Anda di halaman 1dari 4

Konsep pembaharuan Fazlur Rahman terhadap Islam

Islam dalam analisis Fazlur Rahman merupakan gerakan aktual pertama yang
dikenal dalam sejarah, yang memandang masyarakat secara serius dan
menganggap sejarah itu dengan penuh arti, dua unsur tersebut dianggapnya
sebagai hal yang mempunyai nilai signifikan dalam kehidupan di dunia ini, sebab
dalam sejarah dan masyarakat Islam berkemabang terus mewarnai kehidupan
kita ini. Menurut Fazlur Rahman, dalam kondisi sedemikian dinamika Islam
menemukan pijakannya. Abad-abad pertama kehidupan Islam membuktikan
kenyataan tersebut. Namun akhirnya perkembangan peradaban Islam menjadi
lumpuh ketika penafsiran al-Quran dan Sunnah Nabi berhenti sebagai Sunnah
yang hidup (sebagai suatu proses yang terus menerus berkembang), dan
dipandang sebagai kehendak perwujudan Tuhan. Dalam kondisi seperti itu Islam
menjadi agama yang beku dan dekaden serta kehilangan semangat
kreativitasnya. Islam tidak dapat berkembang lagi dan tidak mampu menjadi
acuan yang sebenarnya dalam kehidupan aktual, serta tidak berdaya dalam
menyelesaikan masalah kongkrit umat Islam dan umat manusia secara
keseluruhan.

Oleh sebab itu, untuk mengembalikan dinamika Islam seperti yang sebelumnya,
Rahman menyarankan adanya perbedaan antara Islam normatif dan Islam
sejarah. Islma normatif adalah ajaran-ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi yang
hidup yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip dasar yang kemudian
diyakini sebagai sesuatu yang bernilai abadi dan dituntut untuk selalu menjadi
rujukan dalam keberagaman umat Islam. Sedangkan Islam sejarah adalah
penafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang
beragam, hal itu merupakan pemahaman kontekstual umat Islam yang musti
dikaji dan direkonstruksi melalui cahay nilai-nilai al-Quran dan Sunnah Nabi
secara total dan terus menerus dalam rangka menyikapi perkembangan dan
perubahan kehidupan sosial yang terus terjadi.

Menurut Birt, pendekatan yang digunakan Fazlur Rahman adalah pendekatan


yang sejalan dengan historisisme, yaitu pandangan yang menyatakan
kebenaran-kebenaran dasar pada suatu masyarakat harus diformulasikan
kembali untuk menghadapi lingkungan yang baru. Hal yang membedakan
Rahman dengan para historisis lainnya adalah penggunaan historisisme Rahman
dalam idiom-idiom yang secara total Islami, artinya dia beranggapan bahwa
pernilaian yang signifikan terhadap masa lalu hanya dapat dilakukan dengan
berdasarkan rujukan kepada seperangkat nilai-nilai yang bersifat transendental.
Birt menjelaskan historisisme Fazlur Rahman terdiri dari tiga tahap. Pertama,
pemahaman terhadap proses sejarah yang dengan itu Islam mengambil
bentuknya. Kedua, analisis terhadap proses tersebut untuk membedakan prinsip-
prinsipnya yang esensial dari formasi-formasi umat Islam yang bersifat partikular
sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat khusus. Ketiga, pertimbangan
terhadap cara yang terbaik untuk mengapliasikan prinsip-prinsip esensial
tersebut.[5]
Berangkat dari pendekatan itu, secara umum Rahman beranggapan bahwa salah
satu aspek kekurangan dan kelemahan teologi Islam adalah ketidak sesuaian
antara pandangan dunia al-Quran (sebagai dasar diskursus teologi) dengan
pandangan berbagai aliran teologi skolastik spekulatif yang muncul dalam Islam.
Ha itu terjadi karena aliran-aliran tersebut kurang mampu menangkap secara
utuh pandangan dunia al-Quran. Selain dari pada itu, Rahman menyesalkan
para teolog sudah terlalu banyak bersibuk-sibuk dengan Tuhan dan hakikat
Tuhan, sebaliknya mereka menyikapi hakikat dan fungsi manusia sendiri secara
apatis dan terkesan menelantarkan, baik itu Mutazilah ataupun Asyariyah.
Akibatnya, teologi Islam tidak mempunyai kaitan secara organik-internal dengan
fiqh, ataupun dengan disiplin ilmu lainnya termasuk etika yang seharusnya
menjadi mata rantai antara keduanya.

Rahman juga tidak setuju atas pendapat para ahli kalam yang membatasi
bahasa ilmu kalam atau teologi sekedar menetapkan akidah-akidah agama yang
semata-mata untuk mempertahankan ajaran-ajaran agama dengan argumen-
argumen rasional, dan bukan menyelidiki dan menafsirkannya dengan metode-
metode rasional, akibatnya ialah muncul rumusan dan argumen-argumen yang
rumit yang diambil dari filsafat yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat
umum, sedangkan dogma dan isinya tetap tidak mengalami perubahan, tanpa
penafsiran yang substansial.

Seharusnya menurut Rahman, teologi sebagai usaha intelektual yang mampu


memberikan gambaran (account) yang koheren dan tepat mengenai pandangan
dunia al-Quran sehingga pikiran dan hati seseorang yang beriman atau mau
beriman dapat menerima dan menjadikan world view itu sebagai landasan
mental dan spiritualnya. Berdasarkan ini tugas teologi Islam bukan hanya
semata-mata mempertahankan ajaran-ajaran agama dengan argumen-argumen
yang rasional, tapi sekaligus juga untuk menyelidiki dan menafsirkan ajaran
tersebut dengan metode rasional.[6]

Konsep yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam upaya merekonstruksikan ajaran


Islam dangan menggunakan metode Islam historis yaitu dengan nilai-nilai yang
ada dalam al-Quran sesuai dengan pandangannya terhadap al-Quran bahwa, al-
Quran adaah firman Allah, pada dasarnya adalah suatu kitab mengenai prinsip-
prinsip dan nasehat keagamaan dan moral bagi umat manusia yang ditekankan
al-Quran dari awal hingga akhir dalam semua aspek yang diperlukan bagi semua
tindakan kreatif manusia. Oleh karena itu, kepentingan sentral al-Quran adalah
manusia dan perbaikannya. Dengan demikian, al-Quran harus dijadikan dasar
dan acuan pokok dalam semua sikap dan prilaku umat Islam, baik sebagai
individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Rahman menegaskan lebih
lanjut, al-Quran merupakan petunjuk yang palimg komprehensif bagi manusia,
dengan berdasarkan pada surat yusuf (12): 111 (Al-Quran itu bukan suatu cerita
yang dibuat-buat. Namun ia membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya,
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-
orang yang beriman). Sebagai konsekuensinya dia menyarankan dan berupaya
dalam memahami kitab suci ini dengan menggunakan suatu metode interpretasi
al-Quran yang rasional, sistematis dan komprehensif agar dapat memahami al-
Quran sebagai suatu kepaduan yang saling berkaitan dan menghasilkan suau
pandangan hidup yang pasti dan menyeluruh. Pola seperti ini merupakan satu-
satunya metode yang dapat diandalkan dami memahami niali-nilai moral, aspek
legal dan tentunya aspek-aspek teologi.

Untuk dapat benar-benar memahami risalah atau misi al-Quran hingga


memungkinkan orang-orang yang beriman dan orang yang ingin hidup dalam
bimbingannya dapat melaksanakannya secara koheren dan bermakna, doktor
lulusan Oxford University tersebut mengembangkan suatu metodologi yang
sistematis dan aplikatif, dengan melibatkan faktor-faktor kognitif dari wahyu dan
mengesampingkan aspek-aspek estetik-apresiatif atau kekauatan apresiasinya,
sehingga orang Muslim ataupun non Muslim dapat bersatu (dalam suatu urusan
tertentu), asalkan mereka meiliki simpati dan ketulusan hati yang diperlukan.
Idealnya melalui pendekatan seperti itu semua orang sama-sama mempunyai
kesempatan yang tidak berbeda secara intelektual untuk memahami al-Quran
dengan subjektif dan benar, baik itu Muslim ataupun tidak.

Secara umum, proses penafsiran yang ditawarkan Rahman mempunyai gerakan


ganda. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Quran; dan
kedua, dari masa turunnya al-Quran kembali pada masa kini. Gerakan pertama
terdiri dari dua langkah, yaitu pemahaman arti atau makna dari suatu
pernyataan al-Quran melalui cara mengkaji situasi atau problem historis di mana
pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabnnya. Setelah itu, langkah
kedua yang harus diambil adalah membuat generalisasi dari jawaban-jawaban
spesifik tersebut, dan mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan
yang memiliki tujuan-tujuan moral yang bersifat umum. Sesudah dua langkah
pertama tersebut, menuju gerakan kedua yang berbentuk perumusan ajaran-
ajaran yang bersifat umum tersebut, dan kemudain meletakkannya kedalam
konteks sosio-historis yang konkrit saat ini.[7]

Dengan demikian Fazlur Rahman mengesankan lebih memilih signifikansi makna


yang bersifat universal dari pada makna tekstual yang terikat dengan peristiwa
lokal historis. Menanggapi metode tersebut, Binder menjelaskan bahwa Rahman
dengan metodenya ingin menekankan signifikansi penciptaan suatu kerangka
penafsiran yang integratif dan konsisten untuk diaplikasikan kepada semua
bagian al-Quran.

sebuah mazhab Sunni yang lebih banyak menggunakan rasio (rayu)


dibandingkan dengan mazhab Sunni lainnya.

[2] Admin, Biografi Fazlur Rahman, Biografi Tokoh Pembaharu Islam, dalam
internet, webset: http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/11/biografi-fazlur-
rahman-biografi-tokoh.html, diakses tanggal 03 Maret 2011

[3] Sutrisno, Fazlurrahman (Kajian Terhadap Metode, Epistimologi dan Sistem


Pendidikan), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal: 62

[4] Ibid, hal: 64


[5] Abd Ala, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003),
hal: 71

[6]M. Ali Hisam, Fazlur Rahman dan Libralisme Islma (di) Indonesia, dalam
internet, webset: http://sayoisa.blogspot.com/2010/02/fazlur-rahman-dan-
liberalisme-islam-di.html, diakses tanggal 03 Maret 2011

[7] Ibid, hal: 84

Anda mungkin juga menyukai