Anda di halaman 1dari 16

PRE PLANING

KESEHATAN JIWA TERKAIT STIGMA DAN DISKRIMINASI PADA GANGGUAN


JIWA DI MASYARAKAT

DISUSUN OLEH:
Kelompok 1

PROFESI KEPERAWATAN KOMUNITAS, KELUARGA DAN CMHN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES HANG TUAH PEKANBARU
2017
PRE PLANNING
KESEHATAN JIWA TERKAIT STIGMA DAN DISKRIMINASI PADA GANGGUAN
JIWA DI MASYARAKAT

A. Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang


berarti Indonesia sedang dalam proses menjadi negara yang lebih sempurna baik dalam
pribadi warganya, pemikiran warganya, dan kemajuan ilmu pengetahuannya. Indonesia
sebagai negara berkembang juga memiliki beberapa agenda utama yang perlu
diselesaikan. Persoalan Indonesia sebagai negara berkembang ada dalam berbagai sektor
seperti sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lain sebagainya.

Persoalan sosial yang berhubungan dengan kesehatan di Indonesia adalah penderita


gangguan jiwa. Orang yang mengalami gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara
berkembang dan sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan mental tidak mendapatkan
perawatan (Kemenkes RI, 2012). Stigma dan diskriminasi terhadap penderita gangguan
jiwa masih terus terjadi. Hal ini terbukti dengan fenomena pemasungan bagi penderita
gangguan jiwa yang telah diberitakan diberbagai media dan beberapa kajian ilmiah.
Berbagai referensi tersebut menyatakan bahwa penderita gangguan jiwa memiliki stigma
dan mengalami diskriminasi. Amelia (2012) dalam skripsinya menuliskan bahwa
penderita skizofrenia sering mendapat stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari
masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis lainnya,
mereka sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya perlakuan kekerasan,
diasingkan, diisolasi atau dipasung. Salah satu media masa di Sumbawa menyatakan
bahwa fenomena yang memprihatinkan di Indonesia terhadap penderita skizofrenia atau
gangguan jiwa berat adalah pemasungan (Dikes Minta Penderita Gangguan Jiwa Tidak
Dipasung, 2016).

Menurut data WHO, pada tahun 2013 jumlah penderita skizofrenia mencapai 450
juta jiwa di seluruh dunia. Prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar
6,55%. Data dari 33 rumah sakit jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga
kini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang (Maslim, 2012).
Statistik pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa juga cukup memprihatinkan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam Riset Kesehatan Dasar 2013
memberikan informasi mengenai prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk
Indonesia 1,7 per mil serta 14,3 persen proporsi rumah tangga yang pernah memasung
anggota keluarganya (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Dinas Kesehatan Kabupaten
Sumbawa Barat juga menemukan setidaknya 9 dari 30 orang penderita skizofrenia
dipasung dan pihak terkait telah berusaha melawan pemasungan selama beberapa tahun
(Dikes Minta Penderita Gangguan Jiwa Tidak Dipasung, 2016).
Ada beberapa penyebab orang dengan gangguan jiwa memiliki stigma bahkan
memperoleh diskriminasi. Departemen Kesehatan Republik Indonesia menduga hal ini
akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai (Riset
Kesehatan Dasar, 2013). Faktor lain yang menjadi penyebab permasalahan ini yaitu
kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai gangguan jiwa serta
penanganannya. Amelia (2012) menguatkan asumsi tersebut dengan menuliskan bahwa
ketidaktahuan atau pengertian yang salah dari keluarga atau anggota masyarakat
mengenai skizofrenia menjadi penyebab penderita memperoleh stigma dan diskriminasi.
Masyarakat umumnya menganggap penderita bukan individu sakit yang memerlukan
pertolongan melainkan individu yang berbahaya bagi lingkungan.

Meskipun penderita gangguan jiwa belum bisa disembuhkan 100%, tetapi para
penderita gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan diperlakukan secara
manusiawi. UU RI No. 18 Tahun 2014 Bab I Pasal 3 Tentang Kesehatan Jiwa telah
menjelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa bertujuan menjamin setiap orang dapat
mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas
dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatatan jiwa
(Kemenkes, 2014). Kesadaran masyarakat mengenai gangguan jiwa dan penanganannya
perlu ditingkatkan agar permasalahan stigma dan diskriminasi tidak berlarut-larut.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam peringatan Hari Kesehatan Jiwa
Sedunia (HKJS) tahun 2015 menyebutkan bahwa masyarakat harus menyadari bahwa
orang dengan masalah kejiwaan berat sekali pun masih bisa produktif bila dirawat
dengan baik, terutama oleh keluarganya sendiri serta masyarakat yang masih
menganggap gangguan jiwa adalah masalah di luar kesehatan dan berkaitan dengan
supranatural perlu diluruskan (Perlakuan Bermartabat Bantu Pulihkan Gangguan
Kejiwaan 2015).

Permasalahan stigma dan diskriminasi yang disebabkan kurangnya kesadaran


masyarakat ini dapat juga diminimalisir dengan psikoedukasi. Psikoedukasi adalah suatu
bentuk intervensi psikologi, baik individual ataupun kelompok, yang bertujuan tidak
hanya membantu proses penyembuhan klien (rehabilitasi) tetapi juga sebagai suatu
bentuk pencegahan agar klien tidak mengalami masalah yang sama ketika harus
menghadapi penyakit atau gangguan yang sama, ataupun agar individu dapat
menyelsaikan tantangan yang mereka hadapi sebelum menjadi gangguan (Raudho,
2013). Pengertian psikoedukasi ini memberikan implikasi bahwa penerapan psikoedukasi
dapat ditujukan pada kelompok atau masyarakat sebagai media pencegahan atau
penjelasan mengenai gangguan jiwa dan penanganannya agar tidak lagi menimbulkan
permasalahan

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan 50 menit diharapkan masyarakat mampu memahami
Penyuluhan Tentang Konsep Sehat Jiwa, Gangguan Jiwa, Stigma-Stigma Masyarakat
Terkait Jiwa
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian sehat jiwa
b. Mengetahui ciri-ciri sehat jiwa
c. Mengetahui pengertian gangguan jiwa
d. Mengetahui pengertian Stigma masyarakat
e. Mengetahui Faktor Penyebab Stigma masyarakat
f. Mengetahui dampak Stigma masyarakat
g. Mengetahui Strategi untuk Mengubah Stigma masyarakat

C. Rencana Kegiatan
1. Topik : menjelaskan Penyuluhan Tentang Konsep Sehat Jiwa,
Gangguan Jiwa, Stigma-Stigma Masyarakat Terkait
Jiwa
2. Metode : Ceramah, demonstrasi
3. media dan alat` : In focus, lefleat, laptop
4. Waktu dan tempat : Tanggal 24 april 2017
Jam : 14:00 WIB
5. Tempat : masjid al-firdaus
6. Setting Tempat

1 2 3

4 5

Keterangan :
1. Fasilitator
2. Presentator
3. Moderator
4. Audience
5. Dokumentasi
6. Observer

7. Kegiatan
No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta
1. 10 menit Pembukaan :
- Mengucapkan salam - Menjawab salam
- Memperkenalkan diri dan dosen - Mendengarkan dan
pembimbing memperkenalkan diri
- Memvalidasi perasaan keluarga - Menjawab
- Menjelaskan tujuan - Mendengarkan
- Mengingatkan kontrak waktu - Memperhatikan
2. 30 menit Pelaksanaan :
- Melakukan pemeriksaan - Mendengarkan
tekanan darah
- Mengevaluasi pertemuan - Menjawab
sebelumnya
- Menjelaskan cara menciptakan - Mendengarkan
lingkungan yang sehat
- Memberi kesempatan keluarga - Bertanya
untuk bertanya
- Melakukan modifikasi - Mendemonstrasikan
lingkungan yang sehat
- Memberikan reinforcement
- Mendengarkan
positif
3. 10 menit Penutup :
- Menyimpulkan kegiatan - Mendengarkan
- Mengingatkan kontrak untuk - Menjawab
pertemuan selanjutnya
- Mengucapkan salam - Menjawab salam

D. Kriteria Hasil
1. Evaluasi Struktur
a. Mahasiswa menghadiri kegiatan
b. Tempat, media dan alat kegiatan tersedia sesuai rencana
2. Evaluasi Proses
a. Mahasiswa dan masyarakat berperan dan bekerja sesuai dengan rencana
b. Masyarakat hadir dan mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir kegiatan
c. Masyarakat berperan aktif dalam mengikuti kegiatan
3. Evaluasi Hasil
a. Masyarakat mampu memahami Penyuluhan Tentang Konsep Sehat Jiwa,
Gangguan Jiwa, Stigma-Stigma Masyarakat Terkait Jiwa

E. Ringkasan Materi
KESEHATAN JIWA TERKAID STIGMA DAN DISKRIMINASI
DIMASYARAKAT
1. Pengertian sehat jiwa
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan
hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain
Kesehatan jiwa adalah suatu kondiri yang memungkinkan perkembangan optimal bagi
individu secara fisik,intelektual dan emosional sepanjang hal itu tidak bertentangn
dengan kepentingan orang lain (WHO).
Sehat jiwa menurut Dirjen Keswa Depkes RI (1991) adalah kondisi yang
memungkinkan berkembangnya fisik,intelektual dan emosional seseorang secara oftimal
sehingga ia mampu tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungannya secara wajar dengan
harkat martabat manusia.
Kesehatan jiwa deselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara oftimal
baik intelektual maupun emosional (pasal 24,UU tentang kesehatan,1992).Upaya
peningkatan kesehatan jiwa dilakukan untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara
oftimal,baik intelektual maupun emosional melalui pendekatan peningkatan
kesehatan,pencegahan dan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan,agar
seseorang dapat tetap atau kembali hidup secara harmonis,baik dalam lingkungan
keluarga,lingkungan kerja dan atau dalam lingkungan masyarakat.
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahera yang memungkinkan hidup
harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia
2. Ciri-ciri sehat jiwa
a. Bersikap positif terhadap diri sendiri
b. Mampu tumbuh, berkembang dan mencapai aktualisasi diri.
c. Mampu mengatasi stress atau perubahan pada dirinya
d. Bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan yang diambil
e. Mempunyai persepsi yang realistis dan menghargai perasaan perasaan serta sikap
orang lain
f. Mampu menyuaikan diri dengan lingkungan
Ciri ciri individu yang sehat jiwa meliputi menyadari sepenuhnya kemampuan
dirinya, mampu menghadapi stress kehidupan yang wajar, mampu bekerja produktif
dan memenuhi kebutuhan hidupnya dapat berperan serta dalam lingkungan hidup,
menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya dan merasa nyaman bersama
orang lain.
3. Rentang sehat jiwa
4. Masalah psikososial
Masalah psikososial yaitu setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat
psikologis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik dan dianggap
berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa, atau
(gangguan kesehatan) secara nyata, atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang
berdampak pada lingkungan sosial.
Ciri-ciri masalah psikososial, yaitu :
a. Cemas, hawatir berlebihan, takut
b. Mudah tersinggung
c. Sulit berkonsentrasi
d. Bersifat ragu-ragu merasa rendah diri
e. Merasa kecewa
f. Pemarah dan agresif
g. Reaksi fisik seperti jantung berdebar,, otot tegang, sakit kepala

5. Pengertian gangguan jiwa


Menurut (Stuart & Sundeen, 1998) gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai
satu atau lebih fungsi jiwa. Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh
terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera).
Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan
keluarganya).
Gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi
emosi, pikiran atau tingkah laku mereka, diluar kepercayaan budaya dan kepribadian
mereka, dan menimbulkan efek yang negative bagi kehidupan mereka atau kehidupan
keluarga mereka. Dapat kita pahami bahwa gejala-gejala gangguan jiwa ialah hasil
interaksi yang kompleks antara unsur somatik, psikologik, dan sosiobudaya. Gejala-
gejala inilah sebenarnya menandakan dekompensasi proses adaptasi dan terdapat
terutama pada pemikiran, perasaan, dan perilaku (W.F. Maramis, 2005).
Ciri-ciri orang yang mengalami gangguan jiwa menurut Kanfer dan Goldstein ( dalam
Suliswati, 2005) adalah sebagai berikut: Pertama, hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan
perasaan tegang (tension) di dalam diri. Kedua, merasa tidak puas (dalam artian
negative) terhadap perilaku diri sendiri. Ketiga, perhatian yang berlebihan terhadap
problem yang dihadapinya. Keempat, ketidakmampuan untuk berfungsi secara efektif
didalam menghadapi problem. Penyebab Gangguan jiwa (psikopatologi) Proses
terjadinya gangguan jiwa dapat digambarkan dalam fenomena model stres adaptasi
sebagai berikut : (Stuart dan Sudeen, 1998)
a. Faktor-faktor penyebab gangguan jiwa
Faktor penyebab gangguan jiwa berdasarkan psikopatologi diatas dapat dibedakan
menjadi 3 menurut (Stuart dan Sudeen, 1998) yaitu :
1. Faktor psikologik ( psikogenik)
a) Interaksi ibu anak
b) Peranan ayah
c) Persaingan antara saudara kandung
d) Inteligensi
e) hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
f) kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa

salah
g) Konsep dini : pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak

menentu
h) Keterampilan, bakat dan kreativitas
i) Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
j) Tingkat perkembangan emosi
2. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)
a) Kestabilan keluarga
b) Pola mengasuh anak
c) Tingkat ekonomi
d) Perumahan : perkotaan lawan pedesaan
e) Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas

kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai


f) Pengaruh rasial dan keagamaan
g) Nilai-nilai
3. Faktor presipitasi (faktor pencetus)
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) faktor Presipitasi yang mempengaruhi

dalam kejiwaan seseorang yaitu ; Faktor stimulus dimana setiap individu


mempersepsikan dirinya melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan untuk

koping. Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi

dimana individu tidak mampu menyesuaikan.


Stres Lingkungan yaitu Ambang toleransi terhadap stress yang

berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya

gangguan perilaku.
Hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit,

perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, dan prosedur

tindakan dan pengobatan.


Sumber koping, sumber koping mempengaruhi respon individu dalam

menanggapi stressor.
b. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Secara umum tanda dan gejala yang mungkin muncul pada gangguan jiwa menurut J

Kozlak (dalam komarudin, 2009) meliputi : 1. Adanya perubahan kepribadian, 2.

Proses pikir kacau (merasa asing atau ide-ide kebesaran), 3. Serangan depresi yang

lama, apathi, ekstrem, 4. Asnsietas berlebihan, ketakutan, atau curiga, 5. Menarik diri

dari lingkungan, merasa tidak punya teman, orientasi diri abnormal, 6. Menolak

masalah, resistensi, 7. Berpikir atau membicarakan bunuh diri, 8. Merasa ada keluhan

fisik, perubahan pola makan dan tidur, 9. Marah atau permusuhan yang tidak

proporsional, 10. Delusi, halusinasi, 11. Penyalahgunaan obat, alkohol, 12.

Timbulnya ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan aktifitas sehari-hari.


c. Masalah dalam gangguan jiwa
a. Resiko bunuh diri
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. (Ade Herman, 2011)
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
(Nita Fitria, 2010)
b. Harga diri rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti, rendah diri,
yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri.
(keliat, 2011)
Harga diri rendah situasional merupakan perkembangan persepsi negatif
tentang harga diri sebagai respons seseorang terhadap situasi yang sedang
dialami.(Wilkinson, 2012).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan.(Herman, 2011)
Gangguan harga diri dapat dijabarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, yang menjadikan hilangnya rasa percaya diri seseorang karena merasa
tidak mampu dalam mencapai keinginan. (Fitria, 2009).
c. Halusinasi
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah.( Stuart,
2007)
Halusinasi merupakan gangguan akan perubahan persepsi sensori dimana
klien mempersiapkan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi . Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang mengalami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus atau persepsi palsu.( Maramis,
2005).
d. Waham
Waham adalah suatu kenyakinan yang dipertahankan secara kuat, terus
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006).
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham atau delusi
adalah kenyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain yang bertentangan dengan realita normal. (Stuart dan
Sudden, 2004)
e. Defisit perawatan diri
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
f. Isolasi sosial
Isolasi sosial adalah individu yang mengalami ketidakmampuan untuk
mengadakan hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya
secara wajar dalam khalayaknya sendiri yang tidak realistis. Isolasi sosial adalah
suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
mengatakan sikap negatif atau mengancam. (Dalami dkk, 2009).
Gangguan hubungan sosial merupakan suatu ganggguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial.
(Riyadi Sujono, 2009).
g. Perilaku kekerasan
Prilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
1993).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).

4. Stigma Gangguan Jiwa


a. Definisi Stigma Gangguan Jiwa
Seringkali penderita gangguan jiwa justru dihindari atau dikucilkan oleh
masyarakat. Istilah penghindaran pada dasarnya berbeda dengan stigma. Label
penghindaran mengacu pada keadaan dimana individu memilih tidak menggunakan
fasilitas kesehatan untuk menyelesaikan masalah kejiwaan yang dialami untuk
menghindari label negatif padanya (Corrigan, et al., 2011). Sedangkan stigma
didefinisikan sebagai penolakan lingkungan terhadap seseorang atau kelompok (Jones
& Corrigan, 2012).
Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai (judge) orang lain.
Bedasarkan penilaian tersebut, kategorisasi atau stereotip dilakukan tidak berdasarkan
fakta, tetapi pada apa yang masyarakat anggap sebagai tidak pantas, luar biasa,
memalukan, atau tidak dapat diterima. Stigmatisai terjadi pada semua aspek
kehidupan manusia. Seseorang dapat dikenai stigma karena penyakit yang diderita,
cacat fisik, pekerjaan dan status ekonomi, atau gangguan jiwa yang dialami.
Gangguan jiwa mengacu pada ketidakmampuan yang bersifat serius dalam
menyesuaikan diri dengan tuntutan atau kondisi lingkungan yang mengakibatkan
ketidakmampuan tertentu. Sumber dari gangguan jiwa ini dapat bersifat psikogenis
atau organis, mencakup kasus-kasus psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat
(Syaharia, 2008).
Gangguan jiwa yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk mendapatkan
stigma yaitu jenis gangguan yang menunjukkan abnormalitas atau penyimpangan
(deviasi) pada pola perilakunya. Stigma yang lebih memberatkan yaitu gangguan jiwa
yang mempengaruhi penampilan (performance) fisik seseoran daripada gangguan
jiwa yang tidak berpengaruh pada penampilan fisik seseorang (Syaharia, 2008).

b. Faktor Penyebab Stigma Gangguan Jiwa


Stigma sosial yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa muncul
karena beberapa penyebab. Selama ini, seseorang dengan masalah kesehatan jiwa
selalu diperlakukan berbeda, dikucilkan, bahkan diperlakukan dengan buruk.
Perlakuan ini mungkin berasal dari pemikiran masyarakat yang menganggap bahwa
penderita gangguan jiwa dapat bersikap kasar atau jahat atau tidak terduga
dibandingkan dengan seseorang yang sehat secara jiwa. Selain itu, kepercayaan
terhadap kekuatan jahat atau hal-hal yang gaib sebagai penyebab gangguan jiwa
merupakan salah satu alasan munculnya ketakutan dan diskriminasi pada penderita
gangguan jiwa (Davey, 2013).
Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadi atau munculnya stigma gangguan
jiwa antara lain sebagai berikut:
a. Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa yang disebabkan kurangnya
pemahaman tentang gangguan jiwa sehingga muncul anggapan bahwa gangguan
jiwa identik dengan istilah gila
b. Adanya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap hal-hal gaib sehingga ada
asumsi bahwa gangguan jiwa disebabkan hal-hal yang bersifat supranatural,
seperti makhluk halus, setan, roh jahat, atau akibat terkena pengaruh sihir.
c. Adanya kecenderungan keluarga memiliki rasa malu bila tetangganya tahu
anggota keluarganya menderita gangguan jiwa sehingga memilih untuk
mengurungya
d. Dampak Stigma dan diskriminasi Gangguan Jiwa
a. Dampak stigma gangguan jiwa
Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat berdampak
pada penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Menurut Corrigan dan Watson
(2002), dampak stigma dapat dibagi menjadi dua, yaitu dampak stigma publik dan
dampak stigma diri (self-stigma). Stigma publik dapat diartikan sebagai reaksi
masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa. Sedangkan self-stigma merupakan
penilaian penderita gangguan jiwa terhadap dirinya sendiri. Baik stigma public dan
self-stigma dapat digambarkan dalam tiga komponen, yaitu stereotip, anggapan
(prejudice), dan diskriminasi. Perbedaan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Stigma Publik
Stereotipe keyakinan negatife tentang kelompok (seperti
berbahaya, ketidakmampuan, kelemahan karakter)

Prejudice kesepakatan antara keyakinan dan/atau reaksi emosi


negatife (respon marah, ketakutan)

Diskrimin respon terhadap prejudice (menghindari, mengucilkan


penderita gangguan jiwa)
asi

Self-stigma

Stereotipe keyakinan negatife tentang diri sendiri (kelemahan


karakter, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu

Prejudice kesepakatan antara keyakinan dan/atau reaksi emosi


negatife (harga diri rendah)

Diskrimin respon terhadap prejudice (gagal dalam pekerjaan)


asi

Jika dilihat dari stigma yang dialami oleh penderita gangguan jiwa, maka
dampak yang muncul dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
penanganan pada klien dengan stigma bahwa orang yang menderita gangguan jiwa
karena kesurupan sedangkan stigma yang kedua adalah bahwa penderita gangguan
jiwa merupakan aib keluarga.

Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa
mereka mengalami penyakit yang berhubungan dengan kekuatan supranatural yaitu
mereka akan segera diberi pengobatan dengan memanggil dukun atau kyai yang dapat
mengusir roh jahat dari tubuh penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa memakan
waktu sebentar ataupun lama. Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan
jiwa yang terjadi pada penderita tersebut akan semakin berat tanpa pertolongan
dengan segera.

Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib
yaitu dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari masyarakat.
Mereka tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut ke
profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan tersebut
dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang
terlambat dapat memeperparah keadaan gangguan jiwanya.

Dengan adanya stigma di masyarakat, penderita gangguan jiwa lebih memilih


tidak memberitahukan kondisinya pada masyarakat, sehingga cenderung menarik diri
dan hal ini akan memperparah keadaannya. Disamping itu, terjadi pengucilan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa baik yang baru ataupun
yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini dapat berakibat pada gangguan yang lebih
parah yang dapat berdampak pada kekambuhan yang lebih cepat.

Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa


secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat di sekitar penderita
gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga
atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak jarang
mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku
kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat serta
lingkungan.

b. Dampak diskriminasi
penderita gangguan jiwa seringkali mendapat stigma dan diskrimansi yang lebih
besar dibanding dengan penyakit medis lainnya. Selain individu yang mengalami
gangguan yang diberi stigma, keluarga juga mendapatkan konsekuensi negatif berupa
penolakan, penyangkalan, dan disisihkan di lingkungannya (Priyanto dalam
Sulistyorini, 2013).

WHO mengungkapkan permasalahan ini telah menjadi masalah yang sangat


serius di seluruh dunia. WHO memberikan pernyataan bahwa paling tidak ada 1 dari 4
individu yang mengalami masalah mental dan diperkirakan ada sekitar 450 juta
individu yang mengalami gangguan kesehatan jiwa (Sulistyorini, 2013). Dari data
tersebut dipastikan ada banyak sekali orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ yang
mengalami stigma dan diskriminasi sehingga diperlukan penanganan serius lebih
lanjut untuk mengurangi stigma dan diskriminasi tersebut.

Diskriminasi yang umum diperoleh Orang dengan Gangguan Jiwa berupa


skizofrenia atau gangguan psikotik lain yaitu pemasungan. Metode pemasungan tidak
terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan kayu atau rantai pada
kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang membatasi gerak,
pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang menyertai salah satu
metode pemasungan (Riset Kesehatan Dasar, 2013).

Jenkins dan Karno (1992) dalam Ariananda (2015) lebih lanjut menjelaskan
bahwa skizofrenia seringkali dihubungkan dengan stigma bahwa gangguan bersifat
menetap dan tidak dapat disembuhkan. Stigma inilah yang akhirnya membuat Orang
denganGangguanJiwa dipasung agar tidak membuat masyarakat membuat stigma,
hal ini dihubungkan denngan keluarga yang merasa malu karena keluargan Orang
denganGangguanJiwa juga akan diberikan stigma yang buruk oleh masyarakat.
Meminimalisir bukanlah perkara yang mudah, sebab masyarakat umumnya banyak
yang masih tidak paham dengan konsep gangguan jiwa terutama skizofrenia. Oleh
karena itu, pengetahuan tentang OrangdenganGangguanJiwa menjadi sebuah hal
penting untuk mengurangi stigma dan diskriminasi pada Orang dengan Gangguan
Jiwa

DAFTAR PUSTAKA

Buckles, dkk. (2008). Beyond Stigma and Discrimination : Challenges for Social Work
Practice in Psychiatric Rehabilitation and Recovery, Journal of Social Work in
Disability & Rehabilitation, vol. 7, no. 3, hal. 232-283
Dadang Hawari. 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Gaya Baru.
Jakarta
Sibitz, dkk. (2009). Stigma Resistance in Patients with Schizophrenia. Schizophrenia
Bulletion, vol. 10, no. 1093, hal. 1-8

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN Basic. Jakarta:
EGC.

Makalah Keperawatanku, Community Mental Health Nursing. Post 14 Maret 2012. Diambil
pada tanggal 15 April 2013, dari alamat
http://makalahkeperawatanku.blogspot.com/2012/03/community-mental-health-
nursing.html

Dunia Remaja, Beberapa jenis gangguan jiwa yang banyak terjadi pada masa remaja. Post
23 Februari 2012. Diambil pada tanggal 15 April 2013, dari alamat
http://reni77.wordpress.com/2012/02/23/beberapa-jenis-gangguan-jiwa-yang-banyak-
terjadi-pada-masa-remaja/

Kesehatan komposiana, Gangguan Jiwa Pada Anak. Post 12 April 2013. Diambil pada
tanggal 15 April 2013, dari alamat
http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2013/04/12/gangguan-jiwa-pada-anak
545552.html?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khewp

Anda mungkin juga menyukai