Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit


yang memilki beban kesehatan tertinggi. World Health Organization (WHO)
dalam Global Status of Non-communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan
PPOK kedalam empat besar penyakit tidak menular yang memiliki angka
kematian yang tinggi setelah penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes.
GOLD Report 2014 menjelaskan bahwa biaya untuk kesehatan yang diakibatkan
PPOK adalah 56% dari total biaya yang harus dibayar untuk penyakit respirasi.
Biaya yang paling tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit
ini.1
Kematian menjadi beban sosial yang paling buruk yang diakibatkan oleh
PPOK, namun diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur
beban sosial. Parameter yang dapat digunakan adalah Disability-Adjusted Life
Year (DALY), yaitu hasil dari penjumlahan antara Years of Life Lost (YLL) dan
Years Lived with Disability (YLD). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut,
diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menempati peringkat ketujuh, dimana
sebelumnya pada tahun 1990 penyakit ini menempati urutan kedua belas.2
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin
tingginya pajanan faktor resiko, seperti faktor penjamu yang diduga berhubungan
dengan PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok pada usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun diluar ruangan dan di tempat kerja.1
Menurut GOLD (Global Burden of Disease), PPOK merupakan penyakit
paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang bersifat persisten
dan progresif, serta berhubungan dengan respon inflamasi kronis pada saluran
nafas dan paru akibat pajanan partikel dan gas yang beracun. Eksaserbasi dan
penyakit komorbid memiliki kontribusi terhadap tingkat keparahan pada setiap
pasien. Prevalensi dan angka mortalitas PPOK terus meningkat. Di Amerika
Serikat diperkirakan terdapat 115.000 kematian pada tahun 2000. Pada tahun
2

2020, The Global Burden of Disease Studies memperkirakan bahwa PPOK akan
menduduki peringkat ketiga penyakit penyebab kematian dan peringkat kedua
belas penyebab penyakit dan juga sebagai peringkat keempat penyakit penting
yang menimbulkan kecacatan.1,2
Di Asia, penderita PPOK sedang sampai berat pada tahun 2006 mencapai
56,6 juta pasien dengan prevalensi 6,3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8
juta pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini dapat terus meningkat dengan
makin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok dan
mantan perokok. Selain itu seiring pesatnya kemajuan industri menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan tingginya angka PPOK di Indonesia yang terutama
banyak dialami laki-laki dengan usia 45 tahun keatas.1,3
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non
reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Bersifat progresif karena berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun/ berbahaya.
Penyakit paru obstruksi kronik terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan
emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai dengan pelebaran
bagian distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli.3

2.2 Anatomi dan Fungsi Paru


Paru merupakan organ yang elastis dan terletak di dalam rongga dada
bagian atas, bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk, dan bagian bawah
dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru terdiri dari dua bagian yang
dipisahkan oleh mediastinum yang berisi jantung dan pembuluh darah. Paru kanan
mempunyai tiga lobus yang dipisahkan oleh fissura obliqus dan horizontal
sedangkan paru kiri hanya mempunyai dua lobus yang dipisahkan oleh fissura
obliqus. Setiap lobus paru memiliki bronkus lobusnya masing-masing. Paru kanan
mempunyai sepuluh segmen paru, sedangkan paru kiri mempunyai sembilan
segmen.10
Paru diselubungi oleh lapisan tipis kontinyu yang mengandung kolagen
dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura visceralis, sedangkan lapisan yang
menyelubungi rongga dada dikenal sebagai pleura parietalis. Di antara kedua
pleura terdapat cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua
permukaan pleura bergerak selama bernafas dan untuk mencegah pemisahan
thoraks dan paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan
4

atmosfer, sehingga mencegah terjadinya kolaps paru. Selain itu rongga pleura juga
berfungsi menyelubungi struktur yang melewati hilus keluar masuk dari paru.7

Gambar 1. Anatomi Paru Kanan dan Kiri Dilihat dari Sisi Medial

Bronkhi dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri
bronkialis cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis yang
berhubungan dengan vena pulmonalis mengalirkan darah ke vena azigos dan vena
hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang terminal arteri
pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang vena
pulmonalis. Kedua vena pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke
atrium kiri jantung.Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju
kelompok kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan dari sini menuju
trunkus limfatikus mediastinal.10
Paru dipersarafi oleh pleksus pulmonalis terletak di pangkal tiap paru.
Pleksus pulmonalis terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan
serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus ini
mempersarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa
bronkioli dan alveoli.

2.3 Epidemiologi
5

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) akhir-akhir ini prevalensi dan


angka mortalitasnya terus meningkat. PPOK merupakan masalah kesehatan utama
di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Data di AS menyebutkan bahwa angka
kejadian PPOK adalah sebanyak 15 juta orang dan 1,5 juta kasus baru per tahun.
PPOK tercatat sebagai penyebab kematian kelima di AS dengan angka sekitar
115.00 kematian terjadi pada tahun 2000 dan biaya pengobatannya lebih besar
dari asma. The Global Burden of Disease Studies memprediksikan bahwa pada
tahun 2020, PPOK akan menduduki peringkat tiga penyakit penyebab kematian
dan peringkat dua belas penyebab penyakit dan juga sebagai peringkat empat
penyakit penting yang menimbulkan kecacatan.2,3
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan
Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%. Pada studi BOLD, penelitian
serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah
10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada
perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013
(RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit
ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
dibanding perempuan(3,3%).

2.4 Faktor Risiko


Faktor risiko penyakit PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau
mempengaruhi/ menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang. Menurut
American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK, yaitu :23
1. Faktor host : Faktor genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas.
2. Faktor exposure : Merokok, hiperaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi
lingkungan, dan infeksi bronkopulmoner berulang.
Faktor risiko tersebut meliputi:1,3,4
6

1. Faktor pejamu (host)


Faktor risiko PPOK yang meliputi faktor host dapat disebabkan oleh
faktor genetik, hiperresponsif nafas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik
yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu serin protease inhibitor.
Hiperresponsif jalan nafas akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pada
gangguan pertumbuhan paru yang dikaitkan pada masa kehamilan, berat lahir
dan pajanan semasa anak-anak memiliki kaitan terhadap penurunan fungsi
paru (VEP1) sehingga memiliki resiko yang tinggi untuk mendapatkan PPOK.
2. Faktor perilaku (kebiasaan) merokok
Merokok merupakan faktor risiko terjadinya PPOK. Pada perokok akan
tejadi gangguan respirasi dan penurunan faal paru. Perokok aktif yang
berhubungan dengan usia mulai merokok, jumlah rokok perbungkus, serta
perokok pasif juga merupakan faktor risiko PPOK.
Hubungan rokok dengan PPOK menunjukan dose response. Hubungan
dose response dapat dilihat melalui Indeks Brinkman (IB) yang menilai
derajat berat merokok. IB merupakan perkalian jumlah rata-rata batang rokok
dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Untuk klasifikasi
berdasarkan IB: ringan (0-200), sedang (200-600), berat (>600).
3. Faktor lingkungan (polusi udara)
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan seperti asap rokok, asap
kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain. Polusi diluar ruangan meliputi gas
buangan industri, kendaraan bermotor, debu jalanan, serta polusi di tempat
kerja meliputi bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun. Pajanan yang
terus menerus oleh zat dari lingkungan tersebut akan menyebabkan
penurunan faal paru dan berisiko untuk terjadinya PPOK.
4. Stress oksidatif
Paru selalu terpajan zat endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul
dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan
dan asap rokok. Oksidan endogen seperti derivate electron mitokondria
transport termasuk dalam selular signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh
oxidative chalange yang berkembang secara sistem enzimatik atau
nonenzimetik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan atau deplesi
antioksidan akan menimbulkan stress oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya
menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktivitas
7

molekuler sebagai awal inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara


oksidan dan antioksidan memegang peran penting pada PPOK.

2.5 Etiologi PPOK Eksaserbasi Akut


Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan
dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan
pengobatan yang sudah biasa digunakan.4
Beberapa faktor pencetus eksaserbasi akut pada PPOK yaitu: infeksi
(virus, bakteri), pajanan dengan polutan/polusi udara, penghentian pengobatan,
bronkospasme, dan perubahan diet. Infeksi virus didapatkan pada 30% kasus.
Infeksi virus selanjutnya mempermudah peningkatan jumlah kolonisasi kuman
yang sudah ada sebelumnya dalam lumen bronkus, sehingga menyebabkan infeksi
sekunder oleh bakteri. Pada 25 % pasien PPOK yang stabil dapat ditemukan
kolonisasi kuman, dan pada umumnya yang terbanyak yaitu Hemophilus
influenza dan Streptococcus pneumonia. Peningkatan jumlah kuman yang sudah
ada sebelumnya dalam lumen bronkus dapat berperan sebagai faktor pencetus dari
51,7% pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut. Pada eksaserbasi akut
yang berat dapat ditemukan kuman yang lebih beragam yaitu basil enteric gram
negatif, Pseudomonas, Chlamidia pneumonia, dan Mycoplasma pneumonia.
Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui. Merokok
merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. 3,4
2.6 Patogenesis
Mekanisme terjadinya PPOK melibatkan banyak faktor. Meski selama ini
ditetapkan merokok merupakan faktor penyebab utama terjadinya penyakit ini,
namun hasil studi epidemiologi menunjukkan bukti yang konsisten bahwa pada
pasien yang bukan perokok dapat terjadi keterbatasan aliran udara seperti halnya
yang terjadi pada PPOK. Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronis mencakup
emfisema dan bronkhitis kronis. Emfisema ditandai dengan hilangnya elastisitas
paru dan destruksi dinding alveolus dan kapiler. Destruksi ini menyebabkan
alveolus tidak dapat bergerak elastis saat inspirasi dan ekspirasi. Alveolus akan
cenderung mengembang sehingga meningkatkan kapasitas total paru. Ada 2 hal
8

yang dapat menyebabkan emfisema yaitu merokok (utama) dan defisiensi 1-


antitripsin, yaitu enzim antiprotease yang berfungsi sebagai pelindung paru.
Reilly, et al., dalam Harrisons Principles of Internal Medicine (2011)
menyebutkan bahwa emfisema dapat disebabkan 4 proses yang saling berkaitan:
(1) paparan kronis asap rokok menyebabkan akumulasi mediator inflamasi di
paru; (2) mediator ini akan mensekresi elastolytic proitenases yang dapat merusak
matriks ekstrasel; (3) hilangnya matriks ekstrasel memicu kematian sel
(apoptosis); (4) terjadi perbaikan yang tidak efektif oleh elastin dan komponen
matriks ekstrasel lainnya sehingga menyebabkan pelebaran alveolus.
Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya:
1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan
meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering
terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal
dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah.
Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien
dengan defisiensi 1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa.
Sementara itu, dalam bronkitis kronis, hambatan saluran napas disebabkan
oleh reaksi inflamasi. Terdapat edema dan hiperplasia kelenjar submukosa
sehingga terjadi sekresi mukus yang berlebihan.Iritan yang terhirup akan
menyebabkan akumulasi mediator-mediator inflamasi seperti netrofil, CD8,
limfosit T, sel B, dan makrofag. Ketika diaktifkan, mediator ini akan memulai
kaskade yang akan memicu pengeluaran Tumour Necrosis Factor alpha (TNF-),
Interferon gamma (IFN-), matrixmetalloproteinases (MMP-6, MMP-9), C-
Reactive Protein (CRP), Interleukins (IL-1, IL-6, IL-8) dan fibrinogen. Proses
respon inflamasi ini akan menetap sehingga menyebabkan kerusakan jaringan
yang menimbulkan keterbatasan aliran udara permanen. Struktur yang paling
besar menimbulkan hambatan adalah saluran kecil (diameter 2mm) karena
sekresi mukus yang berlebihan dapat menimbulkan obstruksi total. Fibrosis juga
9

dapat ditemukan pada mukosa yang nantinya juga memicu sekresi mukus yang
berlebih pula sehingga akan memperparah kondisi obstruksi.

Skema 1. Konsep Patogenesis PPOK3

2.7 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti berikut ini : 3,4
1. Sesak
Sesak yang bersifat progresif dimana semakin bertambah berat seiring
berjalannya waktu (kronik), bertambah berat atau dipicu dengan aktivitas,
persisten dan menetap sepanjang hari, keluhan bernafas berat, sukar bernafas
dan terengah-engah saat bernafas.

2. Batuk kronik berdahak


Setiap batuk kronik berdahak dapat mengidentifikasikan PPOK. Batuk
kronik dengan dahak (pada bronkitis kronik keadaan ini terjadi setiap hari
selama 3 bulan dalam 1 tahun pada sedikitnya 2 tahun berturut-turut.
3. Riwayat terpajan faktor risiko
Riwayat pajanan terhadap faktor rosiko yang dialami pasien seperti asap
rokok, debu, bahan kimia ditempat kerja dan termasuk juga asap dapur.
10

Tabel 1. Klasifikasi PPOK menurut GOLD (Global Initiative for Chronic


Obstructive Lung Disease) 2011.2,3

GOLD 2011
Derajat Klinis Faal paru
Gejala klinis Normal
(batuk, produksi suptum)
Derajat I: Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP <70%
PPOK ringan sputum tapi tidak sering. Pada VEP1 80% prediksi
11

derajat ini pasien sering tidak


menyadari bahwa faal paru mulai
menurun
Derajat II: Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP <70%
PPOK sedang aktivitas dan kadang ditemukan 50%<VEP1<80%
gejala batuk dan produksi sputum. prediksi
Pada derajat ini biasanya pasien
mulai memeriksa kesehatannya.
Derajat III: Gejala sesak lebih berat, VEP1/KVP <70%
PPOK berat penurunan aktivitas, rasa lelah dan 30%<VEP1<50%
serangan eksaserbasi semakin prediksi
sering dan berdampak pada
kualitas hidup pasien
Derajat IV: Gejala diatas ditambah tanda- VEP1/KVP <70%
PPOK sangat tanda gagal napas atau gagal VEP1<30% prediksi atau
berat jantung kanan dan ketergantungan VEP1<50% prediksi
oksigen. Pada derajat ini kualitas disertai gagal nafas
hidup pasien meburuk dan jika kronik
eksaserbasi dapat mengancam
jiwa

2.8 Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. PPOK klinis didiagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan foto toraks. Sedangkan diagnosis derajat PPOK
dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.1,6,7
Diagnosis PPOK klinis ditegakan apabila:
1. Anamnesis
- Ada faktor resiko: usia pertengahan, dan riwayat pajanan (asap rokok,
polusi udara, dan polusi tempat kerja).
- Gejala:
12

Batuk kronik (batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak


hilang dengan pengobatan yang diberikan).
Berdahak kronik (kadang tanpa disertai batuk).
Sesak nafas (terutama pada saat melakukan aktifitas dan
semakin mengalami perburukan yang progresif).

2. Pemeriksaan fisik
- Inpeksi : Bentuk dada barrel chest, penampilan pink puffer, terdapat
cara bernafas purse lip breathing, terlihat penggunaan dan hipertrofi
otot bantu nafas, pelebaran sela iga.
- Palpasi : Fremitus melemah, sela iga melebar
- Perkusi : Hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa rendah,
hepar terdorong kebawah.
- Auskultasi: Suara nafas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi
memanjang, mengi (pada saat eksaserbasi), dan ronki
- Pink puffer : Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus,
kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing.
- Blue bloater : Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
sianosis sentral dan perifer.
- Pursed - lips breathing : Sikap seseorang yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
3. Pemeriksaan penunjang rutin
- Spirometri
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP(%)
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP 1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75%
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat dapat dipakai sebagai
13

alternative dengan memantau variability harian pagi dan sore,


tidak lebih dari 20%

- Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 mL.
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
- Laboratorium
Peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder)
dan Defisiensi kadar alfa-1 antitripsin (kongenital).
- Foto toraks
- Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan tanda
bronchovascular dan kardiomegali.
Gambaran Bronkitis kronik
Gambaran radiologi bronkitis kronik hanya memperlihatkan perubahan
yang minimal dan biasanya tidak spesifik
Bronkitis kronik secara radiologi dibagi menjadi tiga golongan:
1. Ringan: gambaran corakan paru yang meningkat dibasal paru
2. Sedang: gambaran corakan paru yang meningkat dibasal paru disertai
gambaran emfisema, dan kadang-kadang disertai bronkiektasis di
perikardial kanan dan kiri
3. Berat: ditemukan hal tersebut di atas disertai cor pulmonale sebagai
komplikasi dari bronkitis kronik.
14

Gambar 2. Bronkitis kronik


- Emfisema dikaitkan dengan hati kecil, hiperinflasi, hemidiaphragma
datar, dan perubahan bulosa. Temuan khas ditunjukkan pada radiografi
dibawah ini

Gambar 3. Emfisema
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Sebuah paru-paru dengan emfisema
menunjukkan peningkatan diameter anteroposterior (AP) , peningkatan udara
retrosternal, dan diafragma rata pada rontgen dada lateral
15

Gambar 4. Emfisema posisi AP

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). paru-paru dengan emfisema


menunjukkan peningkatan diameter anteroposterior (AP), peningkatan udara
retrosternal, dan diafragma rata pada rontgen dada posteroanterior

Gambar 5. Emfisema

Posteroanterior (PA) dan rontgen dada lateral pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Hiperinflasi, diafragma tertekan, peningkatan ruang
retrosternal, dan hypovascularity dari parenkim paru
16

Gambar 6. Emfisema subkutan dan pneumotoraks

Pada emfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau hiperlusen,


diagframa mendatar dan letak rendah, corakan bronkovaskuler meningkat, bulla,
dan jantung menggantung (jantung pendulum/eye drop appearance). Sedangkan
pada bronkitis kronis akan terlihat gambaran paru normal, namun terlihat corakan
bronkovaskular meningkat.

Gambar 7. Foto Toraks Pasien dengan PPOK


Gambaran Emfisema
Emfisema adalah suatu keadaan paru dimana paru lebih banyak berisi
udara sehingga ukuran paru bertambah.
Gambaran radiologi:
Bayangan lebih radiolusen pada paru, corakan jaringan paru tampak lebih
jelas(tampak paru hiperlusen vaskular)a
17

Sela iga melebar


Diafragma letak rendah dan mendatar
Peningkatan diameter anteroposterior dada dengan perluasan pada rongga
retrosternal (barrel chest)
Penampakan bayangan jantung yang tipis, panjang dan sempit yang
terutama disebabkan oleh inflasi berlebihan dan diafragma letak rendah

2.9 Diagnosis Banding

Tabel 2. PPOK dan diagnosis banding3,4


Diagnosis Gambaran klinis
PPOK 1. Onset pada usia pertengahan
2. Gejala semakin progresif
3. Terdapat riwayat merokok atau terpajan oleh
polusi yang berbahaya.
Asma 1. Onset pada awal usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma
Gagal jantung 1. Ronki halus di basal paru
kongesti 2. Foto thorak memperlihatkan pembesaran
jantung, edema paru
3. Riwayat hipertensi
4. Pemeriksaan faal paru: indikasi restriksi volume
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Foto thoraks: Dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : Infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
Panbronkiolitis difuse 1. Dominan pada keturunan etnis asia
2. Umumnya laki-laki, riwayat sinusitis kronis
18

Penyakit lain yang bisa menjadi diagnosis banding PPOK antara lain :2,4
1. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) adalah penyakit obstruksi
saluran nafas yang ditemukan pada pasien pasca tuberkulosis dengan lesi paru
minimal.
2. Pneumothoraks dimana keadaan cembung ditempat kelainan, perkusi
hipersonor, auskultasi saluran nafas melemah.
3. Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misalnya destroyed lung.

2.10 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan :1,3,4
- Mengurangi gejala
- Mencegah progresivitas penyakit
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan status kesehatan
- Mencegah dan menangani komplikasi
- Mencegah dan menangani eksaserbasi
- Menurunkan kematian

2.10.1 Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :1,6


1. Farmakologi
a. Bronkodilator
- Agonis -2 : salbutamol 2,5-5 mg/ml; terbutalin 5-10 mg/ml. Bentuk
inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
- Antikolinergik : Ipratropium bromida 0,25-0,5 mg/ml, tiotropium
digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis -2 : Kombinasi kedua golongan
obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena kedunya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mudah digunakan.
- Metilxantin : Teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2 dan steroid belum
memuaskan. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.
19

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon/prednison.

c. Mukolitik
Diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksasebasi, terutama pada bronchitis kronik dengan sputum
yang kental (misalnya ambroxol, erdostein).
d. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
e. Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat eksasebasi. Diberikan jika gejala sesak
nafas dan batuk disertai dengan peningkatan volume dan purulensi
sputum. Antibiotik yang diberikan hendaknya berspektrum luas yang bisa
membunuh H.influenza, S.pneumoniae, dan M.catarrhalis sambil
menunggu hasil kultur sensitive kuman.
20

Tabel 2. Antibiotik yang umumnya digunakan pada PPOK eksaserbasi akut4


Eksaserbasi ringan-sedang Eksaserbasi sedang-berat
Lini pertama Sefalosporin
- Doksisiklin 100mg 2x/hari - Ceftriakson 1-2 g IV/hari
- Kotrimoksasol 2x1tab/hari - Cefotaksim 1g tiap 8-12 jam
- Ceftazidime 1-2 g IV tiap 8-12 jam
Amoksisklin-klavulanat Penicilin antipseudomonal
- 125mg tab 3x sehari Piperasillin - tazobaktam 3,375gIV/6jam
Ticarcilinclavulanat 3,1 g IV/6jam
Makrolide Fluoroquinolones
- Klarithromisin 500mg 2x/hari - Levofloksasin 500mg IV/hari
- Azitrommisin 500 mg pertama, - Gatifloksasin 400mg IV/hari
selanjutnya 250mg/hari
Fluoroquinolone Amiglosida
- Tobramisin 1mg/kgbb/8-12 jam
- Levofloksasin 500mg/hari
- Gatifloksasin 400mg/hari
- Moksifloksasin 400mg/hari

2.Rehabilitasi 2,3,4
a. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
- Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
- Melaksanakan pengobatan yang maksimal
- Mencapai aktiviti optimal
- Meningkatkan kualiti hidup
b. Berhenti merokok
c. Latihan fisik dan respirasi
d. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
21

Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi


dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
3.Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
4.Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di
rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
5.Operasi paru
Bertujuan untuk :
- Memperbaiki fungsi paru
- Memperbaiki mekanik paru
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
- Memperbaiki kualiti hidup
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
- Bulektomi
22

- Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey


(LVRS)
- Transplantasi paru
6.Vaksinasi influensa
- Usia diatas 60 tahun
- PPOK sedang dan berat

Tabel 3. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK3


Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan
Semua - Hindari faktor pencetus
derajat
- Vaksinasi influenza

Derajat I VEP1 / KVP < 70 % - Bronkodilator kerja singkat (SABA,


(PPOK VEP1 80% Prediksi antikolinergik kerja pendek) bila perlu
Ringan)
- Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan

Derajat II VEP1 / KVP < 70 % - Pengobatan reguler Kortikosteroid


(PPOK 50% VEP1 80% dengan bronkodilator: inhalasi bila uji
sedang) Prediksi dengan atau steroid positif
tanpa gejala a. Antikoliner
gik kerja lama
sebagai terapi
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomati
k
- Rehabilitasi

Derajat III VEP1 / KVP < 70%; - Pengobatan reguler Kortikosteroid


(PPOK 30% VEP1 50% dengan 1 atau lebih inhalasi bila uji
Berat) prediksi bronkodilator: steroid positif
Dengan atau tanpa atau
gejala Antikolinergik eksaserbasi
kerja lama sebagai berulang
terapi
pemeliharaan

LABA

Simptomatik
23

- Rehabilitasi

Derajat IV VEP1 / KVP < 70%; - Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih
(PPOK VEP1 < 30% prediksi bronkodilator:
sangat atau gagal nafas atau
berat) gagal jantung kanan Antikolinergik kerja lama sebagai
terapi pemeliharaan

LABA

Pengobatan komplikasi

Kortikosteroid inhalasi bila


memberikan respons klinis atau
eksaserbasi berulang
- Rehabilitasi
- Terapi oksigen jangka panjang bila
gagal nafas pertimbangkan terapi bedah

2.10.2 Penatalaksana PPOK Stabil 1,2

1. Kriteria PPOK stabil adalah :

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg

- Dahak jernih tidak berwarna

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

2. Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :

- Mempertahankan fungsi paru


24

- Meningkatkan kualiti hidup

- Mencegah eksaserbasi
25
26

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi


berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksaserbasi
1. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah :
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang
stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh
pasien sendiri maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan
juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau
ventilasi mekanik.
27

Tujuan penatalaksanaan di rumah :


- Menjaga PPOK tetap stabil
- Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
- Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
- Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
- Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
- Meningkatkan kualiti hidup
Skema 4. Algoritma Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah sakit
dan pelayanan kesehatan primer3
-

2.9.3 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut1,2


28

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan


dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.

a. Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum

b. Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :


- Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
- Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
- Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline
c. Penyebab eksaserbasi akut
Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkungan memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
29

d. Pemberian obat-obatan pada eksaserbasi akut


Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila
ringan dapat diberikan tunggal.
Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan
dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator
lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai
oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk
menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin
diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai
efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit,
bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian
lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek
samping bronkodilator.
Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-
2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih
dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih
banyak menimbulkan efek samping.

2.11 Komplikasi1,3,6
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :3
30

1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg, PCO2 > 60 mmHg, dan
pH normal, penatalaksanaan :
Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2.
Bronkodilator adekuat.
Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu
tidur.
Antioksidan
Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
Sputum bertambah dan purulen
Demam
Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit
darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.

2.12 Prognosis8
Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorbid lain.
Dalam menentukan prognosis PPOK ini, dapat digunakan BODE index
untuk menentukan kemungkinan mortalitas dan morbiditas pasien. BODE ini
adalah singkatan dari:
Body mass index
Obstruction [FEV1]
Dyspnea [modified Medical Research Council dyspnea scale]
Exercise capacity
Penghitungannya melalui perhitungan skor 4 faktor berikut ini:
31

Body Mass Index


o Lebih dari 21 = 0 poin
o Kurang dari 21 = 1 poin
Obstruction ; dilihat dari nilai FEV1
o >65% = 0 poin
o 50-64% = 1 poin
o 36-49% = 2 poin
o <35% = 3 poin
Dyspnea scale [MMRC]
o MMRC 0= Sesak dalam latihan berat = 0 poin
o MMRC 1 = Sesak dalam berjalan sedikit menanjak = 0 poin
o MMRC 2 = sesak ketika berjalan dan harus berhenti karena kehabisan
napas = 1 poin
o MMRC 3 = sesak ketika berjalan 100 m atau beberapa menit = 2 poin
o MMRC 4 = tidak bisa keluar rumah; sesak napas terus menerus dalam
pekerjaan sehari-hari = 3 poin
Exercise
Dihitung dari jarak tempuh pasien dalam berjalan selama 6 menit
o > 350 meter = 0 poin
o 250 349 meter = 1 poin
o 150-249 meter = 2 poin
o < 149 meter = 3 poin
Berdasarkan skor diatas, angka harapan hidup dalam 4 tahun adalah:
0-2 points = 80%
3-4 points = 67%
5-6 points = 57%
7-10 points = 18%
32

BAB III
KESIMPULAN

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non
reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya. Beberapa faktor pencetus eksaserbasi akut pada PPOK
yaitu: infeksi (virus, bakteri), pajanan dengan polutan/polusi udara, penghentian
pengobatan, bronkospasme, dan perubahan diet.

DAFTAR PUSTAKA
33

1. Departemen Kesehatan. 2008. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruksi


kronik. KeputusanMenteri kesehatanNomor: 1022/MENKES/SK/2008.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia.
3. Mosenifar Zab, MD, FACP, FCCP. 2016. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD). Available At
Http://Emedicine.Medscape.Com/Article/297664-Overview (Di aksesTanggal
28 Februari 2017)
4. Rasad, Sjahriar. 2015. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Jakarta: Badan
penerbit FKUI.
5. Patel, Pradip R. 2010. Lecture Notes Radiology. Oxford: Wiley-Blackwell
Publishing
6. PB. PABDI. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departeman IPD FKUI.
7. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease,(GOLD) Pocket Guide
To COPD Diagnosis, management, and Prevention. 2011
8. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi. Konsep-konsepklinis proses
penyakit. Ed.6. Jakarta. EGC
9. Rumende, CM. 2009. Naskah lengkap penyakit dalam: pemilihan antibiotik
pada PPOK eksaserbasi akut. Jakarta; Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FK UI.
10. Djojodibroto, RD. 2009. Respirologi: Penyakit paru obstruksi kronik. Jakarta;
EGC.
11. Bartolome R. Celli, M.D., Claudia G. Cote, M.D., et al. 2004. The Body-Mass
Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. New England Journal Med 350;10

Anda mungkin juga menyukai