Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
1.4 Batasan Perencanaan................................................................................................2
1.5 Manfaat Perencanaan...............................................................................................2
II LANDASAN TEORI.....................................................................................................3
2.1 Definisi Abrasi.........................................................................................................3
2.2 Definisi Dinding Pantai atau Revetment..................................................................3
2.2.1 Angin...............................................................................................................7
2.2.2 Arus.................................................................................................................8
2.2.3 Pasang surut....................................................................................................8
2.2.4 Gelombang...................................................................................................11
2.2.5 Fetch..............................................................................................................11
2.2.6 Peta Bathimetri..............................................................................................12
2.3 Perhitungan Struktur Revetment dengan Tumpukan Batu Pecah.......................12
2.3.1 Penentuan Elevasi Revetment.......................................................................12
2.3.2 Perhitungan Lapis Lindung...........................................................................14
III METODELOGI...........................................................................................................16
3.2 Data........................................................................................................................16
3.2.1 Data Primer...................................................................................................16
3.2.2 Data Sekunder...............................................................................................17
3.3 Metode Perencanaan..............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................20
DAFTAR NOTASI

U* = kecepatan gesek
Z0 = kekasaran permukaan
= menunjukkan efek stabilitas kolom udara pada kecepatan tertentu
RT = koreksi akibat adanya perbedaan antara temperatur udara dan air
RL = koreksi terhadap pencatatan angin yang dilakukan di darat
U10 = kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas tanah. (m/dt)
U = kecepatan angin (m/dt)
Feff = fetch efektif (m)
xi = proyeksi jarak radial pada arah angin
i = sudut antara jalur fetch yang ditinjau dengan arah angin

= probabilitas bahwa s tidak dilampaui


H = tinggi gelombang representatif

= tinggi gelombang dengan nilai tertentu


A = parameter skala
B = parameter lokasi
K = parameter bentuk
H sm = tinggi gelombang urutan ke m
m = nomor urut tinggi gelombang signifikan = 1, 2, ....., N
NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
H0 = tinggi gelombang di laut dalam (m)
HA = tinggi gelombang di A (m)
HB = tinggi gelombang di B (m)
HC = tinggi gelombang di C (m)
KR = koefisien refraksi
KS = koefisien shoaling
Hd = tinggi gelombang
db = kedalaman di lokasi bangunan/tempat gelombang pecah (m)
Hb = tinggi gelombang pecah (m)
ds = kedalaman air di ujung kaki bangunan (m)
m = kemiringan dasar pantai
= db/Hb

= 4,0 9,25 m
H = tinggi gelombang rencana (m)
T = periode gelombang (dt)
Lo = panjang gelombang (m)

= densitas (berat jenis) dari setiap unit armor [ton/m3 ]


g = percepatan gravitasi : 9.8 m/s2
KD = koefisian kerusakan, merupakan kombinasi tampilan bentuk dari
tiap unit, kekasaran bentuk, tingkat saling mengunci, kedalaman di
lokasi.

= berat jenis air laut : 1,025 ton/m3


= sudut kemiringan breakwater
Ir = bilangan Irribaren
m = jumlah armor unit pada bidang permukaan penampang
breakwater.
= koefisien porositas : 1,02 (batu alam halus) Dan 1.15 (batu alam

kasar).
W = berat dari armor unit (ton)
n = Porositas dari lapisan permukaan dalam desimal
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Distribusi Kecepatan Angin ...........................................................
Gambar 2.2 Koefisien Koreksi Kecepatan Angin .............................................
Gambar 2.3 Penentuan Panjang Fetch Efektif ..................................................
Gambar 2.4 Mawar Angin .................................................................................
Gambar 2.5 Pemecah Gelombang Tipe Sisi Miring .........................................
Gambar 2.6 Pemecah Gelombang Tipe Sisi Tegak ..........................................
Gambar 2.7 Pemecah Gelombang Tipe Sisi Campuran ...................................
Gambar 2.8 Pemecah Gelombang Tipe Sisi Miring Menggunakan Batu
Alam (Rubble Mound) ................................................................
Gambar 3.1 Peta Lokasi Perencanaan Pemecah Gelombang (Breakwater) di
Desa Sangsit Buleleng .................................................................
Gambar 3.2 Kondisi Lokasi Perencanaan Pemecah Gelombang
(Breakwater) di Pantai Sangsit ....................................................
Gambar 3.3 Flowchart ......................................................................................
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pedoman Pemilihan Jenis dan Periode Ulang Gelombang ................
Tabel 2.2 Koefisien untuk Menghitung Deviasi Standar ...................................
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Provinsi Bali terletak pada 83'40" - 850'48" Lintang Selatan dan 11425'53"
- 11542'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah
terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur. Luas total wilayah
Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km. Bali
khususnya Kabupaten Buleleng memiliki garis pantai yang cukup panjang dan
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar. Namun dewasa ini
keanekaragaman hayati laut di Kabupaten Buleleng mengalami beberapa
gangguan dan ancaman. Salah satu akibat dari gangguan dan ancaman di
lingkungan wilayah pesisir tersebut adalah terjadinya abrasi atau erosi pantai,
contohnya yang terjadi di Pantai Sangsit Kabupaten Buleleng.

Pantai Sangsit terletak di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten


Buleleng, merupakan daerah yang memiliki potensi memajukan perekonomian di
wilayah tersebut karena merupakan salah satu kawasan pusat penjualan ikan hasil
tangkapan maupun ikan hasil olahan. Penduduk di Desa Sangsit sebagian besar
bermukim di tepian, di sepanjang pantai, bahkan ada beberapa rumah penduduk
yang nyaris sejajar dengan garis pantai. Hal tersebut tentu saja dapat
membahayakan penduduk sendiri. Kondisi pantai yang mulai mengalami abrasi
juga dapat menimbulkan masalah yang dapat merugikan masyarakat yang
bermukim di tepi pantai. Pemukiman penduduk sewaktu-waktu dapat tersapu
gelombang besar karena tidak adanya pelindung pantai yang dapat meredam
terjangan gelombang. Selain itu air laut juga sewaktu-waktu dapat naik ke darat
bila terjadi pasang dan dapat menyebabkan terjadinya abrasi.

Abrasi yang terjadi dapat menyebabkan kemunduran garis pantai yang


akan mengurangi luas daerah pemukiman serta lahan untuk melakukan aktivitas
jual beli ikan hasil tangkapan maupun ikan hasil olahan karena masyarakat
umumnya melakukannya di tepi pantai. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
untuk melindungi daerah pantai. Salah satu upaya dengan Perencanaan Pemecah
Gelombang (Breakwater) Menggunakan Batu Alam di Pantai Sangsit Kabupaten
Buleleng.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa penyebab terjadinya kemunduran garis pantai?

2. Apakah jenis bangunan pengaman pantai yang akan digunakan di Pantai


Sangsit ?

1.3 Tujuan
1. Merencanakan bangunan pemecah gelombang (breakwater) yang akan
digunakan di Pantai Desa Sangsit.

1.4 Manfaat Perencanaan


1. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca
khususnya mengenai bangunan pengaman pantai

2. Menjadi bahan pertimbangan pihak terkait sebagai solusi alternatif dalam


perbaikan bangunan pengaman pantai

1.5 Data Perencanaan

1. Data Primer

2. Data Sekunder

1.6 Batasan Perencanaan


Dalam penyusunan proposal ini, perencanaan akan dibatasi sampai dengan
batasan-batasan sebagai berikut:
1. Tidak mengkaji perhitungan biaya konstruksi.
2. Tidak mengkaji transpor sedimen.
II LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Pantai


Pantai secara umum diartikan sebagai batas antara wilayah yang bersifat
daratan dengan wilayah yang bersifat lautan. Pantai merupakan daerah di tepi
perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan surut terendah. Daerah
pantai sering juga disebut daerah pesisir atau wilayah pesisir. Daerah pantai atau
pesisir adalah suatu daratan beserta perairannya dimana pada daerah tersebut
masih dipengaruhi baik oleh aktivitas darat maupun oleh aktifitas kelautan

2.2 Abrasi

2.2.1 Definisi Abrasi

Abrasi merupakan suatu kejadian pengikisan pantai akibat gelombang dan


arus laut yang sifatnya merusak. Abrasi seringkali disebut dengan erosi pantai
karena kerusakan yang terjadi di sekitar pantai. Hal ini bisa terjadi apabila
keseimbangan alam di daerah pantai tersebut mulai terganggu dan dikategorikan
sebagai salah satu bencana akibat ketidakseimbangan ekosistem di dalamnya.

2.2.2 Faktor-faktor Penyebab Abrasi

A. Faktor Alam
Faktor alam yang menyebabkan abrasi di antaranya adalah pasang
surut air laut, angin di atas lautan yang menghasilkan gelombang serta
arus laut yang berkekuatan merusak. Sebab-sebab yang demikian hampir
tidak bisa dielakkan sebab laut memiliki siklusnya sendiri dia mana pada
suatu periode, angin bertiup amat kencang dan menciptakan gelombang
serta arus yang tidak kecil.

B. Faktor Manusia
Sementara itu, faktor-faktor yang menyebabkan abrasi dari ulah
manusia di antaranya adalah ketidakseimbangan ekosistem laut dan
pemanasan global atau yang umum disebut global warming.
Ketidakseimbangan ekosistem laut misalnya terjadi akibat eksploitasi
besar-besaran terhadap kekayaan laut mulai dari ikan, terumbu karang
dan lain sebagainya sehingga arus dan gelombang laut secara besar-
besaran mengarah ke daerah pantai dan berpotensi menyebabkan abrasi.

2.2.3 Dampak Abrasi


A. Penyusutan Area Pantai
Penyusutan area pantai merupakan dampak yang paling jelas dari
abrasi. Gelombang dan arus laut yang biasanya membantu jalur
berangkat dan pulang nelayan ataupun memberi pemandangan dan
suasana indah di pinggir pantai kemudian menjadi mengerikan.
Hantaman-hantaman kerasnya pada daerah pantai dapat menggetarkan
bebatuan dan tanah sehingga keduanya perlahan akan berpisah dari
wilayah daratan dan menjadi bagian yang digenangi air.
B. Rusaknya Hutan Bakau.
Penanaman hutan bakau yang sejatinya ditujukan untuk menangkal
dan mengurangi resiko abrasi pantai juga berpotensi gagal total jika
abrasi pantai sudah tidak bisa dikendalikan. Ini umumnya terjadi ketika
musim badai, ketika keseimbangan ekosistem sudah benar-benar rusak
ataupun saat laut sudah kehilangan sebagian besar dari persediaan
pasirnya. Jika dampak yang satu ini terjadi, maka penanganan yang
lebih intensif harus dilakukan sebab dalam sebagian besar kasus,
keberadaan hutan bakau masih cukup efektif untuk mengurangi
kemungkinan abrasi pantai.

2.3 Gelombang
Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang
tergantung dari gaya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah angin yang
dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang surut
dibangkitkan oleh gaya tarik bendabenda langit terutama matahari dan bulan
terhadap bumi, gelombang tsunami terjadi karena gempa di laut atau letusan
gunung berapi di laut, gelombang yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak,
dan sebagainya. Pada umumnya bentuk gelombang di alam adalah sangat
kompleks dan sulit digambarkan secara matematis karena ketidaklinierannya, tiga
dimensi dan mempunyai bentuk yang sangat random (suatu deret gelombang
mempunyai tinggi dan periode berbeda). Beberapa teori yang ada hanya
menggambarkan bentuk gelombang yang sederhana dan merupakan gelombang
alam. Ada beberap teori dengan berbagai derajat kekompleksan dan ketelitian
untuk menggambarkan gelombang di alam, diantaranya adalah teori Airy, Stokes,
Gersner, Mich, Knoidal dan Tunggal. Masing-masing teori tersebut mempunyai
batasan keberlakuan yang berbeda. Teori gelombang Airy merupakan gelombang
amplitude kecil, sedangkan teori yang lain adalah gelombang amplitude batas
(finite amplitude waves) (Bambang Triatmojo,1999).

2.4 Pembangkitan Gelombang


Tinggi dan periode gelombang yang terjadi dipengaruhi oleh kecepatan
angin U, lama hembus angin td, dan panjang fetch F (jarak seret gelombang).
Panjang fetch membatasi waktu yang diperlukan gelombang untuk berada di
bawah pengaruh angin. Jadi apabila fetch-nya pendek, energi yang ditransfer
angin ke air belum cukup besar, sehingga tinggi gelombang yang terjadi juga
belum cukup besar.
Dalam model peramalan gelombang, perlu diketahui beberapa parameter
berikut ini :

A. Kecepatan rata-rata angin U di permukaan air.


B. Arah angin.
C. Panjang daerah pembangkitan gelombang (fetch, F).
D. Lama hembus (td).
2.4.1 Kecepatan Angin
Kecepatan angin biasanya dicatat untuk harga-harga ekstrim saja.
Kecepatan angin ekstrim hanya terjadi dalam periode waktu waktu yang pendek
yang biasanya kurang dari dua menit. Oleh karena itu, pengukuran kecepatan
angin ekstrim hanya terjadi pada waktu singkat tersebut tidak digunakan sebagai
kecepatan angin di dalam pembangkitan gelombang. Data kecepatan angin
tersebut harus dimodifikasi menjadi kecepatan angin rata-rata dalam 10, 25, 50
menit, atau sesuai keperluan.

Pada constant shear layer (Gambar 2.1) distribusi kecepatan angin pada
arah vertikal dapat diformulasikan sebagai berikut (Resio and Vincent, 1977
dalam Bambang Triatmojo,1999) :

(2.1)

dimana :

U* = kecepatan gesek

Z0 = kekasaran permukaan

= menunjukkan efek stabilitas kolom udara pada kecepatan tertentu

Untuk keperluan peramalan gelombang biasanya dipergunakan kecepatan


angin pada ketinggian 10 m. apabila kecepatan angin tidak diukur pada ketinggian
tersebut, kecepatan angin perlu dikoreksi dengan rumus :

(2.2)

Kecepatan angin yang akan dipergunakan untuk peramalan gelombang adalah :


(2.3)

dimana :

RT = koreksi akibat adanya perbedaan antara temperatur udara dan air


(Gambar 2.2).

RL = koreksi terhadap pencatatan angin yang dilakukan di darat (Gambar 2.2).

U10 = kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas tanah. (m/dt).

Untuk menggunakan grafik yang ada pada buku Coastal Engineering


Manual, 2008: kecepatan angin tersebut masih harus diubah ke faktor tegangan
angin UA (wind stress factor). Untuk menghitung UA tersebut dapat digunakan
rumus :

(2.4)

dimana :

U = kecepatan angin (m/dt).

Tinggi gelombang (Hs) didapatkan dengan cara memasukkan nilai wind


stress factor UA, panjang fetch F, dan lama hembus td pada grafik SPM 1984.
2.4.2 Fetch
Di dalam peramalan gelombang angin fetch biasanya dibatasi oleh bentuk
daratan yang mengelilingi daerah pembangkitan 4 gelombang. Fetch dapat
didefinisikan sebagai panjang daerah pembangkitan gelombang pada arah
datangnya angin. Apabila bentuk daerah pembangkitan tidak teratur maka untuk
keperluan peramalan gelombang perlu ditentukan fetch efektif (Feff) dengan
persamaan berikut : (lihat gambar 2.3)

(2.5)
dimana :
Feff = fetch efektif (m).
xi = proyeksi jarak radial pada arah angin.
i = sudut antara jalur fetch yang ditinjau dengan arah angin.

2.5 Analisis Statistik Gelombang


Berdasarkan tujuannya, analisis statistik gelombang dapat dibedakan
menjadi empat hal, yaitu:
A. Evaluasi distribusi probabilitas tinggi gelombang dari suatu hasil
pencatatan yang lamanya antara 10 s/d 20 menit. Analisis ini ditujukan
terutama untuk mendapatkan H100, H33, H20, dst
B. Menentukan masa ulang atau frekuensi kejadian gelombang ekstrim.
Data gelombang yang diolah biasanya lebih dari 10 tahun. Analisis ini
ditujukan terutama untuk mendapatkan periode ulang dari gelombang
signifikan misalnya (Hs)20 th, (Hs)25 th, (Hs)50 th dsb
C. Menentukan spektrum energi gelombang. Analisis ini ditujukan untuk
mendapatkan informasi mengenai komposisi gelombang, yaitu dengan
ditunjukkan dengan lebar dan sempitnya spektrum. Analisis ini juga
dapat dipergunakan untuk menentukan gelombang signifikan.
D. Menetukan distribusi arah gelombang. Analisis ini ditujukan untuk
mendapatkan informasi distribusi arah gelombang pada suatu pantai
atau laut. Biasanya hasil dari analisis ini berupa mawar angin dan hasil
ini sangat berguna untuk perhitungan angkutan sedimen termasuk
perhitungan perubahan garis pantai. Biasanya diperlukan data selama 5
sampai 10 tahun.
2.5.1 Analisis Distribusi Arah Gelombang
Analisis distribusi arah gelombang dilakukan dengan cara meninnjau
gelombang yang terjadi pada suatu tempat dari berbagai arah. Arah yang ditinjau
biasanya hanya bebrapa arah saja. Hal ini mengingat data arah gelombang
biasanya kurang teliti. Sebagai contoh misalnya dengan interval 450 (makin kecil
intervalnya semakin teliti, asalkan data arah gelombang memadai) :
A. Utara
B. Timur laut
C. Timur
D. Tenggara
E. Selatan
F. Barat daya
G. Barat
H. Barat laut
Prosentase kejadian gelombang pada arah yang ditinjau dihitung dan
ditebelkan kemudian digambarkan sebagai mawar angin (Gambar 2.4).

2.6 Gelombang Rencana


Untuk keperluan perencanaan bangunan pantai maka harus dipilih tinggi
gelombang yang cukup memadai untuk tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dibawah ini diberikan beberapa pedoman pemilihan tinggi gelombang rencana
yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan.
2.6.1 Masa Ulang (periode) Gelombang Rencana
Penentuan periode gelombang rencana biasanya didasrkan pada jenis
konstruksi yang akan dibangun dan nilai daerah yang akan dilindungi. Makin
tinggi nilai daerah yang diamankan, makin besar pula periode ulang gelombang
rencana yang dipilih. Sebagai pedoman penentuan periode ulang gelombang
rencana dapat dipakai tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Pedoman pemilihan jenis dan periode ulang gelombang.

2.6.2 Fungsi Distribusi Probabilitas


Berikut ini diberikan metode untuk memprediksi gelombang dengan
periode ulang tertentu, yaitu distribusi Gumbel (FisherTippett I). dalam metode ini
prediksi dilakukan untuk memperkirakan tinggi gelombang signifikan dengan
berbagai periode ulang. Metode distribusi Fisher-Tippett Type I mempunyai
bentuk berikut ini :

(2.6)
dimana :

= probabilitas bahwa s tidak dilampaui


H = tinggi gelombang representatif

= tinggi gelombang dengan nilai tertentu


A = parameter skala
B = parameter lokasi
K = parameter bentuk (kolom pertama tabel 2.2)
Tabel 2.2 Koefisien untuk menghitung deviasi standar
Data masukan disusun dalam urutan dari besar ke kecil. Selanjutnya
probabilitas ditetapkan untuk setiap tinggi gelombang sebagai berikut :

(2.7)
dimana :

= probabilitas dari tinggi gelombang representative ke m


yang tidak dilampaui
H sm = tinggi gelombang urutan ke m
m = nomor urut tinggi gelombang signifikan = 1, 2, ....., N
NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
2.6.3 Gelombang di Lokasi Bangunan
Pada saat gelombang menjalar dari tengah laut ke pantai dimana bangunan
pantai tersebut akan dibangun, maka gelombang tersebut mangalami proses
perubahan tinggi. Perubahan ini antara lain disebabkan karena :
A. Proses refraksi
B. Proses difraksi
C. Proses pendangkalan, dan
D. Proses pecahnya gelombang
Keempat proses perubahan energi tersebut dapat menyebabkan tinggi
gelombang bertambah atau berkurang. Oleh karana itu tinggi gelombang rencana
yang akan digunakan di lokasi pekerjaan harus ditinjau terhadap proses ini. Tinggi
gelombang rencana terpilih adalah tinggi gelombang maksimum terjadi di lokasi
pekerjaan.

1. Refraksi, Difraksi, dan Pendangkalan (shoaling) Gelombang


Refraksi gelombang dalah proses berbeloknya arah gerak gelombang
akibat perubahan kedalaman pada daerah yang dilewati gelombang
tersebut. Proses berbeloknya arah gelombang ini dapat menyebabkan
perubahan tinggi gelombang.
Sedangkan pendangkalan gelombang adalah proses berkurangnya
tinggi gelombang akibat perubahan kedalaman. Jadi baik refraksi maupun
pendangkalan gelombang dalam hal ini disebabkan karena perubahan
kedalaman. Namun pada shoaling ditekankan perubahn langsung tinggi
gelombang akibat pendangkalan sedangkan refraksi ditekankan pada
perubahan tinggi gelombang karena berbeloknya gelombang.
Difraksi gelombang adalah proses pemindahan energi gelombang kea
rah daerah yang terlindungi. Perpindahan energi gelombang ini akan
menyebabkan timbulnya gelombang di daerah terlindungi tersebut.
Bangunan yang melindungi tersebut dapat berupa bangunan buatan seperti
pemecah gelombang, jetty, ataupun alamiah seperti halnya pulau dan bukit
yang menjorok ke laut (head land).
Untuk menentukan tinggi gelombang yang disebabkan proses ini dapat
dihitung dengan rumus :
HA = H 0 (2.8)
HB = H0 . KR . KS = HA . KR . KS (2.9)
HC = H0 . KR . KS . KD = HB . KD (2.10)
dimana :
H0 = tinggi gelombang di laut dalam (m)
HA = tinggi gelombang di A (m)
HB = tinggi gelombang di B (m)
HC = tinggi gelombang di C (m)
KR = koefisien refraksi
KS = koefisien shoaling

2. Gelombang Pecah
Pada kedalaman yang relatif dangkal, galombang rencana seringkali
ditentukan berdasarkan tinggi gelombang maksimum yang terjadi di
daerah tersebut. Untuk menentukan tinggi gelombang ini yaitu pada
perhitungan tinggi gelombang pecah, yang dapat dihitung dengan dua
cara, antara lain :

Cara pertama (kurang teliti)

Hd = 0,78db (2.11)

dimana :
Hd = tinggi gelombang

db = kedalaman di lokasi bangunan/tempat gelombang pecah (m)

Cara kedua (teliti)

(2.12)

dimana :

Hb = tinggi gelombang pecah (m)

ds = kedalaman air di ujung kaki bangunan (m)

m = kemiringan dasar pantai

= db/Hb

= 4,0 9,25 m

2.7 Tinggi Gelombang Rencana


Langkah-langkah perhitungan tinggi gelombang rencana adalah :

(2.13)

(2.14)

(2.15)

(2.16)

(2.17)
(2.18)

(2.19)

(2.20)

dimana :

H = tinggi gelombang rencana (m)

UA = kecepatan angin (m/dt)

F = fetch efektif (m)

T = periode gelombang (dt)

Ho = tinggi gelombang (m)

Lo = panjang gelombang (m)

2.8 Pasang Surut


Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-
benda langit, terutama matahari dan bulan terhadap masa air laut di bumi.
Pengetahuan tentang pasang surut adalah penting di dalam perencanaan bangunan
pantai. Elevasi mukaair tertinggi dan terendah sangat penting untuk merencanakan
bangunan tersebut. Sebagai contoh, elevasi puncak bangunan pemecah
gelombang, dermaga, dsb. ditentukan oleh elevasi muka air pasang, sementara
kedalaman alur pelayaran ditentukan oleh muka air surut.
Komponen penting yang perlu diketahui sebagai hasil analisis data pasang
surut adalah :
A. LWS (Low water Spring) merupakan hasil perhitungan level muka air
ratarata terendah (surut), sering disebut juga MLWS (Mean Low
Water Surface).
B. MSL (Mean Sea Level) adalah elevasi rata-rata muka air pada
kedudukan pertengahan antara muka air terendah dan tertinggi.
C. HWS (High Water Spring) adalah elevasi rata-rata muka air tertinggi
(pasang), disebut juga MHWS (mean high water surface).
2.9 Bangunan Pengaman Pantai
Bangunan Pengaman Pantai Dalam usaha penanggulangan dan perbaikan
pantai, terdapat alternatif sistem pengaman pantai yang dapat dipilih dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Alternatif sistem pengaman pantai dapat
berupa breakwater, groin, atau seawall/revetment. Selain itu pengaman pantai
dapat dilakukan tanpa bangunan pengaman yaitu dengan sand norisment.
2.9.1 Groin
Groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak lurus
garis pantai, dan berfungsi untuk menahan transport sedimen sepanjang pantai,
sehingga bisa mengurangi/menghentikan erosi yang terjadi. Bangunan ini juga
digunakan untuk menahan masuknya transport sedimen sepanjang pantai ke
pelabuhan atau muara sungai.
Keuntungan groin :
A. Memperlebar pantai di bagian updrift dari groin tersebut karena
menahan longshore sedimen transport.
B. Pelaksanaan pekerjaan groin lebih mudah karena dapat dilakukan
langsung di darat.
Kerugian Groin :
A. Pada bagian downdrift akan terjadi erosi, terutama pada awal
pembangunan yang merupakan suatu proses mencapai keseimbangan.
2.9.2 Revetment
Dinding pantai atau revetment adalah bangunan yang memisahkan daratan
dan perairan pantai, terutama berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap erosi
dan limpasan gelombang ke darat. Daerah yang dilindungi adalah daratan tepat di
belakang bangunan. Permukaan bangunan yang menghadap arah datangnya
gelombang dapat berupa sisi vertikal atau miring.
Keuntungan revetment :
A. Dapat menahan gelombang.
B. Pemilihan bentuk dapat ditentukan sesuai dengan fungsi bangunan.
C. Pelaksanaan pekerjaan lebih mudah karena dapat dilakukan langsung
di darat.
Kerugian Revetment :
A. Kemungkinan terjadinya erosi di kaki bangunan.
B. Dapat mengakibatkan hilangnya pantai.
2.9.3 Breakwater Lepas Pantai
Pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan yang dibuat sejajar
pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis pantai. Bangunan ini direncanakan
untuk melindungi pantai yang terletak di belakangnya dari serangan gelombang.
Pemecah gelombang lepas pantai dapat dibuat dari satu pemecah gelombang atau
satu seri bangunan yang terdiri dari beberapa ruas pemecah gelombang yang
dipisahkan oleh celah.
Apabila garis puncak gelombang pecah, ada dua tipe pemecah gelombang
tumpukan batu (rubble mound), yaitu :
A. Overtopping Breakwater, yaitu pemecah gelombang yang
direncanakan dengan memperkenankan atau mengijinkan air melimpas
diatas pemecah gelombang tersebut. Pemecah gelombang tipe ini
biasanya direncanakan apabila daerah yang dilindungi tidak begitu
sensitif terutama terhadap gelombang yang terjadi akibat adanya
overtopping (pemecah gelombang untuk melindungi alur pelayaran,
jetty ataupun groin). Jika pemecah gelombang direncanakan boleh
overtopping, maka lereng pemecah gelombang bagian dalam (inner
portion) harus terjamin tidak akan rusak pada saat terjadi hempasan air
pada saat overtopping.
B. Non overtopping breakwater, yaitu pemecah gelombang yang
direncanakan dengan tidak memperkenankan atau mengiijinkan air
melimpas di atas pemecah gelombang tersebut. Dalam hal ini tinggi
mercu atau puncak pemecah gelombang harus direncanakan atau
ditentukan berdasarkan wave run-up yang akan terjadi. Ukuran batu
pelindung bagian lereng dalam, dalam hal ini dapat lebih kecil dari
lapis lindung lereng luar. Kadang-kadang ukuran batu dibuat sama
namun lereng dalam lebih tegak.
2.9.4 Tipe-tipe Pemecah Gelombang (Breakwater)
A. Pemecah Gelombang Sisi Miring
Pada pemecah gelombang tipe ini dibuat dari tumpukan batu alam
yang dilindungi oleh lapis pelindung berupa batu besar atau beton
dengan ukuran tertentu. Pemecah gelombang tipe ini bersifat fleksibel.
Kerusakan yang terjadi karena serangan gelombang tidak secara tiba-
tiba. Jenis lapis pelindung pemecah gelombang tipe ini adalah
Quadripod, Tetrapod, Dolos.

Gambar 2.5 Pemecah Gelombang Tipe Sisi Miring


B. Pemecah Gelombang Sisi tegak
Pemecah gelombang tipe ini ditempatkan di laut dengan kedalaman
lebih besar dari tinggi gelombang. Pemecah ini dibuat apabila tanah
dasar mempunyai daya dukung besar dan tahan terhadap erosi. Bisa
dibuat dari blok-blok beton massa yang disusun secara vertikal, kaison
beton, turap beton atau baja.
Gambar 2.6 Pemecah Gelombang Tipe Sisi Tegak
C. Pemecah Gelombang Campuran
Menurut Bambang Triatmodjo dalam bukunya Pelabuhan-1999,
breakwater campuran adalah breakwater yang terdiri dari breakwater
sisi tegak yang berdiri di atas breakwater sisi miring. Bangunan ini
digunakan jika kedalaman rencana cukup besar namun kondisi tanah
tidak dapat menahan beban bangunan breakwater sisi tegak. Pada
waktu air surut bangunan berfungsi sebagai breakwater sisi miring
sedangkan jika air sedang pasang, maka bangunan tersebut berfungsi
sebagai pemacah gelombang sisi tegak.

Gambar 2.7 Pemecah Gelombang Tipe Campuran


2.10 Prinsip Dasar Perencanaan Breakwater Tipe Sisi Miring
Menggunakan Tumpukan Batu Alam (Rubble Mound)
Pemecah gelombang tumpukan batu dibangun berlapis dengan lapisan
paling luar terdiri dari batu lindung yang paling besar atau paling berat, sedangkan
makin ke dalam ukuran batunya makin kecil. Dasar perencanaan kontruksi adalah
lapis luar akan menerima beban gaya (dari gelombang) yang paling besar,
sehingga ukurannya harus direncanakan sedemikian berat hingga masih cukup
stabil. Mengingat batu ukuran besar harganya lebih mahal, maka bagian dalam
dari pemecah gelombang dapat diisi dengan batu yang ukurannya lebih kecil.
Syarat utama ukuran bahan yang dipakai lapisan dalam adalah tidak boleh tercuci
lewat pori-pori atau rongga lapisan luar.
Bentuk pemecah gelombang biasanya sangat ditentukan oleh bahan
bangunan yang tersedia di lokasi pekerjaan. Disamping itu perlu pula ukuran batu
pemecah gelombang disesuaikan dengan peralatan yang akan dipergunakan untuk
membangun.
2.10.1 Stabilitas Batu Lapis Pelindung
Stabilitas batu lapis pelindung pada tipe rubble mound struktur breakwater
ini direncanakan terbagi menjadi tiga lapisan. Lapisan pertama adalah lapisan
pelindung (primary layer), lapisan kedua (secondary layer), dan lapisan inti (core
layer). Disamping itu ada lapisan tambahan yaitu bahu (berm) dan lapisan bawah
(filter layer). Penentuan berat batu (armour unit) pada primary layer dapat
diketahui berdasarkan persamaan 2.21, yang dikembangkan oleh Hudson (1953)
terhadap model data di lapangan angkatan darat Amerika Serikat (USA-CE,
waterway axperiment station, Vickburg, Missisipi).

(2.21)
dimana :
= densitas (berat jenis) dari setiap unit armor [ton/m3 ]

g = percepatan gravitasi : 9.8 m/s2


H = tinggi gelombang rencana berdasar analisis statistic gelombang yang
merupakan tinggi gelombang signifikan (Hs) (m)
KD = koefisian kerusakan, merupakan kombinasi tampilan bentuk dari tiap
unit, kekasaran bentuk, tingkat saling mengunci, kedalaman di lokasi.

= berat jenis air laut : 1,025 ton/m3

= sudut kemiringan breakwater


2.10.2 Elevasi Puncak Breakwater
Elevasi puncak (cross elevation) adalah tinggi puncak breakwater yang
dihitung dari LWS (low water surface). Karena banyaknya variable yang
berpengaruh, maka besarnya run up sangat sulit ditentukan secara analitis.
Berbagai penelitian telah dilakukan di laboratorium, hasilnya yang ditemukan
oleh Irribaren untuk menentukan besarnya run up gelombang pada bangunan
dengan permukaan miring untuk berbagai tipe material, sebagai fungsi bilangan
Irribbaren untuk berbagai jenis lapis lindung yang mempunyai bentuk sesuai
dengan persamaan 2.22.

(2.22)
dimana :
Ir = bilangan Irribaren
= sudut kemiringan sisi pemecah gelombang
H = tinggi gelombang di lokasi bangunan
L0 = panjang gelombang di laut dalam
2.10.3 Lebar Puncak Breakwater

(2.23)
dimana :
m = jumlah armor unit pada bidang permukaan penampang breakwater.
= koefisien porositas : 1,02 (batu alam halus) Dan 1.15 (batu alam kasar).

2.10.4 Tebal Lapisan Breakwater

(2.24)
dimana :
m = jumlah armor unit pada tiap lapisan
W = berat dari armor unit (ton)
2.10.5 Jumlah Armor Unit

(2.25)
dimana :
n = Porositas dari lapisan permukaan dalam desimal
Gambar 2.8 Pemecah Gelombang Tipe Sisi
Miring Menggunakan Batu Alam (Rubble Mound)

III METODELOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

A. Lokasi Perencanaan
Lokasi
Perencanaan

Gambar 3.1 Peta Lokasi Perencanaan Pemecah Gelombang


(Breakwater) di Desa Sangsit Buleleng

(Sumber : Googlemaps)

B. Waktu Perencanaan
Waktu yang dibutuhkan dalam Perencanaan Pemecah Gelombang
(Breakwater) di Pantai Sangsit Buleleng yaitu 5 bulan.

3.2 Metode Pengambilan Data


A. Survey Lokasi Perencanaan
Gambar 3.2 Kondisi Lokasi Perencanaan Pemecah Gelombang
(Breakwater) di Pantai Sangsit

3.3 Data
Data yang dijadikan bahan acuan dalam pelaksanaan dan penyusunan
proposal ini dapat diklasifikasikan dalam dua jenis data, yaitu:
A. Data Primer
B. Data Sekunder
3.2.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari lokasi rencana pembangunan
maupun hasil survey yang dapat langsung dipergunakan sebagai sumber dalam
perancangan struktur. Pengamatan langsung dilapangan mencakup:

A. Letak atau lokasi rencana pembangunan dinding pantai atau


revetment.
B. Kondisi lokasi rencana pembangunan dinding pantai atau revetment.
C. Kondisi bangunan-bangunan yang ada disekitar lokasi perencanaan
dinding pantai.
3.2.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah
ada. Sebagai pendukung yang dipakai dalam proses pembuatan dan penyusunan
proposal ini. Yang termasuk dalam klasifikasi data sekunder ini antara lain adalah
literatur-literatur penunjang yang berkaitan erat dengan proses Perencanaan
Pemecah Gelombang (Breakwater) Menggunakan Batu Alam di Pantai Sangsit
Kabupaten Buleleng. Metode pengumpulan data yang dilaksanakan adalah:

A. Metode Literatur, yaitu suatu metode yang digunakan untuk


mengumpulkan data dengan cara mengumpulkan, mengidentifikasi,
mengolah data tertulis dan metode kerja yang dilakukan.
B. Metode Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung ke
lokasi untuk mengetahui kondisi sebenarnya dilapangan.
C. Metode Kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data atau bahan
yang diperoleh dari buku-buku kepustakaan.
3.4 Metode Perencanaan
Tahap - tahap perencanaan dan analisis perhitungan struktur dilaksanakan
pada seluruh struktur pemecah gelombang (breakwater). Tahapan perencanaan
dan analisis perhitungan beserta acuannya dalam perencanaan struktur pemecah
gelombang (breakwater) ini adalah sebagai berikut:

A. Untuk lapisan inti (core) material ditumpahkan ke dalam laut


menggunakan dump truk. Untuk memudahkan penimbunan material
oleh truk, pada inti (core) idealnya mempunyai lebar 4-5 meter pada
bagian puncak dan kira-kira 0,5 meter di atas level menengah
permukaan laut, ketika ada suatu daerah pasang surut yang besar,
sebaiknya berada diatas level air pasang.
B. Lapisan bawah pertama (under layer) yang terdiri dari potongan-
potongan tunggal batu. Penempatan lapisan batu-batu ini dapat
dilakukan dengan ekskavator hidrolis, selain itu juga bisa
menggunakan sebuah mobile crane normal jika tersedia ruang yang
cukup untuk landasannya. Jangan pernah menggunakan crane dengan
ban karet pada lokasi yang tidak rata tanpa landasan yang cukup luas.
Ekskavator harus menempatkan batuan yang lebih berat secepat
mungkin sehingga bagian inti (core) tidak mengalami hempasan
ombak. Jika suatu ombak badai mengenai suatu lokasi dimana
terlalu banyak bagian inti (core) yang mengalaminya, maka ada
suatu bahaya yang serius pada bagian inti (core) yaitu penggerusan
material.
C. Lapisan pelindung utama (main armor layer). Dalam pelaksanaan
penempatan batu maupun batu-batuan dapat menggunakan crwler
crane (crane penggerak roda kelabang) atau tracked crane (crane
dengan rel). Crane jenis tersebut adalah alat berat yang paling cocok
untuk pekerjaan menempatkan batuan ukuran besar. Batu-batuan besar
harus diangkat satu persatu dengan menggunakan sling atau
pencengkram dan harus ditempatkan didalam air dengan pengawasan
seorang penyelam. Ia harus ditempatkan satu persatu berdasarkan
urutannya untuk memastikan ia saling berkesinambungan. Hal ini
untuk meyakinkan bahwa ombak tidak bisa menarik satu batu keluar,
yang menyebabkan batu-batu bagian atas longsor.
D. Untuk memastikan bahwa batu-batu ditempatkan dengan baik,
penyelam tadi harus mengarahkan operator crane setiap kali suatu
batu ditempatkan sampai lapisan pelindung ini menerobos permukaan
air. Sama seperti lapisan bawah, diperlukan lapisan pelindung untuk
menyelesaikan lapisan pelindung utama. Profil kemiringan dapat
diatur pada interval tetap 5meter menggunakan prosedur yang sama.

FLOWCHART
DAFTAR PUSTAKA

Sulfia, Ningsi Waode. Bangunan Pelindung Pantai Bagian 2 .

http://operator-it.blogspot.co.id/2013/11/bangunan-pelindung-pantai-
bagian-2.html
Jokowarino. Pengertian Abrasi dan Cara Menanganinya.

http://jokowarino.id/pengertian-abrasi-dan-cara-menanganinya/

Triatmodjo. B. (2011), Perencanaan Bangunan Pantai , Yogyakarta: Beta Offset


https://id.wikipedia.org/wiki/Abrasi/>

Fauzi ,M Aldhiansyah Rifqi . Tugas Perancangan Struktur Pantai.

https://www.scribd.com/doc/290850955/Tugas-Perancangan-Struktur-
Pantai

Bambang Triatmodjo, 1996, Pelabuhan, Yogyakarta, Beta Offset.

Bambang Triatmodjo, 1999, Teknik Pantai, Yogyakarta, Beta Offset.

Nur Yuwono, 1982, Dasar Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume I,


Yogyakarta, Biro Penerbit Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Gajah Mada.

Nur Yuwono, (1982), Dasar Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume II,
Yogyakarta, Biro Penerbit Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai