafis yang menjari dengan satuan batulanau

yang merupakan bagian dari Formasi Pamaluan.

c. Satuan perselingan batupasir - batulanau

Satuan ini menempati satuan geomorfologi perbukitan bergelombang sedang

struktural, dan sebagian di perbukitan bergelombang kuat. Pola umum yang

ditemukan pada satuan ini adalah perselingan batupasir batulanau dengan sisipan

batulempung, batulanau, batupasir karbonatan, batupasir tufan atau batubara dengan

ketebalan yang bervariasi. Satuan ini tersingkap di bagian barat dan timur daerah

penelitianSatuan perselingan batulanau batupasir. Satuan ini termasuk ke dalam

Formasi Pulau Balang, pada bagian bawah satuan ini berhubungan menjari dengan

Formasi Balikpapan yang tersebar di bagian ujung barat laut Blok Beruaq.

Berdasarkan Gambar 4.6. terlihat bahwa persebaran satuan batuan di Blok

Beruaq dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan asimetris antiklin dan sinklin

menunjam. Perlipatan tersebut menyebabkan persebaran batuan mengalami

pengulangan. Selain itu juga terdapat sesar naik sinistral yang diperkirakan di bagian

tengah utara blok. Kontrol sesar tersebut tidak banyak mengontrol persebaran

satuan batuan yang ada, namun kontrol sesar dapat terlihat jelas pada kenampakan

morfologi di citra DEM. Pada Peta Geologi Blok Beruaq (Gambar 4.6) dapat terlihat

pelamparan satuan batuan juga kontrol struktur geologi.


97

Gambar 4.5. Kolom satuan batuan Blok Beruaq.


98
99

IV.2.3. Struktur geologi

Struktur geologi terdapat pada Blok Beruaq cukup beragam. Struktur geologi

ini didapatkan baik langsung dari lapangan seperti kekar dan zona patahan maupun

hasil analisis seperti pola kelurusan, rekonstruksi lipatan dan pola jurus. Berikut

penjelasannya:

a. Pola jurus

Pola jurus yang berada pada daerah pemetaan didapatkan dari hasil interpolasi

jurus-jurus perlapisan batuan yang berdekatan. Pola jurus ini bertujuan untuk melihat

bagaimana kontrol tektonik terhadap arah kemiringan dan kelurusan dari persebaran

lapisan di Blok Beruaq. Pola jurus yang tersebar, yaitu pola tenggara-barat laut di

bagian timur Blok Beruaq dan pola timur laut-barat daya di bagian selatan, barat daya

dan barat laut Blok Beruaq.

b. Pola Kelurusan

Pola kelurusan yang terdapat pada daerah pemetaan didapatkan dari hasil

interpretasi adanya kelurusan-kelurusan lembah yang terlihat jelas pada citra DEM

serta berdasarkan temuan langsung di lapangan. Pola kelurusan di Blok Beruaq

memiliki orientasi yang bervariasi dan muncul hampir di seluruh daerah pemetaan.

Secara umum, pola kelurusan yang terdapat pada daerah pemetaan dapat dibagi

menjadi beberapa zona. Berdasarkan arah dari pola kelurusan yang ada, zona tersebut

adalah Zona Timur, Zona Selatan dan Zona Barat Laut.

Zona Timur memiliki pola kelurusan yang didominasi oleh arah tenggara

barat laut dengan bentukan melengkung ke arah barat daya. Pada Zona Selatan
100

Tengah, pola kelurusan didominasi oleh arah utara selatan yang berbentuk

melengkung ke arah barat laut di ujung bagian utara dari kelurusan ini. Zona Barat

Laut dicirikan dengan pola kelurusan didominasi oleh arah timur laut-barat daya. Pola

ini juga mengalami pelengkungan ke arah tenggara.

c. Kekar

Tabel 4.4. Data pengukuran kekar kompresi di lapangan serta hasil analisis kekar.

STRIKE/ KEKAR
NO STA X Y
DIP KOMPRESI ROSENET MEAN
Rose Diagram
N

Kekar N 155 E,
N 150 E, N 180
E, N 130 E, N
STA N 126
1 494351 9925354 200 E, N 155 E. W E
-19.52
124 E/30
Riedl dextral
movement N 20
E
S

Kekar N 311 E,
STA N 158
2 493545 9925364 N 60 E, N 60 E, W E
-37.84
34 E/18
N 205 E

Rose Diagram
S
N

Kekar N 55 E,
STA N 225 N 137 E, N 56
3 491560 9923543 W E
-1.48
47 E/16 E, N 130 E, N
110 E, N 60 E

Kekar yang terdapat pada daerah penelitian terdiri dari kekar ekstensi dan

kekar kompresi. Kekar ekstensi dicirikan dengan kenampakan kekar yang saling

sejajar, sedangkan kekar-kekar kompresi dicirikan dengan adanya kekar yang saling

memotong dan membentuk sudut lancip antar keduanya. Kekar ekstensi yang terdapat
101

pada daerah pemetaan relatif lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan kekar

kompresi. Berikut data pengukuran kekar di lapangan:

Kekar kompresi dengan trend tenggara barat laut dijumpai di STA 124, STA

34 dan STA 47 Blok Beruaq. Arah trend tersebut menunjukkan bahwa gaya kompresi

pembentuk kekar berarah tenggara barat laut (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Data pengukuran kekar ekstensi di lapangan serta hasil analisis kekar.

STRIKE/ KEKAR
NO STA X Y
DIP EKSTENSI ROSENET MEAN
Rose Diagram
N

Kekar N 330 E, N
STA 300 E, N 340 E, N
1 493638 9926064 N 165 E/20 W E -41.88
83 330 E, N 280 E, N
320 E

Rose Diagram
N

N 47 E, N 115 E,
N 100 E, N 48 E,
STA
4 487525 9924520 N 290 E/35 N 200 E, N 200 E W E -42.04
42

Rose Diagram
(22,5)
N

Kekar N 20E, N
25 E, N 20 E, N
STA
5 489167 9923356 N 35 E/13 20 E, N 23 E, N W E 22.49
118
30 E, N 17 E, N
25 E

d. Sesar

Sesar adalah struktur rekahan yang mengalami pergeseran. Sesar yang ada di

Blok Beruaq didapatkan dari hasil pengamatan langsung di lapangan dan analisis citra

DEM Blok Beruaq. Pola-pola kelurusan dikombinasikan dengan data lapangan, yaitu
102

berupa kemiringan batuan, pola jurus dan adanya zona-zona hancuran di lapangan.

Data tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah utara Blok Beruaq terganggu

oleh sesar. Sesar naik sinistral diperkirakan memiliki orientasi tenggara barat laut.

Sesar ini menyebabkan adanya pelengkungan morfologi, pola jurus dan pola

kelurusan di bagian tengah Blok Beruaq, mendorong bagian tengah Blok Beruaq

bergerak ke arah tenggara.

e. Lipatan

Tabel 4.6. Data perlipatan Blok Beruaq.

Jenis Persebaran
No Keterangan
Lipatan Lipatan
Orientasi sumbu yang memanjang dari arah selatan ke
Sinklin Area Tengah
1 timur laut, melengkung di bagian tengah menuju ke
menunjam Blok Beruaq
barat

Bersifat asimetris dengan sayap sinklin menunjam pada


Area Barat Blok
2 Antiklin bagian timur lebih landai dibandingkan dengan sayap
Beruaq
sinklin menunjam bagian barat

Homoklin ini merupakan sayap dari antiklin yang


Area Timur Blok
3 Homoklin berada di luar Blok Beruaq di bagian timur laut. Sayap
Beruaq
homoklin miring ke arah barat daya.

Lipatan adalah deformasi lapisan yang terjadi akibat dari gaya tegasan,

sehingga batuan bergerak dari kedudukan semula membentuk lengkungan.

Berdasarkan bentuk lengkungannya lipatan dapat dibagi dua, yaitu lipatan sinklin dan

lipatan antiklin. Lipatan sinklin adalah bentuk lipatan yang cekung ke arah atas,

sedangkan lipatan antiklin adalah lipatan cembung ke arah atas. Lipatan yang terdapat

pada Blok Beruaq berupa lipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin
103

(Tabel 4.6). Lipatan tersebut merupakan hasil dari rekonstruksi persebaran

kemiringan perlapisan batuan yang ada di Blok Beruaq dan citra DEM.

Berdasarkan Gambar 4.7. menunjukkan bahwa struktur lipatan yang terdapat

di Blok Beruaq berupa lipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin.

Interpretasi tersebut berdasarkan hasil rekonstruksi jurus dan kemiringan lapisan yang

ada, serta analisis citra DEM. Persebaran lipatan tersebut, yaitu homoklin di bagian

timur, dengan arah kemiringan lapisan relatif ke barat daya. Lipatan antiklin

terbentuk di bagian barat dengan sumbu berorientasi barat daya timur laut. Lipatan

antiklin tersebut dicirikan oleh adanya perbedaan arah jurus dan kemiringan lapisan

batuan. Bagian atas dari sumbu antiklin merupakan zona lemah yang sangat

berpotensi terkena proses eksogenik. Lipatan sinklin menunjam terbentuk di bagian

tengah blok. Lipatan sinklin menyebabkan dimensi batuan yang berbentuk seperti

mangkok, dengan arah kemiringan yang relatif saling menutup. Pada bagian tengah

utara terdapat sesar naik yang berorientasi tenggara - barat laut. Pada sumbu lipatan

antiklin diinterpretasikan terdapant sesar naik berdasarkan adanya strike dip perlapisan pada

sayap antiklin bagian timur yang cukup curam.


Gambar 4.7. Peta struktur geologi daerah penelitian. Karakter struktur geologi utama pada daerah penelitian adalah lipatan dan
104

sesar naik.
105

IV.3. Data dan Analisis Kondisi Sumberdaya Batubara

Sumberdaya batubara merupakan bagian dari endapan batubara dalam bentuk

dan kuantitas tertentu serta mempunyai prosepek beralasan yang memungkinkan

untuk ditambang secara ekonomis. Lokasi, kualitas, kuantitas, karakteristik geologi

dan kemenerusan dari lapisan batubara telah diketahui, diperkirakan atau

diinterpretasikan dari bukti geologi tertentu. Data mengenai sumberdaya batubara di

Blok Beruaq diperoleh melalui kegiatan pemetaan geologi. Data tersebut dianalisis

bertujuan untuk memberikan informasi mengenai keterdapatan sumberdaya batubara

meliputi informasi mengenai penyebaran batubara di Blok Beruaq, karakteristik

batubara yang tersebar, geometri batubara, kualitas batubara dan jenis batubara yang

tersebar. Berikut penjelasan mengenai informasi sumberdaya batubara di Blok

Beruaq:

a. Penyebaran batubara

Berdasarkan hasil pemetaan geologi di Blok Beruaq, ditemukan 45 titik

singkapan batubara. Batubara pada Blok Beruaq dominan tersebar secara merata di

bagian timur, tengah dan di bagian ujung barat laut. Terdapat 22 titik singkapan

batubara di Sub-blok B, yaitu di bagian timur Blok Beruaq dan 23 titik singkapan di

Sub-blok A, yaitu di bagian tengah dan barat Blok Beruaq (Gambar 4.8).

b. Karakteristik batubara

Batubara yang tersebar di Blok Beruaq dominan memiliki karakteristik yang

hampir sama di bagian timur laut, barat daya dan barat laut, namun berbeda dengan
106

karakteristik batubara di bagian tengah Blok Beruaq. Umumnya kenampakan

batubara berwarna hitam, dengan kondisi yang umum tampak cukup segar di bagian

tengah blok, namun pada beberapa tempat mengalami pelapukan cukup intensif di

bagian timur laut dan barat laut blok. Cleat yang cukup intensif umumnya terisi oleh

material lempung, lanau, oksida dan sulfida. Kilap batubara bervariasi dari bright di

bagian tengah blok, kilap dull semibright di bagian timur dan barat, dengan

dominasi semi-bright. Pecahan subconchoidal, agak keras dan non-banded.

Komposisi utama berupa karbon dan pengotor berupa sulfida dan oksida.
.
Gambar 4.8. Peta Persebaran Batubara Blok Beruaq.
107
108

c. Geometri

Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu

lapisan batubara. Data mengenai geometri didapatkan dari hasil pengukuran dan

pengamatan langsung di lapangan Blok Beruaq. Parameter geometri batubara yang

dipakai berdasarkan Jeremic (1985), yaitu ketebalan, kemiringan, pola sebaran,

keteraturan lapisan batubara, kemenerusan lapisan batubara dan roof dan floor.

Kondisi geometri batubara secara jelas dapat dilihat pada korelasi seam batubara

(Lampiran 7). Berikut penjelasan mengenai parameter geometri batubara di Blok

Beruaq:

- Ketebalan

Tabel 4.7. Persebaran variasi ketebalan seam batubara di Blok Beruaq.

Variabel
Kategori
No. Ketebalan Jumlah Area Sebaran
Ketebalan
(m)*
Sangat timur, utara, tenggara, timur laut, tengah,
1 < 0,5 20
tipis barat laut,

tengah, tenggara, timur, utara, selatan,


2 Tipis 0,5 - 1,5 25
timur laut, barat daya

tenggara, timur laut, selatan, barat laut,


3 Sedang 1,5 - 3,5 10
barat daya

4 Tebal 3,5 - 25 0 -
Sangat
5 > 25 0
tebal -
*Acuan: jeremic (1985)

Ketebalan seam batubara yang terdapat di Blok Beruaq relatif

bervariasi. Ketebalan seam yang paling banyak ditemukan, yaitu kategori

tipis. Ketebalan berkategori tipis tersebar sebaran di seluruh area Blok


109

Beruaq, yaitu di bagian tengah, tenggara, timur, utara, selatan, timur laut

dan barat daya. Ketebalan seam batubara berkategori sangat tipis

ditemukan secara merata di bagian timur, utara, tenggara, timur laut,

tengah dan barat laut. Ketebalan seam batubara berkategori sedang

tersebar di tenggara, timur laut, selatan, barat laut dan barat daya. Di Blok

Beruaq tidak ditemukan seam batubara dengan ketebalan berkategori tebal

dan sangat tebal (Tabel 4.7).

- Kemiringan

Tabel 4.8. Persebaran variasi kemiringan seam


batubara di Blok Beruaq.
Kategori Variabel
No. Jumlah Area Sebaran
Kemiringan Kemiringan ()*
1 Horisontal 0 0 -

2 Landai < 25 38 Tersebar merata


Dominan: timur laut,
3 Miring 25 - 45 8 barat daya, sedikit di
tenggara
Dominan: timur laut,
4 Miring curam 45 - 75 8
barat laut
5 Vertikal > 75 1 utara
* Acuan: jeremic (1985)

Kemiringan seam batubara yang tersebar di Blok Beruaq

bervariasi, mulai dari yang landai hingga yang vertikal. Kemiringan seam

yang paling banyak ditemukan, yaitu berkategori landai. Kemiringan seam

yang landai tersebar merata di Blok Beruaq sebanyak 38 seam.

Kemiringan seam berkategori miring ditemukan sebanyak 8 seam, yang

dominan ditemukan di bagian timur laut dan barat daya Blok Beruaq,
110

hanya sedikit di bagian tenggara. Kemiringan seam berkategori miring

curam ditemukan sebanyak 8 seam yang dominan di timur laut dan barat

laut Blok Beruaq, sedangkan kemiringan seam berkategori vertikal hanya

terdapat di 1 seam di bagian utara Blok Beruaq (Tabel 4.8).

- Pola sebaran

Pola sebaran lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh struktur

lipatan dan sesar yang intensif. Lipatan yang terdapat pada Blok Beruaq

berupa sinklin menunjam dan antiklin (Lampiran 5).

- Persebaran batubara (coal cropline)

Berdasarkan hasil korelasi lapisan batubara, maka didapatkan 40

seam batubara di Blok Beruaq. Seam tersebut hanya berdasarkan

interpretasi hasil pemetaan geologi. Seam tersebut tersebar dominan di

bagian timur Blok Beruaq dengan arah orientasi memanjang barat laut -

tenggara sebanyak 31 seam batubara, 6 seam di bagian barat daya

memanjang dengan orientasi barat laut - tenggara dan timur laut-barat

daya dan 3 seam di bagian barat laut memanjang dengan orientasi timur

laut - barat daya.

- Keteraturan lapisan batubara

Pola kedudukan seam batubara di menunjukkan pola yang

berbeda-beda. Pada bagian barat laut, menunjukkan pola yang relatif

teratur, dengan kedudukan seam yang memanjang timur laut - barat daya.

Pada bagian barat daya, menunjukkan pola yang melengkung. Pada bagian
111

selatan, menunjukkan pola yang relatif teratur. Pada bagian utara,

menunjukkan pola yang teratur, dengan orientasi seam memanjang timur

laut-barat daya. Pada bagian timur laut, menunjukkan pola yang seam

tidak teratur dan meliuk-liuk (Lampiran 5).

- Kemenerusan lapisan batubara

Seam batubara yang ditemukan di bagian timur Blok Beruaq

diinterpretasikan berkorelasi dengan seam batubara yang berada di tengah

blok, sebaran seam tersebut dikontrol oleh struktur perlipatan antiklin dan

sinklin menunjam, namun kemenerusan seam tersebut belum dapat

dibuktikan pada tahap eksplorasi pendahuluan ini, perlu adanya

pemodelan seam yang dibantu dengan data drilling dan geophysical

logging.

- Roof dan floor

Kontak batubara dengan roof dan floor yang ditemukan di Blok

Beruaq umumnya berupa shaly coal memilki ciri-ciri hitam, lunak,

pecahan uneven, cleat kurang intensif hingga cukup intensif, kilap dull,

laminasi, dan komposisi berupa karbon, sulfida, dan sisipan material

berukuran butir lempung-lanau. Coaly shale berwarna abu-abu kehitam-

hitaman, berukuran butir lanau-lempung, struktur sedimen laminasi,

komposisi berupa material berukuran butir lanau - lempung dan karbon.

Kondisi kontak roof dan floor dengan batubara yang ditemukan bervariasi

yang, ada yang tegas dan juga bergradasi.


112

d. Penentuan titik pengeboran (eksplorasi pendahuluan) Sub-blok A

Interpretasi kondisi sumberdaya batubara di Blok Beruaq digunakan sebagai

dasar dalam penentuan titik pengeboran di Sub-Blok B. Perencanaan titik bor

berdasarkan persebaran seam batubara di permukaan (coal cropline), kemiringan

seam batubara dan juga zona yang berpotensi akan keberadaan seam batubara yang

tidak terekam pada saat pemetaan geologi. Kegiatan pengeboran yang akan dilakukan

di Sub-blok A dibagi menjadi beberapa zona. Pembagian zona tersebut berdasarkan

persebaran seam batubara yang ada di Sub-blok A. Berdasarkan hasil interpretasi

korelasi seam batubara dan persebaran seam di permukaan, maka dapat dibagi 4 zona

di Sub-blok A, yaitu Zona A, Zona B, Zona C dan Zona D.

IV.4. Data Pemboran dan Pemodelan

Pemboran dilakukan di Sub-blok B Blok Beruaq, yaitu di bagian timur Blok

Beruaq. Pemboran dilakukan sebanyak 385 titik yang memiliki jarak antar bor sejauh

250 m, dengan pola pemboran fence line drilling. Data pemboran tersebut digunakan

untuk pemodelan sumberdaya batubara di Sub-blok B terkait persebaran batubara,

geometri batubara dan persebaran kualitas batubara.

a. Pemodelan endapan batubara (eksplorasi rinci) Sub-blok B

Pengolahan data hasil pengeboran yang dilakukan di Sub-blok B

menggunakan aplikasi perangkat lunak berupa Minescape. Pengolahan data

dilakukan dengan cara menginput data titik singkapan, titik bor dan topografi di

Minescape. Proses ini disebut Minescape core, yaitu tahap awal untuk memulai
113

pemodelan. Hasil dari proses tersebut untuk mengetahui di mana saja persebaran titik

bor yang ada di Blok Beruaq. Langkah selanjutnya adalah membuat kontur Blok

Beruaq, dengan kenampakan 3D. Model kontur ini nanti akan digunakan untuk

pemodelan dalam pembuatan schema dan kontur struktur subcrop pada tahap

stramodel.

Tahap selanjutnya, yaitu membuat model analog menggunakan Stratmodel.

Awal dari tahap stratmodel adalah membuat schema. Tahap ini selanjutnya diproses

untuk momodelkan penampang batubara (coal seam section). Stratmodel

menggunakan data lubang bor dan data litologi hasil pengeboran sebagai dasar

pembuatan model stratigrafi.

Pemodelan untuk penampang seam batubara sangat penting untuk melihat

geometri batubara meliputi kemiringan, kemenerusan dan arah persebaran. Tahap

selanjutnya yaitu pembuatan peta persebaran subcrop seam batubara dan kontur

struktur dengan cara memproses gridding seluruh data seam yang ada. Pembuatan

kontur struktur digunakan untuk melihat persebaran seam di bawah permukaan.

Kontur struktur dimodelkan berdasarkan persebaran seam (subcrop cropline) dan

topografi.

Tahap akhir dari pemodelan stramodel adalah perhitungan sumberdaya

batubara. Perhitungan sumberdaya subcrop seam batubara menggunakan Metode

Poligon. Perhitungan sumberdaya dilakukan 3 kategori sumberdaya, yaitu


114

sumberdaya tereka (inferred) dengan jarak 1000 m, sumberdaya tertunjuk (indicated)

dengan jarak 500 m dan sumberdaya terukur (measured) dengan jarak 250 m.

b. Penentuan batas area prospek (eksplorasi rinci) Sub-blok B

Hasil dari pemodelan endapan batubara menggunakan minescape akan

dijadikan sebagai dasar dalam penentuan batas area prospek di Sub-blok B. Dalam

penentuan batas area prospek ini, akan ditampilkan beberapa model analog untuk

membantu menilai area prospek. Model analog tersebut adalah persebaran seam

prospek dan penampang seam batubara di Sub-blok B. Pemberian batas area prospek

terhadap suatu seam yang ekonomis menggunakan metode incremental pit expansion

and cash flow (Sasongko, 2009). Parameter yang digunakan dalam metode cash flow

tersebut adalah (Tabel 4.9):


Tabel 4.9. Parameter dalam perhitungan BESR Sub-blok B.

Parameter Simbol Nilai


Harga jual batubara s 53 $/ton
Biaya penambangan batubara c 9,26 $/ton
Biaya pemindahan overburden w 2,41 $/bcm
Iuran produksi (16,9 %) x 0,169

Model analog akan dibagi menjadi beberapa pit limit yang layak untuk

ditambang sebagai batas area prospek d Sub-blok B. Parameter dalam metode

incremental pit expansion and cash flow akan dikaitkan dengan parameter lain,

seperti kondisi geometri seam batubara dan kualitas seam batubara. Berikut

perhitungan dalam penentuan batas area pit yang layak untuk ditambang pada Sub-

blok B menggunakan nilai hasil perhitungan BESR, yaitu:


115

( )
BESR = [ ]

BESR = 14,43 14

(Nilai BESR untuk penentuan pit prospek di Sub-blok B adalah 14)

Hasil perhitungan BESR dengan parameter pada tabel di atas memberikan

nilai 14 : 1. Nilai perbandingan 14 : 1 merupakan rasio perbandingan antara

overburden dan batubara yang layak untuk ditambang, namun tidak memberikan

keuntungan, sehingga ratio pada perhitungan untuk penentuan batas area pit prospek

harus dengan perbandingan yang lebih kecil. Berikut adalah hasil perhitungan pit

limit sebagai batas area prospek di Sub-blok B (Tabel 4.10):

Tabel 4.10. Hasil penentuan Pit Limit pada Sub-blok B.

Kode Pit Limit Jumlah


Overburden
batubara Rasio
Penampang Zona (ton)
(ton)
Pit limit A1 49.855 6.779 7:1
A - A'
Pit limit A2 20.908 2.744 8:1
Pit limit B1 23.905 4.313 6:1
B - B' Pit limit B2 55.455 7.587 7:1
Pit limit B3 14.590 1.331 11:1
Pit limit C1 30.085 2.840 11:1
C - C' Pit limit C2 16.875 5.089 3:1
Pit limit C3 36.012 3.029 12:1
Pit limit D1 81.713 7.291 11:1
Pit limit D2 30.609 3.411 9:1
D - D'
Pit limit D3 12. 055 1.271 10:1
Pit limit D4 10.328 1225 8:1
Pit limit E1 123.363 19.681 6:1
E - E'
Pit limit E2 61.384 6.695 9:1
F - F' Pit limit F1 31.945 3.792 8:1
116

Tabel 4.10. Lanjutan


Pit limit F2 18.544 4.795 4:1
Pit limit F3 39.374 10.689 4:1
Pit limit F4 17.056 2.348 7:1
Pit limit F5 23.170 1.858 13:1
Pit limit G1 20.213 7.331 3:1
G - G'
Pit limit G2 11.200 1.344 8:1

Tabel 4.10 tersebut menunjukkan bahwa dari setiap pit yang telah ditentukan,

dengan menerapkan metode incremental pit expansion and cash flow dan

menggunakan data mengenai kondisi geometri seam batubara dan kualitas seam

batubara, maka didapatkan beberapa pit limit (Tabel 4.10) sebagai batas area prospek

dengan rasio perbandingan antara overburden dan batubara di bahwa 14 : 1, sehingga

pit tersebut layak untuk ditambang.


117

IV.5. Analisis Laboratorium

Analisis laboratorium yang dilakukan adalah analisis kualitas batubara yang

bertujuan untuk menentukan peringkat batubara dan menilai parameter-parameter

kualitas batubara (Tabel 4.11). Sampel batubara yang dianalisa dibagi menjadi 2,

yaitu sampel hasil pemetaan geologi (sampel primer) dan sampel core hasil pemboran

(sampel sekunder). Analisis kualitas yang dilakukan adalah proximate analysis dan

ultimate analysis. Berdasarkan parameter kualitas batubara oleh Thompson (1994),

yaitu kadar air total, kadar air bawaan, kadar abu, zat terbang, kadar sulfur total,

karbon tertambat dan nilai kalori (Tabel 4.11). Berikut penjelasan mengenai kualitas

sampel primer dan sampel sekunder Blok Beruaq:

Tabel 4.11. Analisis kualitas sampel batubara yang dilakukan.

No. Hasil Analisa yang dilakukan oleh PT. MHU Coal Jenis Sampel
1 Kadar air total atau total moisture (TM)
2 Kadar air bawaan atau inherent moisture (IM)
Sampel hasil pemetaan
3 Kadar abu atau ash content (AC) geologi
4 Zat terbang atau volatile matter (VM) &
5 Kadar sulfur total atau total sulphur (TS) Sampel hasil Pemboran PT.
MHU Coal
6 Karbon tertambat atau fixed carbon (FC)
7 Nilai kalori atau calorific value (CV)

a. Primer

Sampel primer diambil pada seam batubara yang terletak di bagian

ujung barat laut Blok Beruaq. Sampel batuan yang dianalisis pada daerah

pemetaan hanya 2 sampel, yaitu sampel STA_078_LP2 dan STA_079.


118

Sampel tersebut berbasis air-dried basis (adb) untuk nilai IM, AC, VM, FC,

TS dan CV. Berikut hasil analisis kedua sampel (Tabel 4.12):


Tabel 4.12. Analisis kualitas sampel hasil pemetaan geologi di Blok Beruaq.

Seam
Air-dried basis (adb) Kcal/kg
berkorelasi
Seam Tebal RD TM
CV dengan
IM AC VM FC TS CV STA
(gar)
STA_078_LP2 0,80 1,36 7,95 6,94 5,66 42,99 44,41 5,09 6.748 6.674 078_LP2

STA_079 1,80 1,31 7,72 6,76 2,00 44,30 46,94 2,20 7.236 7.161 079

Tabel 4.13. Hasil pengolahan data kualitas batubara sampel hasil pemetaan geologi Blok Beruaq.

Parameter Penilaian
No Nilai
Kualitas Parameter
Kadar air total atau Relatif
1 Minimum 7,72 % wt dan maksimum 7,95 % wt
total moisture (TM) rendah
Kadar air bawaan
Relatif
2 atau inherent Minimum 2,00 % wt dan maksimum 5,66 % wt
rendah
moisture (IM)
Kadar abu atau ash Relatif
3 Minimum 42,99 % wt dan maksimum 44,30 % wt
content (AC) rendah
Zat terbang atau
Relatif
4 volatile matter Minimum 44,41 % wt dan maksimun 46,94 % wt
tinggi
(VM)
Kadar sulfur total
Relatif
5 atau total Sulphur Minimum 2,20 % wt dan maksimum 5,09 % wt
tinggi
(TS)
Nilai kalori atau Relatif
6 Minimum 6.748 kcal/kg dan maksimum 7.085,85 kcal/kg
calorific value (CV) tinggi
Acuan: Thompson (1994)

Berdasarkan parameter kualitas yang digunakan oleh Thompson

(1994), maka disimpulkan bahwa kualitas batubara sampel primer relatif baik.

Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif rendah, kadar

air bawaan relatif rendah, kadar abu relatif rendah, zat terbang relatif tinggi,

kadar sulfur total relatif tinggi dan nilai kalori relatif tinggi (Tabel 4.13).
119

- Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials)

Berdasarkan nilai kalori sampel primer batubara, yaitu dengan nilai

6.748 kcal/kg dan 7.085,85 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa peringkat

batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous

(grup high volatile B dan C) (Tabel 4.14).

Tabel 4.14. Jenis batubara berdasarkan Klasifikasi ASTM sampel hasil pemetaan geologi.

CV Jenis Batubara
STA Seam
(kkal/kg) Kelas Grup
078_LP2 STA_078_LP2 6.748 High Volatile C
Bituminous Coal
079 STA_079 7.236 High Volatile B
Acuan: Klasifikasi ASTM (1981)

- Klasifikasi fuel ratio

Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang

dianalisis memiliki nilai fuel ratio 1,03 dan 1,06. Hal tersebut menunjukkan

bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous dan jenis lower

bituminous coal (Tabel 4.15).

Tabel 4.15. Fuel Ratio Batubara sampel hasil pemetaan geologi Blok Beruaq.

Fuel Jenis Batubara


STA Seam VM FC
Ratio
Kelas Grup
078_LP2 STA_078_LP2 42,99 44,41 1,03 lower
bituminous bituminous
079 STA_079 44,3 46,94 1,06 coal
Acuan: Klasifikasi fuel ratio (1995)

b. Sekunder

Sampel sekunder merupakan sampel batubara yang diambil dari

kegiatan pemboran yang di lakukan di Sub-blok B. Sampel tersebut berupa


120

sampel batubara inti (coal core sample) yang akan digunakan sebagai

pengecekan keberadaan batubara berdasarkan pembacaan log gamma ray dan

resistivitas. Selain itu, sampel tersebut juga digunakan untuk dianalisis

kualitas batubara. Data kualitas tersebut dapat menggambarkan kelayakan

potensi sumberdaya batubara di Blok Beruaq, hal tersebut dikarenakan

kualitas batubara yang baik akan bernilai ekonomis. Sampel sekunder juga

akan digunakan untuk pemodelan sumberdaya batubara menggunakan

perangkat lunak Minescape.

Data kualitas batubara di bagian tengah dan timur Blok Beruaq

didapatkan dengan cara mengkorelasi titik singkapan batubara hasil pemetaan

geologi dengan seam hasil pengolahan data pemboran, sehingga data kualitas

yang sama akan digunakan untuk interpretasi mengenai kualitas batubara di

bagian tengah dan timur Blok Beruaq.

Berdasarkan data hasil korelasi, dapat diketahui bahwa tidak semua

seam hasil pemetaan telah di bor pada pengeboran sebelumnya, sehingga

tidak seluruh seam hasil pemetaan dapat diketahui kualitasnya. Berikut data

analisis proksimat 19 seam yang diketahui dari data pemboran yang dibagi

menjadi 2 kelompok berdasarkan satuan batuan hasil interpretasi geologi:


121

1. Satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas

Tabel 4.16. Analisis kualitas sampel batubara pada satuan perselingan batupasir - batulanau
bagian atas.
Air-dried basis (adb) Kcal/kg Seam
Tebal
Seam RD TM berkorelasi
(m) CV CV
IM AC VM FC TS dengan STA
(adb) (gar)

S28 0,7 1,3 26,13 22,1 7,4 36,1 34,4 1,71 4.855 4.604 004_LP2

S24U 2,5 1,3 29,71 25,4 3,8 36,6 34,2 0,73 4.877 4.595 004_LP3

S31L 0,15 1,3 28,17 22,3 7,1 35,3 35,3 0,45 4.691 4.337 007_S1

S13U 0,4 1,3 29,67 22,9 1,9 38,5 36,7 0,36 5.083 4.637 018

S33U 1 1,3 28,02 23,4 4,4 36,4 35,8 0,46 5.092 4.785 024

S34U 0,7 1,3 27,31 24,2 4,4 36,4 35 1,8 4.954 4.751 035

S32U 0,4 1,3 28,41 23,7 7,9 34,7 33,7 1,22 4.748 4.455 036

S19 0,5 1,3 29,43 24,2 2,5 35,7 37,6 0,14 4.920 4.581 084_S1

S19 0,3 1,3 29,43 24,2 2,5 35,7 37,6 0,14 4.920 4.581 084_S2

S24 >1,60 1,3 28,35 23,6 3,8 37,3 35,3 0,69 5.060 4.745 106

S24 1,5 1,3 28,35 23,6 3,8 37,3 35,3 0,69 5.060 4.745 108

S01L >0,6 1,3 33,63 23,3 6,1 36,2 34,4 0,23 4.704 4.070 109

S03 1 1,3 31,59 24,4 12,8 34,1 28,7 0,23 4.173 3.776 110_LP2

S28 1,4 1,3 29,06 21,9 4,8 37,1 36,2 0,44 5.048 4.585 121

Satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas tersebar di bagian

tengah Blok Beruaq, sebagian besar merupakan bagian dari Sub-blok A.

Batubara muncul sebagai sisipan di antara batupasir kuarsa, dibatasi oleh roof

dan floor berupa carbonaceous mudstone, shaly coal dan coaly shale. Berikut

data laboratorium sampel batubara sekunder pada satuan perselingan

batupasir - batulanau bagian atas (Tabel 4.16).


122

Tabel 4.17. Hasil pengolahan data kualitas batubara sampel pada satuan perselingan batupasir
batulanau bagian atas.

Penilaian
No Parameter Nilai
Parameter
Kadar air total atau
1 Minimum 26,13 % wt dan maksimum 33,63 % wt Relatif tinggi
total moisture (TM)
Kadar air bawaan
Relatif rendah
2 atau inherent Minimum 2,5% wt dan maksimum 7,4% wt
hingga sedang
moisture (IM)
Kadar abu atau ash Relatif rendah
3 Minimum 34,7 % wt dan maksimum 37,3 % wt
content (AC) hingga sedang
Zat terbang atau
4 volatile matter Minimum 33,70 % wt dan maksimun 38,70 % wt Relatif tinggi
(VM)
Kadar sulfur total
5 atau total Sulphur Minimum 0,14 % wt dan maksimum 1,71 % wt Relatif sedang
(TS)
Nilai kalori atau Minimum 4.573 kcal/kg dan maksimum 5.092
6 Relatif rendah
calorific value (CV) kcal/kg
Acuan: Thompson (1994)

Analisis kualitas batubara yang dilakukan pada satuan perselingan

batupasir - batulanau bagian atas berjumlah 14 sampel. Berdasarkan

parameter kualitas yang digunakan oleh Thompson (1994), maka dapat

disimpulkan bahwa kualitas batubara sampel sekunder pada satuan

perselingan batupasir - batulanau bagian atas relatif tidak begitu baik (kualitas

sedang). Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif

tinggi, kadar air bawaan relatif rendah hingga sedang, kadar abu relatif rendah

hingga sedang, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif sedang dan

nilai kalori relatif rendah (Tabel 4.17).

- Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials)

Berdasarkan nilai kalori sampel sekunder batubara pada satuan

perselingan batupasir - batulanau bagian atas, yaitu dengan nilai minimum

4.573 kcal/kg dan maksimum 5.092 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa
123

peringkat batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignit

(grup subbituminous C) (Tabel 4.18).

Tabel 4.18. Peringkat batubara berdasarkan Klasifikasi ASTM sampel batubara pada satuan
perselingan batupasir batulanau bagian atas.

CV Jenis Batubara CV Jenis Batubara


STA Seam (kkal/ STA Seam (kkal/
kg)
Kelas Grup kg)
Kelas Grup

004_LP2 S28 4.855 084_S1 S19 4.920

004_LP3 S24U 4.877 084_S2 S19 4.920

Subbituminous C

Subbituminous C
007_S1 S31L 4.691 106 S24 5.060
Lignit

Lignit
18 S13U 5.083 108 S24 5.060

24 S33U 5.092 109 S01L 4.704

35 S34U 4.954 110_LP2 S03 4.573

36 S32U 4.748 121 S28 5.048


Acuan: Klasifikasi ASTM (1981)

- Klasifikasi fuel ratio

Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang

dianalisis memiliki nilai fuel ratio minimum 0,84 dan maksimum 1,05. Nilai

fuel ratio tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam

kelas lignite dan bituminous, jenis black lignite dan lower bituminous coal

(Tabel 4.19).

Tabel 4.19. Fuel Ratio Batubara sampel pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian

atas.

Fuel Jenis Batubara


STA Seam VM FC
Ratio Kelas Grup
004_LP2 S28 36,1 34,4 0,95 lignite black lignite
004_LP3 S24U 36,6 34,2 0,93 lignite black lignite
007_S1 S31L 35,3 35,3 1 bituminous lower bituminous coal
18 S13U 38,5 36,7 0,95 lignite black lignite
124

Tabel 4.19. Lanjutan.

24 S33U 36,4 35,8 0,98 lignite black lignite


35 S34U 36,4 35 0,96 lignite black lignite
36 S32U 34,7 33,7 0,97 lignite black lignite
084_S1 S19 35,7 37,6 1,05 bituminous lower bituminous coal
084_S2 S19 35,7 37,6 1,05 bituminous lower bituminous coal
106 S24 37,3 35,3 0,95 lignite black lignite
108 S24 37,3 35,3 0,95 lignite black lignite
109 S01L 36,2 34,4 0,95 lignite black lignite
110_LP2 S03 34,1 28,7 0,84 lignite black lignite
121 S28 37,1 36,2 0,98 lignite black lignite
Acuan: Klasifikasi fuel ratio (1995)

2. Satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah

Persebaran batubara pada satuan perselingan batupasir - batulanau

bagian bawah tersebar di bagian timur Blok Beruaq. Batubara tersebut

terdapat d Sub-blok B. Roof dan floor yang dominan ditemukan berupa

carbonaceous mudstone, shaly coal dan coaly shale. Batubara pada satuan ini

dapat menjelaskan kualitas batubara untuk Sub-blok B. Berikut data mengenai

analisis kualitas batubara pada satuan perselingan batupasir batulanau

(Tabel 4.20):
Tabel 4.20. Analisis kualitas sampel satuan perselingan batupasir-batulanau bagian bawah..

Penilaian
No Parameter Nilai
Parameter
Kadar air total atau total Minimum 22,09 % wt dan maksimum 26,68 %
1 Relatif tinggi
moisture (TM) wt
Kadar air bawaan atau Minimum 6,70 % wt dan maksimum 13,90 %
2 Relatif sedang
inherent moisture (IM) wt
Kadar abu atau ash
3 Minimum 28,6 % wt dan maksimum 37,3 % wt Relatif sedang
content (AC)
Zat terbang atau volatile
4 Minimum 33,80 % wt dan maksimun 39 % wt. Relatif tinggi
matter (VM)
Kadar sulfur total atau Relatif sangat
5 Minimum 1,67 % wt dan maksimum 2,32 % wt
total Sulphur (TS) tinggi
Nilai kalori atau Minimum 4.492 kcal/kg dan maksimum 5.328
6 Relatif rendah
calorific value (CV) kcal/kg
125

Tabel 4.21. Hasil pengolahan data kualitas batubara sampel satuan perselingan batupasir-
batulanau bagian bawah.

Air-dried basis (adb) Kcal/kg Seam


Tebal
Seam RD TM berkorelasi
(m) CV CV dengan STA
IM AC VM FC TS
(adb) (gar)
S39U 2,5 1,3 26,68 21,6 7,9 36,7 33,8 1,88 4.999 4.675 008_S2

S55 1,4 1,3 22,94 18 9,2 37,3 35,5 1,98 5.328 5.007 028_LP2

S54U 0,5 1,3 22,09 17,8 8,2 38,5 35,5 4,32 5.320 5.042 030_S2

S53L 0,2 1,3 25,2 20,7 6,7 33,6 39 1,83 4.933 4.653 032

S49 0,5 1,3 26,67 20,7 13,9 28,6 36,8 1,67 4.499 4.160 083

Acuan: Thompson (1994)

Analisis kualitas batubara yang dilakukan pada satuan perselingan

batupasir batulanau berjumlah 5 sampel. Berdasarkan parameter kualitas

yang digunakan oleh Thompson (1994), maka dapat disimpulkan bahwa

kualitas batubara sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir

batulanau relatif tidak begitu baik (kualitas sedang). Berikut penilaian

parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif tinggi, kadar air bawaan relatif

sedang, kadar abu relatif sedang, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total

relatif sangat tinggi dan nilai kalori relatif rendah (Tabel 4.21).

- Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials)

Berdasarkan nilai kalori sampel sekunder batubara pada satuan

perselingan batupasir-batulanau bagian bawah, yaitu dengan nilai minimum

4.492 kcal/kg dan maksimum 5.328 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa
126

peringkat batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignit

(grup subbituminous B dan C) (Tabel 4.22).

Tabel 4.22. Jenis batubara berdasarkan Klasifikasi ASTM sampel batubara pada satuan
perselingan batupasir-batulanau bagian bawah.

Seam by CV Jenis Batubara


STA
Drilling (kkal/kg) Kelas Grup
008_S2 S39U 4.999 Subbituminous C
028_LP2 S55 5.328 Subbituminous B
030_S2 S54U 5.320 Lignit Subbituminous B
032 S53L 4.933 Subbituminous C
083 S49 4.499 Subbituminous C
Acuan: Klasifikasi ASTM (1981)

- Klasifikasi fuel ratio

Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang

dianalisis memiliki nilai fuel ratio minimum 0,92 dan maksimum 1,29. Nilai

fuel ratio tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam

kelas lignite dan bituminous (jenis black lignite dan lower bituminous coal)

(Tabel 4.23).

Tabel 4.23. Fuel Ratio Batubara sampel pada satuan perselingan batupasir-batulanau bagian

bawah.

Seam by Fuel Jenis Batubara


STA VM FC
Drilling Ratio Kelas Grup
008_S2 S39U 36,7 33,8 0,92 lignite black lignite
028_LP2 S55 37,3 35,5 0,95 lignite black lignite
030_S2 S54U 38,5 35,5 0,92 lignite black lignite
032 S53L 33,6 39 1,16 bituminous lower bituminous coal
083 S49 28,6 36,8 1,29 bituminous lower bituminous coal
Acuan: Klasifikasi fuel ratio (1995)
127

BAB V

PEMBAHASAN

V.1. Kondisi Geologi di Blok Beruaq

Berdasarkan hasil pemetaan geologi peneliti, kondisi geologi Blok Beruaq

termasuk ke dalam kondisi geologi yang kompleks. Kondisi ini dipengaruhi oleh

proses deformasi yang kuat, sehingga banyak ditemukan struktur-struktur geologi

berupa perlipatan dan pensesaran. Perlipatan dan pergeseran yang ditimbulkan

oleh aktivitas tektonik tersebut umum dijumpai dan bersifat rapat, sehingga

menjadikan lapisan batuan sedimen yang ditemukan sulit untuk direkonstruksi

dan dikorelasi. Bentuk perlipatan yang kuat juga mengakibatkan kemiringan

lapisan yang bervariasi. Kondisi geomorfologi Blok Beruaq dipengaruhi oleh

faktor batuan sedimen penusun dan struktur geologi yang ada di Blok Beruaq,

sehingga faktor tersebut membentuk morofologi perbukitan dan lembah dengan

kemiringan yang bervariasi. Penjelasan kondisi geologi di Blok Beruaq akan

diulas lebih lanjut sebagai berikut:

V.1.1. Geomorfologi Blok Beruaq

Secara geomorfologi regional, Blok Beruaq terdapat pada Zona

Antiklinorium Samarinda. Zona ini terbentuk akibat adanya sabuk lipatan yang

sangat intensif, sehingga membentuk suatu pebukitan lipatan yang memanjang

dengan arah relatif timur laut barat daya. Bentukan geomorfologi ini dapat

secara jelas diamati dari Foto udara atau citra satelit. Berdasarkan aspek

morfografi, morfometri dan morfogenesa, daerah pemetaan dapat dibagi menjadi


128

3 satuan geomorfologi, yaitu satuan perbukitan cuesta hogback, satuan

perbukitan hogback dan satuan dataran alluvial. Berikut penjelasan mengenai

satuan geomorfologi di Blok Beruaq:

a. Satuan perbukitan cuesta - hogback

Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 66,4% dari

luasan total daerah penelitian di bagian timur daerah pemetaan. Pada peta

geomorfologi, satuan ini ditandai dengan warna kuning. Berdasarkan aspek

morfografi, satuan ini termasuk suatu perbukitan. Titik tertinggi yang ada pada

satuan ini berada pada elevasi 115 mdpl, sedangkan titik terendahnya berada pada

elevasi 15 mdpl.

Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam morfometri

bergelombang sedang dengan nilai kelerengan sekitar 7 - 15%. Pola penyaluran

yang berkembang pada satuan ini adalah pola penyaluran subdendritik dengan

stadia sungai sedang. Kenampakan lapangan pada masing masing satuan

geomorfologi dapat dilihat pada Foto 5.1A. Peta topografi dan citra DEM (Digital

Elevation Model) menunjukkan adanya morfologi cuesta dan hogback serta pola -

pola kelurusan yang menunjukkan adanya morfogenesa struktural pada satuan ini.

Morfologi yang dominan ditemukan di bagian tengah Blok Beruaq berupa

cuesta dan bagian sedikit ke timur dan bagian barat daya berupa hogback. Secara

konseptual penyebab utama pembentukan morfologi ini dikontrol oleh tektonik,

yaitu berupa homoklin dari sayap sinklin yang terdapat di Blok Beruaq. Morfologi

cuesta merupakan bagian dari Gunung Meranti yang memiliki dip slope ke arah
129

relatif timur dan barat laut dengan kemiringan < 30, sedangkan back slope yang

relatif curam dengan kemiringan > 30.

Bentuk morfologi hogback di bagian satuan ini memiliki lapisan batuan

yang miring ke arah barat laut - barat di bagian tengah, sedangkan hogback yang

berada di bagian barat daya miring ke arah timur laut. Morfologi memanjang

searah jurus perlapisan dengan orientasi retalif utara selatan di bagian tengah

dan orientasi barat laut tenggara di bagian barat daya Blok Beruaq. Hogback ini

memiliki kemiringan back slope dan dip slope yang relatif sama besar (bukit yang

simetris) serta kemiringan lapisan batuan lebih dari 30.

b. Satuan perbukitan hogback

Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 20,8% dari

luasan total daerah penelitian. Satuan ini terletak di bagian barat daerah pemetaan

dan ditandai dengan warna merah jambu pada peta geomorfologi. Berdasarkan

aspek morfografi, satuan ini termasuk dalam morfografi perbukitan. Titik tertinggi

di satuan ini berada pada elevasi 140 mdpl dan titik terendahnya berada pada

elevasi 23 mdpl. Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk dalam

topografi bergelombang kuat, dengan kemiringan lereng sekitar 30 - 70%.

Kelerengan yang terjal ini dapat terlihat jelas dari peta topografi dengan kontur

yang cukup rapat pada lereng perbukitan (Foto 5.1B). Pada satuan ini tampak

perbukitan dengan kelerengan yang simetris memanjang relatif barat daya timur

laut pada bagian barat laut Blok Beruaq.

Morfologi yang dominan ditemukan di bagian barat laut Blok Beruaq

berupa hogback. Secara konseptual penyebab utama pembentukan morfologi ini


130

dikontrol oleh tektonik, yaitu di sayap bagian barat laut sumbu lipatan antiklin di

yang terdapat di Blok Beruaq. Bentuk morfologi hogback dengan lapisan batuan

yang miring ke arah barat laut. Morfologi memanjang searah jurus perlapisan

dengan orientasi barat daya timur laut. Hogback ini memiliki kemiringan back

slope dan dip slope yang relatif sama besar (bukit yang simetris) serta kemiringan

lapisan batuan lebih dari 30.

c. Satuan dataran alluvial

Satuan geomorfologi ini memiliki pelamparan kurang lebih 12,8% dari

luasan total daerah penelitian. Satuan ini terdapat di bagian barat daerah pemetaan

dan ditandai dengan warna hijau tua pada peta geomorfologi. Berdasarkan aspek

morfografi, satuan ini termasuk topografi datar. Titik tertinggi di satuan ini berada

pada elevasi 24 mdpl dan titik terendahnya berada pada elevasi 9 mdpl.

Berdasarkan aspek morfometri, satuan ini termasuk morfometri dataran dengan

kelerengan sekitar 0 - 2% (Foto 5.1C).

Berdasarkan aspek morfogenesa, satuan ini cenderung dipengaruhi oleh

proses eksogenik dibandingkan proses endogenik. Proses eksogenik yang terjadi

yaitu pelapukan, erosi, transportasi, dan pengendapan material hasil erosi dan

transportasi batuan di sekitarnya. Struktur geologi yang terdapat di bawah satuan

ini berupa antiklin, menutupi sumbu antiklin yang telah mengalami penelanjangan

atau denudasional processes.


131

Gambar 5.1. Beberapa kenampakan morfologi daerah penelitian. A) Kenampakan perbukitan


cuesta di bagian tenggara daerah pemetaan (azimuth foto N 35 E). B) Kenampakan
perbukitan hogback di bagian barat laut daerah pemetaan (azimuth foto N 210 E).
C) Kenampakan dataran aluvial di bagian barat daya daerah pemetaan (Azimuth
foto N 15 E).

d. Pola penyaluran

Secara keseluruhan, pola penyaluran yang ada pada Blok Beruaq adalah

pola penyaluran subdendritik (Gambar 4.1). Pola penyaluran ini hadir dengan ciri

berupa sungai yang bercabang menyerupai tulang daun namun dipengaruhi oleh

kontrol struktur geologi yang ada. Pengaruh kontrol struktur geologi ini terbukti

dengan adanya lipatan, kekar dan sesar yang ditemukan dan dianalisis pada Blok

Beruaq ini.

Keterdapatan sumbu antiklin yang memanjang dengan orientasi barat daya

- timur laut ini menjadi zona lemah dan dialiri oleh sungai parenial. Sungai ini

mengalir dari barat daya ke timur laut. Sumbu sinklin menunjam yang terletak di
132

bagian tengah daerah pemetaan juga merupakan zona lemah yang dialiri oleh

sungai parenial yang mengalir dari selatan ke utara. Keterdapatan sesar naik

sinistral di bagian utara daerah pemetaan ikut mengontrol aliran sungai parenial

yang mengalir dari selatan ke utara. Keberadaan zona lemah tersebut menjadi

aliran sungai parenial dan aliran sungai intermiter yang ada pada saat ini.

e. Stadia daerah

Stadia daerah di Blok Beruaq dikontrol oleh dua gaya, yaitu gaya endogen

dan gaya eksogen. Gaya endogen ini menyebabkan terbentuknya struktur geologi

berupa perlipatan antiklin dan sinklin serta sesar di Blok Beruaq. Proses tersebut

menghasilkan bentukan bentang alam konstruksional. Selanjutnya bentang alam

tersebut terkena gaya eksogen yang bersifat merusak (bentangalam destruksional)

melalui proses sedimentasi, yaitu pelapukan, erosi, abrasi, transportasi dan

pengendapan (Thornbury, 1954).

Berdasarkan analisis stadia daerah menggunakan beberapa parameter,

yaitu struktur geomorfologi, bentuk puncak, bentuk lembah, kelerengan, proses

erosi, luasan dataran dan stadia sungai menunjukkan bahwa Blok Beruaq telah

mengalami 2 proses, yaitu proses endogenik dan eksogenik. Proses endogenik

menyebabkan pembentukan pembentukan perlipatan, sehingga membentuk

struktur geomorfologi perbukitan hampir di seluruh area, hanya sebagian kecil

berupa daratan. Proses selanjutnya merupakan proses eksogenik yang bersifat

merusak. Proses tersebut berupa proses sedimentasi, yaitu pelapukan, erosi,

abrasi, transportasi dan pengendapan. Hal tersebut menyebabkan bentuk puncak

relatif runcing, bentuk lembah relatif sempit yang diapit oleh perbukitan-
133

perbukitan. Kelerengan pada bagian timur relatif bergelombang sedang,

sedangkan bagian barat relatif bergelombang kuat. Luasan daratan relatif tidak

luas, yaitu hanya 12,8 % dari luasan Blok Beruaq dan keterdapatan sungai

intermiten yang sangat dominan, serta proses erosi yang terus berlanjut hingga

saat ini hingga menghasilkan inverted topography dari perlipatan yang ada.

Secara umum, stadia daerah pemetaan ini adalah daerah dengan stadia

yang dewasa (mature) dengan adanya erosi yang sudah cukup dominan, namun

masih terdapat morfologi-morfologi perbukitan dengan kelerengan yang relatif

cukup terjal. Sungai-sungai yang berstadia dewasa juga membuktikan bahwa

ternyata erosi vertikal masih terjadi dan erosi lateral mulai berkembang dengan

cukup baik. Contoh rekonstruksi stadia dewasa dapat dilihat pada Gambar 4.2

pada bab sebelumnya.

f. Morfogenesa

Kondisi morfologi daerah pemetaan terlihat sebagai perbukitan

melengkung di bagian timur, tengah dan barat daya daerah pemetaan. Terdapat

pula pola-pola kelurusan lembah yang mengindikasikan adanya kontrol struktur

geologi. Akibat adanya kontrol struktur geologi yang cukup intensif, batuan pada

area pemetaan menjadi retak, terlipat, dan patah, menyebabkan batuan menjadi

mudah terkena proses eksogenik. Resistensi batuan di bagian barat Blok Beruaq

yang relatif lebih tinggi menyebabkan daerah ini lebih sulit dihancurkan oleh

proses geomorfik dan pada akhirnya menghasilkan perbukitan yang lebih terjal.

Pada bagian timur area penelitian, batuan relatif lebih tidak resisten terhadap
134

proses eksogenik, akibatnya morfologi yang terbentuk adalah perbukitan

bergelombang dengan kelerengan yang lebih landai (Gambar 5.1).

Gambar 5.1. Kenampakan 3D Blok Beruaq.

Sifat batuan yang getas (brittle) menyebabkan batuan terlipat oleh adanya

gaya kompresi. Sinklin menunjam pada Blok Beruaq bersifat asimetris dengan

sumbu melengkung akibat adanya kontrol sesar naik sinistral yang memotong

sinklin menunjam ini. Ekspresi morfologi pada sinklin menunjam ini juga terlihat

bahwa telah terjadi pelengkungan dan pergeseran di bagian utara. Antiklin pada

Blok Beruaq bersifat asimetris dengan sumbu barat daya - timur laut. Pada area

ini, bentukan antiklin tercermin pada kelurusan sungai dan perbukitan yang juga

berorientasi dengan arah barat daya - timur laut.

V.1.2. Stratigrafi Blok Beruaq

Secara regional, daerah penelitian masuk ke dalam Formasi Pulau Balang

dan Formasi Balikpapan yang berumur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir

(Gambar 2.4) (Supriatna et al., 1995). Hal yang berbeda diketahui setelah
135

dilakukan pemetaan geologi dengan skala 1:25.000. Berdasarkan pemetaan

tersebut, diketahui bahwa daerah penelitian tidak hanya tersusun oleh Formasi

Pulau Balang dan Formasi Balikpapan seperti yang tergambar pada Peta Geologi

Regional Lembar Samarinda Skala 1:250.000. Terdapat formasi lain yang

dijumpai pada daerah penelitian, yaitu Formasi Pamaluan dan Formasi Bebulu.

Formasi formasi tersebut secara umum terwakili oleh satuan batuan yang

didapatkan berdasarkan pemetaan geologi skala 1:25.000.

Berdasarkan pemetaan geologi skala 1:25.000 tersebut, daerah penelitian

dapat dibagi menjadi beberapa satuan, antara lain satuan batulanau, satuan

batugamping dan satuan perselingan batupasir batulanau:

a. Satuan batulanau

Satuan ini tersebar di bagian barat, dekat dengan antiklin yang ada pada

daerah penelitian. Satuan ini dicirikan dengan adanya batulanau yang tersementasi

dengan kuat (well cemented siltstone). Selain batuan yang bersifat keras,

perbedaan lain satuan batulauan dengan satuan perselingan batupasir batulanau

adalah tidak ditemukannya lapisan batubara pada satuan ini. Kenampakan

lapangan dari satuan ini dapat dilihat pada Foto 5.2. Satuan batulanau ini secara

stratigrafis menjemari dengan satuan batugamping yang berumur Miosen Awal

(N5 N8) (Rizkiawan, 2015). Berdasarkan hubungan stratigrafis yang saling

menjari ini, diperkirakan umur dari satuan batulanau ini juga Miosen Awal.
136

Foto 5.2. Kenampakan salah satu singkapan satuan batulanau. Terlihat adanya batulanau
tersementasi kuat di bagian bawah dan batugamping terumbu (bindstone) di bagian atas
(azimuth kamera N 250 E) (kiri). Terkadang dijumpai adanya fragmen batubara pada
batulanau (kanan).

Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Samarinda skala 1:250.000

(Supriatna et al., 1995), bagian timur dari satuan ini termasuk ke dalam Formasi

Pulau Balang, sedangkan bagian barat dari satuan termasuk ke dalam Formasi

Balikpapan yang keduanya berumur Miosen Tengah Miosen Akhir. Hal ini

berbeda dengan umur satuan batulanau di daerah penelitian yang berumur Miosen

Awal. Kolom stratigrafi yang dibuat oleh Supriatna et al. (1995) menunjukkan

bahwa formasi yang terendapkan pada kisaran umur Miosen Awal adalah Formasi

Pamaluan dan Formasi Bebulu, sehingga satuan batulanau ini bukan merupakan

bagian dari Formasi Pulau Balang atau Formasi Balikpapan berdasarkan kolom

stratigrafi tersebut. Satuan batulanau ini lebih mengarah kepada Formasi

Pamaluan atau Formasi Bebulu berdasarkan umur satuan ini.

Menurut Supriatna et al. (1995), Formasi Pamaluan tersusun atas batupasir

kuarsa dengan sisipan batulempung, batulanau, serpih, batugamping, dan

batubara, sedangkan Formasi Bebulu tersusun oleh batugamping terumbu dengan

sisipan batugamping pasiran dan serpih. Berdasarkan umur satuan dan variasi
137

litologi dari satuan batulanau ini, maka satuan batulanau ini merupakan bagian

dari Formasi Pamaluan, bukan Formasi Pulau Balang atau Formasi Balikpapan

(Gambar 4.5 dan Gambar 4.6).

b. Satuan batugamping

Satuan batugamping ini tersingkap di bagian barat laut daerah pemetaan

dengan orientasi memanjang dengan arah barat daya tenggara, menempati

satuan geomorfologi perbukitan bergelombang kuat struktural. Satuan ini terdiri

dari batugamping terumbu berjenis bindstone, framestone dan batugamping

kristalin. Kenampakan lapangan dari satuan ini dapat dilihat pada Foto 5.3.

Foto 5.3. Kenampakan salah satu singkapan batugamping terumbu yang ditemukan pada satuan
batugamping. Pada foto ini terlihat adanya bindstone dengan adanya terumbu berbentuk
pipih (platy-like coral) (azimuth Kamera N 320 E).

Secara lebih detail, organisme terumbu atau jenis batugamping yang

menyusun satuan batugamping ini secara lateral dapat dibagi menjadi beberapa
138

jenis berdasarkan jenis terumbu yang mendominasi. Pembagian jenis organisme

terumbu ini tidak dapat terpetakan dalam peta geologi skala 1:25.000. Jenis

terumbu atau batugamping tersebut antara lain: platy coral reef, massive coral

reef, dan batugamping kristalin (Gambar 5.2).

Gambar 5.2. Gambaran skematis distribusi lateral jenis batugamping yang menyusun satuan
batugamping (tanpa skala). Platy coral reef terdapat di bagian selatan dan barat
daya satuan, massive coral reef terdapat di bagian tengah satuan, batugamping
kristalin di bagian timur laut dan timur satuan (Rizkiawan, 2015).

Platy coral reef (Bindstone) dicirikan dengan adanya koloni terumbu yang

berbentuk pipih dan koloni alga yang membentuk pita - pita pipih memanjang di

bagian selatan dan barat daya satuan. Terumbu pipih yang terdapat pada fasies ini

berupa koloni dari Porites sp., sedangkan koloni alga yang terdapat pada fasies ini

berupa koloni Foralgalith (Novak et al., 2013). Massive coral reef (Framestone)

dicirikan dengan adanya koloni terumbu yang berbentuk masif berupa

Echinospora sp. (Novak et al., 2013) dan dijumpai di bagian selatan dan bagian

tengah dari satuan batugamping ini. Batugamping terumbu dijumpai di bagian


139

timur timur laut satuan (Gambar 5.2). Karakter batugamping pada fasies ini

tidak dapat diidentifikasi akibat batuan yang telah terkristalisasi.

Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar berupa Lepidocyclina

sumatrensis, Operculina sp., dan Austrotrilina howchini , satuan ini memiliki

umur Miosen Awal (N5 N8) (Rizkiawan, 2015). Pola sebaran formasi yang

terdapat pada Peta Geologi Regional Lembar Samarinda skala 1:250.000

(Supriatna et al., 1995) menunjukkan bahwa satuan ini sebagian besar termasuk

ke dalam Formasi Pulau Balang dan sebagian kecil masuk ke dalam Formasi

Balikpapan yang keduanya berumur Miosen Tegah Miosen Akhir. Hal ini

berbeda dengan umur satuan batugamping di daerah penelitian yang berumur

Miosen Awal. Kolom stratigrafi yang dibuat oleh Supriatna et al. (1995) yang

menunjukkan bahwa formasi yang terendapkan pada kisaran umur Miosen Awal

adalah Formasi Pamaluan dan Formasi Bebulu.

Berdasarkan komparasi umur dari satuan batugamping dan umur formasi

oleh Supriatna et al. (1995) serta variasi litologi formasi, maka satuan

batugamping ini merupakan bagian dari Formasi Bebulu, bukan merupakan

bagian dari Formasi Pulau Balang atau Formasi Balikpapan.

Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa satuan batugamping yang

merupakan bagian dari Formasi Bebulu ini memiliki hubungan stratigrafis yang

menjari dengan satuan batulanau yang merupakan bagian dari Formasi Pamaluan.

Hal ini cukup sesuai dengan kolom stratigrafi oleh Supriatna et al. (1995) yang

menggambarkan bahwa Formasi Bebulu dan Formasi Pamaluan memiliki

hubungan stratgrafis yang saling menjari (Gambar 4.5 dan Gambar 4.6).
140

c. Satuan perselingan batupasir - batulanau

Satuan ini menempati satuan geomorfologi perbukitan bergelombang

sedang struktural, dan sebagian di perbukitan bergelombang kuat. Pola umum

yang ditemukan pada satuan ini adalah perselingan batupasir batulanau dengan

sisipan batulempung, batulanau, batupasir karbonatan, batupasir tufan atau

batubara dengan ketebalan yang bervariasi. Satuan ini tersingkap di bagian barat

dan timur daerah penelitian (Gambar 4.6). Kenampakan lapangan dari satuan ini

dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Foto 5.4. Kenampakan beberapa singkapan pada satuan perselingan batupasir batulanau. a)
Struktur sedimen lentikuler pada serpih (azimuth kamera N 165E). b) Struktur
sedimen laminasi silang siur pada batupasir (azimuth kamera N 45E). c) fragmen
batubara berukuran kerikil - berangkal pada batupasir kuarsa (azimuth kamera N 10E).
d) fosil cetakan daun yang terkarbonisasi (azimuth kamera N 135E).

Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Samarinda skala 1:250.000

(Supriatna et al., 1995), satuan ini termasuk ke dalam Formasi Pulau Balang,
141

namun perulangan satuan yang muncul di bagian barat daerah penelitian termasuk

ke dalam Formasi Balikpapan.

Satuan perselingan batupasir batulanau yang terdapat di bagian barat

daerah penelitian memiliki umur Miosen Tengah (N9 N10) berdasarkan

kandungan fosil Globorotalia peripheroacuta (Rudianto, 2015). Satuan

perselingan batupasir batulanau yang berada di bagian timur memiliki umur

Miosen Tengah Miosen Akhir (N9 N16) berdasarkan fosil pollen Florshuetzia

meridionalis (Rizkiawan, 2015). Umur dari satuan ini sesuai dengan umur

Formasi Pulau Balang dan Balikpapan, yaitu Miosen Tengah Miosen Akhir

(Supriatna et al., 1995).

IV.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan data geologi regional oleh McClay et al. (2000), struktur

geologi yang berkembang di Cekungan Kutai adalah antiklin yang dibatasi oleh

sesar sesar anjak (thrust-fault-bounded anticline) yang dipisahkan oleh sinklin

yang lebar. Hal ini agak berbeda dengan struktur geologi yang dijumpai di daerah

penelitian berdasarkan hasil pemetaan geologi skala 1:25.000. Struktur geologi

daerah penelitian didominasi oleh adanya lipatan berupa antiklin, sinklin

menunjam, dan sesar anjak. Thrust-fault-bounded justru terjadi pada sinklin

menunjam karena sinklin tersebut dibatasi oleh 2 sesar anjak. Struktur geologi lain

berupa kekar dan pola kelurusan juga ditemukan di daerah penelitian. Peta

struktur geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.7.


142

1. Pola Kelurusan

Pola kelurusan yang terdapat pada daerah pemetaan didapatkan dari hasil

interpretasi adanya kelurusan - kelurusan lembah yang terlihat jelas pada citra

DEM (Digital Elevation Model). Berdasarkan hasil interpretasi ini, didapatkan

bahwa daerah pemetaan memiliki pola kelurusan yang cukup bervariasi dan

muncul hampir di seluruh daerah pemetaan.

Pola kelurusan dengan arah tenggara barat laut terdapat di bagian timur

daerah penelitian. Pola kelurusan dengan arah relatif utara - selatan terdapat di

bagian selatan daerah penelitian. Pola kelurusan dengan arah timur laut - barat

daya terdapat di bagian barat daerah penelitian. Pola pola kelurusan ini secara

umum mengikuti pola jurus yang ada di daerah penelitian. Hasil analisis dari pola

kelurusan menunjukkan bahwa pola kelurusan cukup merata ke segala arah,

namun didominasi oleh pola tenggara barat laut dan barat daya timur laut.

2. Kekar

Kekar yang terdapat pada daerah penelitian terdiri dari kekar ekstensi dan

kekar kompresi. Kekar ekstensi dicirikan dengan kenampakan kekar yang saling

sejajar, sedangkan kekar-kekar kompresi dicirikan dengan adanya kekar yang

saling memotong dan membentuk sudut lancip antar keduanya.

Pola kekar yang berada di bagian timur daerah penelitian relatif lebih acak

dibandingkan dengan kekar-kekar yang terdapat pada bagian barat daerah

penelitian. Pada STA 124, dijumpai kekar kompresi yang membentuk sudut lancip

ke arah tenggara barat laut. Pada STA 92 yang terletak di bagian selatan daerah
143

penelitian, kekar yang terbentuk memiliki jurus dengan arah tenggara barat laut

dan relatif sejajar satu sama lain (Gambar 5.3).

Rose Diagram
N

W E

Gambar 5.3. Kenampakan kekar pada STA 92. Jurus kekar relatif sejajar dan mengarah ke
tenggara barat laut. Arah gaya pembentuk kekar berarah tenggara barat laut.

Secara keseluruhan, kekar yang terdapat pada daerah penelitian

didominasi oleh 2 pola utama yaitu pola tenggara barat laut dan barat daya

timur laut. Kedua pola ini diinterpretasikan terbentuk akibat adanya gaya utama

berupa gaya kompresi berarah tenggara barat laut (Gambar 5.).

3. Lipatan

Lipatan yang terdapat pada daerah penelitian berupa sinklin menunjam

dan antiklin (Gambar 4.7). Sinklin menunjam terdapat pada area tengah daerah

penelitian, sedangkan antiklin terdapat pada bagian barat daerah penelitian.

Berdasarkan rekonstruksi, sinklin menunjam yang ada pada daerah penelitian ini

memiliki orientasi sumbu yang memanjang dari arah selatan ke timur laut. Sinklin

ini bersifat asimetris dengan sayap sinklin yang lebih landai di bagian timur

dibandingkan dengan sayap bagian barat. Berdasarkan rekonstruksi, penunjaman

sinklin terjadi di bagian selatan.


144

Antiklin yang ada pada daerah penelitian memiliki sumbu yang

memanjang dari arah barat daya menuju ke timur laut. Antiklin ini merupakan

antiklin asimetris dengan sayap bagian barat yang lebih terjal dibandingkan

dengan sayap antiklin bagian barat.

4. Sesar

Sesar yang ada di daerah penelitian didapatkan dari hasil pengamatan

langsung di lapangan serta analisis laboratorium. Sesar naik yang berada di bagian

tengah daerah penelitian didapatkan dari adanya pola kelurusan yang jelas terkihat

pada citra dan kemiringan batuan. Kemiringan batuan yang sangat besar di daerah

ini (78) mengindikasikan bahwa sesar ini berjenis sesar anjak (thrust fault) yang

berorientasi tenggara barat laut.

Sesar naik yang terdapat di bagian barat daerah penelitian didapatkan dari

hasil analisa paleontologi yang menunjukkan adanya umur yang berbeda antara

satuan batulanau dan satuan perselingan batupasir batulanau. Berdasarkan data

paleontologi, satuan batulanau yang menjari dengan satuan batugamping memiliki

umur yang lebih tua dibandingkan satuan perselingan batupasir batulanau.

Berdasarkan hasil rekonstruksi perlipatan, sesar, pola jurus, pola kelurusan

dan kekar (Tabel 5.1), maka disimpulkan bahwa karakter struktur geologi di Blok

Beruaq terbentuk karena gaya kompresional berarah barat laut tenggara

(Gambar 5.4). Gaya kompresional tersebut menyebabkan pembentukan perlipatan

asimetris antiklin dan sinkilin menunjam dengan orientasi sumbu lipatan relatif

timur laut-barat daya. Selain itu, juga terbentuk sesar naik sinistral diperkirakan
145

dengan orientasi tenggara barat laut. Keterdapatan struktur geologi di Blok

Beruaq, dapat dimodelkan sesaui dengan Model Harding (1974) (Gambar 5.4).

Tabel 5.1. Karakter struktur geologi dan orientasi polanya.

Karakter Struktur
Bagian Timur Bagian Selatan Bagian Barat
Geologi

Pola Kelurusan Tenggara barat laut Utara selatan Timur laut barat daya

Timur laut barat daya,


Pola Jurus Tenggara barat laut Timur laut barat daya
melengkung

Kekar Tenggara barat laut Tenggara barat laut Timur laut barat daya

Kemiringan Batuan Barat daya Barat daya, timur laut Timur laut, barat daya

Lipatan - Sinklin menunjam Antiklin

Sesar Sesar naik sinistral

Gambar 5.4. Mekanisme pembentukan struktur Blok Beruaq (Harding, 1974).


146

V.1.4. Sejarah geologi Blok Beruaq

Penjelasan perkiraan paleogeografi dan lingkungan pengendapan satuan

batuan di Blok Beruaq, peneliti menggunakan fasies model endapan-endapan

delta oleh Coleman (1976).

a. Sejarah pengendapan batuan di Blok Beruaq

Sejarah geologi Blok Beruaq dimulai dengan adanya progradasi Delta

Mahakam yang dikontrol oleh gaya kompresional berarah relatif barat laut

tenggara yang bekerja pada Kala Miosen Awal. Proses tersebut menyebabkan

pembentukan batuan dan struktur geologi di Blok Beruaq. Berikut penjelasan

mengenai sejarah geologi pengendapan satuan batuan di Blok Beruaq (Gambar

5.5):

- Pengendapan satuan batulanau

Pada Kala Miosen Awal terjadi proses pengendapan satuan batulanau.

Satuan ini merupakan satuan tertua di Blok Beruaq. Satuan ini dicirikan dengan

adanya batulanau yang memiliki ciri warna abu-abu, tersementasi kuat, keras,

struktur sedimen laminasi, berlapis, terkadang dijumpai fragmen batubara dan

burrow horizontal, terkadang bersifat karbonatan. Batulempung juga bersifat well

cemented, keras, struktur sedimen masif dan berlapis. Satuan ini terendapkan di

lingkungan shallow marine bagian inner shelf (Rizkiawan, 2015).

Kondisi lingkungan ini tidak mendapatkan influx sedimen yang intensif.

Sedimen yang masuk pada lingkungan ini hanya sedimen berbutir halus dengan

mekanisme pengendapan suspensi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya

pertumbuhan terumbu di reef. Kondisi laut yang cukup tenang, tanpa gangguan
147

sedimen yang cukup intensif dan cukup nutrisi serta cahaya matahari, sehingga

menyebabkan terbentuknya satuan batugamping yang hubungannya menjari

dengan satuan batulanau.

- Pengendapan satuan batugamping

Kondisi shallow marine di Blok Beruaq menyebabkan adanya

pertumbuhan karbonat terumbu. Hal ini menunjukkan kondisi laut yang cukup

dangkal dengan intensitas cahaya dan nutrien yang cukup bagi terumbu untuk

dapat tumbuh. Suplai sedimen yang masuk ke dalam cekungan tidak banyak,

sehingga tidak menghalangi terumbu untuk tumbuh di beberapa tempat muncul

batugamping terumbu akibat kondisi lingkungan yang cukup tenang bagi

tumbuhnya terumbu. Satuan batugamping yang terdiri dari carbonate reef ini

secara lateral dapat dibagi lagi menjadi 3 fasies, namun tidak terpetakan dalam

peta geologi skala 1:25.000. Fasies fasies tersebut antara lain: platy coral reef,

massive coral reef dan crystalline limestone.

Arah pertumbuhan terumbu yang mengarah ke arah tenggara menunjukkan

bahwa proses sedimentasi pada Kala Miosen Awal mengarah ke arah tenggara,

arah tersebut searah dengan progradasi Delta Mahakam.

- Pengendapan satuan perselingan batupasir batulanau

Pada Kala Miosen Tengah terjadi pengendapan satuan perselingan

batupasir batulanau di atas satuan batulanau secara selaras. Bagian bawah satuan

perselingan batupasir - batulanau serta bagian dari sekuen litologi yang

terendapkan di bagian ujung barat laut Blok Beruaq ini terendapkan karena

adanya penurunan muka air laut relatif, yaitu dari lingkungan shallow marine
148

menjadi delta plain. Pengendapan di bagian bawah satuan ini terjadi di sub-

lingkungan lower delta plain. Sekuen litologi yang terbentuk dicirikan dengan

kehadiran perselingan tipis batulanau - batupasir dengan variasi ketebalan berkisar

antara 30 - 300 cm. Struktur sedimen berupa flaser, laminasi dan coarsening

upward. Kehadiran batubara di bagian bawah satuan ini sebagai sisipan yang

berasosiasi dengan batulempung dan batulanau dengan variasi ketebalan berkisar

antara 15 - 300 cm.

Bagian atas satuan ini terbentuk karena penurunan muka air laut relatif

terus terjadi, sehingga kondisi sub-lingkungan berubah menjadi transitional lower

delta plain. Satuan ini dicirikan dengan hadirnya batupasir kuarsa yang relatif

cukup tebal dengan ketebalan berkisar antara 30 - 700 cm. Selain itu, satuan ini

juga terdapat beberapa sisipan batuan lain seperti batulempung, batupasir

karbonan, serta yang paling dominan adalah batulanau. Secara umum struktur

sedimen yang berkembang pada tubuh batupasir kuarsa adalah masif dengan

terdapatnya laminasi dan silang siur di beberapa bagian Sekuen litologi yang

terbentuk agradasional. Batubara yang terdapat di satuan ini berasosiasi dengan

batulempung dan batulanau. Batubara tersebut memiliki ketebalan berkisar antara

20 - 300 cm dengan persebaran yang cukup melimpah di bagian tengah satuan ini,

yaitu di daerah rawa-rawa.

Satuan perselingan batupasir - batulanau diinterpretasikan sebagai bagian

dari Formasi Pulau balang. Satuan ini berhubungan menjari dengan batuan yang

tersebar di bagian ujung barat laut Blok Beruaq. Sekuen litologinya relatif mirip

dengan sekuen litologi pada bagian bawah satuan perselingan batupasir -


149

batulanau. Sekuen litologi tersebut diinterpretasikan bagian dari Formasi

Balikpapan yang hubungannya menjari dengan Formasi Pulau Balang di bagian

bawah satuan perselingan batupasir - batulanau. Berdasarkan hasil analisis

paleontologi, satuan ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah - Miosen Akhir

(Rizkiawan dan Rudianto, 2015).

b. Arah sedimentasi dan potensi batubara Blok Beruaq

Arah sedimentasi di Blok Beruaq relatif ke arah timur hingga tenggara.

Arah tersebut relatif sesuai dengan arah progradasi Delta Mahakam di Cekungan

Kutai. Arah sedimentai ini diinterpretasikan berdasarkan adanya pertumbuhan dan

perkembangan reef ke arah timur hingga tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin ke arah timur hingga tenggara, lingkungan pengendapan batuan semakin

ke arah laut, sehingga tidak berpotensi akan keterdapatan batubara. Sebaliknya

relatif ke arah barat lingkungan yang berkembang adalah dataran delta, sehingga

sangat berpotensi akan keterdapatan batubara. Potensi batubara yang ada

berasosiasi dengan batuan berbutir halus seperti batulempung dan batulanau.

Batubara sebagai sisipan di antara batuan tersebut. Potensi batubara dominan

ditemukan di sub-lingkungan interdistributary bay dan rawa-rawa.


150
151

c. Sejarah pembentukan struktur geologi Blok Beruaq

Proses progradasi Delta Mahakam dikontrol oleh proses inversi di

cekungan, yaitu gaya kompresional barat laut tenggara. Proses tersebut

menghasilkan Pegunungan Antiklinorium Samarinda termasuk Blok Beruaq, yang

terdiri dari perlipatan asimetri antiklin sinklin serta sesar naik, sesar turun dan

sesar mendatar. Berikut penjelasan mengenai proses pembentukan struktur

geologi di Blok Beruaq (Gambar 5.6):

Gambar 5.6. Mekanisme pembentukkan struktur geologi di Blok Beruaq.


152

V.2. Kondisi Sumberdaya Batubara di Blok Beruaq

Kondisi sumberdaya batubara yang terdapat di Blok Beruaq dikontrol oleh

kondisi geologi yang kompleks. Batubara tersebut diendapkan dalam kondisi

sedimentasi di lingkungan delta yang terus mengalami perubahan sub-lingkungan dan

kemudian juga terkena deformasi tektonik, sehingga geometri batubara tersebut

menjadi kompleks. Kualitas batubaranya banyak dipengaruhi oleh perubahan-

perubahan yang terjadi pada saat proses sedimentasi berlangsung atau pada pasca

pengendapan seperti pembelahan atau kerusakan lapisan (wash out). Perlipatan dan

pergeseran yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik, umumnya dijumpai dan sifatnya

rapat, sehingga menjadikan lapisan batubara sulit direkonstruksi dan dikorelasi.

Bentuk perlipatan yang asimetris juga mengakibatkan kemiringan lapisan yang

bervariasi. Berikut penjelasan mengenai sumberdaya batubara meliputi penyebaran

batubara, karakteristik batubara, lingkungan pengendapan batubara, geometri

batubara, persebaran batubara di permukaan (coal cropline) dan kualitas batubara di

Blok Beruaq:

V.2.1. Penyebaran batubara di Blok Beruaq

Berdasarkan hasil pemetaan geologi di Blok Beruaq, ditemukan 45 titik

singkapan batubara yang terdapat di bagian sungai intermitten dan tebing jalan

hauling. Penyebaran singkapan yang berada di sungai intermitten sangat dominan

pada daerah pemetaan, terutama di bagian hulu sungai intermitten. Pengamatan yang

sangat baik dilakukan di jalan hauling akibat adanya pemotongan tebing. Kondisi
153

batubara di jalan hauling umumnya cukup segar, sedangkan pada sungai intermitten

batubara yang ada umumnya cukup lapuk dan tertutup air. Kenampakan singkapan

batubara dapat dilihat di Foto 5.5.

a b

c d

e f g

Foto 5.5. Kenampakan singkapan batubara pada berbagai STA. a) Kenampakan batubara pada STA
83 (Azimuth Foto N 30 E). b) Kenampakan batubara pada STA 4/2 (Azimuth Foto N
230 E). c) Kenampakan batubara pada STA 108 (Azimuth Foto N 290 E). d)
Kenampakan batubara pada STA 106 (Azimuth Foto N 135 E). e) Kenampakan batubara
pada STA 120 (Azimuth Foto N 240 E). f) Kenampakan batubara pada STA 127
(Azimuth Foto N 110 E). g) Kenampakan batubara pada STA 114 (Azimuth Foto N 10
E).
154

Batubara pada Blok Beruaq dominan tersebar secara merata di bagian timur,

tengah dan di bagian ujung barat laut. Terdapat 22 titik singkapan batubara di Sub-

blok B, yaitu di bagian timur Blok Beruaq dan 23 titik singkapan di Sub-blok A, yaitu

di bagian tengah dan barat Blok Beruaq (Gambar 4.8). Kondisi geologi Blok Beruaq

dikontol oleh stuktur geologi berupa perlipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin

dan homoklin. Hal tersebut memungkinkan terjadinya pengulangan seam yang sama,

yaitu seam yang ada di salah satu sayap lipatan akan dijumpai kembali di bagian

sayap yang lain, sehingga karakteristik dari batubara yang ada dimungkinkan akan

sama.

Berdasarkan analisis kesamaan karakteristik batubara di tiap singkapan

terdekat dan juga penarikan korelasi singkapan berdasarkan hukum V, maka

didapatkan 40 seam batubara di Blok Beruaq. Seam tersebut hanya berdasarkan data

hasil pemetaan geologi yang tersebar dominan di bagian timur Blok Beruaq dengan

arah orientasi memanjang barat laut - tenggara sebanyak 31 seam batubara, 6 seam di

bagian barat daya memanjang dengan orientasi barat laut - tenggara dan timur laut -

barat daya dan 3 seam di bagian barat laut memanjang dengan orientasi timur laut -

barat daya.

V.2.2. Karakteristik batubara di Blok Beruaq

Batubara yang tersebar di Blok Beruaq dominan memiliki karakteristik yang

hampir sama di bagian timur laut, barat daya dan barat laut, namun berbeda dengan

karakteristik batubara di bagian tengah Blok Beruaq. Umumnya kenampakan


155

batubara berwarna hitam, dengan kondisi yang umum tampak cukup segar di bagian

tengah blok, namun pada beberapa tempat mengalami pelapukan cukup intensif di

bagian timur laut dan barat laut blok. Cleat yang cukup intensif umumnya terisi oleh

material lempung, lanau, oksida dan sulfida. Kilap batubara bervariasi dari bright di

bagian tengah blok, kilap dull semibright di bagian timur dan barat, dengan

dominasi semi-bright. Pecahan subconchoidal, agak keras dan non-banded.

Komposisi utama berupa karbon dan pengotor berupa sulfida dan oksida.

V.2.3. Lingkungan pengendapan batubara di Blok Beruaq

Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan

geologi sekitarnya. Ketebalan, persebaran, komposisi dan kualitas batubara banyak

dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Perbedaan karakteristik yang

disebutkan di atas diinterpretasikan sebagai hasil dari perbedaan lingkungan

pengendapan batubara. Pada penjelasan sub-bab mengenai sejarah geologi Blok

Beruaq telah dijelaskan bahwa adanya proses pengendapan satuan batuan pada

lingkungan pengendapan yang berbeda di Blok Beruaq. Berikut penjelasan mengenai

lingkungan pengendapan batubara tersebut:

a. Lingkungan lower delta plain

Menurut Horne (1978) dan juga hasil dari penelitian menunjukkan

bahwa lingkungan lower delta plain memiliki ciri-ciri lapisan batubara yang

tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebaran batubara umumnya sepanjang

channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisannya ditandai oleh hadirnya


156

splitting oleh endapan crevasse splay, tersebar meluas cenderung memanjang

jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong oleh

channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh

urutan butiran yang mengkasar ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya

terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark.

Gambar 5.7. Sekuen litologi pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian
bawah menunjukkan lingkungan pengendapan lower delta plain.

Berdasarkan hasil analisis fasies di Blok Beruaq, maka lingkungan

pengendapan batubara pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian

bawah terbentuk di lingkungan lower delta plain (Gambar 5.7). Batubara yang

tersebar di bagian timur, barat daya dan barat laut di Blok Beruaq terbentuk di
157

bawah pengaruh lingkungan lower delta plain, yaitu di satuan perselingan

batupasir batulanau bagian bawah. Menurut Horne dkk (1978), lingkungan

lower delta plain memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan yang

tipis, penyebaran luas dan distribusi kandungan sulfur bervariasi. Hal tersebut

dipengaruhi oleh kontrol pasang-surut air laut. Ketika air laut pasang, maka

air laut akan membawa berbagai nutrisi ke dalam rawa gambut, sehingga

menyebabkan banyaknya pertumbuhan tanaman di daerah ini. Pasang-surut

air laut menyebabkan lingkungan yang relatif luas ini mengalami proses

sedimentasi yang luas dan terjadi terus menerus. Hal tersebut mengakibatkan

akumulasi material organik tersebar secara luas. Akumulasi material organik

di lingkungan ini tidak begitu melimpah, sehingga menghasilkan akumulasi

gambut yang tidak begitu tebal. Pasang air laut ini juga akan membawa

material sedimen klastik halus yang kemudian akan terendapkan pada rawa

gambut dan menjadi pengotor dalam batubara. Kandungan batubara yang

terbentuk pada lingkungan ini umumnya akan memiliki kandungan pirit yang

berasal dari reduksi sulfat pada air laut yang terbawa ke lingkungan ini.

b. Lingkungan transitional lower delta plain

Berdasarkan hasil analisis fasies di Blok Beruaq, maka lingkungan

pengendapan batubara pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian

atas terbentuk di lingkungan transitional lower delta plain (Gambar 5.8).

Batubara pada satuan tersebut tersebar di bagian tengah Blok Beruaq.


158

Menurut Horne (1978), lingkungan pengendapan transitional lower delta

plain memiliki ciri-ciri lapisan batubaranya yang tebal, kandungan sulfur

rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan batubara

tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus

pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan

washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus

pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian lower delta plain.

Pada zona ini terdapat fauna air payau sampai laut dan banyak ditemui

burrowing.

Gambar 5.8. Sekuen litologi pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian atas
menunjukkan lingkungan pengendapan transitional lower delta plain.
159

Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona transisi yang

mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Disini sekuen

bay fill tidak sama dengan sekuen upper delta plain ditinjau dari kandungan

fauna air payau sampai laut terbuka serta struktur burrowed yang meluas.

Endapan channel menunjukkan kenampakan migrasi lateral lapisan point bar

accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada transitional

delta plain ini berbutir halus daripada di upper delta plain dan migrasi

lateralnya hanya satu arah. Batupasir tipis crevasse spaly umum terdapat pada

endapan ini, tetapi lebih sedikit banyak daripada di lower delta plain, namun

tidak sebanyak di upper delta plain.

Pengendapan satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas

akibat adanya penurunan muka air laut relatif. Hal ini menyebabkan

interdistributary bays maju (ekstensif), sehingga area Blok Beruaq berubah

menjadi sub-lingkungan transitional lower delta plain. Di Blok Beruaq, sub-

lingkungan ini dicirikan dengan adanya endapan-endapan distributary mouth

bar dan channel. Distributary mouth bar pada satuan ini agak berbeda dengan

distributary mouth bar pada satuan batuan sebelumnya, pada distributary

mouth bar satuan ini tidak dijumpai perselingan batupasir batulanau seperti

pada satuan batuan sebelumnya. Penurunan muka air laut relatif secara terus
160

menerus menyebabkan terbentuknya channel yang dicirikan dengan adanya

fragmen-fragmen batubara di antara batupasir kuarsa yang ada. Batubara yang

terdapat pada sub-lingkungan ini umumnya relatif lebih tebal dibandingkan

dengan batubara pada lower delta plain. Lingkungan ini transisi antara lower

dan upper delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan

tebal, penyebaran lateral luas, serta rendah sulfur (Horne et al., 1979).

Gambar 5.9. Menurut model lingkungan pengendapan batubara (Horne et al, 1978), batubara di Blok
Beruaq terbentuk di lingkungan lower delta plain dan transitional lower delta plain
(kotak merak).

Berdasarkan hasil analisis fasies menurut Coleman (1976) dan model sekuen

menurut Horne et al (1979), maka dilakukan pencocok lingkungan pengendapan

batubara di Blok Beruaq. Berdasarkan model lingkungan pengendapan batubara


161

menurut Horne et al, (1978), maka lingkungan pengendapan batubara di Blok Beruaq

adalah lower delta plain dan transitional lower delta plain (Gambar 5.9).

V.2.4. Geometri batubara di Blok Beruaq

Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu

lapisan batubara yang sangat penting dalam kegiatan eksplorasi batubara. Pada

penelitian ini, penjelasan mengenai geometri batubara digunakan untuk perencanaan

tahap eksplorasi selanjutnya, yaitu lokasi pengeboran di Sub-blok A di bagian barat

Blok Beruaq (eksplorasi pendahuluan) dan penentuan batas area prospek (boundary

prospect area) di Sub-blok B di bagian timur Blok Beruaq (eksplorasi rinci).

Kondisi geometri lapisan batubara dipengaruhi oleh hubungan lapisan

batubara dengan lapisan batuan yang berasosiasi lainnya, baik itu lingkungan

pengendapan maupun proses tektonik (Horne, 1978). Kondisi geometri perlu

diketahui untuk melihat kondisi sumberdaya batubara yang ada, hal tersebut berarti

untuk mengetahui kondisi geometri itu sendiri, perencanaan tambang, penambangan

hingga ke tahap penjualannya. Oleh karena itu perlu untuk diketahui parameter

parameter geometri dan juga pengontrol kondisi geometri tersebut. Berikut penjelasan

mengenai pengontrol geometri batubara dan kondisi geometri batubara di Blok

Beruaq:

V.2.4.1. Pengontrol geometri batubara

Kondisi geometri batubara yang ada saat ini merupakan hasil dari aktivitas

geologi dan kegiatan manusia. Kontrol dari aktivitas geologi, yaitu paleogeografi
162

cekungan, proses sedimentasi, aktivitas tektonik dan aktivitas geomorfik. Berikut

penjelasan mengenai pengontrol geometri batubara:

a. Paleogeografi

Paleogeografi, yaitu kondisi dasar cekungan pada saat proses

pembentukan batuan. Pengendapan batubara akan mengikuti bentukan awal

cekungan tersebut. Paleogeografi Blok Beruaq merupakan lingkungan delta.

b. Proses sedimentasi

Proses sedimentasi ini merupakan proses dimana terjadi pengendapan

batuan beserta batubara. Proses sedimentasi akan berbeda-beda pada

lingkungan yang berbeda. Lingkungan pengendapan batubara di Blok Beruaq,

yaitu lingkungan delta, pada sub-lingkungan lower delta plain dan

trantisional delta plain. Geometri batubara pada lingkungan tersebut menurut

Horne dkk (1978), pada lingkungan lower delta plain, batubara memiliki

persebaran yang luas dan ketebalan yang relatif tipis, sedangkan lingkungan

trantisional delta plain, batubara tersebar luas dengan ketebalan yang relatif

tebal.

c. Aktivitas tektonik

Aktivitas tektonik ini terjadi akibat adanya kontrol dari gaya

kompresional yang bekerja secara regional. Menurut Guntoro (1998), terjadi

pemekaran Selat Makassar yang bergerak mekar relatif ke arah barat laut dan

tenggara pada Kala Eosen tengah. Selain itu, juga terjadi pengangkatan
163

Pegunungan Maratus pada Kala Pliosen. Kedua hal tersebut menyebabkan

pembentukan Antiklinorium Samarinda. Gaya kompresional yang bekerja

berarah tenggara barat laut. Seperti tampak pada saat ini, Blok Beruaq

dikontrol oleh perlipatan asimetris sinklin menunjam, antiklin dan homoklin,

serta sesar naik sinistral. Hal tersebut menyebabkan kondisi geometri di Blok

Beruaq menjadi kompleks.

d. Aktivitas geomorfik

Aktivitas geomorfik berkaitan dengan proses pengerusakan

(destructional process). Proses tersebut berupa proses eksogenik, yaitu proses

pelapukan, erosi, transportasi dan pengendapan. Hal tersebut berhubungan

erat dengan iklim dan bentukan geografi. Area penelitian sendiri dikontrol

oleh iklim tropis, dimana proses eksogenik bekerja dengan sangat intensif,

sehingga zona lemah yang ada akan mengalami pengerusakan oleh proses

geomorfik. Hal tersebut kaitannya dengan geometri batubara, yaitu

keterdapatan lapisan batubara memungkinkan sebagian terkena proses

geomorfik, sehingga terjadi pengubahan geometri batubara. Perubahan

tersebut memungkinkan terjadinya kehilangan batubara pada zona lemah,

seperti pada sumbu antiklin, zona sesar, zona kekar dan lain-lain.

e. Aktivitas manusia

Aktivitas manusia dalam hal pengontrol kondisi geometri batubara

termasuk hal yang negatif. Hal tersebut dikarenakan aktivitas manusia yang
164

sering ditemukan di lapangan justru merusak kondisi geometri batubara.

Aktivitas tersebut seperti penebangan pohon, penimbunan batubara karena

aktivitas suatu pembangunan dan penambangan liar. Penebangan pohon

secara liar dapat mengakibatkan kebakaran hutan di sekitar keterdapatan

batubara, akibatnya batubara ikut terbakar dan kualitasnya menurun.

Penimbunan batubara juga dapat terjadi sewaktu-waktu, hal tersebut

menyebabkan batubara tertimbun maupun mengalami perusakan karena

kebutuhan pembangunan. Penambangan liar menyebabkan kerugian Negara

karena tidak adanya izin penambangan. Hal tersebut mengurangi sumberdaya

batubara secara cuma-cuma.

V.2.4.2. Parameter geometri batubara

Menurut Kuncoro (2000) dan Jeremic (1985), parameter geometri yang

dipakai, yaitu ketebalan, kemiringan, kemenerusan, keteraturan, sebaran, bentuk,

kondisi roof dan floor. Berikut penjelasan mengenai geometri batubara di Blok

Beruaq:

a. Ketebalan

Ketebalan seam batubara yang terdapat di Blok Beruaq relatif

bervariasi. Variasi ketebalan yang tersebar di Blok Beruaq dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat

perbedaan kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar


165

cekungan, hadirnya channel, sesar dan/ atau proses karst atau proses yang

terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan.

Berdasarkan hasil interpretasi kondisi lingkungan pengendapan di

Blok Beruaq, batubara yang tersebar di blok bagian timur laut dan timur

termasuk bagian dari satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah

(Formasi Pulaubalang) yang terendapkan di lower delta plain. Kondisi

lingkungan lower delta plain dipengaruhi oleh pasang air laut terhadap proses

sedimentasinya. Ketika air laut pasang, maka akan membawa berbagai nutrisi

ke dalam rawa gambut, sehingga menyebabkan banyaknya pertumbuhan

tanaman di lingkungan ini. Akibat pasang air laut ini juga akan membawa

material sedimen klastik halus yang kemudian akan terendapkan pada rawa

gambut dan menjadi pengotor dalam batubara, serta mempengaruhi ketebalan

dari akumulasi gambut.

Gambar 5.10. Ketebalan seam batubara di lower delta plain relatif tipis.
166

Batubara yang terendapkan pada lingkungan lower delta plain

memiliki penyebaran lateral yang luas, tetapi ketebalannya relatif tipis. Pada

lembar korelasi seam batubara di Blok Beruaq (Lampiran 7), dapat dilihat

bahwa persebaran seam pada lingkungan lower delta plain relatif tipis

(Gambar 5.10), namun persebarannya luas. Namun, terdapat beberapa seam

batubara yang tebal, hal tersebut diinterpretasikan sebagai bentukan seam

pada channel. Seam pada channel tersebut relatif tebal, tetapi persebarannya

tidak luas, karena pola bentuk seam berupa lentikuler (Gambar 5.11).

Gambar 5.11. Ketebalan seam batubara yang tebal di lower delta plain dikontrol
oleh endapan channel.

Pada bagian tengah blok, batubara yang termasuk bagian dari satuan

perselingan batupasir - batulanau bagian atas terendapkan di lingkungan

trasitional lower delta plain (Gambar 5.12). Kondisi tersebut menyebabkan

batubara yang terbentuk relatif lebih tebal dibandingkan dengan batubara


167

yang terbentuk di lower delta plain. Kondisi lingkungan transitional lower

delta plain terkena pengaruh pasang air laut dan juga kontrol dari dari darat,

sehingga endapan penciri lingkungan ini menunjukkan ciri-ciri lingkungan

lower delta plain dan juga upper delta plain. Pada lembar korelasi seam

batubara di Blok Beruaq menunjukkan bahwa pada lingkungan tersebut

berkembang dengan baik endapan channel dan crevasse splay. Di antara

endapan-endapan channel tersebut berkembang rawa-rawa yang membawa

endapan batubara yang memiliki ketebalan yang relatif tebal dan juga

persebaran yang lebih luas dibandingkan seam batubara yang tersebar di

lingkungan lower delta plain.

Gambar 5.12. Pada lingkungan transitional lower delta plain berkembang rawa-rawa yang
membentuk batubara yang relatif tebal dan persebarannya luas.
168

Dapat disimpulkan bahwa ketebalan lapisan batubara di Blok Beruaq

dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara yang terbentuk di lower

delta plain dan transitional lower delta plain.

b. Kemiringan

Kemiringan seam batubara yang ditemukan di lapangan sangat

bervariasi. Pola sebaran kemiringan terbagi menjadi 2 macam, yaitu tersebar

merata dan terdapat juga yang tersebar di area spesifik saja. Hal tersebut

diakibatkan oleh kontrol struktur geologi yang dominan di Blok Beruaq.

Arah kemiringan seam batubara yang tersebar juga bervariasi, dan

berbeda-beda di setiap bagian Blok Beruaq. Perbedaan arah kemiringan

lapisan batubara dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan asimetris

sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. Pada bagian timur laut dan timur,

seam batubara miring ke arah barat daya. Kemiringan pada area timur Blok

Beruaq dikontrol oleh homoklin. Pada bagian tenggara, seam batubara relatif

miring ke barat daya, namum semakin ke selatan mengalami perubahan arah

kemiringan ke arah barat dan barat laut. Kemiringan pada bagian tenggara

masih dikontrol oleh struktur homoklin, namun terdapat pengaruh dari

struktur sinklin menunjam yang berada di bagian tengah blok. Pada bagian

selatan, seam batubara miring ke barat laut. Pada bagian arah utara,

kemiringan seam juga terbagi 2, yaitu pada sisi barat sumbu sinklin seam

miring ke arah tenggara, sedangkan pada sisi timur sumbu sinklin seam
169

miring ke arah barat laut. Pada area selatan dan utara, secara keseluruhan

dikontrol oleh struktur sinklin menunjam. Pada bagian barat daya, kemiringan

lapisan batubara mengarah ke tenggara, sedangkan pada ujung barat laut,

kemiringan lapisan batubara mengarah ke barat laut. Kemiringan pada area

barat blok dikontrol oleh struktur antiklin.

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan arah dan kemiringan lapisan

batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan

asimetri sinklin menunjam, antiklin dan homoklin.

c. Pola sebaran lapisan batubara

Pola sebaran lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh proses

sedimentasi dan struktur geologi. Berikut penjelasan mengenai pola sebaran

seam batubara berdasarkan pengontrol tersebut:

- Proses sedimentasi

Proses sedimentasi mengontrol pola sebaran batubara pada saat proses

pembentukan batubara tersebut. Proses sedimentasi yang bekerja berbeda-

beda pada setiap lingkungan. Pada lingkungan lower delta plain, proses

sedimentasi yang bekerja menyebabkan batubara yang terbentuk tersebar

secara luas di interdistributary bays. Batubara yang terbentuk relatif tipis,

dengan pola sebaran mengikuti orientasi paralel pola distributary yang ada.

Namun, terdapat pola sebaran batubara yang relatif tersebar setempat, yaitu

batubara yang terbentuk di channel. Di beberapa area lingkungan lower delta


170

plain, akumulasi material organik yang tebal dapat terjadi di channel. Pola

sebaran seam tersebut membentuk pola lentikuler. Pada lingkungan

transitional lower delta plain, batubara terbentuk relatif memiliki persebaran

lebih luas dibandingkan lower delta plain, hal tersebut dikarenakan rawa-rawa

pada lingkungan transitional lower delta plain berkembang dengan baik.

Pada lembar korelasi seam batubara Blok Beruaq dapat dilihat bahwa

seam batubara pada bagian bawah satuan perselingan batupasir - batulanau

bagian bawah terdapat beberapa seam batubara yang relatif tipis. Seam

tersebut diinterpretasikan sebagai seam yang memiliki persebaran yang luas

dengan pola sebaran paralel terhadap pola endapan distributary yang ada.

Pada bagian atas satuan tersebut terdapat beberapa seam batubara yang relatif

tebal, seam tersebut terendapkan di sekitar channel. Seam tersebut

diinterpretasikan sebagai seam yang tersebar dengan pola sebaran lentikuler.

Pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian bawah bagian atas,

banyak terbentuk seam batubara yang relatif tebal. Seam tersebut tersebar

secara luas, yaitu seam batubara yang ditemukan di sayap sinklin bagian barat

dapat dikorelasikan dengan seam batubara yang ditemukan di sayap sinklin

bagian timur. Pola persebaran seam relatif luas.

- Struktur geologi

Struktur geologi mengontrol pola sebaran batubara setelah batubara

tersebut terbentuk. Struktur geologi yang terdapat di Blok Beruaq berupa


171

lipatan dan sesar yang intensif. Lipatan yang terdapat pada Blok Beruaq

berupa sinklin menunjam, antiklin dan homoklin. Sinklin menunjam terdapat

pada area tengah blok, sedangkan antiklin terdapat pada bagian barat Blok

Beruaq. Struktur homoklin mengontrol bagian timur Blok Beruaq. Kontrol

struktur geologi tersebut menyebabkan pola sebaran seam batubara yang

terdapat di Blok Beruaq menjadi kompleks.

Pola tersebut diinterpretasikan bahwa persebaran batubara di Blok

Beruaq mengalami perlipatan baik sinklin ataupun antiklin, dimana

seharusnya batubara yang ada di bagian timur blok dapat dijumpai kembali di

bagian barat blok, namun ternyata batubara di bagian barat sangat jarang

dijumpai. Hal ini diinterpretasikan sebagai akibat dari adanya penipisan

batubara ke arah barat. Berdasarkan interpretasi arah pengendapan batubara

ke arah timur, maka batubara yang terbentuk memiliki sebaran dengan

orientasi relatif barat timur.

Akibat dari kontrol aktivitas tektonik, gaya kompresional relatif

tenggara barat laut mengubah arah sebaran batubara. Pada bagian timur

Blok Beruaq, pola sebaran batubara relatif tenggara barat laut. Pola sebaran

pada bagian timur dikontrol oleh homoklin. Homoklin tersebut merupakan

bagian dari sayap antiklin yang berada di luar blok, tepatnya di timur laut

Blok Beruaq. Pada bagian tengah, pola sebaran batubara dikontrol oleh

struktur lipatan sinklin menunjam. Sumbu sinklin tersebut melengkung ke


172

arah barat laut. Orientasi sumbu tersebut relatif barat daya timur laut. Hal

tersebut menyebabkan pola sebaran batubara memiliki orientasi relatif barat

daya timur laut juga, namun sebaran batubara pada sisi barat sumbu (pada

bagian selatan), sebaran batubara memiliki sebaran dengan orientasi relatif

tenggara barat laut. Pada bagian barat, pola sebaran batubara di kontrol oleh

struktur antiklin. Sumbu antiklin memiliki orientasi relatif barat daya timur

laut. Pada ujung barat laut, batubara memiliki pola sebaran dengan orientasi

yang sama dengan sumbu relatif barat daya timur laut, namun pada ujung

barat daya, pola sebaran melengkung ke arah barat laut (Lmapiran 8).

d. Bentuk lapisan batubara

Bentuk lapisan batubara dikontrol oleh bentuk cekungan sedimentasi,

proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses pembatubaraan.

Bentuk lapisan batubara di Blok Beruaq dikontrol oleh cekungan sedimentasi

di lingkungan delta, proses sedimentasi yang dikontrol oleh pasang-surut air

laut dan influx material organi dari darat, dan kontrol dari aktivitas tektonik.

Dalam skala yang kecil, bentukan lapisan batubara dapat diamati pada

lembar korelasi seam di Blok Beruaq. Bentukan seam yang ada menunjukkan

bahwa seam mengalami splitting, penipisan, penebalan, dll (Gambar 5.10).

Bentukan seam yang diamati tentu sudah mengalami kontrol dari 4 hal di atas,

sehingga sulit untuk menjelaskan secara detail mengenai proses terjadinya


173

bentukan seam yang ada pada saat ini. Dalam skala besar, dapat dijelaskan

bahwa seam tersebut dikontrol oleh proses sedimentasi dan proses tektonik.

Bentukan lapisan batubara dikontrol oleh lingkungan Delta Mahakam

akan menghasilkan batubara yang progradasi ke arah timur. Bentukan lapisan

batubara mengikuti perlapisan batuan sedimen lainnya yang berkembang ke

arah timur. Bentukan lapisan batubara yang terbentuk kemudian terkena gaya

kompresional. Gaya tersebut menghasilkan struktur perlipatan. Struktur

perlipatan yang terbentuk di Blok Beruaq berupa perlipatan asimetris sinklin

menunjam, antiklin dan homoklin. Selain itu terdapat struktur sesar naik

sinistral. Bentukan lapisan batubara yang terlipat tersebut terbentuk akibat

dari proses tektonik yang kuat, sehingga terjadi perlipatan.

Perlipatan yang terbentuk di Blok Beruaq menunjukkan gaya

kompresional yang cukup intensif, hingga membentuk lipatan asimetris dan

juga sumbu sinklin yang melengkung. Gaya kompresional tersebut juga

menyebabkan terbentuknya patahan berupa sesar naik sinistral. Dari

keberadaan struktur geologi tersebut, tentu mempengaruhi bentuk lapisan

batubara yang terkena struktur. Pada bagian timur, lapisan batubara dikontrol

oleh homoklin yang miring ke arah barat daya. Pada bagian tengah blok,

bentuk lapisan batubara membentuk cekungan seperti mangkok, hal tersebut

diakibatkan oleh kontrol struktur sinklin menunjam. Pada bagian timur,

bentuk lapisan batubara di kontrol oleh struktur antiklin.


174

Dalam hal untuk melakukan rekonstruksi perlapisan dengan kondisi

struktur geologi yang kompleks diperlupan kegiatan eksplorasi seperti

pemetaan geologi maupun pemboran, sehingga dapat membantu dalam hal

merekonstruksi struktur tersebut. Rekonstruksi struktur di Blok Beruaq

dilakukan berdasarkan hasil pemetaan geologi, namun akan dibuktikan

melalui pemodelan.

e. Kondisi Roof dan floor

Kondisi kontak roof dan floor dengan batubara merupakan fungsi dari

proses pengendapan (Kuncoro, 2000). Kontak batubara dengan roof dan floor

yang ditemukan di Blok Beruaq umumnya berupa carbonaceous shale, shaly

coal, coaly shale, batulempung, batulanau dan batupasir halus. Kondisi

kontak roof dan floor dengan batubara yang ditemukan bervariasi, ada yang

tegas dan juga bergradasi. Kontak tegas menunjukkan proses pengendapan

berlangsung secara tiba-tiba, sebaliknya pada proses pengendapan yang

berlangsung secara lambat diperlihatkan oleh kontak yang berangsur

kandungan karbonannya.

Roof dan floor berupa carbonaceous shale, coaly shale dan shaly coal

umum ditemukan pada satuan perselingan batupasir batulanau. Hal tersebut

dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara, yaitu di lower delta plain.

Influx material sedimen ke dalam akumulasi material organik menghasilkan

batubara yang relatif tipis. Proses influx material sedimen tersebut


175

menyebabkan lapisan material organik tidak membentuk batubara, namun

hanya carbonaceous shale, coaly shale dan shaly coal. Kontak carbonaceous

shale, coaly shale dan shaly coal dengan batubara di Blok Beruaq relatif

kontak gradasi. Hal tersebut terjadi dikarenakan proses pengendapan

berlangsung secara lambat.

Roof dan floor berupa batulempung, batulanau dan batupasir halus

umum ditemukan pada satuan perselingan batupasir - batulanau bagian atas.

Hal tersebut dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara, yaitu

transitional lower delta plain. Lingkungan tersebut menunjukkan bahwa

akumulasi batubara tidak terganggu oleh material sedimen. Batubara dapat

terbentuk dengan ketebalan yang relatif tebal. Batuan Roof dan floor terbentuk

ketikan akumulasi material sedimen terhenti dikarenakan aktivitas

pengendapan batulempung, batulanau dan batupasir halus terjadi secara tiba-

tiba, sehingga menghasilkan kontak yang tegas.

f. Kemenerusan lapisan batubara

Kemenerusan seam batubara pada umumnya dibatasi oleh proses

pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi. Seam batubara pada Blok Beruaq

tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan, tetapi

kemenerusan secara lateral sering terpotong oleh channel bentuk lapisan

batubara.
176

Pada lembar korelasi seam Blok Beruaq (Lampiran 7), dapat diamati

bahwa kemenerusan seam batubara yang terbentuk di lower delta plain

terbagi 2, yaitu pada bagian bawah dan atas satuan perselingan batupasir

batulanau. Pada bagian bawah satuan tersebut, seam batubara relatif tersebar

luas. Seam tersebut menerus mengikuti pola paralel distributary. Pada bagian

atas satuan tersebut, seam batubara yang tebal diinterpretasikan terendapkan

di channel. Kemenerusan seam tersebut dibatasi oleh channel dan membentuk

pola lentikuler.

Pada lingkungan transitional lower delta plain, terbentuk seam

batubara yang cukup tebal dengan persebaran yang relatif luas. Seam relatif

menerus pada area yang cukup luas. Seam tersebut terbentuk di rawa-rawa

yang berkembang cukup intensif. Kemenerusan tersebut diinterpretasikan

berdasarkan hasil korelasi seam di sekitar sinklin. Seam batubara di sayap

sinklin bagian timur dapat dikorelasikan dengan seam batubara yang terdapat

di sayap sinklin bagian barat.

g. Keteraturan lapisan batubara

Keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan

batubara (jurus dan kemiringan), yaitu pola lapisan batubara di permukaan

(cropline) menunjukkan pola keteraturannya. Pola kedudukan seam batubara

di permukaan (cropline) yang tersebar di Blok Beruaq menunjukkan pola

yang berbeda-beda. Pada bagian barat laut, menunjukkan pola yang relatif
177

teratur, dengan kedudukan seam yang memanjang timur laut-barat daya. Pada

bagian barat, menunjukkan pola yang melengkung. Pada bagian selatan,

menunjukkan pola yang relatif teratur. Pada bagian utara, menunjukkan pola

yang teratur, dengan orientasi seam memanjang timur laut-barat daya. Pada

bagian timur laut, menunjukkan pola yang seam tidak teratur dan meliuk-liuk.

V.2.5. Kualitas Batubara

Kualitas batubara menunjukkan karakteristik kimiawi dan fisik batubara

tersebut, dan hal tersebut mempengaruhi kelayakan batubara untuk digunakan.

Pembahasan akan difokuskan pada karakteristik kimiawi batubara. Karakteristik

kimiawi batubara dikontrol oleh komposisi yang menyusun batubara, yaitu maseral,

komponen mineral dan tingkatan pembatubaraan. Karakteristik kimiawi batubara

dapat diketahui melalui analisis proksimat dan ultimat. Berdasarkan parameter

kualitas batubara oleh Thompson (1994), maka analisis yang dilakukan adalah untuk

mengetahui kadar air total, kadar abu, zat terbang, kadar sulfur total, karbon tertambat

dan nilai kalori sampel batubara primer dan sekunder. Kualitas batubara juga

berperan penting dalam menentukan kelas batubara (Thomas, 1994). Peringkat

batubara dan kualitas batubara tersebut akan menjadi hal penting untuk menjual

batubara, sehingga sangat penting untuk dibahas. Berikut pembahasan mengenai hasil

analisis laboratorium sampel batubara primer dan sekunder:


178

V.2.5.1. Sampel primer

Berdasarkan parameter kualitas yang digunakan oleh Thompson (1994), maka

disimpulkan bahwa kualitas batubara sampel primer relatif baik. Berikut penilaian

parameter tersebut, yaitu kadar air total relatif rendah, kandungan abu relatif rendah,

zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif tinggi, karbon tertambat relatif

rendah dan nilai kalori relatif tinggi. Berikut penjelasan mengenai kualitas sampel

primer terhadap parameter kualitas batubara:

a. Total moisture atau kadar air (TM)

Kadar air (total moisture) pada sampel hasil pemetaan geologi

menunjukkan nilai 7,79 % wt. Kandungan air yang terdapat pada batubara

pada bagian barat laut beruaq relatif rendah. Rendahnya total moisture

tersebut dipengaruhi oleh lamanya sampel disimpan untuk dianalisa, sehingga

kadar air telah menguap ke udara. Berdasarkan teori, kadar air dikontrol oleh

umur batuan dan roof floor dari batubara. Berdasarkan data geologi regional,

sampel primer batubara tergolong batubara muda. Seharusnya kadar air pada

sampel tersebut tinggi.

b. Kandungan abu atau ash content (AC)

Kandungan abu (ash content) sampel menunjukkan nilai minimum

2,00 % wt dan nilai maksimum 5,66 % wt. Kandungan abu yang bernilai

demikian menunjukkan nilai yang relatif rendah. Kandungan komposisi abu

yang rendah dipengaruhi oleh material-material sedimen yang ikut


179

terendapkan tidak intensif. Hal tersebut berkaitan dengan lingkungan

pengendapan batubara yang tidak mengalami influx sedimen yang intensif.

Rendahnya kandungan abu akan meningkatkan nilai kalori batubara, sehingga

batubara akan lebih bernilai dengan kandungan abu yang rendah.

c. Zat terbang atau volatile matter (VM)

Zat terbang (volatile matter) sampel hasil pemetaan geologi

menunjukkan nilai minimum 42,99 % wt dan nilai maksimum 44,30 % wt.

Hal tersebut menunjukkan komponen-komponen dalam batubara yang dapat

lepas atau menguap relatif tinggi, yaitu meliputi zat terbang mineral (volatile

mineral matter) dan zat terbang organik (volatile organic matter). Nilai zat

terbang yang tinggi akan memberikan efek negatif terhadap kualitas batubara,

yaitu semakin rendah tingkatan batubara jika kadar zat terbangnya tinggi.

d. Karbon tertambat atau fixed carbon (FC)

Jumlah karbon yang tertambat pada sampel batubara hasil pemetaan

geologi ini relatif rendah, yaitu dengan nilai minimum 44,41 % wt dan nilai

maksimun 46,94 % wt. Jumlah karbon yang tertambat pada batubara ini

merupakan kandungan karbon setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat

terbangnya dihilangkan.

e. Kadar sulfur total atau total sulphur (TS)

Sulfur yang terkandung di dalam sampel batubara di bagian barat laut

blok menunjukkan nilai yang relatif tinggi, yaitu nilai minimum 2,20 % wt
180

dan nilai maksimum 5,09 % wt. Sulfur yang terdapat di batubara ini berasal

dari mineral sulfida. Keberadaan mineral sulfida ini akan mudah bereaksi

dengan unsur H dan O untuk membentuk senyawa asam, sehingga kehadiran

sulfur dalam kadar yang tinggi akan sangat beresiko akan terjadinya polusi.

Batubara sampel primer mengandung sulfur yang tinggi, hal tersebut sesuai

dengan karakteristik batubara yang terbentuk di lingkungan lower delta plain.

f. Nilai kalori atau calorific value (CV)

Nilai kalori pada sampel batubara primer ini relatif tinggi, yaitu

dengan nilai minimum 6.748 kcal/kg dan nilai maksimum 7.085,85 kcal/kg.

Nilai kalori ini dapat dipengaruhi oleh nilai kandungan air dan abu di dalam

batubara. Semakin rendah nilai kandungan air dan abu, maka nilai kalori pada

batubara tersebut akan semakin tinggi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan

benar, dimana nilai kandungan air dan abu pada sampel ini relatif rendah,

sehingga mempengaruhi nilai kalori yang juga tinggi. Nilai kalori berkaitan

dengan peringkat batubara, dimana batubara sampel primer ini merupakan

batubara peringkat tinggi, karena nilai kalorinya tinggi.

V.2.5.2. Sampel sekunder

Kualitas batubara akan dikontrol oleh lingkungan pengendapan. Berdasarkan

hasil interpretasi lingkungan pengendapan, menunjukkan bahwa satuan batuan di

Blok Beruaq terendapkan pada lingkungan yang berbeda, sehingga untuk


181

pembahasan kualitas batubara harus dipisah. Berikut penjelasan mengenai kualitas

batubara pada kedua satuan tersebut:

1. Satuan perselingan batupasir batulanau bagian atas

Satuan ini tersebar di bagian tengah blok. Batubara di satuan ini terendapkan

di lingkungan transitional lower delta plain, sehingga kualitas batubara di bagian ini

akan dipengaruhi oleh lingkungan rawa-rawa yang berkembang sangat baik. Kualitas

batubara sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian atas

relatif tidak begitu baik (kualitas sedang). Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu

kadar air total relatif tinggi, kadar abu relatif rendah hingga sedang, zat terbang relatif

tinggi, karbon tertambat relatif sangat rendah, kadar sulfur total relatif sedang dan

nilai kalori relatif rendah. Berikut penjelasan mengenai kualitas batubara pada sampel

sekunder pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian atas:

a. Total moisture atau kadar air (TM)

Kadar air (total moisture) pada sampel batubara ini menunjukkan nilai

minimum 26,13 % wt dan maksimum 33,63 % wt dengan nilai rata-rata 29,09

% wt. Kandungan air yang terdapat pada batubara bagian ini relatif tinggi.

Tingginya kandungan air tersebut dipengaruhi oleh umur batubara, roof dan

floor, serta lingkungan pengendapan. Umur batubara di satuan ini relatif

muda, yaitu berdasarkan pembentukan satuan ini pada Kala Miosen Tengah,

sehingga kandungan air masih dominan. Roof dan floor yang dominan

ditemukan pada daerah ini adalah shaly coal dan coaly shale. Sifat kedua
182

batuan relatif impermeable, sehingga air yang terkandung pada batubara tidak

dapat mengalir keluar. Hal tersebut menyebabkan tingginya kandungan air

pada batubara pada satuan ini.

b. Kandungan abu atau ash content (AC)

Kandungan abu (ash content) sampel menunjukkan nilai minimum

2,5% wt dan nilai maksimum 7,4% wt dengan ratu-rata 4.7% wt. Kandungan

abu pada sampel ini relatif rendah hingga sedang. Kandungan komposisi abu

yang rendah hingga sedang ini dipengaruhi oleh material-material sedimen

maupun material organik yang ikut terendapkan tidak intensif. Hal tersebut

berkaitan dengan lingkungan pengendapan batubara yang tidak mengalami

influx sedimen yang intensif. Rendahnya kandungan abu akan meningkatkan

nilai kalori batubara, sehingga batubara akan lebih bernilai dengan kandungan

abu yang rendah.

c. Zat terbang atau volatile matter (VM)

Zat terbang atau volatile matter sampel batubara di satuan ini

menunjukkan nilai minimum 34,7 % wt dan nilai maksimum 37,3 % wt

dengan rata-rata 36,1 % wt. Hal tersebut menunjukkan komponen-komponen

dalam batubara yang dapat lepas atau menguap relatif tinggi, namun lebih

rendah dibandingkan dengan sampel hasil pemetaan geologi. Zat terbang

tersebut termasuk zat terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat

terbang organik (volatile organic matter). Nilai zat terbang yang tinggi akan
183

memberikan efek negatif terhadap kualitas batubara, yaitu semakin rendah

tingkatan batubara jika kadar zat terbangnya tinggi.

d. Karbon tertambat atau fixed carbon (FC)

Jumlah karbon yang tertambat pada sampel batubara sampel ini relatif

sangat rendah, lebih rendah daripada nilai karbon yang tertambat pada sampel

di bagian barat laut Blok Beruaq, yaitu nilai minimum 33,70 % wt dan nilai

maksimun 38,70 % wt. Jumlah karbon yang tertambat pada batubara ini

merupakan kandungan karbon setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat

terbangnya dihilangkan.

e. Kadar sulfur total atau total sulphur (TS)

Sulfur yang terkandung di dalam sampel batubara ini menunjukkan

nilai yang bervariasi dari yang terendah 0,14 % wt hingga tertinggi 1,71 % wt,

namun rata-rata menunjukkan nilai kadar sulfur yang relatif sedang, yaitu 0,66

% wt. Sulfur yang terdapat di batubara ini berasal dari mineral sulfida.

Kandungan tersebut dipengaruhi oleh kontrol lingkungan pengendapan

batubara, yaitu di transitional lower delta plain, sehingga gambut yang

terbentuk tidak kontak langsung dengan air laut, dan menghasilkan gambut

dengan pH yang relatif tidak tinggi. Keberadaan mineral sulfida ini akan

mudah bereaksi dengan unsur H dan O untuk membentuk senyawa asam,

sehingga kehadiran sulfur dalam kadar yang relatif sedang sangat

menguntungkan karena resiko akan terjadinya polusi tidak begitu tinggi.


184

g. Nilai kalori atau calorific value (CV)

Nilai kalori pada sampel batubara di satuan ini relatif rendah, yaitu

dengan nilai minimum 4.573 kcal/kg dan nilai maksimum 5.092 kcal/kg

dengan rata-rata 4.899 kcal/kg. Nilai kalori ini dipengaruhi oleh nilai

kandungan air yang tinggi, namun dengan kandungan abu yang tidak begitu

tinggi atau nilainya relatif rendah hingga tinggi. Nilai kalori berkaitan dengan

tingkatan batubara, dimana batubara sampel ini merupakan batubara

peringkat rendah, karena nilai kalorinya rendah.

2. Satuan perselingan batupasir batulanau bagian bawah

Satuan ini tersebar di bagian timur blok. Batubara di satuan ini terendapkan di

lingkungan lower delta plain, sehingga kualitas batubara di bagian ini akan

dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Analisis kualitas batubara yang dilakukan

pada satuan perselingan batupasir batulanau berjumlah 5 sampel. Kualitas batubara

sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian bawah relatif

tidak begitu baik (kualitas sedang). Berikut penilaian parameter tersebut, yaitu kadar

air total relatif tinggi, kadar abu relatif sedang, zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur

total relatif sangat tinggi dan nilai kalori relatif rendah. Berikut penjelasan mengenai

kualitas batubara pada sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir

batulanau bawah:
185

a. Total moisture atau kadar air (TM)

Kadar air (total moisture) pada sampel batubara ini menunjukkan nilai

minimum 22,09 % wt dan maksimum 26,68 % wt dengan nilai rata-rata 24,72

% wt. Kandungan air yang terdapat pada batubara bagian ini relatif tinggi,

namun lebih rendah daripada kandungan air pada satuan batupasir kuarsa

sisipan batulanau. Nilai kandungan air tersebut dipengaruhi oleh umur

batubara yang relatif lebih tua, sehingga lebih banyak air yang dapat keluar

dari batubara tersebut.

b. Kandungan abu atau ash content (AC)

Kandungan abu (ash content) sampel menunjukkan nilai minimum

6,70 % wt dan nilai maksimum 13,90 % wt dengan rata-rata 9,18 % wt.

Kandungan abu pada sampel ini relatif sedang. Kandungan komposisi abu

yang sedang dipengaruhi senyawa anorganik yang ikut terendapkan intensif.

Hal tersebut berkaitan dengan lingkungan pengendapan batubara di

lingkungan lower delta plain, dimana lingkungan tersebut dipengaruhi

pasang-surut air laut yang suplai sedimen yang intensif. Kandungan abu akan

mengurangi nilai kalori batubara, sehingga tingkatan batubara akan semakin

buruk.

c. Zat terbang atau volatile matter (VM)

Zat terbang atau volatile matter sampel batubara di satuan ini

menunjukkan nilai minimum 28,6 % wt dan nilai maksimum 37,3 % wt


186

dengan rata-rata 34,94 % wt. Hal tersebut menunjukkan komponen-komponen

dalam batubara yang dapat lepas atau menguap relatif tinggi, namun lebih

rendah dibandingkan dengan sampel primer. Zat terbang tersebut termasuk zat

terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organik (volatile

organic matter). Nilai zat terbang yang tinggi akan memberikan efek negatif

terhadap kualitas batubara, yaitu semakin rendah tingkatan batubara jika kadar

zat terbangnya tinggi.

d. Karbon tertambat atau fixed carbon (FC)

Jumlah karbon yang tertambat pada sampel batubara sampel ini relatif

sangat rendah, lebih rendah daripada nilai karbon yang tertambat pada sampel

di bagian barat laut Blok Beruaq, yaitu nilai minimum 33,80 % wt dan nilai

maksimun 39,00 % wt. Jumlah karbon yang tertambat pada batubara ini

merupakan kandungan karbon setelah kandungan-kandungan air, abu dan zat

terbangnya dihilangkan.

e. Kadar sulfut total atau total sulphur (TS)

Sulfur yang terkandung di dalam sampel batubara ini menunjukkan

nilai yang relatif sangat tinggi, yaitu nilai minimum 1,67 % wt dan nilai

maksimum 2,32 % wt dengan rata-rata 1,94 % wt. Tingginya nilai kandungan

sulfur ini dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan batubara yang tersebar di

satuan ini, yaitu di lingkungan lower delta plain yang mendapatkan pengaruh

air laut pada saat air pasang. Akumulasi sulfur di laut sangat tinggi, sehingga
187

sulfur tersebut akan ikut terendapkan bersamaan dengan gambut yang

terbentuk di lower delta plain. Sulfur yang terdapat di batubara ini berasal

dari mineral sulfida. Keberadaan mineral sulfida ini akan mudah bereaksi

dengan unsur H dan O untuk membentuk senyawa asam, sehingga kehadiran

sulfur dalam kadar yang sangat tinggi akan menyebabkan tingginya resiko

akan terjadinya polusi.

f. Nilai kalori atau calorific value (CV)

Nilai kalori pada sampel batubara sampel ini relatif rendah, yaitu

dengan nilai minimum 4.492 kcal/kg dan nilai maksimum 5.328 kcal/kg

dengan rata-rata 5.016 kcal/kg. Nilai kalori ini dipengaruhi oleh nilai

kandungan air yang relatif tinggi dan kandungan abu yang relatif sedang,

sehingga nilai kalori pada batubara di satuan ini relatif rendah. Nilai kalori

berkaitan dengan tingkatan batubara, dimana batubara sampel ini merupakan

tingkat rendah, karena nilai kalorinya rendah.

V.2.6. Peringkat batubara

Hasil dari analisis sampel batubara selain digunakan untuk menentukan

kualitas batubara juga digunakan untuk menentukan peringkat batubara (coal rank)

menggunakan beberapa klasifikasi. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi

ASTM dan fuel ratio. Penentuan klasifikasi batubara di daerah penelitian didasarkan

atas salah satu atau lebih sifat fisik, kimia dan kombinasinya, yang menentukan
188

kualitas batubara, yaitu karbon tertambat (fixed carbon), nilai kalori (calorific value),

zat terbang (volatile matter) dan air (moisture).

1. Sampel primer pada satuan perselingan batulanau - batupasir

a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials)

Berdasarkan nilai kalori sampel primer batubara, yaitu dengan nilai

6.748 kcal/kg dan 7.085,85 kcal/kg, maka dapat disimpulkan bahwa peringkat

batubara (coal rank) sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous

(grup high volatile B dan C).

b. Klasifikasi fuel ratio

Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon

tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter).

Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang dianalisis

memiliki nilai fuel ratio 1,03 dan 1,06. Hal tersebut menunjukkan bahwa

sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous, jenis lower bituminous

coal. Nilai fuel ratio pada sampel ini menunjukkan kesempurnaan

pembakaran yang tidak begitu baik, yaitu dengan ignition temperature sekitar

300 - 400 C dan combustion on rate 75 - 140 kg/m hr.

2. Sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian atas

a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials)

Parameter klasifikasi batubara ASTM untuk sampel sekunder pada

satuan perselingan batupasir batulanau bagian atas di Blok Beruaq ini


189

menggunakan nilai kalori (calorific value), karena nilai karbon tertambat

(fixed carbon) 69%. Peringkat batubara pada bagian tengah Blok Beruaq

tergolong ke dalam kelas lignite (grup subbituminous C).

b. Klasifikasi fuel ratio

Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon

tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter).

Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang dianalisis

memiliki nilai fuel ratio minimum 0,84 dan maksimum 1,05. Nilai fuel ratio

tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignite

dan bituminous, jenis black lignite dan lower bituminous coal. Nilai fuel ratio

pada sampel ini menunjukkan kesempurnaan pembakaran yang tidak begitu

baik, yaitu dengan ignition temperature sekitar 250 - 450 C dan combustion

on rate 115 - 260 kg/m hr.

3. Sampel sekunder pada satuan perselingan batupasir batulanau bagian bawah

a. Klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Materials)

Parameter klasifikasi batubara ASTM untuk sampel hasil pemboran

pada Blok Beruaq menggunakan nilai kalori (calorific value), karena nilai

karbon tertambat (fixed carbon) 69%. Tingkat batubara pada bagian timur

Blok Beruaq, yaitu satuan perselingan batupasir batulanau bagian bawah

tergolong kedalam kelas lignite (grup subbituminous B dan C).


190

b. Klasifikasi fuel ratio

Klasifikasi ini didasarkan atas perbandingan antara persentase karbon

tertambat (fixed carbon) dan persentase zat terbang (volatile matter).

Berdasarkan nilai fuel ratio, dapat diketahui bahwa sampel yang dianalisis

memiliki nilai fuel ratio minimum 0,92 dan maksimum 1,29. Nilai fuel ratio

tersebut menunjukkan bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas lignite

dan bituminous, jenis black lignite dan lower bituminous coal. Nilai fuel ratio

pada sampel ini menunjukkan kesempurnaan pembakaran yang tidak begitu

baik, yaitu dengan ignition temperature sekitar 250 - 450 C dan combustion

on rate 115 - 260 kg/m hr.


191

V.3. Penentuan Daerah Target Eksplorasi Pendahuluan di Sub-blok A

Eksplorasi pendahuluan merupakan tahapan eksplorasi yang sangat penting.

Tahapan ini merupakan tahap awal evaluasi target sumberdaya batubara yang telah

direncanakan dengan cara mengidentifikasi dan mengivestigasi sumberdaya batubara

tersebut. Proses identifikasi dan investigasi dilakukan melalui kegiatan pemetaan

geologi secara rinci (surface geological mapping) dan pengeboran investigasi bawah

permukaan (subsurface investigation drilling). Kegiatan pemetaan geologi secara

rinci telah dilakukan pada Blok Beruaq. Namun, kegiatan pengeboran belum

dilakukan secara keseluruhan. Kegiatan pengeboran sebelumnya dilakukan pada Sub-

blok B, yang terletak di bagian timur Blok Beruaq (Gambar 3.3). Pada Sub-blok A

direncanakan akan dilakukan pengeboran selanjutnya. Penentuan daerah target

pengeboran di Sub-blok A didasari oleh interpretasi kondisi sumberdaya batubara

hasil pemetaan geologi.

V.3.1. Pengeboran di Sub-blok A (eksplorasi pendahuluan)

Pengeboran investigasi bawah permukaan (subsurface investigation drilling)

terdiri dari kegiatan pengeboran dan geophysical logging. Kegiatan pengeboran dan

logging di dalam eksplorasi batubara menjadi hal yang sangat penting untuk

mengetahui kondisi persebaran lapisan batubara di bawah permukaan (Thomas,

1994). Data hasil pengeboran dapat meningkatkan keyakinan geologi dari aspek

geologi. Hasil dari kegiatan ini akan diperoleh data mengenai kondisi batubara yang

terdapat di bawah permukaan, antara lain meliputi ketebalan, jumlah seam batubara,
192

kedalaman batubara dari permukaan, kekerasan lapisan batuan penutup (overburden)

dan pengapit batubara (interburden) serta perhitungan sumberdaya dan pengambilan

sample berupa core dan cutting. Metode pengeboran yang dilakukan pada Sub-blok A

dengan spasi antar titik bor yang lebih rapat (closer spaced drilling), yaitu spasi titik

bor 250 - 500 m.

Metode geofisika atau logging juga akan dilakukan dalam kegiatan

pengeboran nantinya. Metode tersebut membantu dalam hal interpretasi data

mengenai persebaran litologi yang ada, yaitu melalui log gamma ray dan density.

Data yang diperoleh melalui logging memiliki kelebihannya tersendiri, yaitu dapat

merekam variasi litologi yang ada di bawah permukaan, keberadaan dan ketebalan

seam batubara dan juga membantu dalam melakukan korelasi seam batubara.

Dari kegiatan pengeboran ini akan dihasilkan data untuk pemodelan fisik

persebaran geologi dan gambaran mengenai sumberdaya batubara, hal ini

memberikan alasan untuk penetapan apakah daerah survei yang bersangkutan

memberikan harapan baik (prospek) atau tidak. Jika daerah tersebut mempunyai

prospek yang baik, maka dapat diteruskan dengan tahap eksplorasi selanjutnya.

V.3.2. Strategi penentuan target titik bor di Sub-blok A

Daerah yang menjadi target pengeboran di Sub-blok A ditentukan

berdasarkan interpretasi kondisi geologi dan sumberdaya batubara hasil pemetaan

geologi secara rinci. Informasi tersebut akan menjadi acuan dimanakah titik bor akan

direncanakan atau diplot. Perencanaan titik bor berdasarkan persebaran seam


193

batubara di permukaan (coal cropline), kemiringan seam batubara dan juga zona yang

berpotensi akan keberadaan seam batubara yang tidak terekam pada saat pemetaan

geologi. Berikut penjelasan mengenai strategi penentuan titik bor di Sub-blok A:

V.3.2.1. Zona rencana pengeboran di Sub-blok A

Kegiatan pengeboran yang akan dilakukan di Sub-blok A dibagi menjadi

beberapa zona. Pembagian zona tersebut berdasarkan persebaran seam batubara yang

ada di Sub-blok A. Berdasarkan hasil interpretasi korelasi seam batubara dan

persebaran seam di permukaan, maka dapat dibagi 4 zona di Sub-blok A, yaitu Zona

A, Zona B, Zona C dan Zona D. Zona A terletak di ujung barat laut Blok Beruaq

dengan keterdapatan 3 seam batubara di permukaan. Zona B terletak di bagian barat

daya Blok Beruaq dengan keterdapatan 2 seam batubara di permukaan. Zona C

terletak di bagian tengah Blok Beruaq dengan keterdapatan 13 seam batubara di

permukaan. Zona D terletak di bagian ujung timur laut Blok Beruaq dengan

keterdapatan 8 seam batubara di permukaan. Jadi berdasarkan hasil kegiatan

pemetaan geologi, maka terdapat 4 zona yang akan dilakukan pengeboran (Gambar

5.13.)

V.3.2.2. Kondisi seam batubara di Sub-blok A

Pelamparan seam batubara di permukaan diinterpretasi berdasarkan hasil

korelasi seam batubara, penerusan arah jurus batubara dan kemiringan dengan

mengikuti hukum V. Pembahasan mengenai persebaran seam batubara akan

difokuskan pada seam yang tersebar di Sub-blok A (Gambar 5.14). Berikut


194

penjelasan mengenai persebaran seam batubara di setiap zona yang akan dilakukan

pengeboran:

a. Kondisi seam batubara pada Zona A

Pada bagian barat daya terdapat 3 seam batubara. Ketiga seam

termasuk ke dalam zona A. Seam tersebut, yaitu seam 1 (STA 78), seam 2

(STA 78) dan seam STA 79 dengan ketebalan berturut-turut 0,4 m, 0,5 m dan

1,8 m. Kemiringan seam tersebut relatif terjal, yaitu seam STA 78 dengan

kemiringan 67 dan seam STA 79 dengan kemiringan 74. Kemiringan (down

dip) seam tersebut ke arah barat laut. Pola persebaran seam di permukaan

relatif teratur, yaitu memanjang dengan orientasi barat daya timur laut

(Gambar 5.14).

Pada zona ini sampel batubara telah dilakukan analisis laboratorium

untuk menilai kualitas batubara tersebut, sedangkan pada zona yang lain

belum dilakukan analisis laboratorium sama sekali. Kualitas batubara sampel

tersebut relatif baik. Berikut penilaian parameter kulitas batubara terhadap

ketiga seam, yaitu kadar air total relatif rendah, kandungan abu relatif rendah,

zat terbang relatif tinggi, kadar sulfur total relatif tinggi, karbon tertambat

relatif rendah dan nilai kalori relatif tinggi. Peringkat batubara (coal rank)

sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous (grup high volatile B dan

C) (Klasifikasi ASTM). Pada hasil analisis nilai fuel ratio juga menunjukkan
195

bahwa sampel tersebut termasuk ke dalam kelas bituminous, jenis lower

bituminous coal (Klasifikasi fuel ratio).

b. Kondisi seam batubara pada Zona B

Pada bagian barat daya terdapat 2 seam batubara. Kedua seam

termasuk ke dalam Zona B. Seam tersebut, yaitu seam STA 125 dan seam

STA 119 dengan ketebalan berturut-turut 0,45 m dan 0,5 m. Kemiringan seam

tersebut relatif landai, yaitu seam STA 125 dengan kemiringan 18 dan seam

STA 119 dengan kemiringan 20. Kemiringan (down dip) seam tersebut

relatif ke arah timur. Pola persebaran seam tersebut melengkung. Hal tersebut

dikarenakan kontrol dari struktur geologi lipatan yang ada. Seam tersebut

terletak tepat di bawah sumbu lipatan antiklin.

c. Kondisi seam batubara pada Zona C

Zona C merupakan zona di bagian tengah Blok Beruaq. Zona tersebut

merupakan area yang dikontrol oleh struktur geologi sinklin, sehingga pada

Zona C terdapat beberapa orientasi persebaran seam yang berbeda-beda.

Pertama, pada bagian barat daya Zona C, terdapat 4 seam batubara, yaitu

seam STA 90, seam STA 89/1, seam STA 89/2 dan seam STA 87 dengan

ketebalan berturut-turut 1,4 m, 0,7 m, 1 m dan 1 m. Kemiringan seam tersebut

relatif landai, yaitu seam STA 89 dengan kemiringan 18 dan seam STA 87

dengan kemiringan 16. Namun, seam STA 90 relatif miring, yaitu 37.
196

Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah timur laut. Pola persebaran

seam di permukaan berorientasi barat laut - tenggara.

Kedua, pada bagian tenggara Zona C, terdapat 6 seam batubara yang

tersebar di permukaan, yaitu seam 1 (STA 50), seam 2 (STA 50), seam 1

(STA 108), seam 2 (STA 108), seam STA 47/2 dan seam STA 86 dengan

ketebalan berturut-turut, yaitu 0,5 m, 0,6 m, 0,2 m, 1,5 m, 1,5 m dan 0,7 m.

Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu di bawah 25. Kemiringan

(down dip) seam tersebut ke arah barat laut. Pola persebaran seam di

permukaan berorientasi barat daya - timur laut.

Ketiga, pada bagian utara Zona C, terdapat 3 seam yang tersebar di

permukaan. Seam tersebut adalah seam STA 113, seam STA 109 STA 127

dan seam STA 18 dengan ketebalan berturut-turut, yaitu 0,6 m, 0,7 m dan 0,4

m. Kemiringan seam tersebut dikontrol oleh lipatan sinklin yang berada

diantara seam tersebut. Seam STA 113 dan seam STA 109 STA 127 berada

pada sayap barat laut sinklin, sehingga kemiringan (down dip) seam tersebut

ke arah tenggara. Kemiringan seam STA 113 sangat terjal, yaitu 78,

sedangkan seam STA 109 STA 127 kemiringan relatif landai, yaitu di

bawah 20. Keberadaan seam STA 18 terletak di sayap tenggara sinklin.

Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut, yaitu 9.


197

d. Kondisi seam batubara pada Zona D

Persebaran seam batubara pada Zona D tersebar di bagian ujung timur

laut Blok Beruaq. Seam tersebut dikontrol oleh struktur homoklin yang

merupakan sayap lipatan antiklin yang berada di luar Blok Beruaq bagian

timur laut. Terdapat 8 seam yang tersebar di Zona D ini, yaitu seam 1 (STA

80), seam 2 (STA 80), seam 3 (STA 80), seam STA 81, seam 1 (STA 82),

seam 2 (STA 82), seam 3 (STA 82) dan seam 4 (STA 82) dengan ketebalan

seam tersebut berturut-turut 0,5 m, 0,5 m, 0,15 m, 0,8 m, 0,1 m, 0,9 m, 1,6 m

dan 0,4 m. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat daya, dengan

kemiringan yang relatif miring hingga terjal, yaitu 25 hingga 57. Pola

persebaran seam di permukaan relatif teratur, yaitu memanjang dengan

orientasi barat laut tenggara.


198

Gambar. 5.13. Peta zona rencana pengeboran (eksplorasi pendahuluan) di Sub-blok A Blok Beruaq.
199

Gambar. 5.14. Peta persebaran seam batubara di permukaan (coal cropline) Blok Beruaq.
200

V.3.2.3. Perencanaan kegiatan pengeboran di Sub-blok A

Kegiatan pengeboran harus dilakukan dengan perencanaan yang cukup

matang. Pada tahap awal perencanaan, hal terpenting yang direncanakan adalah

lokasi pengeboran. Berdasarkan kondisi persebaran seam batubara di permukaan,

maka dapat direncanakan lokasi pengeboran yang akan dilakukan di Sub-blok A,

yaitu di Zona A, Zona B, Zona C dan Zona D. Kemudian hal yang perlu direncanakan

adalah jarak spasi antar titik bor. Jarak spasi antar titik bor pada tahap eksplorasi

pendahuluan, yaitu 1 kilometer. Namun, kondisi keterdapan seam batubara yang

sangat rapat dan melimpah, maka perlu dilakukan pengeboran dengan jarak spasi

antar titik bor yang lebih rapat, yaitu antara 250 500 meter. Perencanaan

selanjutnya adalah pola titik bor. Pola titik bor yang akan dilakukan adalah fence line

drilling. Pola tersebut berdasarkan dari orientasi persebaran seam batubara di

permukaan. Pola fence line drilling dibuat tegak lurus terhadap jurus seam batubara

(orientasi persebaran seam batubara). Berikut penjelasan mengenai perencanaan

kegiatan pengeboran pada zonazona yang telah dibagi-bagi tersebut:

a. Rencana pengeboran Zona A

Rencana kegiatan pengeboran di Zona A dilakukan pada bagian ujung

barat laut Blok Beruaq. Target pengeboran dilakukan pada 3 seam batubara,

yaitu seam 1 (STA 78), seam 2 (STA 78) dan seam STA 79. Pengeboran di

Zona A dilakukan untuk membuktikan kemenerusan dan persebaran seam

tersebut di permukaan maupun bawah permukaan, serta mencari keberadaan


201

seam lainnya yang berada di sekitar seam tersebut. Kemiringan seam target

pengeboran relatif terjal, yaitu 67 dan 74, sehingga perencanaan titik bor

yang direncanakan harus rapat pada kemiringan seam (down dip). Jarak spasi

antar titik bor 250 m orientasi barat laut tenggara (down dip) seam batubara

dan jarak 500 m orientasi barat daya timur laut (strike) seam batubara.

Gambar 5.15. Peta perencanaan pengeboran di Zona A.

Gambar 5.. Peta perencanaan pengeboran di Zona A.


Perencanaan pengeboran yang dilakukan di Zona A berjumlah 8 titik

bor. Jumlah tersebut disesuaikan area pelamparan seam yang menjadi target

pengeboran dan juga area di sekitar target seam yang memungkinkan terdapat
202

seam batubara, yaitu di antara ketiga seam tersebut dan juga di bagian

belakang ditemukannya seam. Pola pengeboran yang digunakan adalah pola

fence line drilling, yaitu titiktitik bor memanjang dengan orientasi barat laut

tenggara (Gambar 5.15).

b. Rencana pengeboran Zona B

Rencana kegiatan pengeboran di Zona B dilakukan pada bagian ujung

barat daya Blok Beruaq. Target pengeboran dilakukan pada 2 seam batubara,

yaitu seam STA 125 dan seam STA 119. Pengeboran di Zona A dilakukan

untuk membuktikan kemenerusan dan persebaran seam tersebut di permukaan

maupun bawah permukaan, serta mencari keberadaan seam lainnya yang

berada di sekitar seam tersebut. Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu

18 dan 20. Jarak spasi antar titik bor 250 m orientasi barat laut tenggara

(down dip) seam batubara. Hal tersebut dikarenakan jarak antar kedua seam

relatif jauh (down dip), sehingga perlu penyelidikan yang rinci pada area di

antara kedua seam. Jarak titik bor 500 m pada orientasi barat daya timur laut

(strike) seam batubara dengan bertujuan untuk menyelidiki pelamparan

(strike) seam. Hal tersebut dikarenakan di permukaan tidak ditemukan seam

yang dapat dikorelasi di sekitar ditemukan seam tersebut. Perencanaan

pengeboran yang dilakukan di Zona B berjumlah 13 titik bor. Jumlah tersebut

disesuaikan area pelamparan seam yang menjadi target pengeboran dan juga

area di sekitar target seam yang memungkinkan terdapat seam batubara, yaitu
203

di antara kedua seam tersebut dan juga di bagian belakang ditemukannya

seam. Pola pengeboran yang digunakan adalah pola fence line drilling, yaitu

titiktitik bor memanjang dengan orientasi barat laut tenggara (Gambar

5.16).

Gambar 5.16. Peta perencanaan pengeboran di Zona B.

c. Rencana pengeboran Zona C

Rencana kegiatan pengeboran di Zona C dilakukan pada bagian tengah

Blok Beruaq. Target pengeboran yang dilakukan pada Zona A dibagi menjadi

3 area, yaitu area barat daya Zona C, area tenggara Zona C dan area utara
204

Zona C. Berikut penjelasan mengenai perencanaan pengeboran di ketiga area

tersebut:

Gambar 5.17. Peta perencanaan pengeboran di Zona C.


205

- Area barat daya Zona C

Rencana kegiatan pengeboran di area barat daya Zona C

dilakukan berdasarkan keberadaan 4 seam batubara, yaitu seam STA

90, seam STA 89/1, seam STA 89/2 dan seam STA 87. Kemiringan

seam tersebut relatif landai, yaitu 18 dan 16, tetapi kemiringan seam

STA 90 relatif miring, yaitu 37. Pola persebaran seam (strike)

berorientasi barat daya timur laut.

- Area tenggara Zona C

Rencana kegiatan pengeboran di area tenggara Zona C

dilakukan berdasarkan keberadaan 6 seam batubara yang tersebar di

permukaan, yaitu seam 1 (STA 50), seam 2 (STA 50), seam 1 (STA

108), seam 2 (STA 108), seam STA 47/2 dan seam STA 86.

Kemiringan seam tersebut relatif landai, yaitu di bawah 25.

Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut. Pola

persebaran seam di permukaan berorientasi barat daya - timur laut.

- Area utara Zona C

Rencana kegiatan pengeboran di area utara Zona C dilakukan

berdasarkan keberadaan 3 seam yang tersebar di permukaan. Seam

tersebut adalah seam STA 113, seam STA 109 STA 127 dan seam

STA 18. Kemiringan seam STA 113 sangat terjal, yaitu 78,

sedangkan seam STA 109 STA 127 kemiringan relatif landai, yaitu
206

di bawah 20. Keberadaan seam STA 18 terletak di sayap tenggara

sinklin. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah barat laut, yaitu

9. Pola persebaran seam di permukaan berorientasi barat daya - timur

laut.

Pengeboran di Zona C dilakukan untuk membuktikan kemenerusan

dan persebaran seam di permukaan maupun bawah permukaan, serta mencari

keberadaan seam lainnya yang berada di sekitar seam tersebut. Jarak spasi

antar titik bor 500 m. Perencanaan pengeboran yang dilakukan di Zona C

berjumlah 31 titik bor. Jumlah tersebut disesuaikan area pelamparan seam

yang menjadi target pengeboran dan juga area di sekitar target seam yang

memungkinkan terdapat seam batubara. Pola pengeboran yang digunakan

adalah pola fence line drilling, yaitu titik titik bor memanjang dengan

orientasi barat laut tenggara pada bagian utara dan tenggara Zona C,

sedangkan pada barat daya Zona C pengeboran dengan pola berorientasi barat

daya timur laut (Gambar 5.17).

d. Rencana pengeboran Zona D

Rencana kegiatan pengeboran di Zona D dilakukan pada bagian ujung

timur laut Blok Beruaq. Target pengeboran dilakukan pada 8 seam yang

tersebar di Zona D ini, yaitu seam 1 (STA 80), seam 2 (STA 80), seam 3

(STA 80), seam STA 81, seam 1 (STA 82), seam 2 (STA 82), seam 3 (STA

82) dan seam 4 (STA 82). Pengeboran di Zona D dilakukan untuk


207

membuktikan kemenerusan dan persebaran seam tersebut di permukaan

maupun bawah permukaan, serta mencari keberadaan seam lainnya yang

berada di sekitar seam tersebut. Kemiringan (down dip) seam tersebut ke arah

barat daya, dengan kemiringan yang relatif miring hingga terjal, yaitu 25

hingga 57.

Gambar 5.18. Peta perencanaan pengeboran di Zona D.

Rencana kegiatan pengeboran dilakukan dengan jarak spasi antar titik

bor 250 m. Hal tersebut dikarenakan kemiringan seam yang relatif tidak
208

landai, sehingga dibutuhkan spasi antar titik bor yang rapat. Perencanaan

pengeboran yang dilakukan di Zona D berjumlah 15 titik bor. Jumlah tersebut

disesuaikan area pelamparan seam yang menjadi target pengeboran dan juga

area di sekitar target seam yang memungkinkan terdapat seam batubara, yaitu

di antara kedua seam tersebut dan juga di bagian belakang ditemukannya

seam. Pola pengeboran yang digunakan adalah pola fence line drilling, yaitu

titik titik bor memanjang dengan orientasi barat daya timur laut (Gambar

5.18). Pola orientasi pengeboran berdasarkan pelamparan seam (strike),

sehingga pengeboran dilakukan memanjang tegak lurus terhadap arah strike

seam.
Gambar 5.19. Peta Rencana Titik Pengeboran Sub-blok B Area Beruaq.
209
210

V.4. Pemodelan Batubara Blok Beruaq

Pemodelan batubara yang dilakukan di Blok Beruaq merupakan tahap

eksplorasi rinci yang menjadi salah satu bagian penting dalam penelitian ini, yaitu

bertujuan untuk mendelineasi secara rinci keterdapatan batubara yang ada secara 3D,

sehingga ukuran, bentuk, sebaran, kemenerusan, kuantitas dan kualitas dari endapan

batubara tersebut dapat ditentukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi (Noppe,

1992). Pemodelan endapan batubara bertujuan untuk mengetahui pola penyebaran

lapisan batubara, baik geometri secara umum, letak/posisi lapisan, kedalaman,

kemiringan, serta penyebaran dari tanah penutup (Tambunan, 2009). Pemodelan

batubara di Sub-blok B dilakukan berdasarkan data pengeboran sebelumnya, dengan

tujuan untuk membuat model analog seam batubara.

Pemodelan batubara ini dilakukan dengan menggunakan software Minescape.

Dalam tahap pemodelan, dilakukan 2 tahap pemodelan utama, yaitu minescape core

dan stratmodel. Berikut penjelasan mengenai tahap minescape core dan stratmodel

pada pemodelan endapan batubara di Sub-blok B:

V.4.1. Minescape core

Tahap pemodelan minescape core merupakan tahap awal membuat project

dan memproses data topografi, rekapitulasi data titik koordinat lubang bor (data

survei). Di dalam pemrosesan data di Minescape core, dilakukan input data berupa

data titik koordinat lubang bor dan data topografi. Pada tahap ini akan memunculkan

persebaran titik bor dan kenampakan kontur 3D (Gambar 5.20). Intinya dalam
211

minescape core yaitu pembuatan pembuatan project, posting titik lubang bor,

topografi dan kontur.

Gambar 5.20. Pemodelan tahap minescape core menghasilkan model persebaran titik bor (A)
dan kontur Blok Beruaq (B).

a. Titik lubang bor

Pada Gambar 5.20A. dapat dilihat titik lubang bor di Sub-blok B sebanyak

385 titik lubang bor. Titik pengeboran menunjukkan bahwa pengeboran dilakukan

dengan pola fence line drilling. Orientasi titik lubang bor berarah barat daya timur
212

laut. Orientasi pengeboran tersebut tegak lurus terhadap jurus perlapisan batubara

yang tersebar di area tersebut.

b. Kontur

Pada Gambar 5.20B. dapat dilihat kenampakan kontur dari Blok Beruaq.

Kenampakan kontur disajikan dalam 3D. Berdasarkan pengolahan data topografi

tersebut, maka tampak bahwa Blok Beruaq berupa perbukitan yang relatif sedang

hingga curam, serta terdapat beberapa dataran. Titik tertinggi di Blok Beruaq berada

di bagian barat pada ketinggian 175 mdpl, sedangkan titik terendah tersebar di bagian

dataran di barat daya hingga bagian utara Blok Beruaq, pada ketinggian 15 mdpl.

V.4.2. Stratmodel

Stratmodel adalah salah satu aplikasi dari Minescape yang dirancang untuk

membuat dan mengolah model 2D dan 3D suatu endapan geologi yang berlapis

terutama batubara atau endapan-endapan geologi lainnya seperti posfat atau bauksit

(Azizy, 2011). Pada tahap ini dilakukan pembuatan schema untuk memunculkan

model analog berupa penampang batubara (2D), kenampakan batubara pada bagian

teratas atau subcrop cropline (3D) dan kontur struktur seam batubara (3D).

a. Schema

Pembuatan penampang batubara (coal seam section) melalui pembuatan

schema pada stratmodel (Gambar 5.21A). Stratmodel menggunakan data lubang bor

sebagai dasar pembuatan model stratigrafi. Pada saat pembuatan model, data lubang

bor dimasukkan ke dalam sebuah form model yang telah ditentukan dalam schema.
213

Pembuatan schema sendiri memiliki beberapa tahap sebelum memasuki tahap

pemodelan. Hal yang paling penting dalam pembuatan schema, pembuatan Interval

dan surface dalam stratmodel termasuk sebagai bagian dari suatu istilah yang disebut

Unit. Elemental unit, berupa lapisan tunggal, spliting dari seam atau surface.

Compound unit, berupa interval yang analog dengan parent seam dari seam yang

split.

Gambar 5.21. Pemodelan tahap stratmodel dimulai dengan membuat schema (A) dan selanjutnya
dilanjutkan dengan pemodelan pembuatan penampang batubara (B).
214

Pembuatan schema pada pemodelan di Sub-blok B menggunakan

interpolation suface tipe FEM dengan radius 250 m, hal tersebut disesuaikan dengan

kondisi seam batubara dengan kemiringan yang relatif landai hingga sedang. Jarak

ekstrapolasi yang digunakan, yaitu 1000 m, hal ini berdasarkan keyakinan geologi

terhadap kemenerusan seam batubara di bawah permukaan. Berdasarkan data survei

dan data litologi, maka dimodelkan sebanyak 78 element unit dan 35 compound unit.

Hal tersebut berdasarkan data keterdapatan seam yang dimodelkan.

b. Penampang seam batubara

Pemodelan untuk penampang seam batubara (Gambar 5.21B) sangat penting

untuk melihat geometri batubara meliputi kemiringan, kemenerusan dan arah

persebaran. Pembuatan penampang sebisa mungkin searah kemiringan seam (down

dip), sehingga dapat dilihat secara jelas.

c. Subcrop cropline

Pembuatan subcrop cropline atau persebaran seam batubara (Gambar 5.22C)

di bagian teratas bertujuan untuk melihat persebaran seam yang ada di teratas.

Berdasarkan pemodelan ini didapatkan 55 seam batubara dengan orientasi sebaran

relatif barat laut tenggara. Kemenerusan seam di permukaan bervariasi, mulai dari

puluhan meter hingga beberapa kilometer. Kemenerusan seam sangat baik pada

bagian tengah, dimana seam relatif menerus beberapa kilometer.


215

d. Pembuatan kontur struktur

Pembuatan kontur struktur digunakan untuk melihat persebaran seam di

bawah permukaan. Kontur struktur dimodelkan berdasarkan persebaran seam

(subcrop cropline) dan topografi. Pada kenampakan Gambar 5.22D menunjukkan

bahwa persebaran seam (beraneka ragam warna) ke bawah permukaan dikontrol oleh

perbedaan kedalaman yang ditandai garis berwarna ungu.

Gambar 5.22. Tahap lanjutan stratmodel, yaitu pembuatan persebaran subcrop seam (C) dan
kontur struktur (D).
216

e. Perhitungan sumberdaya batubara

Pembuatan poligon untuk perhitungan sumberdaya batubara di Sub-blok B

Area Blok Beruaq dilakukan terhadap 5 seam batubara yang cukup tebal saja.

Perhitungan dibatasi oleh topografi pada bagian teratas seam dan dibatasi oleh jarak

pengaruh perhitungan sesuai kategori sumberdaya. Perhitungan sumberdaya

dilakukan 3 kategori sumberdaya, yaitu sumberdaya tereka (inferred) dengan jarak

1000 m, sumberdaya tertunjuk (indicated) dengan jarak 500 m dan sumberdaya

terukur (measured) dengan jarak 250 m (Gambar 5.23).

Gambar 5.23. Perhitungan sumberdaya batubara menggunakan minescape.

Perhitungan sumberdaya batubara yang dilakukan menggunakan minescape

hanya pada 5 seam yang relatif cukup tebal, yaitu seam S15, S24, S28, S31 dan S33

(Tabel 5.2). 5 seam tersebut dianggap sangat prospek untuk ditambang mengingat
217

jumlah sumberdaya dan kualitas yang bernilai ekonomis. Hasil perhitungan

sumberdaya batubara terhadap 5 seam tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.10. Jumlah

sumberdaya ke-5 seam tersebut adalah kategori terukur atau measured sebanyak

6.389.985,97 ton, kategori tertunjuk atau indicated sebanyak 5.691.734,90 ton dan

kategori tereka atau inferred sebanyak 11.112.429,49 ton.

Tabel 5.2. Perhitungan sumberdaya 5 seam batubara menggunakan minescape.

Jumlah Kualitas
Kategori
Seam Sumberdaya Kadar Nilai Kalori Kadar air Berat Jenis Sulfur Total
Sumberdaya
(ton) Abu (AC) (CV) bawaan (IM) Relatif (RD) (TS)
Terukur
2.086.254,83 4,31 4.840 23,43 1,30 0,19
(Measured)
Tertunjuk
S15 1.782.926,33 4,59 4.834 23,15 1,30 0,19
(Indicated)
Tereka
3.964.207,71 4,92 4.805 23,11 1,30 0,19
(Inferred)
Terukur
697.691,79 3,16 4.958 24,30 1,30 0,21
(Measured)
Tertunjuk
S24 562.675,07 4,34 4.939 23,93 1,30 0,39
(Indicated)
Tereka
1.067.713,24 4,45 4.928 23,93 1,30 0,42
(Inferred)
Terukur
2.441.190,81 3,98 4.967 23,79 1,30 1,04
(Measured)
Tertunjuk
S28 2.409.124,85 4,08 4.979 23,64 1,30 1,10
(Indicated)
Tereka
5.356.945,61 4,14 5.020 23,17 1,30 1,16
(Inferred)
Terukur
1.133.793,28 3,90 5.057 22,64 1,30 1,05
(Measured)
Tertunjuk
S31 689.890,25 3,50 5.138 21,95 1,30 0,92
(Indicated)
Tereka
436.082,13 3,55 5.131 22,05 1,30 0,92
(Inferred)
Terukur
31.055,26 6,61 5.164 19,41 1,30 1,39
(Measured)
Tertunjuk
S33 247.118,40 6,80 5.153 19,37 1,30 1,46
(Indicated)
Tereka
287.480,80 6,80 5.153 19,37 1,30 1,46
(Inferred)
218

V.4.3. Persebaran seam di Sub-blok B berdasarkan pemodelan Minescape

Persebaran seluruh seam batubara yang ada di Sub-blok B sejumlah 55 seam

batubara. Seam tersebut hanya dihitung seam induknya saja, namun pada suatu seam

dapat mengalami splitting, sehingga terdapat banyak anak-anak seam lainnya. Model

persebaran seam Gambar 5.24 menunjukkan batubara yang tersebar di bagian timur

blok (Sub-blok B) memiliki potensi karena keterdapatan seam batubara relatif

melimpah.

Seam yang tersebar pada Sub-blok B memiliki ketebalan yang bervariasi, hal

ini dikontrol oleh lingkungan pengendapan batubara. Berdasarkan pembahasan

sebelumnya bahwa lokasi pemodelan di Sub-blok B tersebar seam batubara yang

terbentuk pada lingkungan lower delta plain dan transitional lower delta plain.

Secara umum, terdapat banyak seam dengan ketebalan > 1 meter. Kemenerusan seam

di permukaan bervariasi, mulai dari puluhan meter hingga beberapa kilometer.

Kemenerusan seam sangat baik pada bagian tengah, dimana seam rekatif menerus

beberapa kilometer.

Pola persebaran seam yang tampak pada model (Gambar 5.24) menunjukkan

orientasi memanjang tenggara barat laut. Persebaran seam dikontrol oleh struktur

homoklin yang menunjukkan kemiringan relatif ke arah barat daya. Struktur geologi

tersebut terbentuk akibat gaya kompresional berarah tenggara barat daya. Gaya

tersebut menyebabkan persebaran batubara yang terdapat di bagian timur Blok

Beruaq menjadi melengkung dan meliuk-liuk.


Gambar 5.24. Persebaran seluruh seam batubara hasil drilling di Sublok B.
219
220

V.4.4. Arah kemiringan seam batubara berdasarkan pemodelan Minescape

Seam batubara menunjukkan arah kemiringan (down dip) ke arah barat daya

(Gambar 5.25). Arah kemiringan seam batubara dapat dilihat dengan jelas pada

penampang seam batubara (2D). Arah kemiringan tersebut dikontrol oleh struktur

geologi berupa homoklin di bagian timur blok. Berdasarkan Peta Geologi Regional

Samarinda oleh Supriatna dkk (1995), batubara tersebut merupakan bagian dari sayap

antiklin yang terletak di bagian luar blok, yaitu di timur laut Blok Beruaq. Sumbu

antiklin tersebut memiliki orientasi yang memanjang relatif tenggara barat laut,

sehingga sayap antiklin di bagian barat daya memiliki persebaran lapisan dengan arah

kemiringan ke arah barat daya.

Pada Gambar 5.25, kemiringan seam batubara relatif landai hingga sedang,

yaitu 6 - 30. Kemiringan tersebut menjadikan suatu hal yang positif untuk kegiatan

pertambangan nanti. Semakin landai kemiringan seam yang ada, maka akan bernilai

ekonomis kegiatan pertambangan yang dilakukan. Kemenerusan seam ke bawah

permukaan menurut keyakinan geologi mencapai hingga ratusan meter. Hal ini

didasari oleh interpretasi dari lingkungan pengendapan batubara. Karakteristik

batubara di lingkungan lower delta plain dan transitional lower delta plain

menunjukkan persebaran seam yang relatif luas. Kedua hal tersebut menjadi

informasi yang sangat penting untuk melanjutkan kegiatan eksplorasi ini dengan

kegiatan peninjauan area yang prospek. .


Gambar 5.25. Penampang seam batubara Sub-blok B berdasarkan pemodelan Minescape.
221
222

V.5. Penentuan Batas Area Prospek (Eksplorasi Rinci) di Sub-blok B

Penentuan batas area prospek (boundary prospect area), yaitu area yang

memiliki prospek untuk ditambang menurut keyakinan geologi yang paling tinggi,

yaitu dibantu dengan pemodelan endapan batubara menggunakan Minescape.

Kegiatan pemberian batas area prospek terhadap seam batubara yang ada merupakan

langkah kerja di dalam kegiatan eksplorasi rinci. Hal ini dikarenakan adanya

pemodelan endapan batubara secara 2D dan 3D, sehingga keyakinan geologi terhadap

keterdapatan endapan batubara tersebut semakin tinggi.

Dalam penentuan batas area prospek ini, akan ditampilkan beberapa model

analog untuk membantu menilai area prospek. Model analog untuk penentuan batas

area prospek diolah dari data hasil pengeboran, yaitu data litologi dan kualitas. Data

tersebut diolah menggunakan software Minescape untuk menampilkan persebaran

seam batubara dan penampang seam batubara. Persebaran seam batubara akan

berguna untuk melihat geometri seam batubara meliputi pola persebaran seam di

permukaan maupun seam teratas dekat permukaan (subcrop). Persebaran seam

tersebut juga dapat dikaitkan dengan kualitas batubara dan peringkat batubara.

Penampang seam batubara akan sangat berguna untuk melihat geometri seam

batubara meliputi kemiringan, ketebalan, kemenerusan dan bentuk seam batubara.

Pemodelan endapan batubara untuk penentuan batas area prospek memiliki

beberapa batas persyaratan, yaitu ketebalan seam 1 m, kualitas batubara > lignit,

kemenerusan seam batubara jelas dan pola kedudukan perlapisan seam batubara
223

teratur (berdasarkan ketersediaan data seam batubara yang relatif menudukung

pemodelan, yaitu minimal 3 data setiap seam). Berdasarkan persyaratan tersebut,

maka diperoleh dari hasil pemodelan sebanyak 17 induk seam. Seam tersebut adalah

seam S15, S16, S17, S9, S23, S24, S25, S28, S31, S33, S36, S39, S40, S42, S43 dan

S45.

V.5.1. Parameter penilaian dalam penentuan batas area prospek

Pemberian batas area prospek terhadap suatu seam yang ekonomis

berdasarkan beberapa parameter, yaitu geometri, kualitas, sumberdaya dan stripping

ratio (SR). Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemberian batas suatu area

terhadap keterdapatan beberapa seam batubara secara umum. Pemberian batas area

prospek ini dilakukan dengan cara penilaian kualitatif terhadap beberapa parameter,

yaitu kondisi geometri seam batubara dan kualitas seam batubara. Berikut penjelasan

mengenai penilaian terhadap parameter-parameter yang digunakan untuk penentuan

batas area prospek:

a. Kondisi geometri seam batubara dinilai dari persebaran seam di permukaan

Penilaian terhadap kondisi persebaran seam batubara di permukaan dilakukan

dengan menggunakan beberapa aspek, yaitu jumlah seam, pola sebaran seam, arah

sebaran seam, kemenerusan seam searah jurus dan kerapatan antar seam (Gambar

5.26). Berikut penjelasan mengenai kondisi geometri tersebut:


224

Gambar 5.26. Penilaian terhadap kondisi geometri seam batubara di Sub-blok B.

- Jumlah seam

Berdasarkan model analog, yaitu peta persebaran seam prospek Sub-

blok B menunjukkan bahwa persebaran 17 seam batubara tersebut terletak di

bagian timur area penelitian (Sub-blok B). Keterdapatan 17 seam ini dinilai

sudah cukup prospek untuk ditambang, hal ini dikarenakan seam tersebut

hanya jumlah seam induk saja. Namun, bentuk seam tersebut juga mengalami

splitting, sehingga banyak anakanak seam lainnya. 17 seam tersebut

merupakan seam pilihan sesuai dengan persyaratan pemodelan di awal, yaitu

seam dengan ketebalan 1 m. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih

banyak seam lain di antara 17 seam ini yang dapat ditambang bersamaan.
225

- Pola sebaran seam

Orientasi persebaran seam tersebut dengan arah memanjang barat laut

tenggara dan relatif teratur. Pola persebaran seam yang relatif teratur dan

dengan orientasi yang relatif sejajar sangat menguntungkan pada saat proses

penambangan. Hal tersebut dikarenakan jika pada saat area tersebut

ditambang, maka dapat didesign pit dengan sederhana.

- Kemenerusan seam searah jurus

Kemenerusan seam searah jurus seam batubara relatif luas, yaitu

ratusan meter hingga beberapa kilometer. Kemenerusan seam searah jurus

relatif luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa seam tersebut sangat bernilai

ekonomis dengan area penambangan seam yang luas. Persebaran seam yang

luas di permukaan lebih menguntungkan daripada kemenerusan seam searah

dipping seam batubara.

- Kerapatan antar seam

Jarak persebaran antar seam relatif rapat. Persebaran antar seam relatif

rapat. Hal ini sangat menguntungkan, yaitu dikarenakan dalam proses

penambangan dapat dipermudah dengan persebaran seam yang menumpuk

dan rapat. Jadi dengan pembukaan pit yang sedikit dapat menambang banyak

seam batubara atau dengan 1 seam basalt dapat menambang beberapa seam

lainnya secara bersamaan.


226

b. Kualitas seam batubara area prospek Sub-blok B

Penilaian kualitas persebaran seam di Sub-blok B khususnya 17 seam tersebut

menggunakan data kualitas sekunder. Hal ini dikarenakan secara keselurusahan 17

seam tersebut merupakan bagian dari satuan batupasir kuarsa sisipan batulanau.

Berdasarkan pembahasan pada sub-bab kualitas dan peringkat batubara, maka

batubara di area prospek ini tergolong batubara muda, yaitu lignit hingga

subbituminus. Kualitas batubara area ini dijelaskan secara kualitatif dengan

menggunakan parameter kadar air (moisture content), kandungan abu (ash content),

zat terbang (volatile matter), karbon tertambat (fixed carbon), kadar sulfur total (total

sulphur) dan nilai kalori (calorific value). Berikut penjelasan mengenai kualitas

batubara di area prospek:

- Kadar air (moisture content): Batubara pada area ini mengandung kadar air

(moisture content) yang relatif tinggi berkisar antara 26,13 % wt hingga

33,63 % wt dengan nilai rata-rata 29,09 % wt.

- Kandungan abu (ash content): Kandungan abu batubara area ini relatif

rendah hingga sedang berkisar antara 2,5% wt hingga 7,4% wt dengan rata-

rata 4.7% wt.

- Zat terbang (volatile matter): Zat terbang batubara di area ini relatif tinggi

berkisar antara 34,7 % wt hingga 37,3 % wt dengan rata-rata 36,1 % wt.


227

- Karbon tertambat (fixed carbon): Jumlah karbon yang tertambat batubara

pada area ini relatif sangat rendah, berkisar antara 33,70 % wt hingga 38,70

% wt.

- Kadar sulfur total (total sulphur): Kadar sulfur total batubara pada area ini

relatif bervariasi, dari yang terendah 0,14 % wt hingga tertinggi 1,71 % wt,

namun rata - rata menunjukkan nilai kadar sulfur yang relatif sedang, yaitu

0,66 % wt

- Nilai kalori (calorific value): Nilai kalori batubara pada area ini relatif

rendah, yaitu dengan nilai minimum 4.573 kcal/kg dan nilai maksimum

5.092 kcal/kg dengan rata-rata 4.899 kcal/kg.

Kualitas batubara muda (lignit hingga subbituminus) di area ini memiliki nilai

kalori berkisar antara 4.573 kcal/kg hingga 5.092 kcal/kg dipengaruhi oleh nilai

kandungan air yang tinggi, namun dengan kandungan abu yang tidak begitu tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa batubara di area ini sudah tergolong prospek.

V.5.2. Strategi penetuan batas area prospek Sub-blok B

Strategi penentuan batas area prospek (boundary prospect area) terhadap

seam yang ekonomis menggunakan metode incremental pit expansion and cash flow

(Sasongko, 2009). Penentuan batas area melalui penentuan batas pit yang ekonomis

untuk ditambang. Penerapan metode incremental pit expansion juga menggunakan

metode trial and error pada beberapa simulasi batas tambang, sehingga pada simulasi

tertentu akan didapatkan batas tambang terbaik, Parameter yang digunakan dalam
228

metode cash flow untuk menghitung nilai BESR sebagai nilai batas penetapan

stripping ratio (SR) yang layak untuk ditambang dengan menggunakan beberapa

data, yaitu harga jual batubara (s) 53 $/ton, biaya penampangan batubara (c) 9,26

$/ton, biaya pemindahan overburden (w) 2,41 $/bcm dan iuran produksi (x) 0,169.

Hasil perhitungan BESR yang didapatkan adalah 14 : 1. Nilai perbandingan

14 : 1 merupakan rasio perbandingan antara overburden dan batubara yang layak

untuk ditambang, namun tidak memberikan keuntungan, sehingga ratio pada

perhitungan untuk penentuan batas area pit prospek harus dengan perbandingan yang

lebih besar. Pada Tabel 4.10 menunjukkan bahwa dari setiap pit yang telah

ditentukan, dengan menerapkan metode incremental pit expansion and cash flow.

Metode tersebut juga menggunakan data kondisi geometri seam batubara dan kualitas

seam batubara, maka didapatkan beberapa pit limit sebagai batas area prospek dengan

rasio perbandingan antara overburden dan batubara di bawah 14 : 1, sehingga pit

tersebut layak untuk ditambang.

Berikut adalah Penampang Subcrop Seam Batubara Sub-blok B (Pit Limit

Area Prospek) (Gambar 5.27) yang menjadi dasar penentuan batas area prospek di

Sub-blok B. Penentuan Pit Limit tersebut didasari oleh pertimbangan nilai BESR

14 : 1 dan juga kondisi geometri subcrop seam batubara yang ada.


229
230

- Penampang A A

Berdasarkan metode ekspansi pit, maka pada Penampang A A dapat

dibatasi menjadi 2 pit limit yang prospek, yaitu Pit Limit A1 dan Pit Limit

A2. Berdasarkan penentuan pit limit tersebut, maka didapatkan Pit Limit A1

dengan rasio 7 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 6.779,5 m

dan overburden 49.855 m. Pit limit A2 dengan rasio 8 : 1 akan menghasilkan

jumlah batubara sebanyak 2.744 m dan overburden 20.908 m. Target seam

yang akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel

5.3):
Tabel 5.3. Target seam pada Pit Limit A1 dan Pit Limit A2.

Pit Limit A1 Pit Limit A2


Seam Tebal (m) Kemiringan () Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S15 6,1 10 S33 6 14
S17 2,35 10 S36 3,1 30
S24 3,5 13
S31 4,1 16

- Penampang B B

Pada Penampang B B, berdasarkan kondisi geometri seam batubara

mengalami perubahan kemiringan yang semakin curam, maka ditentukan 3 pit

limit yang efesien untuk menjadi batas tambang, yaitu Pit Limit B1, Pit Limit

B2 dan Pit Limit B3. Pit Limit B1 dengan rasio 6 : 1 akan menghasilkan

jumlah batubara sebanyak 4.313,5 m dan overburden 23.905 m. Pit limit B2

dengan rasio 7 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 7.587,5 m


231

dan overburden 55.455 m. Pit limit B3 dengan rasio 11 : 1 akan

menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.331,25 m dan overburden 14.590

m. Target seam yang akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut

adalah (Tabel 5.4):

Tabel 5.4. Target seam pada Pit Limit B1, Pit Limit B2 dan Pit Limit B3.

Pit Limit B1 Pit Limit B2


Seam Tebal (m) Kemiringan () Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S15 7,7 20 S22 2,2 30
S19 7,3 30 S24 1,5 28
S25 1,3 28
Pit Limit B3 S28 2,3 30
Seam Tebal (m) Kemiringan () S31 12 25
S39 4,35 16 S33 1 25
S43 1,8 21 S36 4,6 15

- Penampang C C

Pada Penampang C C kerapatan antar seam batubara yang ada

mengalami perenggangan, sehingga perlu dibatasi menjadi 3 batas pit, yaitu

Pit Limit C1, Pit Limit C2 dan Pit Limit C3. Pit Limit C1 dengan rasio 11 : 1

akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 2.840,25 m dan overburden

30.085 m. Pit limit C2 dengan rasio 3 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara

sebanyak 5.089,1 m dan overburden 16.875 m. Pit limit C3 dengan rasio

12 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 3.029,75 m dan

overburden 36.012 m. Target seam yang akan ditambang pada masing-

masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.5):


232

Tabel 5.5. Target seam pada Pit Limit C1, Pit Limit C2 dan Pit Limit C3.
Pit Limit C1 Pit Limit C3
Seam Tebal (m) Kemiringan () Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S15 7,05 16 S36 1,9 25
S19 6,2 31 S39 4 18
S40 3,7 20
Pit Limit C2 S42 2,35 20
Seam Tebal (m) Kemiringan () S43 2,35 20
S24 2,8 28
S25 1,4 15
S28 1,3 18
S31 7,9 16

- Penampang D D

Pada Penampang D - D kondisi geometri seam batubara semakin

merenggang dibandingkan seam pada Penampang C C, sehingga dapat

dibagi menjadi 4 batas pit yang efesien untuk ditambang, yaitu Pit Limit D1,

Pit Limit D2, Pit Limit D3 dan Pit Limit D4. Pit Limit D1 dengan rasio 11 : 1

akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 7.291,6 m dan overburden

81.713 m. Pit limit D2 dengan rasio 9 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara

sebanyak 3.411,5 m dan overburden 30.609 m. Pit limit D3 dengan rasio

10 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.271 m dan overburden

12.055 m. Pit limit D4 dengan rasio 8 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara

sebanyak 1225,75 m dan overburden 10.328 m. Target seam yang akan

ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.6):


233

Tabel 5.6. Target seam pada Pit Limit D1, Pit Limit D2, Pit Limit D3 dan Pit Limit D4.

Pit Limit D1 Pit Limit D3


Kemiringan
Seam Tebal (m) Seam Tebal (m) Kemiringan ()
()
S15 3,4 9 S39 4,1 20
S16 1 11 S40 1,7 20
S17 1 11 S39 2,9 14
S19 4,7 15 S40 1,42 15
S22 1,4 14 S42 2,7 13
S23 1,6 15 S43 1,3 16
S24 1,9 20 S45 3,5 15
S31 5,45 12
Pit Limit D4
Pit Limit D2 Seam Tebal (m) Kemiringan ()
Kemiringan
Seam Tebal (m) S42 2,85 15
()
S33 3,4 16 S43 0,6 17
S36 4,9 14 S45 3,35 14

- Penampang E E

Pada Penampang E - E kondisi geometri seam batubara dengan

kerapatan antar seam relatif rapat dan kemenerusan seam searah dip relatif

jauh, sehingga dapat dibagi menjadi 2 batas pit yang propek untuk ditambang,

yaitu Pit Limit E1 dan Pit Limit E2. Pit Limit E1 dengan rasio 6 : 1 akan

menghasilkan jumlah batubara sebanyak 19.681,2 m dan overburden

123.363,7 m. Pit limit E2 dengan rasio 9 : 1 akan menghasilkan jumlah

batubara sebanyak 6.695 m dan overburden 61.384,92 m. Target seam yang

akan ditambang pada masing-masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.7):
234

Tabel 5.7. Target seam pada Pit Limit E1 dan Pit Limit E2.

Pit Limit E1 Pit Limit E2


Seam Tebal (m) Kemiringan () Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S15 3 11 S36 2,4 9
S16 1 14 S39 2,9 14
S17 1,4 16 S40 1,42 15
S19 3,6 14 S42 2,7 13
S22 0,9 10 S43 1,3 16
S23 0,5 10 S45 3,5 15
S24 1 9
S25 0,9 10
S28 7,1 10
S31 6,4 10
S33 3,6 11

- Penampang F F

Pada Penampang F - F kondisi geometri seam batubara mulai

merenggang kembali, dengan kemiringan seam yang relatif landai, sehingga

dapat dibagi menjadi 5 batas pit yang efesien untuk ditambang, yaitu Pit Limit

F1, Pit Limit F2, Pit Limit F3, Pit Limit F4 dan Pit Limit F5. Pit Limit F1

dengan rasio 8 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 3.792,9 m

dan overburden 31.945 m. Pit limit F2 dengan rasio 4 : 1 akan menghasilkan

jumlah batubara sebanyak 4.795,2 m dan overburden 18.544 m. Pit limit F3

dengan rasio 4 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 10.689,5 m

dan overburden 39.374 m. Pit limit F4 dengan rasio 7 : 1 akan menghasilkan

jumlah batubara sebanyak 2.348,4 m dan overburden 17.056 m. Pit limit F5

dengan rasio 13 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.858 m


235

dan overburden 23.170 m. Target seam yang akan ditambang pada masing-

masing pit limit tersebut adalah (Tabel 5.8):

Tabel 5.8. Target seam pada Pit Limit F1, Pit Limit F2, Pit Limit F3, Pit Limit F4 dan Pit
Limit F5.

Pit Limit F1 Pit Limit F3


Seam Tebal (m) Kemiringan () Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S15 3,5 6 S28 5,9 10
S17 1,7 7 S31 8,2 13
S19 3,2 10 S33 4,8 12

Pit Limit F2 Pit Limit F4


Seam Tebal (m) Kemiringan () Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S22 1,2 10 S36 1,6 6
S24 6,4 10 S39 2,9 6

Pit Limit F5
Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S42 2,4 11
S43 1,4 13

- Penampang G G

Pada Penampang G - G kondisi geometri seam batubara semakin

merenggang dan hanya terdapat beberapa seam saja, sehingga dapat dibagi

menjadi 2 batas pit yang efesien untuk ditambang, yaitu Pit Limit G1 dan Pit

Limit G2. Pit Limit G1 dengan rasio 3 : 1 akan menghasilkan jumlah batubara

sebanyak 7.331,8 m dan overburden 20.213 m. Pit limit G2 dengan rasio 8 :

1 akan menghasilkan jumlah batubara sebanyak 1.344 m dan overburden


236

11.200 m. Target seam yang akan ditambang pada masing-masing pit limit

tersebut adalah (Tabel 5.9):


Tabel 5.9. Target seam pada Pit Limit G1 dan Pit Limit G2.

Pit Limit G1 Pit Limit G2


Seam Tebal (m) Kemiringan () Seam Tebal (m) Kemiringan ()
S24 6,3 6 S39 2,8 5
S28 6,2 10
S31 7,3 10

Berdasarkan hasil penentuan pit limit di Sub-blok B, maka dapat dibuat batas

area prospek di Sub-blok B Area Beruaq (Gambar 5.28). Batas area prospek di Sub-

blok B dapat didukung kebenarannya oleh data hasil pemetaan geologi. Berdasarkan

hasil pemetaan geologi, korelasi seam batubara yang menunjukkan ketebalan yang

relatif tebal dan melimpah terletak di area kotak merah pada Gambar 5.29. Seam yang

berada dalam kotak merah tersebut tersebar di bagian Sub-blok B, yaitu pada area

yang relatif sama dengan area prospek hasil pemodelan Minescape.

Pada area prospek hasil pemetaan geologi tersebar 9 seam induk dengan

ketebalan dari 0,5 m hingga 2,5 m. Persebaran seam di area tersebut relatif tebal dan

melimpah dibandingkan dengan area lainnya yang ada di Blok Beruaq. Kemiringan

seam di area prospek tersebut juga relatif landai, yaitu berkisar antara 14 - 23.

Namun, terdapat seam dengan kemiringan yang relatif miring (37), tersebar di dekat

sumbu lipatan sinklin menunjam. Bentuk seam pada area prospek ini juga mengalami

splitting, penebalan dan penipisan seam.


237

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, batubara yang terdapat di area prospek

(Gambar 5.39) Blok Beruaq ini terbentuk pada lingkungan transitional lower delta

plain (Horne, dkk, 1978). Kondisi lingkungan tersebut menyebabkan terbentuknya

seam batubara dengan karakteristik ketebalan seam yang relatif tebal, penyebaran

seam relatif luas dan kandungan sulfur rendah (Horne, dkk, 1978). Hal tersebut

terbukti dengan data hasil penelitian yang dilakukan di Blok Beruaq ini.
Gambar 5.28. Peta Batas Area Prosspek Sub-blok B Area Beruaq.
238
239
230

Anda mungkin juga menyukai