Anda di halaman 1dari 15

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Muhammad Marfaisal, Septi Ayunugrawati, Mustaring

A. PENDAHULUAN
Anemia didefinisikan sebagai menurunnya konsentrasi hemoglobin dan
massa eritrosit dibandingkan kontrol pada usia yang sama. Anemia pada anak
adalah masalah yang sering ditemui dalam praktik sehari-hari. Bentuk
tersering dari anemia mikrositik adalah anemia defisiensi besi, talasemia, atau
keracunan timbal. Penyebab anemia normositik lebih banyak sehingga
diagnosisnya lebih sulit. Anemia makrositik biasanya disebabkan oleh
defisiensi asam folat dan atau vitamin B12, hipotiroidisme, dan penyakit hati.
Bentuk anemia ini cukup jarang pada anak-anak.1

B. DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin. Anemia
defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada
anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk
Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh
penderita.2,3
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang terjadi karena
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, kekosongan cadangan besi
(depleted iron store) menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang.
Anemia defisiensi besi ditandai dengan anemia hipokromik mikrositer dan
hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong.
Pada anemia akibat penyakit kronis penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial
berkurang, tetapi cadangan besi masih normal. Sedangkan pada anemia
sideroblastik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang yang dikarenakan
oleh mitokondria yang terganggu sehingga menyebabkan inkorporasi besi ke
dalam heme terganggu.1

1
C. EPIDEMIOLOGI
Defisiensi besi merupakan penyebab anemia di seluruh dunia.
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-
600 juta menderita anemia defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di
negara yang sedang berkembang disebabkan kemampuan ekonomi yang
terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan infestasi parasit. Insiden
anemia defisiensi besi di Indonesia 40,5% pada balita, 47,2% pada anak usia
sekolah, 57,1% pada remaja putri, dan 50,9% pada ibu hamil. Dee Pee dkk
pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang prevalensi anemia pada bayi
usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan
37% bayi memiliki kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL dan 71% memiliki
kadar Hb di bawah 11 g/dL. Di negara maju seperti Amerika Serikat
prevalensi defisiensi besi pada anak umur 1-2 tahun 9% dan 3% diantaranya
menderita anemia.2
Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa
bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi
saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai
rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula
dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa
remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan
diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data
SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia
defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB
pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar
61,3%, 64,8% dan 48,1%.4
D. ETIOLOGI
Anemia defisiensi besi akibat diet paling lazim terjadi pada bayi yang
mengonsumsi susu sapi dalam jumlah besar dalam botol susu. Mereka hanya
memakan sedikit bahan-bahan yang mengandung besi tinggi, seperti daging
dan sayuran hijau. Defisiensi besi paling lazim menyebabkan anemia di

2
dunia. Bayi yang diberikan ASI lebih jarang mengalami defisiensi daripada
bayi yang diberikan susu botol, walaupun dalam ASI hanya terdapat sedikit
besi, tetapi besi ini diserap lebih efektif.5

E. FAKTOR RISIKO 6

Bayi kurang dari 1 tahun

1. Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas,
lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah
besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.

2. Alergi protein susu sapi

Anak umur 1-2 tahun

1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum
susu murni berlebih.

2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis.

4. Malabsorbsi.

Anak umur 2-5 tahun

1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis


heme atau minum susu berlebihan.

2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis baik bakteri, virus


ataupun parasit).

3
4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel / poliposis
dsb).

Anak umur 5 tahun-remaja

1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) dan

2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.

F. PATOMEKANISME
Metabolisme Besi
Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin.
Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit
tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi
seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi yang
difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang
akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag
ke dalam sirkulasi darah setiap hari.5
Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 12 mg,
sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin
dan tinja. Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama
terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal
transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai
protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal
2545% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi
transferin.Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari
total besi tubuh.5
Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum
tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4%
digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim
pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan
dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor

4
transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis.
Sebanyak 8090% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit
akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi,
sedangkan transferin akan kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah
dibebaskan dari endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses
menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan
dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 3050% prekursor eritrosit
mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi
eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam
peredaran darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan
setelah proses hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi
darah. Ketika eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem
retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi
terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis
makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain
yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses
penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan
globin. 5
Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan
diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan
cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag
pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang
selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka
molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan
oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam
sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway).
Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui
proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi
ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi tersebut
dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam sirkulasi

5
oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi plasma
menunjukkan variasi diurnal.5

Anemia Defisiensi Besi


Keadaan anemia defisiensi besi ditandai dengan saturasi transferin
menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang.
Menurut Walmsley et al. Secara berurutan perubahan laboratoris pada
defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan
feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin
serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width (RDW), (5) penurunan
Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas
tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron
depletion), kemudian tahap laten (iron deficienterythropoesis) dan tahap
anemia defisiensi besi (irondeficiency anemia).
Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari 12g/L
dan besi di sumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan komponen
yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity (TIBC),
besi serum/serum iron (SI), saturasitransferin, RDW, MCV, hemoglobin dan
morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan disebut tahapdeplesi besi.
Pada tahap kedua terjadi penurunanferitin serum, besi serum, saturasi
transferin danbesi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBCmeningkat
>390 g/dl. Komponen lainnya masihnormal, dan disebut eritropoesis
defisiensi besi.5
Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemiadefisiensi besi ialah
tahap defisiensi besi yang beratdari dan ditandai selain kadar feritin serum
sertahemoglobin yang turun. Semua komponen lainjuga akan mengalami
perubahan seperti gambaranmorfologi sel darah mikrositik hipokromik,
sedangkanRDW dan TIBC meningkat >410 g/dl. 4

6
Sumber gambar: Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA
PENYAKIT KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F ( Determination of iron
deficiency in chronic disease anemia by the role of sTfR-F index ). Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, 2(1), 915.

G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besitidak spesifik.
Diagnosis biasanya ditegakkanberdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
yaitupenurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dankadar besi serum.
Pada ADB gejala klinis terjadi secarabertahap. Kekurangan zat besi di dalam
otot jantungmenyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas ototorgan
tersebut. Pasien ADB akan menunjukkanpeninggian ekskresi norepinefrin;
biasanya disertaidengan gangguan konversi tiroksin menjadi
triodotiroksin.Penemuan ini dapat menerangkan terjadinyairitabilitas, daya
persepsi dan perhatian yang berkurang,sehingga menurunkan prestasi belajar
kasus ADB. Anak yang menderita ADB lebih mudah terseranginfeksi karena
defisiensi besi dapat menyebabkangangguan fungsi neutrofil dan
berkurangnya sellimfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitugemar makan atau mengunyah
benda tertentu antaralain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lainlain,
timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyamandi mulut. Rasa kurang
nyaman ini disebabkan karenaenzim sitokrom oksidase yang terdapat pada
mukosamulut yang mengandung besi berkurang. Dampakkekurangan besi

7
tampak pula pada kuku berupapermukaan yang kasar, mudah terkelupas dan
mudahpatah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails)yang juga
disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5%kasus ADB.Pada saluran
pencernaan, kekuranganzat besi dapat menyebabkan gangguan dalam
prosesepitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaanADB berat,
lidah akan memperlihatkan permukaanyang rata karena hilangnya papil lidah.
Mulutmemperlihatkan stomatitis angularis dan ditemuigastritis pada 75%
kasus ADB.3
H. DIAGNOSIS
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung
sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Pada pemeriksaan
fisik hanya ditemukan pucat tanpa tanda-tanda perdarahan (petekie, ekimosis,
atau hematoma) maupun hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah. Jumlah leukosit, hitung jenis,
dan trombosit normal, kecuali apabila disertai infeksi. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui pemeriksaan kadar besi atau feritin serum yang rendah
dan pewarnaan besi jaringan sumsum tulang. 1
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah2 (1)
Kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi
hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal:32%-35%), (3) Kadar Fe
serum <50 g/dL (nilai normal:80-180g/dL), dan (4) Saturasi transferin
<15% (nilai normal:20%-25% ). Cara lain untuk menentukan anemia
defisiensi besi dapat juga dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi.
Bila dengan pemberian preparat besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari selama 3-4
minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL maka dapat
dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita anemia defisiensi besi.
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:1
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 g/dL (N: 80-180 g/dL)
4. Saturasi transferin <15% (N: 20-50%)

8
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4. Tes
yang paling efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin
serum. Bila sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anemia tanpa perdarahan
2. Tanpa organomegali
3. Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target
4. Respons terhadap pemberian terapi besi
I. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan
gambaran anemia hipokrom makrositik lain (Tabel 2). Keadaan yang sering
memberi gambaran klinis dan laboratorium hampir sama dengan ADB adalah
talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Sedangkan lainnya
adalah lead poisoning/ keracunan timbal dan anemia
sideroblastik.Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. 1,5
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu
cara sederhanauntuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat
jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan
mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar
dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Pada talasemia
minordidapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan
peningkatan kadarHbA2.1,3,
Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya
normokrom mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik.Terjadinya
anemia pada penyakitkronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan
makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun
cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin nomal
atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor
transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia
karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal
karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB
kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi
ADB.1,
Table 2: Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB

9
Pemeriksaan Anemia Thalasemia Anemia
Laboratorium defisiensiBesi Minor PenyakitKronis
MCV Menurun Menurun N/Menurun
Fe serum Menurun Normal Menurun
TIBC Naik Normal Menurun
Saturasi transferin Menurun Normal Menurun
FEP Naik Normal Naik
Feritin serum Menurun Normal Menurun
Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan
ADB tetapididapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada
keduanya kadar FEP meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa
kadar lead dalam darah. Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis heme, bisa didapat atau herediter. Pada
keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan
kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar
Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum
tulang didapatkan sel darah merah berinti yang mengandung granula besi
(agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed sideroblast. Anemia ini
umumnya terjadi pada dewasa.
J. PENATALAKSANAAN
Tata lakasana anemia defisiensi besi meliputi:1

1. Mengatasi etiologi anemia defisiensi besi sesuai usia


2. Pemberian suplement besi
3. Transfusi packed red cell (PRC) sesuai dengan indikasi
- HB <5 g/dL
- HB <6 g/dL dengan gagguan jantung, infeksi berat, distres pernapasan,
dehidrasi, asidosis, atau hendak menjalani pembedahan.

Suplementasi besi

Pemberian suplementasi besi bertujuan untuk pencegahan atau terapi.

1. Dosis profilaksis
a. Diberikan jika SI masih dalam batas normal atau bayi yang berisiko
tinggi mengalami anemia defisiensi besi.
b. Dosis besi alemental yang diberikan 1 mg/KgBB/hari
2. Dosis terapeutik

10
a. Diberikan jika telah dapat pemeriksaan laboratorim.
b. Dosis besi elemental 3-5 mg/KgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, dan
diberikan 30 menit sebelum makan.
c. Lama pemberian:
- Feritin turun: 2 bulan
- Hb turun: diberikan sampai Hb normal ditambah 2 bulan
setelahnya untuk mengisi cadangan besi.

Suplemen besi tersedia dalam bentuk oral dan intravena dengan


keuntungan dan kerugian masing-masing.

1. Oral
Sediaan oral yang paling banyak adalah sulfas ferrous (100 mg sebanding
deengan 20 mg besi elemental). Sebaiknya sediaan oral diberikan saat
perut kosong untuk meningkatkan penyerapan tetapi sering terjadi efek
samping berupa mual, muntah, dan kolik abdomen. Apabila diberikan saat
perut terisi, dosis boleh dinaikkan 2 kalinya. Penyerapan besi meningkat
pada penyerapan asam seperti vitamin C.
2. Intramuscular/intravena
Diberikan apabila respon terapi dengan besi oral tidak baik atau
kehilangan besi terjadi dalam waktu yang cepat. Efek sampingnya adalah
mual, muntah, demam, lemas, nyeri kepala sampai anafilaksis.

Suplemen besi neonatus diberikan untuk bayi preterm mulai usia 4 bulan
sedangkan bayi aterm mulai usia 6 bulan. Suplemen besi diberikan sampai usia 1
tahun.

Dosis yang diberikan:

- Aterm: 1 mg/Kg/hari
- BBLR:
a. 1500-2000 g 2 mg/KgBB/hari
b. 1000-1500 g 3 mg/KgBB/hari
c. <1000 g 4 mg/KgBB/hari

K. PENCEGAHAN
Pendidikan
Meningkatkan pengetahuan masyarakat :

11
1. Tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang tinggi
dan absorpsi yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging.

2. Kandungan besi dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi
tetapi penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Oleh karena itu
pemberian ASI ekslusif perlu digalakkan dengan pemberian suplementasi
besi dan makanan tambahan sesuai usia.

3. Penyuluhan mengenai kebersihan lingkungan untuk mengurangi


kemungkinan terjadinya infeksi bakteri / infestasi parasit sebagai salah
satu penyebab defisiensi besi.

Suplementasi besi

Diberikan pada semua golongan umur dimulai sejak bayi hingga remaja.

L. PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan
besi saja dan diketahuipenyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat. Gejala anemia danmanifestasi klinis lainnya akan membaik
dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan
beberapa kemungkinansebagai berikut: 1,3,
a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsungmenetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi
(seperti: infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit
tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang
berlebihan pada ulkuspeptikum dapat menyebabkan pengikatan
terhadap besi)

12
M. KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Diperkirakan
sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya
merupakan anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi pada anak akan memberikan dampak yang
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, antara lain dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Defisiensi besi juga dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan berkurang. Dan
yang paling penting adalah bila defisiensi besi ini sudah berlangsung lama,
akan menurunkan daya konsentrasi dan prestasi belajar pada anak.
Penyebab utama anemia defisiensi besi adalah konsumsi zat besi
yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang
sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam.
Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang
diderita pada daerahdaerah tertentu terutama daerah pedesaan
menyatakan bahwa anemia defisiensi besi juga dipengaruhi oleh faktor
faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan,
fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor-
faktor tersebut saling berkaitan
Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling
sering tcrjadi pada bayi dan anak.Pencegahan dapat dilakukan melalui
asupan makanan dan suplementasi zat besi.Anemia defisiensi besi hampir
selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinya, sehingga
koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari
pengobatan.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Priantono, dkk Anemia Pada Anak. Dalam Chris Tanto, dkk. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius. 2014
2. Dedy Gunadi dkk.Terapi dan suplementasi besi pada anak. Sari Pediatri, Vol.
11, No. 3, Oktober 2009
3. Behrman, R dan Robet M.K. Nelson Esensi Pediatri edisi 4. EGC
4. Pedoman Pelayanan Medis; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit
IDAI; 2009.
5. Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA PENYAKIT
KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F ( Determination of iron
deficiency in chronic disease anemia by the role of sTfR-F index ). Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 2(1), 915.
6. Windiastuti, E. Anemia Defisiensi Pada Bayi dan Anak. Public Article.
IDAI.2012

14
15

Anda mungkin juga menyukai